• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi zat makanan dari pakan yang diberikan pada masing-masing kondisi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian

Kondisi Komposisi Pakan BK (%) Abu (%) PK (%) SK (%) LK (%) BETN (%) GE kal/gr A 28,33 8,78 11,20 36,41 3,22 40,39 4309 B 21,93 8,37 12,35 44,78 2,02 32,42 4548 C 22,26 4,71 12,47 34,12 5,90 38,46 4399 D 26,44 4,22 23,34 25,40 5,23 41,83 4951

Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; SK = Serat kasar; LK = Lemak Kasar; BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen; GE= Gross Energi.

Kondisi A terdiri atas rumput gajah dan campuran konsentrat dengan ampas tempe. Kondisi B dan C yang terdiri atas rumput lapang dan ampas tempe. Kondisi D terdiri atas daun-daunan dan campuran konsentrat dengan ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan molases.

Komposisi zat-zat makanan dari pakan yang diberikan pada keempat kondisi memiliki banyak perbedaan. Kondisi A mempunyai kandungan bahan bahan kering tertinggi diikuti oleh kondisi D, C dan B karena rasio konsentrat tinggi walaupun bahan kering konsentrat yang digunakan belum sesuai dengan syarat bahan kering konsentrat. Syarat bahan kering konsentrat yaitu 86% (SNI, 2009). Menurut Sutardi (1980) produksi susu dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan komposisi zat makanannya. Tingginya kandungan bahan kering ransum diharapkan akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering.

Kandungan abu terendah terdapat pada kondisi D diantara keempat kondisi. Analisa Proksimat, kandungan bahan kering pakan terdiri dari abu dan bahan organik dan bahan organik suatu pakan terdiri dari protein, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Sofyan et al., 2000). Pakan yang mempunyai kadar abu yang rendah akan memiliki kadar bahan organik yang tinggi, sehingga kualitas

pakan akan baik karena kandungan protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat yang lebih tinggi.

Kondisi D mempunyai kandungan protein kasar lebih tinggi dari kondisi C, B dan A. Rasio konsentrat yang diberikan rendah akan tetapi konsentrat tersebut campuran dari konsentrat, ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan molases sehingga mengandung gizi yang tinggi khususnya protein kasar. Pemberian pakan dengan sumber protein meningkatkan konsumsi pakan, karena protein mempunyai kecernaan yang tinggi (Parakkasi, 1999).

Kandungan serat kasar tertinggi terdapat pada kondisi B diikuti kondisi A, C dan D. Tingginya kandungan serat kasar akan menyebabkan konsumsi serat kasar yang tinggi. Konsumsi serat kasar yang tinggi akan menyebabkan kandungan lemak kasar susu tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah. Meskipun konsumsi serat kasar tinggi belum tentu akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik. Menurut Wilson et al. (1998) serat kasar berupa lignin bersifat menurunkan daya cerna.

Kandungan lemak kasar tertinggi terdapat pada kondisi C diikuti oleh kondisi D, A dan B. Kandungan BETN pakan yang paling tinggi adalah kondisi D dan kandungan gross energi yang paling tinggi adalah kondisi D. Tingginya kandungan energi ransum diharapkan konsumsi energi menjadi tinggi sehingga kebutuhan energi ternak tercukupi, namun kandungan energi dapat mempengaruhi keefisienan penggunaan ransum, semakin tinggi kandungan energi dalam ransum semakin banyak energi yang dapat dicerna sehingga produksi susu yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Tetapi apabila energi dalam ransum berlebihan juga dapat menyebabkan penurunan keefisienan penggunaan ransum (Prior et al., 1977).

