• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Sekolah

Penelitian ini dilaksanakan di dua Sekolah Dasar di Kota Bogor, yaitu SDN Polisi 1 dan SDIT At Taufiq. SDN Polisi 1 berdiri pada tahun 1917, salah satu sekolah tertua di Kota Bogor. Sekolah ini beralamat di Jl. Paledang No. 45, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Bogor. Visi sekolah ini adalah terwujudnya sekolah sehat yang berbudaya lingkungan, berprestasi, berwawasan iptek, berahlakul karimah dengan berlandaskan iman dan taqwa. SDN Polisi 1 memiliki staf dan guru sebanyak 51 orang. Fasilitas belajar yang tersedia adalah runag belajar, ruang guru, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang kesenian, mushola, UKS, ruang tata usaha, dapur, koperasi, kantin dan lapangan olahraga.

SDIT At Taufiq didirikan pada tanggal 14 Juli 2003, beralamat di Jl. Cimanggu Permai I, Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sereal, Bogor. Visi sekolah ini adalah mencetak generasi islami. SDIT At Taufiq memiliki lebih dari 100 tenaga pengajar berkualitas. Gedung sekolahnya memiliki luas sekitar 8000 m2, terdiri dari masjid, lokal TKIT, SDIT, dan SMPIT yang terpisah. Sekolah ini memiliki perpustakaan, lapangan olahraga, koperasi, fasilitas auto

debet payment, fasilitas jemputan dan catering, serta sarana belajar outdoor.

Karakteristik Contoh

Contoh penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas 5 yang terdiri dari 47 siswa laki-laki dan 53 siswa perempuan dengan rata-rata umur contoh adalah 10.9±0.4 tahun. Rata-rata status gizi contoh adalah normal dengan nilai Zscore 0.5±1.5. Uang saku contoh berkisar antara Rp 0–50 000 per hari, dengan

rata-ratanya adalah Rp 7 324±5 879. Karakteristik contoh berdasarkan kategori status gizi (normal dan kegemukan) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik contoh berdasarkan status gizi Karakteristik

Contoh

Normal Kegemukan Total

p n % n % n % Jenis kelamin Laki-laki 31 50 16 42.1 47 47 0.445 Perempuan 31 50 22 57.9 53 53 Umur (tahun) 10-11 11 17.7 10 26.3 21 21 0.579 >11-12 50 80.6 27 71.1 77 77 >12 1 1.6 1 2.6 2 2 Uang saku (Rp) 0 2 3.2 4 10.5 6 6 0.327 >0–5 000 33 53.2 12 31.6 45 45 >5 000–10 000 21 33.9 17 44.7 38 38 >10 000–15 000 6 9.7 3 7.9 9 9 >15 000 0 0 2 5.3 2 2

Berdasarkan uji beda Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, umur dan uang saku berdasarkan status gizi contoh. Sebagian besar contoh dengan status gizi normal (53.2%), menerima uang saku sebesar Rp 0–5 000, sedangkan sebagian besar contoh dengan status gizi lebih/kegemukan (44.7%), menerima uang saku sebanyak Rp 5 000–10 000. Semakin besar uang saku yang diperoleh seorang anak, kemungkinan anak tersebut membeli dan mengonsumsi makanan dan minuman dalam jumlah banyak atau mahal semakin tinggi, sehingga kemungkinan terjadi status gizi lebih juga semakin tinggi (Hadi 2005). Namun berdasarkan uji korelasi Spearman, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara uang saku dengan status gizi (p=0.085). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Oktaviani et al. (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara uang saku dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Kemungkinan tidak terdapatnya hubungan yang signifikan pada penelitian ini adalah karena contoh yang berasal dari sekolah dasar swasta banyak yang tidak memperoleh uang saku karena adanya fasilitas catering bagi siswa. Karakteristik contoh berdasarkan kategori status sekolah (negeri dan swasta) disajikan pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Karakteristik contoh berdasarkan status sekolah Karakteristik

Contoh

Negeri Swasta Total

p n % n % n % Status gizi Normal 31 60.8 31 63.3 62 62 0.965 Kegemukan 20 39.2 18 36.7 38 38 Uang saku (Rp) 0 0 0 6 12.2 6 6 0.000 >0–5 000 18 35.3 27 55.1 45 45 >5 000–10 000 24 47.1 14 28.6 38 38 >10 000–15 000 7 13.7 2 4.1 9 9 >15 000 2 3.9 0 0 2 2

