Peternakan PT Indocement merupakan salah satu peternakan yang berdiri pada tahun 2008 di daerah Citeureup, Bogor. Peternakan ini merupakan kerjasama antara Fakultas Peternakan IPB dengan Indocement. Peternakan Indocement dibangun diatas lahan bekas penambangan semen. Ternak yang dipelihara di peternakan ini yaitu domba garut, yang didatangkan dari Garut.
Domba dipelihara secara semi intensif, domba digembalakan pada siang hari yaitu pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB dan selebihnya domba dikandangkan. Kandang yang digunakan yaitu kandang panggung. Kandang panggung dicirikan dengan adanya tiang penyangga kandang sehingga lantai kandang terletak diatas tanah (sekitar 0,5–1 m) dan berbentuk seperti panggung. Bahan lantai terbuat dari bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah sehingga memudahkan kotoran terjatuh ke bawah kandang. Tipe kandang ini memiliki kolong yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Lantai kolong diberi semen dan dibuat miring ke arah selokan agar lebih memudahkan pekerja ketika membersihkan kotoran. Atap kandang berupa monitor dengan bahan genteng. Atap berfungsi sebagai pelindung terhadap hujan, terik sinar matahari dan pengatur panas dalam kandang. Bahan atap genteng dapat menghantarkan panas dan radiasi yang kecil, dan sangat baik menahan panas sehingga dapat mempertahankan suhu kandang relatif konstan, serta aliran udara dapat keluar melalui celah.
Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di peternakan Indocement pada pagi, siang dan sore hari di kandang dan di luar kandang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara
Lokasi Waktu Suhu (oC) Kelembaban (%)
Dalam Kandang Pagi 25,06 ± 2.27 81,63 ± 12,70 Siang 32,04 ± 3,23 53,00 ± 16,65 Sore 28,55 ± 1,28 69,25 ± 11,25 Luar Kandang Pagi 28,49 ± 4,89 73,88 ± 17,59 Siang 40,25 ± 5,02 32,88 ± 11,61 Sore 29,29 ± 2,16 69,88 ± 9,96
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang baik pagi, siang, ataupun sore lebih rendah dibandingkan dengan suhu di luar kandang, sedangkan kelembaban di dalam kandang lebih tinggi dibandingkan dengan di luar kandang. Hal ini menandakan kandang dapat memanipulasi kondisi lingkungan dengan menurunkan suhu udara. Kelembaban di dalam kandang yang tinggi menunjukan bahwa udara di dalam kandang mengandung uap air yang tinggi yang dihasilkan dari proses respirasi ternak.
Suhu optimal untuk domba berkisar antara 24-26 0C (Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Hal ini menunjukan bahwa lingkungan di peternakan Indocement berada di atas suhu nyaman untuk domba. Siang hari suhu di dalam kandang 32,04±3,23 0C dan suhu di luar kandang yaitu 40,25±5,02 0C yang artinya berada di atas kisaran suhu nyaman. Pada pagi hari kelembaban di dalam kandang berada di atas kisaran normal (81,63% ± 12,70%) dan pada siang dan sore hari berkisar kurang dari 75%.
Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat terhadap produktivitasnya, sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun (Johnston, 1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang dikeluarkan dari tubuh (Devendra dan Burns, 1994).
Konsumsi pakan merupakan sejumlah makanan yang dimakan oleh ternak. Kandungan yang terdapat di dalam pakan digunakan untuk mencukupi kehidupan pokok dan untuk keperluan produksi. Kebutuhan ternak dapat dikelompokkan menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral dan vitamin. Energi merupakan suatu komponen penting yang terkandung dalam pakan. Energi dapat didefinisikan sebagai kalori yang berasal dari senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, protein dan lemak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri yaitu permintaan fisiologis dari hewan
tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Pada suhu lingkungan tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun, sedangkan konsumsi air minum meningkat.
Domba diberi pakan rumput dan konsentrat serta air minum diberikan secara
ad libitum. Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut
dilakukan agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi, dan reproduksi dapat terpenuhi (Ridwan, 2010). Rataan konsumsi bahan kering pada domba garut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering (BK) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- g/ekor/hari ---
Jantan 426,27±21,22 432,32±33,88 429,29±26,84
Betina 434,44±26,10 405,58±15,71 420,01±25,37
Rataan 430,35±21,93 418,95±28,61 424,65±25,86
Rataan konsumsi bahan kering yaitu 424,65±25,86 g/ekor/hari yang setara dengan 2,7% dari bobot badan. Menurut Kearl (1982) kebutuhan konsumsi bahan kering domba adalah 3% dari bobot badan. Rataan bobot badan domba yang digunakan yaitu 15,75±2,85 kg sehingga jumlah bahan kering yang dibutuhkan adalah 500-1000 g/ekor/hari. Hal ini berarti konsumsi bahan kering domba penelitian masih di bawah konsumsi standar yang dibutuhkan domba.
