• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Aplikasi Bakteri Endofit dan PGPR terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Rumah Kaca

Laju pertambahan tinggi tanaman

Pengukuran laju pertambahan tinggi tanaman di rumah kaca dilakukan pada dua musim tanam yaitu musim kemarau dan penghujan. Pengukuran dilakukan setiap satu minggu sekali selama 5 minggu. Pengukuran terhadap laju pertambahan tinggi tanaman dilakukan untuk mengetahui apakah agens biokontrol yang diberikan berpengaruh terhadap pemacuan pertambahan tinggi tanaman atau tidak.

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman baik pada musim kemarau maupun penghujan (Tabel 1 & 2). Meskipun pada beberapa minggu terdapat huruf yang berbeda antar perlakuan, namun tidak dikatakan berbeda nyata karena berdasarkan hasil analisis ragam nilai dari Pr>F lebih dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5%. Hal tersebut disebabkan adanya keragaman data yang tinggi. Pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata, namun agens biokontrol yang diaplikasikan tidak memberikan efek negatif terhadap tanaman. Hal tersebut dikarenakan agens biokontrol tidak menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil meskipun terjadi penekanan laju pertambahan tinggi tanaman pada beberapa perlakuan. Berdasarkan uji lanjut dengan Dunnett baik pada musim kemarau maupun penghujan tidak terdapat perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol.

Pada musim kemarau, laju pertambahan tinggi tanaman tomat relatif lebih rendah (Tabel 1) dibandingkan dengan laju pertambahan tinggi pada musim penghujan (Tabel 2). Hal ini kemungkinan terjadi karena di dalam rumah kaca suhu relatif lebih tinggi sehingga tanah menjadi cepat kering dan kebutuhan air meningkat. Pada musim penghujan kondisi lingkungan lebih mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Suhu di dalam rumah kaca relatif lebih rendah sehingga tanaman tumbuh lebih nyaman.

22 Berdasarkan nilai AUHPGC pada Tabel 1 dan Tabel 2, yang menunjukkan laju pertambahan tinggi tanaman total selama pengamatan, perlakuan yang cenderung mampu memacu pertambahan tinggi tanaman pada musim kemarau adalah perlakuan kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit isolat BC10 (P1BC10). Nilai AUHPGC pada perlakuan P1BC10 paling besar yaitu sebesar 26 cm hari. Pada musim penghujan nilai AUHPGC yang terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit isolat BC10 (B12BC10) sebesar 153 cm hari. Nilai AUHPGC paling rendah pada musim kemarau terlihat pada kontrol yaitu sebesar 7 cm hari sedangkan pada musim penghujan nilai AUHPGC paling rendah terjadi pada perlakuan B. subtilis

AB89 (B12) sebesar 92 cm hari.

Berdasarkan nilai AUHPGC dari dua musim tanam diperoleh hasil yang tidak konsisten. Pada musim kemarau perlakuan yang cenderung lebih baik memacu tinggi tanaman yaitu kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit isolat BC10 (P1BC10) sedangkan pada musim penghujan yaitu kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit isolat BC10 (B12BC10). Untuk meningkatkan potensi dari agens biokontrol ini salah satunya yaitu dengan menambah frekuensi aplikasi.

Dalam penelitian ini terlihat jelas bahwa pada musim penghujan (Tabel 2) aplikasi bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 (P1) dengan bakteri endofit cenderung menurunkan laju pertambahan tinggi tanaman. Karena aplikasi tunggal

P. fluorescens RH4003 (P1) mampu memacu pertambahan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan aplikasi P. fluorescens RH4003 (P1) secara kombinasi. Namun, bakteri PGPR B. subtilis AB89 (B12) justru menunjukkan sinergis jika dikombinasikan dengan bakteri endofit. Perlakuan kombinasi antara B. subtilis

AB89 (B12) dan bakteri endofit mampu memacu pertambahan tinggi lebih besar dibandingkan aplikasi B. subtilis AB89 (B12) secara tunggal.