12

Berdasarkan uji beda Independent sample t test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan status sekolah. Namun, berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan pada uang saku berdasarkan status sekolah. Sebagian besar (47.1%) uang saku contoh di sekolah dasar negeri adalah Rp 5 00010 000 dan tidak ada (0%) contoh yang tidak menerima uang saku, sedangkan sebagian besar (55.1%) uang saku contoh di sekolah dasar swasta adalah Rp 05 000 dan terdapat 12.2% contoh tidak menerima uang saku. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya fasilitas

catering di sekolah dasar swasta, sehingga orang tua contoh tidak memberikan

uang saku dalam jumlah banyak, bahkan 12.2% contoh tidak diberi uang saku.

Karakteristik Keluarga

Menurut Behrman et al. (2000), obesitas pada masa anak berhubungan kuat dengan variabel keluarga, termasuk obesitas orang tua, status sosioekonomik yang lebih tinggi, bertambahnya pendidikan orang tua, ukuran keluarga kecil dan pola aktivasi keluarga yang rendah. Karakteristik keluarga yang diamati pada penelitian ini adalah pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua, serta besar keluarga. Pendidikan orang tua dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana dan Pascasarjana. Berikut tabel pendidikan orang tua berdasarkan kategori status gizi contoh.

Tabel 5 Pendidikan orang tua berdasarkan kategori status gizi

Pendidikan Normal Kegemukan Total p

n % n % n % Ayah SD 0 0 0 0 0 0 0.113 SMP 1 2.1 0 0 1 1.3 SMA 10 21.3 2 6.9 12 15.8 Diploma 8 17 5 17.2 13 17.1 Sarjana 21 44.7 16 55.2 37 48.7 Pascasarjana 7 14.9 6 20.7 13 17.1 Ibu SD 1 2.1 0 0 1 1.3 0.199 SMP 2 4.3 0 0 2 2.6 SMA 16 34 6 20.7 22 28.9 Diploma 9 19.1 8 27.6 17 22.4 Sarjana 15 31.9 14 48.3 29 38.2 Pascasarjana 4 8.5 1 3.4 5 6.6

Sebagian besar pendidikan ayah pada contoh dengan status gizi normal maupun kegemukan adalah sarjana, paling sedikit berpendidikan SMP pada contoh normal dan SMA pada contoh kegemukan. Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga karena pendidikan berhubungan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendidikan maka pendapatan pun semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi memberikan kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food. Namun berdasarkan uji beda Mann Whitney, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ayah

berdasarkan status gizi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pramudita (2011) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pendidikan ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.

Menurut Pahlevi (2012), masukan gizi anak sangat tergantung pada sumber-sumber yang ada di lingkungan sosialnya, salah satunya ibu. Tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi akan memudahkan seorang ibu dalam menyerap informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu berdasarkan status gizi. Begitu pun uji korelasi Spearman tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p=0.201) antara pendidikan ibu dengan status gizi. Pekerjaan orang tua berdasarkan kategori status gizi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pekerjaan orang tua berdasarkan kategori status gizi

Pekerjaan Normal Kegemukan Total p

n % n % n % Ayah Tidak bekerja 0 0 0 0 0 0 0.667 PNS/Polisi/ABRI 10 21.3 7 24.1 17 22.4 Karyawan swasta 22 46.8 14 48.3 36 47.4 Buruh 1 2.1 0 0 1 1.3 Wiraswasta/pedagang 11 23.4 7 24.1 18 23.7

Jasa (Penjahit, salon) 0 0 0 0 0 0

Lainnya 3 6.4 1 3.4 4 5.3 Ibu Tidak bekerja 29 61.7 15 51.7 44 57.9 0.447 PNS/Polisi/ABRI 6 12.8 3 10.3 9 11.8 Karyawan swasta 6 12.8 8 27.6 14 18.4 Buruh 0 0 0 0 6 7.9 Wiraswasta/pedagang 3 6.4 3 10.3 2 2.6

Jasa (Penjahit, salon) 2 4.3 0 0 0 0

Lainnya 1 2.1 0 0 1 1.3

Sebagian besar pekerjaan ayah, baik pada contoh dengan status gizi normal maupun kegemukan adalah karyawan swasta, sebagian kecil ayah bekerja sebagai buruh pada contoh normal dan dokter (lainnya) pada contoh kegemukan. Sebagian besar ibu tidak bekerja baik pada contoh dengan status gizi normal maupun kegemukan. Sebagian kecil ibu bekerja sebagai notaris (lainnya) pada contoh normal dan wiraswasta/pedagang pada contoh kegemukan. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status gizi. Selanjutnya, pendapatan orang tua berdasarkan kategori status gizi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pendapatan orang tua berdasarkan kategori status gizi