Protein merupakan suatu zat makanan yang dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat pembangun dan pengatur. Rataan konsumsi protein kasar domba garut selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Konsumsi Protein Kasar Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- g/ekor/hari ---
Jantan 59,06±3,04 59,95±4,89 59,50±3,86
Betina 60,24±3,76 56,08±2,28 58,16±3,66
Rataan konsumsi protein kasar pada domba garut yaitu 58,83±3,41 g/ekor/hari. Menurut National Research Counsil (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 g/ekor/hari. Hasil ini menunjukan bahwa konsumsi protein kasar domba dibawah standar yang dibutuhkan untuk domba.
Kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi yang terkandung di dalam pakan mampu mempengaruhi pertumbuhan dari ternak tersebut. Rendahnya konsumsi pakan pada domba penelitian dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah pakan atau konsumsi pakan yang berkualitas rendah.
Kondisi Fisiologis Domba
Respon fisiologis domba merupakan tanggapan fisiologis domba terhadap berbagai macam faktor lingkungan sekitar. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematrokit, dan rasio netrofil/limfosit.
Suhu Tubuh
Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Rataan suhu tubuh domba tertera pada Tabel 4.
Suhu rektal harian, pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi (Edey, 1983). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pencukuran sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap suhu tubuh pagi yaitu domba yang dicukur lebih rendah (37,97±0,28 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,47±0,31 0C). Pada siang hari pencukuran berbeda nyata (P<0,05) terhadap suhu tubuh, yaitu suhu tubuh yang dicukur lebih rendah (38,45±0,20 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,70±0,25 0C).
Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang dialamin oleh domba yang tidak dicukur lebih tinggi jika dibandingkan dengan domba yang dicukur. Domba yang dicukur memiliki bulu yang lebih sedikit dibandingkan domba yang tidak dicukur, sehingga domba dapat melepaskan panas tubuhnya dengan mudah. Domba yang tidak dicukur pelepasan panasnya terhambat.
Tabel 4. Rataan Suhu Tubuh Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut
Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak Cukur
---oC--- Pagi Jantan 37,91±0,25 38,28±0,13 38,10±0,28 Betina 38,04±0,32 38,65±0,34 38,34±0,45 Rataan 37,97±0,28B 38,47±0,31A 38,22±0,38 Siang Jantan 38,34±0,19 38,64±0,26 38,49±0,27 Betina 38,56±0,15 38,76±0,24 38,66±0,22 Rataan 38,45±0,20b 38,70±0,25a 38,57±0,25 Sore Jantan 39,05±0,15 39,23±0,26 39,14±0,22 Betina 39,15±0,17 39,26±0,13 39,20±0,15 Rataan 39,10±0,16 39,24±0,20 39,17±0,19
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran.
Meskipun nilai rataan suhu tubuh domba pada kondisi yang berbeda, namun suhu tubuh keduanya masih berada dalam kisaran normal. Sebagaimana yang dikemukakan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0C.
Suhu lingkungan pada siang dan sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan pagi hari sehingga dapat mempengaruhi tingginya suhu tubuh domba. Suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat (McDowell, 1972). Pada saat siang sampai sore hari domba digembalakan ditempat yang tidak dinaungi, sebagai akibatnya ada tambahan panas dari luar tubuh terutama yang berasal dari radiasi panas matahari secara langsung. Oleh sebab itu suhu tubuh domba pada siang dan sore lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Pada keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang diminum.
Denyut Jantung
Satu denyut terdiri dari satu sistol dan satu diastol. Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut diastol, yaitu periode pengisian jantung dengan
darah, yang diikuti oleh satu periode kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997). Fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan jaringan selalu disuplai darah (Soeharsono, 2010). Denyut jantung dapat diukur dengan menggunakan stetoskop dan stopwatch untuk menghitung waktu. Hasil pengamatan dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Denyut Jantung Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut
Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak Cukur
---kali/menit--- Pagi Jantan 73,92±4,92 75,84±5,26 74,88±4,91 Betina 73,28±3,69 72,64±4,88 72,96±4,09 Rataan 73,60±4,11 74,24±5,07 73,92±4,51 Siang Jantan 78,88±3,13 82,40±4,31 80,64±4,01 Betina 79,84±7,21 78,56±6,38 79,20±6,46 Rataan 79,36±5,26 80,48±5,52 79,92±5,28 Sore Jantan 88,40±2,50 85,04±8,99 86,72±6,47 a Betina 79,92±3,78 82,56±4,43 81,24±4,12 b Rataan 84,16±5,39 83,80±6,81 83,98±5,98
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran.