Tabel 1 Laju pertambahan tinggi tanaman tomat pada berbagai perlakuan bakteri PGPR dan endofit secara tunggal dan kombinasi serta nilai AUHPGC di rumah kaca pada musim kemarau

*) AUHPGC= Area Under Height of Plant Growth Curve. **)

Kode isolat bakteri: P1= Pseudomonas fluorescens RH4003, B12= Bacillus subtilis AB89, BC4= Staphylococcus epidermidis, BC10= bakteri endofit isolat BC10, BL10= Bacillus amyloliquefaciens, K= kontrol.

**)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Perlakuan

Laju pertambahan tinggi tanaman (cm)

AUHPGC*) ( cm hari )

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu V

P1**) 2.1 ± 0.8ab***) 5.4 ± 1.6b 7.0 ± 1.9ab 6.5 ± 1.6b 2.8 ± 0.6ab 10

B12 2.2 ± 0.2ab 6.5 ± 1.0ab 6.4 ± 2.9ab 11.5 ± 7.6ab 4 ± 2.0ab 14

BC4 3.0 ± 0.9ab 6.4 ± 0.4ab 4.4 ± 2.8b 9.9 ± 1.3ab 4.2 ± 0.2ab 15

BC10 1.9 ± 1.4ab 6.1 ± 3.1ab 8.9 ± 1.1a 9.1 ± 4.3ab 3.2 ± 0.9ab 11

BL10 2.1 ± 0.4ab 5.5 ± 1.1b 6 ± 3.2ab 11 ± 1.2ab 4.4 ± 3.1ab 15

P1BC4 1.6 ± 0.5b 6.9 ± 0.6ab 7.1 ± 1.0ab 8.9 ± 2.3ab 3.2 ± 1.0ab 11

P1BC10 3.8 ± 1.6a 9.0 ± 1.6a 6.4 ± 1.7ab 8.7 ± 3.9ab 7.4 ± 6.1a 26

P1BL10 2.1 ± 1.5ab 6.4 ± 2.0ab 6.9 ± 1.5ab 9.6 ± 0.8ab 2.3 ± 0.2b 8

B12BC4 2.2 ± 1.1ab 5.8 ± 1.2ab 6.2 ± 2.8ab 8.4 ± 2.9ab 3.8 ± 3.1ab 13

B12BC10 2.9 ± 2.0ab 6 ± 0.7ab 5.8 ± 1.8ab 12 ± 0.7a 4.2 ± 1.9ab 15

B12BL10 2.2 ± 0.4ab 8.1 ± 2.0ab 6.7 ± 1.2ab 9.4 ± 1.5ab 3 ± 1.0ab 11

K 2.0 ± 1.1ab 6.5 ± 3.2ab 4.6 ± 1.0b 9.3 ± 3.1ab 2.1 ± 0.9b 7

24 Tabel 2 Laju pertambahan tinggi tanaman tomat pada berbagai perlakuan bakteri PGPR dan endofit secara tunggal dan kombinasi serta

nilai AUHPGC di rumah kaca pada musim penghujan

Perlakuan Laju pertambahan tinggi tanaman (cm) AUHPGC*)

(cm hari)

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu V

P1**) 19.4 ± 1.3a***) 22.7 ± 8.8a 23.7 ± 6.3a 15.4 ± 2.0a 35 ± 4.6abc 123

B12 19.3 ± 1.2a 20.6 ± 4.7a 20.6 ± 3a 11.6 ± 3.0a 26.4 ± 2.0c 92

BC4 17.6 ± 2.5a 19.1 ± 6.4a 19.1 ± 7.7a 14.3 ± 4.4a 30.2 ± 5.7bc 106

BC10 18.7 ± 1.0a 20.5 ± 2.4a 19.5 ± 3.8a 15.6 ± 2.2a 39.2 ± 7.9ab 137

BL10 17.2 ± 3.4a 20.2 ± 5.0a 19.9 ± 2.6a 13.1 ± 2.4a 30.9 ± 7.6bc 108

P1BC4 19.9 ± 3.1a 21.4 ± 9.8a 21 ± 10.2a 12.8 ± 3.2a 30.1 ± 6.7bc 105

P1BC10 17.6 ± 3.0a 17.8 ± 3.6a 19.3 ± 4.3a 12.0 ± 4.8a 27.3 ± 12.1c 96

P1BL10 20 ± 1.6a 17.6 ± 0.8a 17.2 ± 4a 13.7 ± 2.6a 32 ± 5.2bc 112

B12BC4 19.6 ± 0.7a 23.1 ± 7.2a 22 ± 3.8a 12.8 ± 0.5a 30.3 ± 8.7bc 106

B12BC10 19.5 ± 1.1a 21.9 ± 2.5a 21.4 ± 0.8a 15.3 ± 2.0a 43.7 ± 8.1a 153

B12BL10 20 ± 0.2a 21.3 ± 2.2a 22.1 ± 1.1a 15.4 ± 1.3a 36.7 ± 6.1abc 128

K 18.7 ± 1.4a 22 ± 3.3a 21.2 ± 4.4a 14.8 ± 1.1a 38.8 ± 7.2ab 136

*)

