• Tidak ada hasil yang ditemukan

Layu Bakteri

Salah satu penyakit yang banyak menyerang tanaman tomat yaitu penyakit layu bakteri. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

(McCarter 2006). Serangan berat penyakit layu bakteri banyak terjadi di daerah beriklim tropis dan subtropis dengan curah hujan tinggi dan temperatur panas. R. solanacearum masuk dan memperbanyak diri melalui pembuluh xylem dalam jaringan tanaman sehingga mengganggu proses translokasi air dan nutrisi, akibatnya tanaman menjadi terkulai layu dan mati (Agrios 1988). Tanaman yang pertama layu terjadi pada daun paling muda selama suhu panas (AVRDC 2004), selanjutnya dalam waktu 7-25 hari tanaman akan mati (Nasrun et al. 2007). Tanaman yang terinfeksi dapat kembali segar untuk sementara pada sore hari ketika suhu udara menjadi lebih dingin. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba tanaman menjadi layu permanen. Akar dan bagian bawah dari batang berwarna cokelat pada sistem pembuluhnya, warna cokelat pada berkas pembuluh tersebut akan terlihat jika akar atau batang dipotong/ diiris secara melintang (AVRDC 2004).

Gejala lain dari layu bakteri yaitu jika batang tanaman terserang dipotong dan diletakkan pada suatu wadah kecil yang berisi air maka akan terlihat oose (massa) bakteri seperti benang-benang putih halus yang keluar dari potongan batang tersebut (AVRDC 2004). Ketika keadaan kurang menguntungkan bagi perkembangan penyakit (seperti kondisi yang terlalu dingin dan kering), tanaman yang terinfeksi hanya akan menunjukkan gejala kerdil dan akar adventif berkembang pada batang utama, daun bagian bawah akan menjadi kuning sebelum gejala layu terjadi (AVRDC 2004). Tanaman tampak seolah-olah seperti kekurangan air. Hal ini karena bakteri menyerang pembuluh kayu (xylem) sehingga air dan unsur hara tidak dapat masuk ke dalam tanaman akibat tersumbat oleh massa bakteri (Gunawan 1997). Layu bakteri biasanya muncul pada saat tanaman dalam fase paling rentan yaitu menjelang pembungaan (Nawangsih 2006). R. solanacearum dapat bertahan dalam jaringan tanaman atau berasosiasi

5 dengan inang alternatif seperti Ageratum conyzoides, Crassocephalum crepidiodes, Crotalaria juncea, dan Croton hirtus (Mehan et al. 1994).

Penyakit layu bakteri menyerang tanaman tomat pada berbagai stadia pertumbuhan dan dapat menyebabkan kerugian sampai ± 75% (Gunawan 1997). Penyakit layu bakteri ini kadang-kadang dikelirukan dengan penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti layu Fusarium (AVRDC 2004). Untuk membedakannya, batang tanaman dipotong lalu dimasukkan ke dalam air steril. Jika mengeluarkan lendir maka layu tersebut disebabkan oleh bakteri (McCarter 2006).

Pengendalian Layu Bakteri

Teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan atau mengurangi penyakit layu bakteri yaitu: 1) rotasi tanaman dengan menggunakan tanaman yang bukan termasuk famili Solanaceae (jagung, kubis, wortel) yang dipadukan dengan sanitasi tanah, 2) perbaikan drainase dan irigasi serta pengendalian gulma, 3) pemberian kapur untuk meningkatkan pH tanah sehingga semua unsur hara dapat diserap tanaman, 4) menghindari tanah yang terinfeksi berat dengan cara pergiliran tanaman yang lama dan hindari penyebaran nematoda dengan menggunakan nematisida/ insektisida untuk mengendalikan serangga tanah yang diaplikasikan sebelum tanam (Gunawan 1997). Bustamam (2006) melakukan seleksi mikroba rizosfer antagonis dari tanah “suppressive” yang terinfeksi R. solanacearum, dari hasil isolasi diperoleh beberapa mikroba antagonis yang efektif dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada jahe.