Pendapatan (Rp) Normal Kegemukan Total p

n % n % n % 1 000 000–5 000 000 18 38.3 8 27.6 26 34.2 0.517 >5 000 000–10 000 000 18 38.3 14 48.3 32 42.1 >10 000 000–15 000 000 6 12.8 4 13.8 10 13.2 >15 000 000 5 10.6 3 10.3 8 10.5

14

Pendapatan orang tua contoh (pendapatan ayah dan ibu), berkisar antara Rp 1 000 000 sampai Rp 30 000 000 per bulan, dengan rata-rata pendapatan yaitu Rp 8 990 000±6 754 729. Sebagian besar pendapatan orang tua, baik pada contoh dengan status gizi normal (38.3%) maupun kegemukan (48.3%) adalah Rp 5 000 000–10 000 000 per bulan. Apabila pendapatan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu diatas dan dibawah rata-rata pendapatan sekitar Rp 9 000 000, maka berikut tabel persentasenya.

Tabel 8 Pendapatan orang tua II berdasarkan kategori status gizi

Pendapatan (Rp) Normal Kegemukan Total

n % n % n %

<9 000 000 30 63.8 17 58.5 47 61.8

≥9 000 000 17 36.2 12 41.4 29 38.2

Berdasarkan Tabel 8, pendapatan orang tua yang diatas rata-rata pendapatan yaitu Rp 9 000 000 paling banyak terdapat pada contoh kegemukan (41.4%). Pendapatan merupakan pengaruh yang kuat terhadap status gizi. Setiap kenaikan pendapatan umumnya mempunyai dampak langsung terhadap status gizi penduduk. Pendapatan merupakan salah satu faktor paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan yang dapat dibeli dan dikonsumsi juga meningkat (Pahlevi 2012).

Berdasarkan uji beda Mann Whitney, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan orang tua berdasarkan status gizi. Hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi orang tua dari kedua kelompok contoh sebagian besar sama, yaitu tergolong menengah ke atas yang mempunyai pendapatan cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pramudita (2011), yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pendapatan keluarga antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes di SD Insan Kamil Bogor. Berdasarkan uji korelasi Spearman, penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p=0.52) antara pendapatan orang tua dengan status gizi. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Parengkuan et

al. (2013), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan

keluarga dengan kejadian obesitas pada anak SD di Kota Manado. Selanjutnya, besar keluarga berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Besar keluarga berdasarkan kategori status gizi Besar keluarga

(orang)

Normal Kegemukan Total

p n % n % n % ≤4 23 48.9 17 58.6 40 52.6 0.15 5─7 23 48.9 11 37.9 34 44.7 ≥8 1 2.1 1 3.4 2 2.6

Berdasarkan BKKBN (2005), besar keluarga dibedakan menjadi tiga kelompok, keluarga kecil yaitu kurang dari sama dengan empat orang, keluarga sedang lima sampai tujuh orang, dan keluarga besar lebih besar sama dengan delapan orang. Semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap

orang akan berkurang. Diduga, anak yang rentan mengalami kegemukan biasanya berasal dari keluarga kecil. Berdasarkan Tabel 9, contoh normal berasal dari keluarga kecil dan sedang dengan presentase yang sama yaitu 48.9%, sedangkan contoh kegemukan sebagian besar (58.6%) berasal dari keluarga kecil.

Berdasarkan uji beda Mann Whitney, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar keluarga berdasarkan status gizi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Karimah (2014), yang menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dari kelompok normal dan gemuk di SD Insan Kamil dan Bina Insani tidak berbeda. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukan bahwa dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang signifikan (p=0.151) antara besar keluarga dengan status gizi. Hal ini sejalan dengan penelitian Deni (2009), yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi contoh di SD Bina Insani Bogor.