AUHPGC = Area Under Height of Plant Growth Curve.

*)

Kode isolat bakteri: P1= Pseudomonas fluorescens RH4003, B12= Bacillus subtilis AB89, BC4= Staphylococcus epidermidis, BC10= bakteri endofit isolat BC10, BL10= Bacillus amyloliquefaciens, K= kontrol.

**)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

25 Kejadian Penyakit Layu Bakteri

Pengamatan terhadap kejadian penyakit layu bakteri di rumah kaca dilakukan selama 9 minggu. Data yang disajikan merupakan data tiap minggu meskipun sebenarnya pengamatan terhadap kejadian penyakit layu bakteri dilakukan setiap dua hari sekali. Hal itu dikarenakan tidak terjadi peningkatan gejala layu bakteri yang cukup mencolok. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata- rata tingkat kejadian penyakit layu bakteri menunjukkan angka yang rendah. Hal tersebut berarti tanaman yang terserang penyakit layu bakteri terjadi dalam jumlah yang cukup rendah. Rendahnya tingkat kejadian penyakit layu bakteri di rumah kaca dapat terjadi karena beberapa kemungkinan seperti: populasi R. solanacearum yang rendah sehingga tidak menunjukkan gejala layu bakteri, R. solanacearum kurang aktif masuk ke dalam jaringan tanaman, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung bagi perkembangan R. solanacearum

misalnya intensitas hujan yang cukup tinggi ketika dilakukan penelitian karena R. solanacearum tidak menyukai kondisi yang terlalu basah atau lembab dan jarak tanam antar tanaman yang cukup rapat sehingga mengakibatkan terjadinya kelembaban dalam rumah kaca. Bakteri R. solanacearum merupakan patogen yang unik karena patogen ini kisaran inangnya sangat luas, dapat mengakibatkan kegagalan panen hingga 50%, dan R. solanacearum merupakan bakteri patogen yang cepat kehilangan virulensinya sehingga cukup sulit untuk membiakkan R. solanacearum.

Berdasarkan hasil analisis ragam dengan uji lanjut Duncan (Tabel 3), perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata dalam menghambat perkembangan penyakit layu bakteri. Berdasarkan uji lanjut dengan Dunnett tidak terdapat pula pengaruh dari masing-masing perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol. Meskipun tidak berbeda nyata, agens biokontrol yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bakteri endofit dan PGPR juga tidak memberikan efek negatif bagi tanaman. Perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak terhambat akibat adanya agens biokontrol.

Tabel 3 Kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri PGPR dan endofit secara tunggal dan kombinasi serta nilai AUDPC di rumah kaca pada musim penghujan

*)

AUDPC = Area Under Disease Progress Curve.

**)

Kode isolat bakteri: P1= Pseudomonas fluorescens RH4003, B12= Bacillus subtilis AB89, BC4= Staphylococcus epidermidis, BC10= bakteri endofit isolat BC10, BL10= Bacillus amyloliquefaciens, K= kontrol.

***)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Perlakuan Kejadian penyakit

AUDPC*) (% hari) Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu V Minggu VI Minggu VII Minggu VIII Minggu IX

P1**) 0a***) 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 23.1a 13.3 ± 23.1a 13.3 ± 23.1a 13.3 ± 23.1a 13.3 ± 23.1a 46.6 B12 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 46.6 BC4 0a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 23.5 BC10 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 20.0 ± 20a 70.0

BL10 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 6.7 ± 11.5a 23.5

P1BC4 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0.0

P1BC10 0a 0a 0a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 46.6 P1BL10 0a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 20.0 ± 0a 20.0 ± 0a 20.0 ± 0a 20.0 ± 0a 20.0 ± 0a 70.0 B12BC4 0a 0a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 20.0 ± 0a 70.0