Menurut McCarter (2006) pengendalian layu bakteri pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang telah terinfestasi R. solanacearum sulit dilakukan. Varietas tahan yang berhasil di daerah setempat mungkin akan gagal ketika ditanam di tempat lain. Hal tersebut dapat terjadi karena strain patogen yang berbeda dan keadaan lingkungan yang berbeda. Menurut Sigee (1993) pengendalian layu bakteri banyak menggunakan strain-strain bakteri yang bersifat antagonis terhadap patogen, agens antagonis tersebut dapat berasal dari mikroorganisme alamiah atau strain hasil rekayasa genetik.

6 Pengendalian secara biologi terhadap layu bakteri yang telah dilakukan yaitu dengan menggunakan P. fluorescens dan Bacillus spp. pada nilam (Chrisnawati et al. 2009) serta P. fluorescens dan B. subtilis pada tomat (Nawangsih 2006). Damayanti (2010) menggunakan bakteri endofit untuk menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat. Dari beberapa isolat yang digunakan terdapat tiga isolat yang menunjukkan potensinya dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Ketiga isolat tersebut yaitu BC4, BC10, dan BL10. Tingkat kejadian penyakit dari ketiga isolat tersebut lebih rendah dibandingkan tingkat kejadian penyakit pada perlakuan lain dan kontrol. Sehingga diambil isolat dengan kode BC4, BC10, dan BL10 untuk uji lanjut. Penggabungan Berbagai Jenis Agens Biokontrol

Konsep dari penggunaan agens biokontrol didasarkan pada kemampuan agens biokontrol itu untuk berkolonisasi di rizosfer, untuk menghasilkan antibiotik dalam jaringan tanaman, untuk mendukung perkembangan agens biokontrol, dan mencegah atau menghambat perkembangan patogen (Hayward & Hartman 1994). Berdasarkan hasil pengujian Nawangsih (2006) bahwa P. fluorescens RH4003, Bacillus subtilis AB89 dan B. cereus L32 menunjukkan antagonisme bila diaplikasikan secara bersamaan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kompetisi ruang maupun nutrisi atau agens biokontrol mengeluarkan senyawa yang dapat menghambat populasi maupun kinerja agens biokontrol yang lain. Ketiga agens biokontrol yang digunakan dalam pengujian (B. subtilis AB89, B.cereus L32, dan P. fluorescens RH4003) menghasilkan siderofor sehingga bila diaplikasikan secara bersamaan akan terjadi persaingan antar agens biokontrol dalam mengchelat Fe3+ (Nawangsih 2006).

Persyaratan agar aplikasi dua agens biokontrol atau lebih dapat bekerja secara optimal yaitu: 1) bekerja pada tempat yang berbeda misalnya pada rizosfer atau sisa-sisa bahan organik, 2) memiliki mekanisme pengendalian yang berbeda, misalnya kompetisi dan antibiosis, 3) memerlukan substrat yang berbeda, misalnya lendir tanaman dan bakteri untuk cendawan dan eksudat akar untuk bakteri kelompok pseudomonas, dan 4) kompatibel dengan lingkungan tanah serta

7 perubahan yang terjadi karena peningkatan cara bercocok tanam (Graham & Mitchell 1999 dalam Nawangsih 2006).

Penggabungan P. fluorescens dengan Bacillus spp. juga diuji untuk mengendalikan layu bakteri pada nilam dan diperoleh hasil bahwa kombinasi kedua bakteri tersebut mampu menekan perkembangan layu bakteri, selain itu mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tunas, berat basah daun, dan berat kering daun (Chrisnawati et al. 2009). Sudarsono & Malik (2006) melakukan pengujian untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada kentang dengan mengkombinasikan agens antagonis P. fluorescens dan B. subtilis yang diaplikasikan bersama dengan EM4 dan bokashi. Dari beberapa perlakuan yang diberikan yaitu kombinasi antara P. fluorescens, B. subtilis, dan bokashi mampu memberikan efektifitas pengendalian yang lebih besar daripada perlakuan lain yaitu sebesar 53,13%. Kombinasi tersebut juga memiliki bobot kering yang lebih besar dibanding perlakuan yang lain yaitu sebesar 4,08 gram.