Karakteristik keluarga berdasarkan kategori status sekolah yaitu sekolah dasar negeri dan swasta disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Pendidikan dan pekerjaan orang tua berdasarkan kategori status sekolah

Karakteristik keluarga Negeri Swasta Total p

n % n % n % Pendidikan Ayah SD 0 0 0 0 0 0 0.2 SMP 0 0 1 2.9 1 1.3 SMA 9 21.4 3 8.8 12 15.8 Diploma 9 21.4 4 11.8 13 17.1 Sarjana 17 40.5 20 58.8 37 48.7 Pascasarjana 7 16.7 6 17.6 13 17.1 Ibu SD 0 0 1 2.9 1 1.3 0.004 SMP 2 4.8 0 0 2 2.6 SMA 18 42.9 4 11.8 22 28.9 Diploma 8 19 9 26.5 17 22.4 Sarjana 13 31 16 47.1 29 38.2 Pascasarjana 1 2.4 4 11.8 5 6.6 Pekerjaan Ayah Tidak bekerja 0 0 0 0 0 0 0.571 PNS/Polisi/ABRI 12 28.6 5 14.7 17 22.4 Karyawan swasta 16 38.1 20 58.8 36 47.4 Buruh 1 2.4 0 0 1 1.3 Wiraswasta/pedagang 12 28.6 6 17.6 18 23.7

Jasa (Penjahit, salon) 0 0 0 0 0 0

Lainnya 1 2.4 3 8.8 4 5.3 Ibu Tidak bekerja 30 71.4 14 41.2 44 57.9 0.016 PNS/Polisi/ABRI 3 7.1 6 17.6 9 11.8 Karyawan swasta 5 11.9 9 26.5 14 18.4 Buruh 0 0 0 0 0 0 Wiraswasta/pedagang 3 7.1 3 8.8 6 7.9

Jasa (Penjahit, salon) 1 2.4 1 2.9 2 2.6

16

Sebagian besar pendidikan ayah baik pada contoh dari SD negeri maupun swasta adalah Sarjana. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pendidikan ayah berdasarkan status sekolah. Sedangkan pendidikan ibu, sebagian besar (42.9%) adalah SMA pada contoh dari SD negeri dan Sarjana (47.1%) pada contoh dari SD swasta. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pendidikan ibu berdasarkan status sekolah. Pendidikan ibu pada contoh dari SD swasta cenderung lebih tinggi dari contoh yang berasal dari SD negeri.

Pekerjaan ayah pada kedua kelompok contoh sebagian besar adalah karyawan swasta, namun persentasenya lebih besar pada contoh dari SD swasta yaitu 58.8%, sedangkan pada contoh dari SD negeri hanya 38.1%. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pekerjaan ayah berdasarkan status sekolah. Sebagian besar ibu pada kedua kelompok contoh tidak bekerja, namun persentasenya lebih besar pada contoh dari SD negeri yaitu 71.4%, sedangkan pada contoh dari SD swasta adalah 41.2%. Kemudian, ibu pada kedua kelompok contoh paling banyak bekerja sebagai karyawan swasta, namun persentasenya paling banyak pada contoh dari SD swasta yaitu 26.5% sedangkan pada contoh dari SD negeri hanya 11.9%.

Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pekerjaan ibu berdasarkan status sekolah, dimana ibu pada contoh dari SD swasta lebih banyak yang bekerja dibanding contoh dari SD negeri. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pendidikan ibu pada contoh dari SD swasta yang cenderung lebih tinggi dari pendidikan ibu pada contoh dari SD negeri. Pendapatan orang tua berdasarkan status sekolah disajikkan pada Tabel 11.

Tabel 11 Pendapatan orang tua berdasarkan kategori status sekolah

Pendapatan (Rp) Negeri Swasta Total p

n % n % n % 1 000 000–5 000 000 20 47.6 6 17.6 26 34.2 0.002 >5 000 000–10 000 000 14 33.3 18 52.9 32 42.1 >10 000 000–15 000 000 6 14.3 4 11.8 10 13.2 >15 000 000 2 4.8 6 17.6 8 10.5

Pendapatan orang tua contoh dari SD negeri sebagian besar (47.6%) adalah Rp 1 000 000-5 000 000, sedangkan contoh dari SD swasta sebagian besar (52.9%) pendapatan orang tuanya Rp >5 000 000-10 000 000. Kemudian, pendapatan orang tua Rp >10 000 000-20 000 000 dan Rp >20 000 000 lebih banyak dimiliki oleh contoh dari SD swasta. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pendapatan orang tua berdasarkan status sekolah. Hal ini kemungkinan karena contoh dari SD swasta sebagian besar ayahnya bekerja sebagai karyawan swasta dengan pendapatan tinggi dan ibu contoh lebih banyak yang bekerja sehingga menambah pendapatan keluarga.