B12BC10 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 0a 6.7 ± 11.5a 23.5

B12BL10 0a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 13.3 ± 11.5a 20.0 ± 20a 70.0 K 0a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 6.7 ± 11.5a 20.0 ± 0a 70.0

27 Pada minggu pertama pengamatan, tanaman belum banyak yang menunjukkan gejala layu bakteri dan baru terlihat pada dua perlakuan yaitu B. subtilis AB89 (B12) dan bakteri endofit isolat BC10 dengan masing-masing rata- rata kejadian penyakitnya 6,7%. Rata-rata kejadian penyakit dari minggu ke minggu tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu mencolok, rata-rata kejadian penyakit yang terjadi di rumah kaca hanya berkisar pada 6,7%; 13,3%; dan 20%. Total rata-rata tingkat kejadian penyakit selama pengamatan berdasarkan nilai AUDPC yang terendah yaitu sebesar 0 % hari pada perlakuan kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit Staphylococcus epidermidis (P1BC4) dan AUDPC tertinggi sebesar 70 % hari pada beberapa perlakuan bakteri endofit isolat BC10, kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit

Bacillus amyloliquefaciens (P1BL10), kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit S. epidermidis (B12BC4), kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (B12BL10), dan kontrol.

Berdasarkan hasil analisis ragam dan nilai AUDPC, tanaman dengan perlakuan kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit S. epidermidis (P1BC4) belum menunjukkan gejala layu bakteri sampai minggu kesembilan setelah aplikasi. Namun, dalam penelitian ini P1BC4 tidak dapat dikatakan sebagai agens biokontrol yang berpotensi atau mampu menghambat perkembangan layu bakteri meskipun kejadian penyakitnya 0%. Karena dalam penelitian ini secara keseluruhan tingkat kejadian penyakitnya cukup rendah. R.

solanacearum kurang berkembang dengan baik sehingga tanaman yang

menunjukkan gejala layu bakteri hanya sedikit.

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa bakteri patogen R. solanacearum kurang menunjukkan pertumbuhan yang baik sehingga tanaman yang terserang layu bakteri cukup sedikit jumlahnya, hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut Agrios (1988) perkembangan R. solanaceraum dapat dipengaruhi oleh keadaan inang atau keadaan sekelilingnya sehingga gejala layu bakteri akan muncul dalam waktu yang cukup lama.

Nilai AUDPC bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 lebih rendah dibandingkan nilai AUDPC pada kontrol. Nilai AUDPC pada P.

28

fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 masing-masing yaitu sebesar 46,6 % hari sedangkan pada kontrol sebesar 70 % hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 memiliki potensi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Menurut Nawangsih (2006) kedua isolat bakteri PGPR yang digunakan yaitu P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 mampu menekan penyakit layu bakteri pada tomat. Beberapa penelitian lain juga mengemukakan bahwa P. fluorescens dan B. subtilis memiliki kemampuan dalam mengendalikan penyakit, seperti yang dikemukakan oleh Ratih & Eviyati (2007) bahwa kedua bakteri tersebut mampu menghambat perkembangan bakteri Xanthomonas campestris pv. glycines penyebab pustul pada kedelai. Khalimi & Wirya (2009) menyatakan bahwa Pseudomonas

aeruginosa sebagai bakteri PGPR mampu menghambat pertumbuhan enam

cendawan patogen, dan penelitian yang dilakukan oleh Chrisnawati et al. (2009) menunjukkan bahwa gabungan antara bakteri PGPR Bacillus spp. Bc 26 dan