Denyut jantung domba 70-80 kali/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hasil analisis ragam menunjukan bahwa denyut jantung pada pagi dan siang hari tidak terdapat perbedaan yang nyata baik dari faktor jenis kelamin maupun pencukuran. Pada sore hari faktor jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap denyut jantung. Denyut jantung jantan (86,72±6,47 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (81,24±4,12 kali/menit). Hal ini disebabkan domba
garut jantan bersifat lebih agresif dan sangat kuat dibandingkan dengan betina. Sehingga aktivitas jantan lebih banyak yang menyebabkan denyut jantungnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan betina.
Denyut jantung domba pada sore hari meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh, selain itu aktivitas yang dilakukan oleh ternak pada sore lebih tinggi dibandingkan siang ataupun pagi hari. Sore hari ternak dimasukkan ke dalam
kandang setelah digembalakan sehingga ternak berlari-larian yang dapat menyebabkan denyut jantung domba berdetak lebih cepat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Adisuwirdjo (2001), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. Aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi kerja jantung. Namun berbeda dengan Al-Haidary (2004) menyatakan bahwa tantangan stres panas mengurangi denyut jantung pada ternak yang diam, dan pengurangan tanda denyut jantung karena upaya umum untuk ternak menurunkan produksi panas.
Laju Respirasi
Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Frekuensi respirasi bervariasi tergantung dari aktivitas ternak, temperatur dan kondisi tubuh, ukuran tubuh hewan, dan aktivitas metabolisme serta faktor umur (Soeharsono, 2010). Hasil pengukuran respirasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Respirasi Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut
Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak Cukur
---(kali/menit)--- Pagi Jantan 22,28±2,42 25,88±1,84 24,08±2,78 B Betina 26,64±1,10 29,68±1,97 28,16±2,20 A Rataan 24,46±2,90B 27,78±2,69A 26,12±3,21 Siang Jantan 34,16±4,73 55,72±9,42 44,94±13,36 Betina 43,52±4,45 56,00±8,65 49,76±9,24 Rataan 38,84±6,56B 55,86±8,53A 47,35±11,45 Sore Jantan 42,64±3,99 b 50,24±5,88 a 46,44±6,21 Betina 34,84±3,99 c 52,64±3,30 a 43,74±10,00 Rataan 38,74±5,57 51,44±4,67 45,09±8,22
Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran.
Faktor jenis kelamin dan pencukuran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap respirasi pada pagi hari. Domba jantan (24,08±2,78 kali/menit) lebih rendah dibandingkan dengan betina (28,16±2,20 kali/menit). Respirasi domba yang dicukur (24,46±2,90 kali/menit) lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dicukur (27,78±2,69 kali/menit). Pagi hari domba tidak mengalami stres karena suhu lingkungan berada pada kisaran suhu nyaman, sehingga laju respirasi berada pada kisaran normal. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Berdasarkan hasil analisis ragam, pada siang hari faktor pencukuran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap respirasi. Respirasi pada domba yang dicukur (38,84±6,56 kali/menit) lebih rendah dibandingkan yang tidak dicukur (55,86±8,53 kali/menit). Domba yang tidak dicukur memiliki respirasi yang tinggi karena pada saat pelepasan panas tubuh domba yang tidak dicukur akan terhambat maka cara yang lebih tepat untuk pelepasan panas yaitu melalui respirasi. Domba yang dicukur respirasinya lebih rendah karena pada saat pelepasan panas tubuh lebih efisien.
Respirasi pada sore hari domba jantan dan betina yang tidak dicukur lebih tinggi dibandingkan dengan domba jantan yang dicukur dan domba betina yang dicukur. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas tubuh terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernafasan (panting) dan sebagian melalui
feces dan urin (McDowell, 1972). Berdasarkan rataan konsumsi pakan pada domba
jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina, sehingga metabolisme dan sifat keaktifan jantan lebih tinggi dari betina. Makin tinggi aktivitas metabolisme maka makin banyak jumlah oksigen yang diperlukan dengan konsekuensi peningkatan frekuensi pernafasan (Soeharsono, 2010).