Secara umum komposisi pakan yang paling baik dan sesuai dengan rasio hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah pada kondisi D karena hijauan yang diberikan memiliki kandungan abu paling rendah sehingga kandungan bahan organik (protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat) tinggi. Konsentrat yang digunakan juga memiliki kandungan protein, energi lebih tinggi dan serat kasar rendah sehingga tidak berbeda jauh dengan syarat standar konsentrat berdasarkan SNI. Konsentrat

merupakan campuran pakan yang mengandung kadar air 14%, protein kasar 16-18% (SNI, 2009), mengandung serat kasar kurang dari 18% (Sofyan et al., 2000).

Konsumsi Pakan

Pemberian pakan pada kambing merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Tingkat konsumsi zat makanan sangat mempengaruhi performans produksi ternak, sedangkan tingkat konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat palatabilitas pakan tersebut.

Parakkasi (1999) menegaskan bahwa konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan kambing PE dari masing-masing kondisi pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan konsumsi zat makanan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Konsumsi Pakan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Pakan Kondisi A B C D Pemberian Pakan Hijauan (gram) 742,45±66,70 753,21±35,52 1120,89±15,88 1669,16±12,61 Konsentrat (gram) 1276,78±0,00 1065,06±0,00 1109,69±7,07 960,00±0,00 Total (gram) 2019,23±66,70 1818,26±35,52 2230,58±22,95 2629,16±12,61 Sisa Pakan Hijauan (gram) 174,15±66,47 0 259,86±12,42 137,68±18,90 Konsentrat (gram) 42,41±43,98 0 0 0 Total (gram) 216,57±91,44 0 259,86±12,42 137,68±18,90 Konsumsi Pakan Hijauan (gram) 568,29±73,46 753,21±35,52 861,03±3,46 1531,48±23,38 Konsentrat (gram) 1234,37±128,93 1065,06±0,00 1109,69±7,07 960,00±0,00 Total (gram) 1802,66±182,67a 1818,26±35,52a 1970,72±10,53b 2491,48±23,38c

Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05)

A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36.

Penentuan konsumsi pada ternak ruminansia didasarkan pada bahan kering, hal ini disebabkan kandungan air dari berbagai macam pakan sangat bervariasi. Konsumsi pakan pada kambing selama periode laktasi lebih banyak ditujukan untuk

memproduksi susu. Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi pakan (P<0,05). Perbedaan tatalaksana dalam hal pemberian pakan dengan rasio pakan hijauan dan konsentrat yang berbeda menyebabkan perbedaan pH rumen. Penurunan pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses pencernaan pakan dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Penurunan kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut Tillman et al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat. Parakkasi (1999) menyatakan, konsumsi ternak dipengaruhi oleh hewan itu sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan bangsa sapi), makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari).

Berdasarkan hasil uji t, konsumsi pakan yang tertinggi adalah kondisi D sebesar 2491,48±23,38 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C sebesar 1970,72±10,53 gram/ekor/hari, kondisi B sebesar 1818,26±35,52 gram/ekor/hari dan kondisi A sebesar 1802,66±182,67 gram/ekor/hari, dimana kondisi A sama dengan kondisi B. Konsumsi pakan tertinggi ada pada kondisi D disebabkan memiliki rasio hijauan lebih tinggi sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi maka kambing akan memakan hijauan lebih banyak. Pakan konsentrat tinggi akan gizi sehingga dengan hanya mengkonsumsi sedikit sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi.

Konsumsi pakan terendah ada pada kondisi A disebabkan rasio hijauan lebih rendah daripada konsentrat sehingga pH rumen menurun. Penurunan pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses pencernaan pakan dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Penurunan kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut Tillman et al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat.

Menurut Atabany (2001), kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong yang memiliki kandungan bahan kering 16,43%, 88,95%, 10,11% dan 32,30% mengkonsumsi bahan kering sebesar 1759 gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) berkisar antara 679,9-1719,4 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat dan ampas bir yang mengandung bahan kering 21,12%, 63,45% dan 50,75%. Konsumsi bahan kering kambing PE hasil penelitian Adiati et al. (2000)

yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat adalah 1141,4±48,90-1221,4±55 gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Atabany (2001), Adriani (2003) dan Adiati et al. (2000).