Bakteri Endofit

Bakteri endofit yaitu mikroorganisme yang hidup di dalam jaringan tanaman dan akan bersaing dengan patogen serta keberadaannya dalam jaringan tanaman tidak membahayakan inangnya (Hayward & Hartman 1994; Tan 2001 dalam Radji 2005). Penggunaan endofit yang bersifat antagonis ini memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan penggunaan mikroba antagonis lain, diantaranya yaitu: mikroba endofit sudah terbentuk dalam tanaman yang akan tetap ada atau bertahan selama perkembangan tanaman dan terus memberikan perlindungan bagi tanaman (Hayward & Hartman 1994).

Damayanti (2010) melakukan isolasi bakteri endofit dari tanaman tomat yang berasal dari tiga tempat yaitu Bogor, Cipanas, dan Lembang. Dari hasil isolasi diperoleh sebanyak 49 isolat, 17 diisolasi dari tanaman asal Bogor, 18 isolat dari Cipanas, dan 14 isolat dari Lembang. Masing-masing bakteri endofit memiliki ciri fisik yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan uji reaksi hipersensitif (HR) diketahui bahwa terdapat sejumlah bakteri endofit yang menimbulkan reaksi negatif pada uji tersebut, seperti BC4, BC10, dan BL10 yang akan digunakan dalam penelitian ini. Isolat dengan kode BC4 dan BC10 mampu

8 memberikan penekanan terhadap perkembangan R. solanacearum sebesar 66,67% dan 60% lebih baik dibandingkan dengan BL10.

Isolat Bakteri Endofit BC4

BC4 merupakan isolat untuk bakteri endofit yang diisolasi dari bagian batang bawah tanaman tomat asal Cipanas. Dalam pengujian penghambatan pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro dengan metode dual culture

diperoleh hasil bahwa BC4 membentuk zona bening (zona hambatan) dengan diameter rata-rata terpanjang sebesar 0,5 cm. Karakter biokimia dan fisiologi dari isolat ini yaitu: 1) karakter biokimia; memiliki reaksi positif terhadap uji katalase, strach, glukosa, manitol, laktosa, maltosa, dan salicin, 2) karakter fisiologi; gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, non motil, dapat tumbuh dalam suhu anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase positif. Karakter morfologi dari BC4 yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang, dan ciri lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada medium King’s B (Damayanti 2010). Berdasarkan sekuens 16S rRNA (Nawangsih 7 Maret 2011, komunikasi pribadi) spesies dari isolat BC4 yaitu

Staphylococcus epidermidis. Isolat Bakteri Endofit BC10

BC10 merupakan isolat untuk bakteri endofit yang diisolasi dari bagian batang bawah tanaman tomat asal Cipanas. Dalam pengujian penghambatan pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro dengan metode dual culture

diperoleh hasil bahwa BC10 membentuk zona bening (zona hambatan) dengan diameter sebesar 0,4 cm. Karakter morfologi dari BC10 yaitu: permukaan datar, tepian bergerigi, bentuk bulat, ukuran kecil, dan ciri lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhan pada medium King’s B sedang. Untuk isolat dengan kode BC10 ini belum dilakukan uji untuk mengetahui spesies dan belum dilakukan pengujian terhadap karakter fisiologi dan biokimianya (Damayanti 2010).

Isolat Bakteri Endofit BL10

BL10 merupakan isolat untuk bakteri endofit yang diisolasi dari bagian batang bawah tanaman tomat asal Lembang. Karakter morfologi dari BL10 berdasarkan uji kemampuan penghambatan populasi R. solanacearum yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuknya bulat licin, ukuran sedang, dan ciri

9 lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada media King’s B. Karakter fisiologi dan biokimia dari isolat ini yaitu: 1) karakter biokimia; memiliki reaksi positif terhadap uji katalase, strach, glukosa, manitol, laktosa, maltosa, dan salicin, 2) karakter fisiologi; gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, motilitas dubius, dapat tumbuh dalam suhu anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase negatif (Damayanti 2010). Berdasarkan sekuens 16S rRNA spesies dari isolat BL10 yaitu Bacillus amyloliquefaciens

(Nawangsih 7 Maret 2011, komunikasi pribadi).