Pseudomonas fluorescens Pf 101 mampu mengendalikan layu bakteri pada nilam. Pengendalian penyakit di lapangan menggunakan mikroorganisme sering mengalami kendala antara lain disebabkan oleh kolonisasi dari bakteri PGPR pada akar cukup rendah dan karena adanya persaingan tempat maupun nutrisi dengan bakteri patogen. Menurut Soesanto (2008) B. subtilis mengalami kesulitan utama yaitu pengendalian sering sangat beragam dengan hasil sangat berbeda di lokasi yang berbeda dan pengaruh metabolit sekunder yang dihasilkan P. fluorescens pada umumnya menunjukkan keberhasilan di laboratorium, sedangkan di lapangan belum tentu berhasil. Salah satu cara untuk meningkatkan potensi PGPR dalam menekan perkembangan penyakit yaitu dengan menambah frekuensi aplikasi agens biokontrol pada tanaman sehingga memungkinkan semakin tingginya kolonisasi PGPR pada akar. Menurut Soesanto (2008) pengkolonian akar oleh PGPR lebih awal akan mencegah pengkolonian akar oleh mikroba patogen. PGPR harus menempati niche yang sama dengan patogen untuk meningkatkan kemampuan PGPR dalam mengendalikan penyakit (Kloepper 1991).

Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Damayanti (2010). Pada penelitian sebelumnya dilakukan

29 pengujian terhadap kemampuan bakteri endofit dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat di rumah kaca. Bakteri endofit yang digunakan dalam pengujian diaplikasikan secara tunggal (tidak dikombinasikan dengan bakteri PGPR). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa bakteri endofit S.

epidermidis (BC4) mampu memberikan penekanan terbaik terhadap

perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat yaitu sebesar 66,67%. Dan dalam penelitian ini bakteri endofit S. epidermidis (BC4) menunjukkan nilai AUDPC yang lebih rendah dari kontrol meskipun sama besar dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10) yaitu sebesar 23,5 % hari.

Masa inkubasi penyakit layu bakteri

Pada Tabel 4 terlihat bahwa R. solanacearum pada masing-masing perlakuan memiliki masa inkubasi yang berbeda-beda. Gejala layu bakteri rata- rata mulai muncul pada 17 hari setelah pindah tanam (hst). Penghitungan masa inkubasi ini dimulai dari pindah tanam bibit ke polybag. Masa inkubasi R. solanacearum yang paling cepat adalah 15 (hst). Pada tabel tersebut terlihat bahwa tanaman yang diberi bakteri PGPR B. subtilis AB89 (B12) dan bakteri endofit isolat BC10 menunjukkan gejala layu bakteri lebih cepat dibandingkan perlakuan lain yaitu pada 15 hst. Masa inkubasi penyakit layu bakteri pada tanaman yang diberi kedua agens biokontrol tersebut lebih cepat dari kontrol yang baru menunjukkan gejala layu bakteri pada 17 hst. Tetapi kedua isolat bakteri tersebut (B12 dan BC10) mampu menekan perkembangan R. solanacearum lebih lama jika diaplikasikan secara kombinasi yaitu antara B. subtilis AB89 (B12) dengan bakteri endofit S. epidermidis (BC4), bakteri endofit isolat BC10, dan dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10). Bakteri endofit isolat BC10 mampu menekan perkembangan R. solanacearum lebih lama jika diaplikasikan secara kombinasi yaitu antara bakteri endofit isolat BC10 dengan bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 (P1) dan B. subtilis AB89 (B12).

30 Tabel 4 Masa inkubasi penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri PGPR dan endofit secara tunggal dan kombinasi di rumah kaca pada musim penghujan

Perlakuan

Masa inkubasi

(hari setelah tanam) Perlakuan

Masa inkubasi (hari setelah tanam)

P1*) 17 P1BC10 29 B12 15 P1BL10 17 BC4 17 B12BC4 25 BC10 15 B12BC10 57 BL10 61 B12BL10 17 P1BC4 > 63 K 17 *)

Kode isolat bakteri: P1= Pseudomonas fluorescens RH4003, B12= Bacillus subtilis AB89, BC4= Staphylococcus epidermidis, BC10= bakteri endofit isolat BC10, BL10= Bacillus

amyloliquefaciens, K= kontrol.

Bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10) menunjukkan masa inkubasi yang lebih lama jika diaplikasikan secara tunggal dibandingkan secara kombinasi dengan bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 (P1) dan B. subtilis AB89 (B12). Dalam percobaan ini terdapat tiga perlakuan yang menunjukkan masa inkubasi yang lebih lama. Ketiga perlakuan tersebut yaitu kombinasi antara P. fluorescens

RH4003 dengan bakteri endofit S. epidermidis (P1BC4), bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10), dan kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit isolat BC10 (B12BC10) dengan masing-masing masa inkubasi > 63, 61, dan 57 hst. Tanaman dengan perlakuan kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit S. epidermidis (P1BC4) belum menunjukkan gejala penyakit layu bakteri sampai minggu kesembilan.