Selanjutnya, besar keluarga berdasarkan status sekolah disajikan pada Tabel 12. Besar keluarga contoh dari SD negeri sebagian besar (61.9%) adalah ≤4 orang sehingga tergolong keluarga kecil, sedangkan besar keluarga contoh dari SD swasta 52.9% adalah 5-7 orang sehingga tergolong keluarga sedang. Namun,

berdasarkan uji beda Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada besar keluarga berdasarkan status sekolah.

Tabel 12 Besar keluarga berdasarkan kategori status sekolah Besar keluarga

(orang)

Negeri Swasta Total

p n % n % n % ≤4 26 61.9 14 41.2 40 52.6 0.068 5─7 16 38.1 18 52.9 34 44.7 ≥8 0 0 2 5.9 2 2.6

Intake Energi dan Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi

Rata-rata intake energi dan zat gizi per hari contoh berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13 Rata-rata intake energi dan zat gizi per hari berdasarkan status gizi

Energi dan zat gizi Normal Kegemukan p

Energi (kkal) 1656±458 1854±415 0.003

Protein (g) 43.4±14.2 53.9±18.0 0.000

Lemak (g) 57.3±22.6 66.1±21.6 0.008

Intake energi contoh dengan status gizi normal berkisar antara 933-3464

kkal/hari, dengan rata-rata 1656±458 kkal/hari. Intake energi contoh dengan status gizi kegemukan berkisar antara 1222-3136 kkal/hari, dengan rata-rata yang lebih tinggi dari contoh normal yaitu 1854±415 kkal/hari. Kemudian intake protein contoh dengan status gizi normal berkisar antara 22.8-90.8 gram/hari, dengan rata-rata 43.4±14.2 gram/hari. Intake protein contoh dengan status gizi kegemukan berkisar antara 26.5-114.2 gram/hari, dengan rata-rata yang lebih tinggi dari contoh normal yaitu 53.9±18.0 gram/hari. Terakhir, intake lemak contoh dengan status gizi normal berkisar antara 23.1-155.9 gram/hari, dengan rata-rata 57.3±22.6 gram/hari. Intake lemak contoh dengan status gizi kegemukan berkisar antara 31.3-134.8 gram/hari, dengan rata-rata yang juga lebih tinggi dari contoh normal yaitu 66.1±21.6 gram/hari.

Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara intake energi, protein dan lemak pada contoh normal dan kegemukan. Hal ini sejalan dengan penelitian Subiakti (2013), yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan asupan energi, lemak, dan serat pada anak obesitas dan non-obesitas (p<0.05). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Pramudita (2011) yang menunujukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara asupan energi dan lemak anak obes dan anak berstatus gizi normal di SD Bina Insani Bogor.

Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang signifikan (p=0.011) antara intake energi dengan status gizi. Hal ini sejalan dengan penelitian Howarth et al. (2007), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT berhubungan dengan semakin tingginya total intake energi per hari. Kemudian, berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang hampir signifikan antara intake protein (p=0.053) dan intake lemak (p=0.055) dengan status gizi.

18

Hal ini sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012), yang menunjukkan ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi pada anak SD, dan penelitian Kharismawati (2010), yang menunjukkan hubungan antara tingkat asupan lemak dengan status obesitas secara statistik bermakna.

Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan, sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life

style (Kemenkes 2012).

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Konsumsi protein berpengaruh terhadap status gizi anak. Anak membutuhkan protein yang cukup tinggi untuk menunjang proses pertumbuhannya. Namun, apabila asupan protein berlebih, protein akan mengalami deaminase, kemudian nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh. Oleh karena itu, konsumsi protein secara berlebihan dapat menyebabkan kegemukan (Almatsier 2004). Lemak menghasilkan energi lebih besar dibandingkan karbohidrat dan protein, lemak juga sulit dibakar dan lebih mudah disimpan menjadi jaringan lemak, sehingga diet tinggi lemak lebih menggemukkan.

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein dibagi menjadi lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70–79%), defisit tingkat ringan (80–90%), normal (90–119%), dan kelebihan (>120%) (Kementrian Kesehatan 1996). Sedangkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu kurang (<90%) dan cukup (≥90%).

Tingkat Kecukupan Energi

Tingkat Kecukupan Energi (TKE) contoh berdasarkan status gizi disajikan pada Gambar 3 dibawah ini.

