• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Piper betle L. dan Piper crocatum Ruiz & Pav yang digunakan untuk penelitian ini telah melalui proses determinasi untuk memastikan daun tanaman yang dipakai benar-benar merupakan daun Piper betle L. dan Piper

crocatum Ruiz & Pav. Hasil determinasi ditunjukkan pada surat keterangan

(Lampiran 1 dan 2).

Daun Piper betle L. dan Piper crocatum Ruiz & Pav yang dipilih didapat dari daerah Sleman Yogyakarta. Daun tersebut kemudian disortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan asing. Tahap selanjutnya adalah dilakukan pencucian untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada daun. Setelah dicuci, daun kemudian dikeringkan dan dipotong melintang. Daun yang sudah dipotong kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu sekitar 400C selama 24 jam untuk mengurangi kadar air simplisia dan memudahkan proses penyerbukan. Selanjutnya, dilakukan penyerbukan dengan menggunakan blender

10

dan serbuk diayak menggunakan ayakan nomor mesh 50 untuk mendapatkan serbuk halus yang akan digunakan untuk proses ekstraksi.

Pada penelitian ini dilakukan penetapan kadar air dengan menggunakan metode destilasi toluena karena bahan uji mengandung minyak atsiri yang tidak tahan dengan suhu tinggi dan bersifat volatil (World Health Organization, 2011). Apabila terdapat kelebihan air pada simplisia akan memudahkan pertumbuhan mikroba, menurunkan mutu simplisia dan menyebabkan kerusakan pada simplisia (Departemen Kesehatan RI, 1985). Kadar air di hitung dengan rumus berikut:

%Kadar air = volume air (ml)

berat simplisia yang ditimbang (g) x 100%

Volume air yang didapat pada penetapan kadar serbuk simplisia daun sirih adalah 0,4 ml dan berat serbuk yang ditimbang 10,3271 gram sehingga % kadar air yang didapat adalah 3,8733%. Volume air yang didapat pada penetapan kadar serbuk simplisia daun sirih merah adalah 0,5 ml dan berat serbuk yang ditimbang 10,2294 gram sehingga % kadar air yang didapat adalah 4,8879%. Kadar air yang baik menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2014) adalah ≤ 10% sehingga kadar air yang didapatkan sudah memenuhi persyaratan tersebut. Gambar penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4.

Ekstraksi serbuk dilakukan dengan metode maserasi. Ekstraksi merupakan pemisahan bagian aktif dari jaringan tanaman dari komponen yang tidak aktif/inert dengan menggunakan pelarut selektif (Pandey and Tripathi, 2014). Metode maserasi dilakukan dengan perendaman bahan tanaman dalam wadah tertutup dengan pelarut. Maserasi dimaksudkan untuk melunakkan dan menghancurkan dinding sel tanaman untuk melepaskan senyawa aktif tanaman yang dapat larut (Handa et al, 2008). Serbuk daun yang sudah diayak dimaserasi menggunakan pelarut metanol 70% karena memiliki kepolaran lebih tinggi daripada metanol 100% sehingga lebih banyak menarik senyawa metabolit sekunder. Maserasi dilakukan selama 24 jam kemudian diremaserasi sebanyak 3 kali. Hasil maserat kemudian disaring menggunakan corong Buchner untuk memisahkan filtrat cair dan serbuk. Hasil ekstraksi kemudian dihilangkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator pada suhu 650C karena titik didih

11

metanol pada suhu tersebut. Selanjutnya hasil ekstrak dipanaskan di waterbath hingga bobot tetap dan didapatkan ekstrak kental. Bobot tetap diperoleh apabila selisih dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan selama 1 jam tidak lebih dari 0,5 gram atau 0,25% dari penimbangan sebelumnya. Penimbangan bobot tetap ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa sudah tidak didapatkan cairan penyari dan didapatkan ekstrak murni. Persen rendemen didapat dengan rumus bobot ekstrak kental (g) dibagi bobot simplisia yang ditimbang (g). Bobot ekstrak kental daun sirih yang didapat adalah 12,5453 gram dan berat serbuk yang ditimbang adalah 60,9073 gram sehingga didapatkan persen rendemen sebesar 20,5973%. Bobot ekstrak kental daun sirih merah yang didapat adalah 25,5670 gram dan berat serbuk yang ditimbang adalah 134,5500 gram sehingga didapatkan persen rendemen sebesar 19,0018 %.