Bobot kering tanaman

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemberian bakteri PGPR maupun endofit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman dibandingkan dengan kontrol. Bobot kering tanaman yang lebih besar dibanding perlakuan lain yaitu pada tanaman yang diberi P. fluorescens RH4003 (P1) sebesar 15,9 gram/tanaman. Sedangkan bobot kering tanaman yang paling rendah yaitu pada tanaman dengan perlakuan kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan

31 bakteri endofit isolat BC10 (P1BC10) sebesar 9,4 gram/tanaman. Dalam penelitian ini kombinasi antara P. fluorescens dan B. subtilis dengan bakteri endofit tidak menunjukkan bobot kering yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol bahkan perlakuan dengan B12 (B. subtilis AB89) baik yang diaplikasikan secara tunggal maupun kombinasi tidak lebih besar dari kontrol. Tabel 5 Rata-rata bobot kering tanaman tomat pada berbagai perlakuan bakteri

PGPR dan endofit secara tunggal dan kombinasi di rumah kaca pada musim penghujan Perlakuan Bobot kering (gram/tanaman) Perlakuan Bobot kering (gram/tanaman) P1*) 15.9 ± 7.7a**) P1BC10 9.4 ± 3.8a B12 12.4 ± 3.1a P1BL10 11.7 ± 2.6a BC4 12.7 ± 7a B12BC4 12.4 ± 3a BC10 11.6 ± 0.8a B12BC10 12.6 ± 1.2a BL10 10.8 ± 2.1a B12BL10 11.3 ± 2.4a P1BC4 14.9 ± 9.9a K 13.7 ± 2.8a *)

Kode isolat bakteri: P1= Pseudomonas fluorescens RH4003, B12= Bacillus subtilis AB89, BC4= Staphylococcus epidermidis, BC10= bakteri endofit isolat BC10, BL10= Bacillus

amyloliquefaciens, K= kontrol.

**)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Dalam penelitian ini perlakuan yang diberikan tidak nyata meningkatkan bobot kering tanaman berdasarkan hasil analisis ragam, namun perlakuan yang diberikan juga tidak memberikan efek negatif bagi tanaman. Perlakuan yang diberikan tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh nyata terhadap blok untuk bobot kering tanaman (Tabel 6). Rata-rata bobot kering tanaman pada blok 1 berbeda nyata dengan bobot kering tanaman pada blok 3, sedangkan pada blok 2 tidak berbeda nyata baik dengan blok 1 maupun blok 3. Rata-rata bobot kering tanaman yang lebih besar terdapat pada blok 3 dengan rata-rata 14,7 gram/tanaman. Tanaman pada blok 3 memang lebih besar dan lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan blok lain. Pada blok 1, rata-rata bobot kering tanamannya paling rendah bila dibandingkan dengan blok 3 dan 2, tanaman pada blok 1 lebih kecil ukurannya dan menunjukkan pertumbuhan yang kurang

32 baik. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena tanaman pada blok 1 kurang mendapatkan penyinaran matahari secara sempurna.

Tabel 6 Rata-rata bobot kering tanaman tomat pada setiap blok di rumah kaca pada musim penghujan

**)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Menurut Sudarsono & Malik (2006) kombinasi P. fluorescens dan B. subitilis dengan bokashi mampu meningkatkan bobot kering tanaman kentang, dan menurut Chrisnawati et al. (2009) kombinasi antara Bacillus spp. Bc 26 dengan P. fluorescens Pf 101 mampu meningkatkan bobot kering daun nilam. Bakteri endofit Pseudomonas pseudomallei, Bacillus mycoides dan Klebsiella ozaenae baik yang diaplikasikan secara tunggal maupun kombinasi mampu meningkatkan bobot kering tanaman kentang (Juwita 2010).