Tabel 7. Konsumsi Zat Makanan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Komposisi Zat Makanan Kondisi A B C D Abu (gram/ekor/hari) 153,81±15,72d 133,77±5,08c 93,27±0,44a 103,59±1,13b Protein Kasar (gram/ekor/hari) 205,32±20,76a 235,65±3,13b 266,76±1,57c 591,79±4,50d Serat Kasar (gram/ekor/hari) 648,39±65,90a 852,42±11,54c 700,61±3,71b 621,02±7,04a Lemak Kasar (gram/ekor/hari) 58,18±5,89b 38,51±0,52a 128,61±0,79c 134,26±0,84d BETN (gram/ekor/hari) 736,96±74,54b 557,01±15,20a 781,48±4,02b 1041,34±9,86c Gross Energi (kalori) 7735464,51 ± 784551,89a 8311144,38 ± 156874,28b 9090474,24 ± 48983,46c 12400061,31 ± 109741,51d

Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05)

A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36.

Konsumsi Abu

Tabel 7 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap konsumsi abu yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi abu tertinggi adalah kondisi A sebesar 153,81±15,72 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi B sebesar 133,77±5,08 gram/ekor/hari, kondisi D sebesar 103,59±1,13 gram/ekor/hari dan kondisi C sebesar 93,27±0,44 gram/ekor/hari. Konsumsi abu tertinggi terjadi pada kondisi A disebabkan kandungan abu pakan lebih tinggi daripada kondisi B, D dan C.

Konsumsi abu kondisi A, B dan D lebih tinggi daripada konsumsi abu kambing PE induk laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 119 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong. Hal ini terjadi karena konsumsi bahan kering dan kandungan abu pakan pada kondisi A dan B lebih tinggi daripada pakan pada penelitian Atabany (2001).

Konsumsi Protein Kasar

Protein kasar merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis. Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Tabel 7 memperlihatkan bahwa konsumsi protein kasar berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana yang berbeda.

Berdasarkan hasil uji t, konsumsi protein kasar tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 591,79±4,50 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, B dan A sebesar 266,76±1,57; 235,65±3,13 dan 205,32±20,76 gram/ekor/hari. Konsumsi protein kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi A, B dan C karena kondisi D memiliki kandungan protein kasar pakan lebih tinggi. Konsumsi protein kasar kondisi A merupakan konsumsi pakan terendah karena kondisi A memiliki kandungan protein kasar pakan lebih rendah daripada kondisi B, C dan D.

Menurut Atabany (2001), konsumsi protein kasar kambing PE induk laktasi hasil penelitian di peternakan Barokah yaitu 215 gram/ekor/hari. Menurut Adriani (2003) konsumsi protein kasar kambing PE berkisar antara 225,4-286,3 gram/ekor/hari. Konsumsi protein kasar pada kondisi B, C dan D lebih tinggi daripada konsumsi protein kasar kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) dan Adriani (2003), hal ini disebabkan konsumsi bahan kering kondisi B, C dan D lebih tinggi.

Konsumsi Serat Kasar

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsumsi serat kasar berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi serat kasar yang tertinggi adalah kondisi B sebesar 852,42±11,54 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, A dan D sebesar 700,61±3,71; 648,39±65,90 dan 621,02±7,04 gram/ekor/hari, dimana kondisi A dan D memiliki konsumsi serat kasar yang sama.

Konsumsi serat kasar kondisi B lebih tinggi karena memiliki kandungan serat kasar pakan lebih tinggi dari kondisi C, A dan D. Konsumsi serat kasar kondisi D sama dengan kondisi A, hal ini disebabkan konsumsi pakan segar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi A namun kandungan serat kasar pakan kondisi A lebih tinggi daripada kondisi D sehingga konsumsi serat kasar yang diperoleh sama.