Dari hasil pengujian tersebut diketahui bahwa isolat asal Cipanas memiliki zona hambatan yang lebih besar dibandingkan isolat asal Bogor dan Lembang. Oleh karena itu, isolat asal Cipanas lebih besar potensinya untuk dijadikan sebagai bakteri antagonis untuk melawan patogen dalam menekan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Damayanti (2010) juga melakukan uji pengaruh aplikasi bakteri endofit terhadap tinggi tanaman tomat. Dari uji tersebut diketahui bahwa aplikasi bakteri endofit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman.

Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR)

Menurut Soesanto (2008) PGPR merupakan rizobakteri pendukung pertumbuhan tanaman, bakteri PGPR mampu mengkoloni perakaran tanaman. Oleh karena itu, keaktifan pengkolonian akar tersebut, akar dapat menyerap produk mikroba yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi akar serta invasi patogen. Kecepatan pertumbuhan PGPR di sepanjang akar menentukan tingkat persaingan untuk mengkoloni akar. Kemampuan pengkolonian akar oleh PGPR dipengaruhi oleh faktor di dalam tanah dan persaingannya dengan mikroba lain. Menurut Kloepper (1991) pengaruh PGPR terhadap tanaman secara umum terdiri dari dua kategori yaitu: pemacu pertumbuhan tanaman, kelompok Pseudomonas sp. menghasilkan pengkelat Ca2+ yang berguna bagi pertumbuhan tanaman (Soesanto 2008) dan sebagai pengendalian biologi (Kloepper 1991). Beberapa strain PGPR memacu pertumbuhan tanaman secara langsung dengan memproduksi metabolit yang merangsang pertumbuhan tanaman sendiri dari mikroflora tanah.

10 Menurut Soesanto (2008) kelebihan dari PGPR yaitu: a) mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi fitohormon asam indolasetat (IAA), b) antagonisme terhadap mikroba fitopatogen melalui produksi siderofor, glukanase, kitinase, selulase, antibiotika, dan sianida, c) pelarut fosfat mineral dan nutrisi lainnya, d) mengatur produksi etilen pada perakaran, e) menurunkan ketoksinan logam berat. Keaktifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: potensi kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Soesanto 2008).

Menurut Glick & Pasternak (2003) keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada tanaman; meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah, menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman; mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman; dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu perkembangbiakan sel tanaman (Glick & Pasternak 2003). Keuntungan PGPR secara tidak langsung terjadi ketika strain mikroba bermanfaat mencegah pertumbuhan patogen dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman. PGPR menghasilkan siderofor yang menghasilkan strain bermanfaat untuk mencegah perkembangan fitopatogen (Glick & Pasternak 2003).

B. subtilis AB89

Nawangsih (2006) menggunakan isolat B. subtilis AB89 untuk menghambat perkembangan bakteri patogen R. solanacearum pada tomat. Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. Bacillus subtilis AB89 positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006). Siderofor dari bahasa Yunani berarti pembawa ion besi, siderofor akan muncul pada saat kondisi lingkungan dengan ion Fe3+ terbatas dan mengakibatkan besi tidak tersedia bagi patogen.

Menurut Nawangsih (2006) B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian

11 antara lain yaitu: menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroxidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al. 2001 dalam Nawangsih 2006).

P. fluorescens RH4003

Isolat P. fluorescens RH4003 menurut Nawangsih (2006) tidak menghasilkan zona hambatan pada media NA tetapi pada media King’s B dan CPMA –Ca2+ menunjukkan adanya zona hambatan. Luas zona hambatan dipengaruhi oleh jenis media. Media King’s B merupakan media yang memiliki kandungan Fe yang sangat rendah, hal tersebut sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Isolat RH4003 membentuk zona hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose. Pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat RH4003 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri, indeks penekanan oleh isolat RH4003 yaitu sebesar 62%.