Peningkatan frekuensi respirasi pada sapi, kerbau, kambing dan domba merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan (McDowell, 1972).
Irma (2009) melaporkan panjang bulu kurang dari 1 cm dengan tidak dimandikan memiliki laju respirasi yang mendekati normal yaitu 26,45±3,42 kali/menit. Oleh sebab itu domba yang dicukur memiliki laju respirasi yang lebih rendah dibandingkan dengan domba yang tidak dicukur.
Profil Darah
Darah merupakan cairan yang berfungsi mengirimkan zat-zat nutrien dan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan mengambil limbah dari sel kembali ke jantung untuk dibuang melalui paru-paru dan ginjal (Soeharsono, 2010). Elemen-elemen darah yaitu eritrosit, keping-keping darah dan leukosit. Darah ternak berwarna merah yang disebabkan oleh adanya hemoglobin yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen.
Jumlah eritrosit normal domba menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) berada pada kisaran 9-15 juta/mm3. Berdasarkan hasil pengamatan tidak ada pengaruh nyata baik faktor jenis kelamin maupun faktor pencukuran terhadap jumlah eritrosit. Jumlah rataan eritrosit baik jantan maupun betina yang dicukur ataupun tidak berada sedikit dibawah kisaran normal yaitu 8,80 ± 1,62 juta/mm3. Rataan jumlah eritrosit pada domba garut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Butir Darah Merah (BDM) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- Juta/mm3---
Jantan 8,42±1,99 8,11±2,27 8,27±1,91
Betina 8,84±1,24 9,82±1,18 9,33±1,21
Rataan 8,48±1,68 9,12±1,65 8,80±1,62
Nilai rataan hemoglobin domba penelitian adalah 9,89±1,24 g/100ml berada pada kisaran normal. Hemoglobin domba 9-15 g/100ml (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis kelamin berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap hemoglobin. Hemoglobin jantan (9,04±0,92 g/100ml) lebih rendah dibandingkan dengan betina (10,75±0,87 g/100ml). Hal ini disebabkan jumlah sel darah merah jantan lebih sedikit daripada betina sehingga hemoglobin
yang terbentuk juga jantan lebih sedikit daripada betina. Hal ini sesuai dengan Guyton (1997) bahwa bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel turun sehingga volume sel darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Nilai hemoglobin domba garut saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Hemoglobin (Hb) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- g/100ml ---
Jantan 9,47±0,80 8,60±0,97 9,04±0,92 B
Betina 11,09±0,92 10,40±0,83 10,75±0,87 A
Rataan 10,28±1,18 9,50±1,27 9,89±1,24
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01).
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan fraksi darah merah
yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan darah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hasil pengamatan hematokrit domba garut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 9.
Tabel 9. Hematokrit (PCV) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- % ---
Jantan 24,92±3,45 22.08±3.26 23,50±3,38 b
Betina 28.42±1.94 27,75±2,25 28,08±1,91 a
Rataan 26,67±3,15 24,92±3,99 25,79±3,55
Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05).
Berdasarkan Tabel 9, jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai hematokrit. Nilai hematokrit jantan (23,50%±3,38%) lebih rendah dibandingkan dengan betina (28,08%±1,91%). Hal ini karena hematokrit merupakan fraksi sel darah merah maka apabila jumlah sel darah merah sedikit menyebabkan hematokritnya pun rendah. Oleh sebab itu hematokrit jantan lebih rendah daripada betina karena jumlah sel darah merah jantan lebih sedikit daripada betina. Nilai
hematokrit dari jantan dan betina berada dibawah kisaran normal. Hematokrit domba 29%-45% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu bangsa dan jenis ternak, umur dan fase produksi, jenis kelamin, iklim setempat, penyakit, pakan dan dehidrasi (Sujono 1991). Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan) darah, peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai hematokrit ternak akan berkurang pada suhu lingkungan tinggi (Wilson. 1979).
Jumlah butir darah merah, hemoglobin, dan hematokrit domba penelitian lebih rendah dibandingkan dengan normalnya, hal ini dapat mengindikasikan adanya gejala anemia pada tubuh ternak. Anemia berarti kekurangan sel darah merah yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah (Guyton, 1997).
Hasil perhitungan konsumsi protein pada domba garut penelitian berada dibawah standar kebutuhan domba sehingga domba mengalami defisiensi protein. Protein merupakan salah satu komponen dari pembentuk sel darah, oleh sebab itu kurangnya konsumsi protein dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya anemia pada domba garut penelitian. Sesuai dengan pernyataan Frandson (1992) anemia dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang memadai karena gizi yang kurang baik, adanya defisiensi zat besi, Cu, vitamin, dan asam amino di dalam makanan.