Mikroba yang terdapat dalam rumen membantu proses pencernaan serat kasar pada proses fermentasinya. Serat kasar yang berasal dari pakan masuk ke dalam rumen kemudian difermentasi menjadi VFA dan diserap untuk mencukupi ketersediaan energi untuk pertumbuhan. Meskipun demikian, konsumsi serat kasar yang tinggi bukan berarti akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik karena serat kasar berupa lignin bersifat menurunkan daya cerna (Wilson et al., 1998).

Menurut Atabany (2001), konsumsi serat kasar kambing PE di peternakan Barokah adalah 386 gram/ekor/hari, sedangkan menurut Adriani (2003) konsumsi serat kasar kambing PE laktasi berkisar antara 266,9-284,9 gram/ekor/hari. Hasil tersebut lebih rendah dari konsumsi serat kasar hasil penelitian ini, karena konsumsi bahan kering dan kandungan serat kasar pakan yang diberikan pada penelitian ini lebih tinggi.

Konsumsi Lemak Kasar

Lemak merupakan zat tidak larut air, sistem organik yang larut dalam pelarut organik (Parakkasi, 1999). Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980). Pada Tabel 7 dapat dilihat kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi lemak kasar (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, konsumsi lemak kasar tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 134,26±0,84 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, A dan B sebesar 128,61±0,79; 58,18±5,89 dan 38,51±0,52 gram/ekor/hari.

Konsumsi lemak kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi C, A dan B disebabkan kondisi D memiliki kandungan lemak kasar pakan lebih tinggi daripada kondisi C, A dan B. Parakkasi (1999) menyatakan, bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak (sekitar 3% saja), akan tetapi jika konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka konsumsi dari lemak akan relatif banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan khusus (dari berbagai makanan konsentrat) yang banyak mengandung lemak.

Konsumsi lemak kasar terendah terjadi pada kondisi B disebabkan kandungan lemak kasar pakan kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C dan D. Konsumsi lemak kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi daripada konsumsi lemak kasar kambing PE laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 52

gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi.

Konsumsi lemak kasar kondisi C dan D lebih tinggi dari konsumsi lemak kasar kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) berkisar antara 67-69,6 gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak kasar pakan pada kondisi C dan D lebih tinggi.

Konsumsi BETN

Konsumsi BETN hasil penelitian pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap konsumsi BETN. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi BETN tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 1041,34±9,86 gram/ekor/hari diikuti kondisi C, A dan B sebesar 781,48±4,02; 736,96±74,54 dan 557,01±15,20 gram/ekor/hari.

Konsumsi BETN tertinggi terjadi pada kondisi D karena selisih kandungan karbohidrat dengan serat kasar atau yang disebut BETN kondisi D lebih tinggi dari kondisi C, A dan B. Konsumsi BETN Konsumsi BETN terendah terjadi pada kondisi B karena kandungan BETN pakan pada kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C dan D.

Menurut Anggorodi (1994), kandungan karbohidrat pada tumbuh-tumbuhan biasanya mewakili 50-75% dari bahan kering. Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan selisih dari karbohidrat dan serat kasar (Sofyan et al., 2000). Konsumsi BETN kondisi D lebih tinggi daripada konsumsi BETN induk kambing PE laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 817 gram/ekor/hari. Konsumsi BETN kondisi D juga lebih tinggi daripada konsumsi BETN kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) yang berkisar antara 919,4-1014,6%.

Konsumsi Gross Energi

Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik dalam tubuh memerlukan energi. Ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi (Ørskov, 1998). Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi gross energi (P<0,05).

Berdasarkan hasil uji t, konsumsi gross energi tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 12400061,31±109741,51 kalori diikuti oleh kondisi C sebesar 9090474,24±48983,46 kalori, kondisi B sebesar 8311144,38±156874,28 kalori dan kondisi A sebesar 7735464,51±784551,89 kalori. Konsumsi gross energi tertinggi terjadi pada kondisi D disebabkan kandungan gross energi pakan pada kondisi D lebih tinggi dari kondisi B, C dan A.