Bakteri Staphylococcus epidermidis yang digunakan dalam penelitian telah melalui uji identifikasi bakteri untuk memastikan bahwa bakteri uji benar-benar merupakan bakteri Staphylococcus epidermidis (Lampiran 3). Stok bakteri yang akan digunakan untuk penelitian diperoleh dari kultur murni dan dikulturkan pada media Nutrient Broth selama 24 jam. Selanjutnya stok bakteri uji diencerkan menggunakan Buffered Pepton Water (BPW) kemudian disetarakan kekeruhannya dengan larutan standar Mc Farland 0,5 dengan nephelometer.

Uji aktivitas antibakteri EMDS dengan EMDSM dilakukan dengan metode difusi sumuran. Metode difusi sumuran dipilih karena metode ini secara luas digunakan dalam pengukuran aktivitas antibakteri dari tanaman atau ekstrak tanaman (Balouiri, Sadiki, and Ibnsouda, 2016). Media yang digunakan adalah media Nutrient Agar karena menurut ATCC (2018), media tersebut dapat digunakan sebagai media tumbuh Staphylococcus epidermidis. Kontrol media dibuat untuk melihat sterilitas media yang akan digunakan. Kontrol pertumbuhan digunakan untuk memastikan bahwa bakteri Staphylococcus epidermidis dapat tumbuh dengan baik pada media Nutrient Agar.

12

(a) (b)

Gambar 1. (a) Kontrol Media dan (b) Kontrol Pertumbuhan Bakteri Kontrol negatif yang digunakan yaitu DMSO 1%, aquades steril, dan BPW. Aquades steril digunakan untuk mengencerkan DMSO 100%, DMSO 1% digunakan untuk melarutkan ekstrak, dan BPW digunakan untuk mengencerkan bakteri. Kontrol negatif berguna untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan mempunyai aktivitas antibakteri atau tidak.

Penelitian ini menggunakan pengujian difusi sumuran untuk melihat zona hambat yang dihasilkan oleh EMDS, EMDSM dan kombinasinya terhadap bakteri

Staphylococcus epidermidis. Pengujian difusi sumuran diawali dengan optimasi

pengujian aktivitas antibakteri masing-masing ekstrak tunggal dengan berbagai varian konsentrasi (25 mg/ml, 50 mg/ml. 100 mg/ml, dan 200 mg/ml) yang bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak terkecil yang dapat menghambat bakteri. Zona hambat yang dihasilkan oleh EMDS secara berturut-turut adalah 0 mm ± 0; 1,33 mm ± 0,577; 1,66 mm ± 0,577; 2 mm ± 1. Zona hambat yang dihasilkan oleh EMDSM secara berturut-turut adalah 0 mm ± 0; 0 mm ± 0; 0 mm ± 0; 1 mm ± 0. Konsentrasi terkecil yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus epidermidis pada EMDS adalah 50 mg/ml sedangkan pada EMDSM adalah 200 mg/ml. Gambar uji difusi sumuran variasi konsentrasi EMDS dan variasi konsentrasi EMDSM dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan studi literatur, kandungan senyawa ekstrak etanol daun Piper

betle L. (EEDS) dan ekstrak etanol daun Piper crocatum Ruiz & Pav. (EEDSM)

memiliki kemiripan dengan kandungan senyawa ekstrak metanol daun Piper

betle L. (EMDS) dan ekstrak metanol daun Piper crocatum Ruiz &

13

(2016), EEDS mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, asam fenolik, monoterpen, sesquiterpen, dan kuinon. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, Zuhrotum and Meidina (2016), EEDSM mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, polifenol, saponin dan steroid. Sedangkan menurut Syahidah et

al (2017) dengan motode KLT EMDS mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,

tanin, saponin, terpenoid, fenol, steroid, dan glikosida dan menurut Rinanda, Zulfitri and Alga (2012) dengan metode uji tabung EMDSM mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan tanin. Dengan adanya kemiripan kandungan senyawa yang dapat ditarik oleh pelarut etanol ataupun pelarut metanol, diharapkan efek antibakteri yang dihasilkan akan mirip Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Nouri, Nafchi and Karim, (2014) dimana tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan terhadap aktivitas antibakteri yang ditimbulkan baik oleh ekstrak etanol maupun ekstrak metanol.