Berdasarkan hasil sekuensing parsial 16S rDNA, isolat RH4003 memiliki kesamaan 98% dengan P. fluorescens. Karakter fisiologi RH4003 yaitu gram negatif, tidak membentuk spora, menghasilkan senyawa floresen pada medium King’s B agar, Levan negatif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif, tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 0C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D- galaktosa serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif, dan sukrosa positif lemah (Nawangsih 2006).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 – Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca serta di Kebun Percobaan, University Farm, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bakteri endofit yang digunakan diperoleh dari penelitian sebelumnya yang diisolasi dari batang tanaman tomat sehat di wilayah Bogor, Cipanas, dan Lembang yaitu isolat dengan kode BL10, BC4, dan BC10 (Damayanti 2010). Bakteri PGPR yang digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens RH4003 dan

Bacillus subtilis AB89 yang merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB (Nawangsih 2006). Bakteri Ralstonia solanacearum diisolasi dari tanaman tomat yang terserang layu bakteri, tanaman sampel berasal dari Lembang, Bandung. Dalam penelitian digunakan pula tanah dari lapangan yang telah mengandung bakteri R. solanacearum yang diambil di sekitar pertanaman tomat yang terserang layu bakteri dan tanah steril. Digunakan pula pupuk kandang untuk menambah unsur hara tanah. Bahan-bahan kimia yang digunakan terdiri dari media TZC, King’s B Agar (KBA), media cair 523, nutrient agar dan nutrient broth. Benih tomat yang digunakan dalam pengujian adalah varietas Arthaloka. Pot tray dan polybag

digunakan dalam pembibitan dan pengujian tanaman tomat di rumah kaca. Metode Penelitian

Penyiapan tanaman uji

Varietas tomat yang digunakan dalam pengujian yaitu varietas Arthaloka. Media tanam yang digunakan dalam pembibitan yaitu kompos dan sekam dengan perbandingan 1:1. Benih tomat disemai pada pot tray dengan dua benih tiap lubang. Setelah disemai, benih disiram secukupnya kemudian pot tray ditutup menggunakan koran selama dua hari untuk menjaga kelembaban. Bibit disiram

13 setiap dua hari sekali. Setelah berumur tiga minggu bibit tomat dipindah tanam pada polybag untuk aplikasi di rumah kaca dan dipindah tanam ke lahan untuk aplikasi di lapangan. Polybag yang digunakan berdiameter 20 cm dengan media tanam yang terdiri dari tanah, kompos, dan tanah yang telah terinfestasi bakteri R. solanacearum. Tanah dan kompos dicampur lalu disterilkan. Tanah yang terinfestasi bakteri patogen berasal dari lapangan di sekitar pertanaman tomat yang terserang layu bakteri dan ditambah dengan biakan bakteri patogen yang telah diisolasi dari tanaman tomat yang terserang layu bakteri. Suspensi bakteri patogen yang digunakan sebanyak 600 ml dalam media cair 523. Kemudian suspensi terebut dilarutkan dalam 2 liter air. Media tanam tersebut dimasukkan ke dalam polybag dengan susunan dari bawah yang terdiri dari tanah steril ± 6 cm, tanah terinfestasi bakteri patogen ± 9 cm, lalu ditutup lagi dengan tanah steril ± 10 cm.

Isolasi bakteri R. solanacearum

Isolasi bakteri patogen dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Tanaman sampel diperoleh dari Lembang, Bandung. Tanaman dicuci lalu batangnya dipotong melintang. Potongan batang tersebut dicelupkan ke dalam air steril dalam tabung reaksi. Massa bakteri (oose) yang mirip dengan benang-benang putih halus akan keluar dari potongan batang selama beberapa menit. Batang dibiarkan tercelup beberapa saat sampai air steril menjadi keruh. Massa bakteri (oose) patogen dari hasil isolasi diambil sebanyak 100 µl dengan pipet volumetrik dan disebar pada media TZC, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 24-48 jam. Setelah 24-48 jam akan terlihat koloni bakteri patogen seperti pada Gambar 1. Koloni yang digunakan untuk infestasi tanah adalah yang virulen ditandai dengan bentuk koloni berlendir (fluidal) dan dibagian tengah berwarna merah muda.