Konsumsi gross energi terendah terjadi pada kondisi A disebabkan kandungan gross energi pakan yang lebih rendah. Menurut Atabany (2001) konsumsi gross energi induk kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong dengan kandungan gross energi pakan 3591 kalori/gram, 4689 kalori/gram, 3838 kalori/gram dan 4400 kalori/gram di peternakan Barokah yaitu 5453 kalori/gram.

Komposisi Susu

Komposisi susu kambing PE hasil penelitian dari masing-masing kondisi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian Kondisi Komposisi Susu Berat Jenis BK (%) Protein (%) Lemak (%) BKTL (%) GE (Kal/gr) A 1,0308 15,48 4,56 6,00 9,48 904,96 B 1,0295 16,71 4,22 7,28 9,44 1020,29 C 1,0310 16,57 4,39 6,85 9,72 995,13 D 1,0315 16,79 4,17 6,93 9,86 1000,56

Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BK = Bahan Kering; BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak.

Sumber : Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Berat Jenis Susu

Berat jenis susu paling tinggi adalah kondisi D sebesar 1,0315, diikuti oleh kondisi C dan A (1,0310 dan 1,0308), dan yang terendah adalah berat jenis kondisi B (1,0295). Perbedaan berat jenis susu disebabkan perbedaan bahan kering susu. Berat

jenis susu kondisi D lebih tinggi karena kondisi D memiliki kandungan bahan kering susu paling tinggi daripada kondisi C, A dan B, diduga karena kondisi D memiliki konsumsi bahan kering yang lebih tinggi daripada ketiga kondisi lainnya. Berat jenis susu erat kaitannya dengan komponen padatan susu dan bahan kering dalam ransum. Adriani (2003) menyatakan, berat jenis susu ditentukan oleh kandungan bahan kering susu, sehingga perbedaan kandungan bahan kering menyebabkan perbedaan berat jenis.

Menurut Eckles et al. (1957), perbedaan berat jenis susu yang dihasilkan disebabkan oleh faktor komposisi susu itu sendiri yaitu protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu. Perbedaan berat jenis susu tersebut juga disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan kering susu itu sendiri. Berat jenis susu dari keempat kondisi sesuai dengan pendapat Eldesten (1988) yaitu berat jenis susu kambing bervariasi antara 1,0260 sampai 1,420.

Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Atabany (2001) yaitu 1,0292, hasil penelitian dari Adriani (2003) yaitu 1,029, dan hasil penelitian dari Asminaya (2007) yaitu antara 1,0272 sampai 1,0276. Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik yaitu 1,0293 dan konsentrat buatan sendiri yaitu 1,0297.

Bahan Kering

Kandungan bahan kering susu paling tinggi adalah kondisi D (16,79%), diikuti oleh kondisi B, C (16,71 dan 16,57%) dan yang terendah adalah kondisi A (15,48%). Perbedaan bahan kering susu yang dihasilkan terjadi karena perbedaan antara komponen penyusun komposisi bahan kering susu. Perbedaan antara komponen penyusun bahan kering susu terjadi karena perbedaan konsumsi zat-zat makanan sehingga konsumsi bahan kering pakan yang diberikan berbeda. Bath et al. (1985) menyatakan, kadar bahan kering susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor dalam pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.

Kandungan bahan kering susu kondisi D lebih tinggi, hal ini disebabkan konsumsi bahan kering pakan yang diberikan lebih tinggi dan memiliki total kandungan protein, lemak, karbohidrat dan abu lebih tinggi daripada kondisi B, C

dan A. Komposisi susu terdiri dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan kering susu terdiri dari dua komponen lagi yaitu lemak, dan bahan kering tanpa lemak yang terdiri dari tiga bagian yaitu laktosa, fraksi N (NPN dan protein), dan mineral dan vitamin (Bath et al., 1985; Suryahadi et al., 2003).