Menurut penelitian Nela, Yuniarni and Prayugo (2016), konsentrasi EEDS sebesar 1 mg/ml mampu menghasilkan zona hambat sebesar 30,71 mm pada bakteri Staphylococcus epidermidis. Sedangkan menurut Kusuma, Zuhrotum and Meidina (2016) EEDSM konsentrasi 200 mg/ml mampu menghasilkan zona hambat sebesar 15,02-14,88 mm. Dalam penelitian ini, EMDSM 200 mg/ml mampu menghasilkan zona hambat sebesar 1 mm ± 0. Akan tetapi, EMDS 1 mg/ml tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada Staphylococcus epidermidis yang diujikan dalam penelitian ini dengan menghasilkan zona hambat sebesar 0 mm ± 0. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tempat pengumpulan sampel uji yang digunakan dan perbedaan cara ekstraksi. Perbedaan tempat pengumpulan sampel dapat memengaruhi konsentrasi senyawa metabolit yang dihasilkan, dimana peningkatan intentitas cahaya akan meningkatkan konsentrasi senyawa alkaloid dan fenol yang dihasilkan; penurunan suhu tempat tumbuh dapat menurunkan konsentrasi senyawa alkaloid yang dihasilkan; penurunan kandungan air tanah dapat meningkatkan konsentrasi senyawa fenol yang dihasilkan (Yang et al, 2018). Selain itu, adanya perbedaan cara ekstraksi dapat memengaruhi persen rendemen yang didapatkan. Pada penelitian Nela, Yuniarni and Prayugo (2016) ekstraksi dilakukan menggunakan metode sokletasi dan pada penelitian ini

14

menggunakan metode maserasi. Menurut penelitian Sa’adah, Nurhasnawati dan Permatasari (2017), persen rendemen yang didapatkan melalui metode sokletasi lebih banyak daripada persen rendemen yang didapatkan melalui metode maserasi. Semakin banyak persen rendemen yang didapatkan maka metabolit sekunder yang terekstrak juga semakin banyak.

Pengujian difusi sumuran dilakukan dengan 3 kali replikasi perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan zona hambat yang diukur menggunakan penggaris dengan satuan millimeter (mm).

Keterangan : A : Kontrol negatif

B : Kombinasi EMDS 50 mg/ml dengan EMDSM 200 mg/ml (1:1)

C : Kombinasi EMDS 50 mg/ml dengan EMDSM 200 mg/ml (1:2)

D : Kombinasi EMDS 50 mg/ml dengan EMDSM 200 mg/ml (2:1)

E : EMDSM 200 mg/ml F : EMDS 50 mg/ml *EMDS = Ekstrak Metanol Daun Piper betle L.

*EMDSM = Ekstrak Metanol Daun Piper crocatum Ruiz & Pav.

Gambar 2. Uji difusi sumuran EMDS, EMDSM, dan kombinasinya Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambat (mm) EMDS 50 mg/ml, EMDSM 200 mg/ml, dan kombinasinya

Replikasi K(-) EMDS EMDSM 1:1 1:2 2:1

1 0 1 7,5 6 6 2,5 2 0 3 8 5,5 7 4,5 3 0 1,5 8 6 6 4,5 Rata-rata ± SD 0 1,83 ± 1.04 7,83 ± 0,28 5,83 ± 0,28 6,33 ± 0,57 3,83 ± 1,15 Keterangan : EMDS = Ekstrak metanol daun Piper betle L. 50 mg/ml; EMDSM = Ekstrak metanol daun Piper crocatum Ruiz & Pav 200 mg/ml K(-)= Aquades,BPW,dan DMSO 1%

Data zona hambat yang didapat kemudian dianalisis secara statistik (Lampiran 6). Data diuji distribusi normalitas menggunakan uji Shapiro Wilk dan didapatkan hasil data tidak terdistribusi normal (p < 0,05). Pengujian dilanjutkan dengan uji levene untuk melihat homogenitas varian data dan didapatkan hasil data tidak homogen. Hasil uji menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan

15

tidak homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji non-parametrik yaitu uji

Kruskal-Wallis. Hasil yang didapatkan ada perbedaan sehingga dilanjutkan

dengan uji Mann-Whitney pada taraf kepercayaan 95%. Hasil yang didapat pada uji Mann-Whitney adalah :

Tabel 2. Hasil Pengujian Mann-Whitney

Perlakuan yang dibandingkan Nilai p Makna EMDS tunggal 50 mg/ml Kombinasi EMDS:EMDSM (1:1) 0,046 BB Kombinasi EMDS:EMDSM (1:2) 0,046 BB Kombinasi EMDS:EMDSM (2:1) 0,121 TB EMDSM tunggal 200 mg/ml Kombinasi EMDS:EMDSM (1:1) 0,043 BB Kombinasi EMDS:EMDSM (1:2) 0,043 BB Kombinasi EMDS:EMDSM (2:1) 0,043 BB Keterangan : BB= Berbeda bermakna; TB= Tidak Berbeda Bermakna

Berdasarkan pengujian, EMDS 50 mg/ml menunjukkan adanya pelebaran zona hambat dibandingkan dengan kombinasi 1:1 dan 1:2 (berbeda bermakna) sehingga menhasilkan efek sinergis. EMDS 50 mg/ml dibandingkan kombinasi 2:1 tidak menunjukkan pelebaran zona hambat (tidak berbeda bermakna) sehingga menghasilkan efek indifferent. Kombinasi 1:1; 1:2; 2:1 dibandingkan dengan EMDSM 200 mg/ml tidak menunjukkan adanya pelebaran zona hambat (berbeda bermakna) sehingga menghasilkan efek antagonis. Dalam penelitian Hartini (2018), infusa daun sirih dengan infusa daun sirih merah menghasilkan efek antagonis jika dibandingkan dengan infusa tunggal karena adanya interaksi antar senyawa yang terdapat dalam kedua infusa. Dalam penelitian ini, efek indifferent dan antagonis yang dihasilkan disebabkan oleh adanya interaksi antar senyawa yang terdapat dalam kedua ekstrak. Pengujian tidak dilanjutkan dengan metode

checkerboard karena dalam pengujian beberapa kombinasi yang diujikan tidak

menghasilkan pelebaran zona hambat jika dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya.

Identifikasi senyawa yang diduga mempunyai aktivitas antibakteri dalam EMDS, EMDSM, dan kombinasinya dilakukan dengan sistem KLT. Fase diam yang digunakan adalah silika gel 60 F254 dan fase gerak etil asetat : toluena (9:1). Senyawa standar yang digunakan adalah senyawa flavonoid kuersetin karena

16

senyawa ini merupakan senyawa yang umum terdapat dalam tanaman obat (Panche, Diwan and Chandra, 2016) dan dapat menghambat Staphylococcus

epidermidis dengan merusak membran sitoplasma (Siriwong et al, 2016). EMDS

50 mg/ml, EMDSM 200 mg/ml, serta kombinasinya ditotolkan pada plat kemudian dielusi hingga jarak 10 cm menggunakan fase gerak. Plat KLT diamati menggunakan detektor UV 254 nm dan UV 365 nm serta dideteksi dengan pereaksi semprot FeCl3. Senyawa flavonoid mampu menyerap sinar ultraviolet, sehingga umumnya dapat dideteksi oleh detektor UV. Senyawa flavonoid (flavon dan flavonol) biasanya terdeteksi pada 254–280 nm atau 340–360 nm (Feng, Hao