Tipe anemia pada domba garut penelitian dapat ditentukan melalui perhitungan Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (MCHC). MCV digunakan untuk mengukur volume rata-rata dari sel
darah merah dengan cara membagi hematokrit dengan sel darah merah. MCV mengkategorikan sel darah merah berdasarkan ukuran. Sel yang mempunyai ukuran normal disebut normositik, sel yang mempunyai ukuran kecil disebut mikrositik dan sel yang mempunyai ukuran besar disebut makrositik. Data MCV dari domba garut penelitian disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- fentoliter (fl)---
Jantan 31,75±5,64 26,69±3,28 29,22±4,97
Betina 32,37±2,41 28,34±1,23 30,36±2,79
Rataan 32,06±3,89 27,52±2,40 29,79±3,89
Rataan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) yaitu 29,79±3,89 fl. Menurut Soeharsono (2010) MCV normal untuk domba adalan 25-35 fl. MCV pada domba penelitian berada di dalam kisaran normal untuk domba sehingga dikategorikan anemia normositik. Pada anemia normositik sel darah merah berukuran normal.
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) digunakan untuk
mengukur konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam sel darah merah. Ukuran ini dapat dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit dikalikan 100. Sel darah merah dengan konsentrasi hemoglobin yang normal disebut normokromik dan sel darah merah dengan konsentrasi hemoglobin yang rendah disebut anemia hipokromik. Data Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) dari darah domba garut penelitian disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Nila Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- % ---
Jantan 38,24±2,76 39,11±1,86 38,67±2,16
Betina 39,00±0,62 37,50±1,09 38,25±1,14
Rataan 38,62±1,84 38,31±1,63 38,46±1,66
Rataan nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) yaitu 38,46%±1,66%. Menurut Soeharsono (2010) MCHC normal untuk domba adalah 33% - 43%. MCHC pada domba garut penelitian berada di dalam kisaran normal untuk domba sehingga dikategorikan anemia normokromik. Berdasarkan nilai MCV dan MCHC anemia pada domba penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam anemia
normositik-normokromik. Anemia normositik-normokromik berarti suatu keadaan dengan jumlah sel darah merah di bawah normal, tetapi sel darah merah tersebut memiliki ukuran normal dan konsentrasi hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah juga normal.
Sel darah putih atau leukosit berbeda dengan eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) jumlah normal leukosit dalam darah domba yaitu 4-12 ribu/mm3. Hasil yang diperoleh pada pengamatan terhadap leukosit dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Butir Darah Putih (BDP) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- Ribu/mm3---
Jantan 12,45±1,95 11,20±0,51 11,83±1,45
Betina 12,28±3,15 10,72±0,23 11,50±2,17
Rataan 12,37±2,34 10,96±0,44 11,66±1,77
Berdasarkan analisis ragam tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah leukosit antar perlakuan. Rataan jumlah leukosit pada domba garut yaitu 11,66±1,77 ribu/mm3, berada pada kisaran normal. Sel-sel darah putih yang ada dalam aliran darah sebagian besar bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan dimana dibutuhkan saja (Frandson, 1992). Manfaat dari sel darah putih ialah sebagian besar ditransfor secara khusus ke darah yang terinfeksi dan mengalami peradangan (Guyton, 1997).
Leukosit digolongkan menjadi Granulosit dan Agranulosit. Granulosit mengandung granula di dalam sitoplasma. Netrofil merupakan salah satu golongan granulosit. Netrofil mengandung granula yang merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi dari pembuluh darah menuju daerah infeksi, untuk membunuh bakteri sebagai respon terhadap infeksi tersebut dan membersihkan sisa jaringan yang rusak. Berikut adalah hasil pengamatan netrofil darah domba dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Netrofil (N) pada Domba Garut
Jenis Kelamin Pencukuran Rataan
Cukur Tidak cukur
--- % ---
Jantan 43,67±5,13 35,67±7,02 39,67±7,03a
Betina 30,00±10,44 19,33±11,93 24,67±11,60 b
Rataan 36,83±10,50 29,33±10,21 33,08±10,62
Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05).
Berdasarkan analisis ragam, jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap netrofil. Nilai netrofil jantan (39,67%±7,03%) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (24,67%±11,60%). Jumlah netrofil di dalam darah meningkat cepat apabila terjadi infeksi yang akut. Jumlah netrofil dari jantan dan betina berada pada