Pengaruh Aplikasi Bakteri Endofit dan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Lapangan

Kejadian penyakit layu bakteri di lapangan menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan tingkat kejadian penyakit di rumah kaca yang berarti bahwa tanaman yang terserang layu bakteri lebih banyak terjadi di lapangan (Tabel 7). Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi di lapangan yang lebih heterogen, patogen R. solanacearum memiliki virulensi yang tinggi dan terdapat dalam jumlah yang banyak karena tanah di lapangan merupakan tanah yang pernah ditanami tanaman tomat yang terserang layu bakteri dan kondisi lingkungan yang lebih kompleks seperti suhu udara dan sinar matahari. Patogen R. solanacearum tidak diinokulasikan ke dalam media tanam seperti pada perlakuan di rumah kaca karena tanah di lapangan sudah mengandung patogen R. solanaceraum dari pertanaman tomat sebelumnya. Pada percobaan di lapangan tidak dilakukan pengukuran tinggi tanaman, bobot kering, dan pengamatan masa inkubasi seperti pada pengujian di rumah kaca. Kondisi lapangan yang digunakan dalam

Blok Bobot kering (gram/tanaman)

1 9.7 ± 2.8b*)

2 12.9 ± 2.4ab

33 penelitian ini tidak rata atau tidak datar antar blok, antara blok 1 dengan blok lain agak berlereng.

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan yang berpengaruh nyata hanya pada minggu ketiga baik berdasarkan uji lanjut dengan Duncan maupun Dunnett (Tabel 7 & 8). Meskipun pada minggu-minggu yang lain terdapat huruf yang berbeda antar perlakuan dengan uji lanjut Duncan, namun tidak dikatakan berbeda nyata karena berdasarkan hasil analisis ragam nilai dari Pr>F lebih dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10%. Perlakuan yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan yaitu bakteri endofit S. epidermidis (BC4), kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (P1BL10), dan kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens

(B12BL10) yang masing-masing berbeda nyata dengan kontrol. Rata-rata tingkat kejadian penyakit pada tanaman dengan ketiga perlakuan tersebut secara berturut- turut yaitu 33,3%; 35%; dan 36,7% sedangkan pada kontrol sebesar 65%. Pada Tabel 7 dapat dilihat pula bahwa bakteri endofit S. epidermidis (BC4) berbeda nyata dengan bakteri endofit yang lain yaitu bakteri endofit isolat BC10 dan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10) dengan rata-rata kejadian penyakit pada tanaman dengan bakteri endofit S. epidermidis (BC4) lebih rendah dari kedua isolat bakteri endofit tersebut.

Hasil pengolahan dengan uji lanjut Dunnett merupakan selisih dari masing-masing perlakuan agens biokontol dengan kontrol. Selisih rata-rata antara dua perlakuan yang menunjukkan hasil negatif berarti bahwa kejadian penyakit pada kontrol lebih tinggi dibandingkan kejadian penyakit pada agens biokontrol. Uji lanjut dengan Dunnett menunjukkan bahwa terdapat dua perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol yaitu kombinasi antara P. fluorescens RH4003 dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (P1BL10) dan bakteri endofit S. epidermidis (BC4). Uji Dunnett ini digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing perlakuan terhadap kontrol.

Berdasarkan nilai AUDPC, bakteri endofit S. epidermidis (BC4) menunjukkan potensi yang lebih baik dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri bila dibandingkan dengan bakteri endofit yang lain yaitu bakteri endofit isolat BC10 dan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10). Hal tersebut karena

34 total rata-rata kejadian penyakit (AUDPC) pada tanaman yang diberi bakteri endofit S. epidermidis (BC4) lebih rendah dari tanaman dengan bakteri endofit isolat BC10 dan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (BL10) yaitu sebesar 303,5 % hari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanti (2010) bahwa bakteri endofit S. epidermidis (BC4) mampu menekan kejadian penyakit layu bakteri pada tomat dengan lebih baik dibandingkan bakteri endofit

B. amyloliquefaciens (BL10) dan bakteri endofit isolat BC10. Secara keseluruhan agens biokontrol yang menunjukkan total rata-rata kejadian penyakit (AUDPC) yang paling rendah adalah kombinasi antara B. subtilis AB89 dengan bakteri endofit B. amyloliquefaciens (B12BL10) sebesar 297,5 % hari sedangkan yang tertinggi yaitu pada bakteri endofit isolat BC10 sebesar 344,1 % hari.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa tanaman yang diberi perlakuan kombinasi antara bakteri PGPR dengan bakteri endofit menunjukkan nilai AUDPC yang

Dokumen terkait