and Li, 2017). Pada detektor UV 254 nm senyawa flavonoid akan menyebabkan

peredaman fluoresensi (Kesarkar et al, 2009). Pada detektor UV 365 nm, gabungan emisi beberapa flurofor seluler universal seperti senyawa fenolik, alkaloid, terpenoid, NADH, dan koenzim flavin akan menghasilkan fluoresensi biru (Talamond, Verdeil and Conejero, 2015). Reagen yang digunakan untuk senyawa fenolik adalah FeCl3. Senyawa fenolik ketika direaksikan dengan FeCl3 akan membentuk kompleks warna 3 piridinium hidroklorida sehingga pembentukan kompleks warna ini yang dijadikan sebagai penanda adanya senyawa fenolik (Aljamali, 2015). Senyawa flavonoid dapat ditunjukkan dengan adanya warna kekuningan, abu-abu dan coklat tua pada detektor UV 254 nm (Skorek et al , 2016); warna biru, ungu, hijau dan kuning gelap pada detektor UV 365 nm (Dwiatmaka, 2010; Kesarkar et al, 2009) dan warna hitam, abu-abu, dan coklat kehitaman pada pereaksi FeCl3(Susanti dkk, 2017; Sonam, Singh and Pooja, 2017). Parameter yang diamati adalah nilai Rf yang dibandingkan dengan senyawa pembanding (Susanti dkk,2017 ; Reveny, 2011; Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, 2011).

17

(a) (b) (c)

Gambar 3. Hasil pengujian KLT dengan fase diam silika gel 60 F254 ; fase gerak etil asetat : toluene (9:1). (a) detektor UV 254 nm,

(b) detektor UV 365 nm, (c) pereaksi semprot FeCl3 Keterangan :

A. Standar kuersetin B. EMDS 50 mg/ml C. EMDSM 200 mg/ml

D. Kombinasi EMDS dan EMDSM 1:1 E. Kombinasi EMDS dan EMDSM 1:2 F. Kombinasi EMDS dan EMDSM 2:1 Tabel 3. Nilai Rf Uji KLT dan warna bercak standar dan perlakuan tunggal

Deteksi No Kuersetin EMDS 50 mg/ml EMDSM 200 mg/ml Rf (cm) Warna bercak Rf (cm) Warna bercak Rf (cm) Warna bercak UV 254 nm 1 - - - - 0,79 KC 2 - - - - 0,72 KC 3 0,67 C - - - 4 - - - - 0,58 U UV 365 nm 1 - - - - 0,79 U 2 - - 0,73 U - - 3 0,67 U - - - - FeCl3 1 - - - - 0,79 KH 2 - - 0,73 A 0,72 A 3 0,67 CH - - - -

Keterangan : C= coklat; U= ungu; CH= coklat kehitaman; A= abu-abu; KC= kuning kecoklatan; KH= kuning kehijauan

18

Tabel 4. Nilai Rf Uji KLT dan warna bercak perlakuan kombinasi Deteksi No Kombinasi 1:1 Kombinasi 1:2 Kombinasi 2:1

Rf (cm) Warna bercak Rf (cm) Warna bercak Rf (cm) Warna bercak UV 254 nm 1 0,8 KC 0,79 KC 0,79 KC 2 0,72 KC 0,72 KC 0,72 KC 3 - - - - 4 0,59 U 0,57 U 0,59 U UV 365 nm 1 0,8 U 0,79 U 0,79 UM 2 0,72 U 0,72 UM 0,72 UM 3 - - - - FeCl3 1 0,8 KH 0,79 KH 0,79 KH 2 0,72 A 0,72 A 0,72 A 3 - - - -

Keterangan : U= ungu; A= abu-abu; KC= kuning kecoklatan; KH= kuning kehijauan; UM= ungu kemerahan

Hasil pengujian KLT menunjukkan bahwa perlakuan tidak terdeteksi mengandung senyawa flavonoid kuersetin karena tidak menunjukkan bercak dan nilai Rf yang menyerupai baku kuersetin. Pada pengamatan detektor UV 254 nm terdapat senyawa flavonoid lain bukan kuersetin yang ditunjukkan dengan adanya warna kekuningan (Skorek et al , 2016). Pada pengamatan detektor UV 365 nm terdapat senyawa flavonoid yang ditunjukkan dengan adanya warna ungu (Dwiatmaka, 2010). Selain itu terdeteksi juga adanya senyawa klorofil atau senyawa lain yang tertutup klorofil yang ditunjukkan dengan adanya warna kemerahan (Wagner, Bladt and Zgainski, 1983). Pada pengamatan dengan FeCl3 terdapat senyawa fenol yang ditunjukkan dengan adanya warna abu abu dan coklat kehitaman (Sonam Sonam, Singh and Pooja, 2017).