35.5% 25.8% 12.9% 19.4% 6.5% 7.9% 23.7% 39.5% 21.1% 7.9%

Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Baik Lebih Tingkat Kecukupan Energi

Normal Kegemukan

Sebagian besar (35.5%) TKE contoh normal tergolong defisit berat dan sebagian besar (39.9%) TKE contoh kegemukan tergolong defisit ringan. Padahal, diduga seseorang memiliki status gizi normal karena TKE tergolong kategori baik, dan seseorang memiliki status gizi lebih karena TKE tergolong kategori lebih. Terjadinya underestimate dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh daya ingat contoh terhadap makanan yang telah dikonsumsi tergolong rendah sehingga banyak makanan yang dikonsumsi tetapi tidak dilaporkan, contoh kurang terbuka (underreport) mengenai makanan yang dikonsumsinya, kemudian tidak menggunakan food model dalam proses wawancara sehingga kemampuan contoh dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah dikonsumsi kurang tepat, begitupun kemampuan enumerator (terdapat 5 enumerator) dalam mengkonversi berat URT ke gram berbeda-beda sehingga ada yang overestimate dan

underestimate.

Persentase TKE contoh kegemukan pada kategori defisit ringan, baik dan lebih selalu lebih tinggi dibandingkan contoh normal. TKE contoh normal berkisar antara 46.6-165% per hari, dengan rata-rata 80.7% atau tergolong kategori defisit ringan. Sedangkan, TKE contoh kegemukan berkisar antara 61.1-156.8% per hari, dengan rata-rata 90.8% atau tergolong kategori baik. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.004) antara TKE contoh normal dengan TKE contoh kegemukan. Begitupun uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0.015) antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012), yang menunjukkan ada hubungan (p=0.0001) antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi pada anak kelas 4,5 dan 6 SDN Ngesrep Semarang.

Tingkat Kecukupan Protein

Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh berdasarkan status gizi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik Tingkat Kecukupan Protein berdasarkan status gizi

Sebagian besar (53.2%) TKP contoh normal tergolong defisit berat, TKP berkisar antara 38.1-162.2% dengan rata-rata 75.1% atau tergolong defisit sedang. Sedangkan TKP contoh kegemukan sebagian besar (26.3%) tergolong baik, TKP berkisar antara 47.3-203.9% dengan rata-rata 91.3% atau tergolong kategori baik. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.001) antara TKP contoh normal dengan TKP contoh kegemukan. Uji

53.2% 12.9% 12.9% 14.5% 6.5% 18.4% 21.1% 18.4% 26.3% 15.8%

Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Baik Lebih Tingkat Kecukupan Protein

20

korelasi Spearman, menunjukkan ada hubungan yang hampir signifikan (p=0.057) antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi contoh. Konsumsi protein yang berlebih dapat memicu timbulnya kegemukan. Tubuh memiliki kapasitas untuk menyimpan protein, apabila berlebih maka akan disimpan dalam bentuk lemak di jaringan adiposa. Namun, kekurangan konsumsi protein juga menimbulkan dampak negatif, seperti terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga terjadi kekerdilan, tulang dan otot yang tidak kuat, dan lain-lain.

Tingkat Kecukupan Zat Besi

Tingkat Kecukupan Zat Besi contoh berdasarkan status gizi disajikan pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5 Grafik tingkat kecukupan zat besi berdasarkan status gizi

Menurut AKG 2013, kebutuhan zat besi bagi laki-laki umur 10-12 tahun adalah 13 mg/hari, sedangkan perempuan umur 10-12 tahun membutuhkan 20 mg zat besi per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intake zat besi dari contoh normal berkisar antara 3-32.4 mg/hari, dengan rata-rata 10.9±4.5 mg/hari. Sedangkan intake zat besi dari contoh kegemukan berkisar antara 4.9-43.2 mg/hari, dengan rata-rata lebih tinggi dari contoh normal, yaitu 12.04±6.4 mg/hari. Kemudian berdasarkan Gambar 5, sebagian besar tingkat kecukupan zat besi pada kedua kelompok contoh tergolong kategori kurang, dengan persentase lebih besar pada contoh normal. Pada penelitian ini, tidak diamati frekuensi contoh dalam mengonsumsi bahan makanan sumber zat besi maupun suplemen zat besi, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti penyebab sebagian besar

Dokumen terkait