14

Gambar 1 Hasil isolasi patogen; R. solanacearum pada media TZC Peremajaan bakteri endofit, PGPR, dan bakteri patogen (R. solanacearum)

Bakteri endofit yang digunakan diperoleh dari penelitian sebelumnya yang diisolasi dari batang tanaman tomat sehat yang dipilih diantara tanaman tomat yang terserang parah oleh layu bakteri (Damayanti 2010). Sumber bakteri endofit tersebut diisolasi dari pertanaman tomat di daerah Bogor, Lembang, dan Cipanas. Kode isolat yang digunakan dalam penelitian yaitu BL10, BC4, dan BC10. Bakteri endofit hasil isolasi pada penelian sebelumnya dan bakteri PGPR yang ada di laboratorium disimpan dalam media cair yang mengandung gliserol 20% pada suhu -20 0C. Bakteri endofit dan PGPR diremajakan terlebih dulu pada media nutrient agar dalam cawan petri (Gambar 2). Sebelum digunakan untuk pengujian, bakteri patogen diremajakan pada media King’s B Agar (KBA) dan diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu kamar (Gambar 2). Bakteri patogen diremajakan pada media King’s B untuk dilihat koloni tunggalnya.

15

Gambar 2 Hasil peremajaan bakteri endofit, PGPR, dan R. solanacearum;bakteri endofit Bacillus amyloliquefaciens (BL10) a), bakteri endofit

Staphylococcus epidermidis (BC4) b), bakteri endofit isolat BC10 c), bakteri PGPR B. subtilis AB89 (B12) d), bakteri PGPR P. fluorescens

RH4003 (P1) e), R. solanacearumpada media King’s B f)

Penyiapan suspensi bakteri patogen, endofit, dan PGPR

Permukaan media King’s B Agar yang telah ditumbuhi bakteri patogen disiram dengan 6 ml air steril dan digosok menggunakan jarum ose hingga bakteri terlepas dari media dan membentuk suspensi. Suspensi tersebut diambil sebanyak 6 ml menggunakan pipet volumetrik lalu diinokulasikan ke dalam media cair 523 yang ditambah dengan supernatan daun tomat sebanyak 100 µ l. Kemudian

b a

c d

f e

16 suspensi tersebut dikocok menggunakan shaker selama 24-48 jam. Supernatan dibuat dengan cara mencampur 0,5 gram daun tomat dengan air steril 10 ml lalu ditumbuk dan diambil ekstraknya sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam Eppendorf. Eppendorf yang berisi ekstrak daun tomat disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 25 0C selama lima menit. Suspensi bakteri patogen tersebut disiapkan sebanyak 600 ml.

Bakteri endofit dan PGPR yang digunakan diambil dari stok yang disimpan pada suhu -20 0C. Bakteri tersebut didiamkan beberapa saat sampai mencair. Setelah mencair, suspensi bakteri diambil sebanyak 100 µ l menggunakan pipet volumetrik dan masing-masing bakteri disebar pada permukaan media nutrient agar dalam cawan petri. Cawan yang telah diinokulasi bakteri endofit dan PGPR kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 24-48 jam. Pada permukaan media yang telah ditumbuhi bakteri endofit dan PGPR selanjutnya disiram dengan 5 ml air steril dan digosok menggunakan jarum ose hingga bakteri terlepas dari media agar dan membentuk suspensi. Selanjutnya suspensi tersebut diambil sebanyak 1 ml menggunakan pipet volumetrik dan diinokulasikan ke dalam media cair nutrient broth 250 ml, lalu dikocok menggunakan shaker selama 24-48 jam. Kerapatan bakteri yang digunakan yaitu 108-109 cfu/ml.

Pengujian pengaruh aplikasi bakteri endofit dan PGPR terhadap penyakit layu bakteri pada tomat

Percobaan di Rumah Kaca

Percobaan di rumah kaca dilakukan pada dua musim yaitu musim kemarau (bulan September-November) dan musim penghujan (bulan Desember-Maret). Bibit tomat yang telah berumur 3 minggu disiram akarnya dengan agens biokontrol sesuai perlakuan. Untuk perlakuan tunggal setiap bibit disiram sebanyak 50 ml agens biokontrol dan untuk perlakuan kombinasi disiram sebanyak 25 ml dari masing-masing agens biokontrol yang dikombinasikan. Sebelumnya, agens biokontrol yang akan digunakan dilarutkan terlebih dulu. Suspensi agens biokontrol dalam 250 ml media cair nutrient broth diambil sebanyak 200 ml lalu dilarutkan dalam 1800 ml air. Sehingga diperkirakan

17 populasi bakteri adalah 108-109 cfu/ml. Untuk pelakuan kontrol, bibit tomat

Dokumen terkait