Bahan kering susu hasil penelitian lebih rendah dari bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Triwulandari (1990) yaitu dengan pemberian konsentrat buatan pabrik dan konsentrat buatan sendiri yaitu 14,72% dan 14,81%. Kandungan bahan kering hasil penelitian kondisi B, C dan D lebih tinggi dari bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 16,38% dan bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 16,2-16,5%.

Protein Susu

Kandungan protein susu tertinggi terjadi pada kondisi A (4,56%), dikuti oleh kondisi B (4,22%), C (4,39%) dan yang terendah adalah kondisi D (4,17%). Kandungan protein kasar susu kondisi A lebih tinggi karena rasio konsentrat yang diberikan lebih tinggi dari hijauan. Menurut Despal et al. (2008), konsumsi ransum yang berkadar konsentrat tinggi menyebabkan penurunan aktivitas bakteri selulolitik yang menyebabkan penurunan pH rumen sehingga proporsi propionat dan butirat lebih tinggi dari asetat. Suherman (2005) menambahkan, infusi asam propionat dalam rumen meningkatkan protein susu dan energi dalam asam propionat inilah yang meningkatkan protein susu.

Kandungan protein susu hasil penelitian ini lebih rendah dari pada kandungan protein susu hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik yaitu 4,85% namun dengan pemberian konsentat buatan sendiri yaitu 4,39% kondisi A dan B yang lebih tinggi. Kandungan protein susu hasil penelitian ini juga lebih tinggi dari kandungan protein susu kambing PE dari hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 2,93%, Subhagiana (1998) yaitu 3,55- 4,03%, Asminaya (2007) yaitu 3,22-3,89%, kandungan protein susu yang dilaporkan Devendra dan Burns (1994) yaitu 3,75%, yang dilaporkan Blakely dan Bade (1991) yaitu 3,52% sedangkan dengan kandungan protein susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 4,4-4,6% kondisi A, B dan D lebih tinggi.

Lemak Susu

Kandungan lemak susu kondisi B (7,28%) lebih tinggi daripada kondisi D (6,93%), C (6,85%) dan A (6,00%), hal ini disebabkan konsumsi serat kasar kondisi B lebih tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah. Pernyataan tersebut mendukung hasil kadar lemak susu kondisi B karena memiliki total kandungan serat pakan yang tertinggi sehingga menghasilkan lemak susu yang tertinggi.

Kadar lemak susu hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik dan konsentrat buatan sendiri yaitu 5,78% dan 5,09%, kandungan lemak kasar susu hasil penelitian Subhagiana (1998) yaitu 4,22-4,44%. Kandungan lemak susu kondisi B, C dan D lebih tinggi dari kadar lemak susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) yaitu 6,68% dan Adriani (2003) yaitu 6,6-6,9%.

BKTL Susu

Kandungan BKTL susu tertinggi terjadi pada kondisi D (9,86%) diikuti oleh kondisi C (9,72%), A (9,48%) dan B (9,44%). Hal ini terjadi disebabkan oleh tingginya selisih antara kadar bahan kering dan lemak susu. Tillman et al. (1989) menyatakan, kadar bahan kering tanpa lemak yaitu bahan kering yang tinggal setelah lemak susu dihilangkan.

Kandungan BKTL hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Triwulandari (1990) yaitu kandungan BKTL susu dengan pemberian konsentrat buatan koperasi 8,99%, sedangkan jika dengan pemberian buatan sendiri 9,75% hanya kondisi D yang lebih tinggi. Kandungan BKTL kondisi A, C dan D lebih tinggi dari hasil penelitian Budi (2002) yaitu 9,12-9,49%.

Gross Energi Susu

Kandungan gross energi susu tertinggi terjadi pada kondisi B (1020,29 kalori/gram), diikuti kondisi D (1000,56 kalori/gram), C (995,13 kalori/gram) dan yang terendah adalah kondisi A (904,96 kalori/gram). Kandungan gross energi susu

Dokumen terkait