Menurut literatur, EMDS mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, terpenoid, fenol, steroid, dan glikosida (Syahidah et al, 2017). Menurut Rinanda, Zulfitri and Alga (2012), EMDSM mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan tanin. Sedangkan menurut Hartini et al (2016) EMDSM mengandung minyak atsiri dan tanin. Senyawa alkaloid mempunyai mekanisme untuk menghambat sintesis asam nukleat dan pembelahan sel bakteri (Cushnie, Cushnie and Lamb, 2014); senyawa flavonoid menghambat

19

sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma, menghambat metabolisme energi dari bakteri (Xie et al, 2015); senyawa saponin mempunyai mekanisme mengubah permeabilitas membran sel sehingga menyebabkan perubahan morfologi sel dan sel menjadi lisis (Godstime et al, 2014); senyawa minyak atsiri memiliki mekanisme mendegradasi membran sitoplasma (Nazzaro

et al, 2013); senyawa tanin memiliki mekanisme menganggu permeabilitas sel

(Rinanda, Zulfitri and Alga, 2012).

Hasil pengujian menggunakan uji tabung dilihat dalam Lampiran 7. Hasil uji menunjukkan bahwa EMDS mengandung senyawa tanin ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman; flavonoid ditandai dengan timbulnya warna merah; minyak atsiri ditandai dengan timbulnya bau khas. EMDSM mengandung senyawa tanin ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman; alkaloid ditandai dengan timbulnya endapan berwarna kuning keputihan ; flavonoid ditandai dengan timbulnya warna merah; saponin ditandai dengan timbulnya buih yang mencapai 2 cm; dan minyak atsiri ditandai dengan timbulnya bau khas. Kombinasi EMDS dan EMDSM perbandingan 1:1; 1:2; dan 2:1 mengandung senyawa tanin ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman; alkaloid ditandai dengan timbulnya endapan berwarna kuning keputihan ; flavonoid ditandai dengan timbulnya warna merah; dan minyak atsiri ditandai dengan timbulnya bau khas.

Hasil uji tabung dalam penelitian ini mempunyai perbedaan antara ekstrak tunggal dengan ekstrak kombinasi dimana pada pengujiam senyawa saponin memberikan hasil positif dalam ekstrak tunggal EMDSM 200 mg/ml, akan tetapi dalam ekstrak kombinasi antara EMDS dengan EMDSM kombinasi 1:1; 1:2; dan 2:1 senyawa saponin memberikan hasil negatif. Menurut Bottcher and Drusch (2015), pembentukan dan stabilitas buih dalam pengujian saponin salah satunya dipengaruhi oleh pH. Penurunan pH dapat meningkatkan stabilitas buih yang terbentuk. Kombinasi antara ekstrak yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pH antara ekstrak tunggal dengan ekstrak kombinasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yatmaz and Gokoglu (2015), pH ekstrak teh hijau tunggal adalah 4,03; pH rosemari tunggal adalah 5,06; pH sodium metabisulfit 4,22; pH

20

kombinasi ekstrak teh hijau dan ekstrak rosemari 3,95; dan pH kombinasi ekstrak teh hijau, ekstrak rosemary dan sodium metabisulfit adalah 4,56. Perbedaan hasil pengujian senyawa saponin dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pH antara ekstrak tunggal EMDSM 200 mg/ml dengan ekstrak kombinasi, sehingga pada perlakuan kombinasi memberikan hasil negatif dan berbeda dengan ekstrak tunggal EMDSM.

Pengujian menggunakan uji tabung mengidentifikasi adanya senyawa flavonoid. Akan tetapi dalam pengujian KLT, tidak teridentifikasi adanya senyawa flavonoid kuersetin dalam EMDS 50 mg/ml; EMDSM 200 mg/ml; serta kombinasi EMDS dan EMDSM perbandingan 1:1; 1:2; dan 2:1. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat bahwa senyawa flavonoid dalam EMDS 50 mg/ml; EMDSM 200 mg/ml; serta kombinasi EMDS dan EMDSM perbandingan 1:1; 1:2; dan 2:1 yang teridentifikasi dalam uji tabung bukan merupakan senyawa flavonoid kuersetin.

Dokumen terkait