• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan percobaan seluas 640 m2 yang terletak pada ketinggian 40 m diatas permukaan laut (dpl). Tanah pada lokasi penelitian berstruktur liat dengan nilai pH sebesar 4.8. Menurut Adisarwanto (2001), pH optimum untuk pertumbuhan kacang tanah adalah 6.5 sampai 7.0. Kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah.

Pada kondisi iklim basah seperti Indonesia bagian barat, sebagian besar kation tanah tercuci oleh air hujan, yang tertinggal adalah kation yang bersifat masam, seperti Al3+, dan H+, sehingga tanah bersifat masam. Tanaman tidak mampu tumbuh pada tanah dengan kadar Al3+ tinggi. Akar tanaman diselaputi oleh Al dan akar tanaman tidak dapat menyerap hara. Hara P dalam tanah maupun yang ditambahkan tidak tersedia karena diikat oleh Al. Hara K tidak tersedia karena terdesak oleh Al. Selain itu, kejenuhan Al akan rendah apabila kadar Al tanah tinggi (Balittan, 2010).

Pemberian kapur pada lahan masam dapat meningkatkan pH tanah dan menurunkan Al-dd. Sumarwoto (2010) mengatakan bahwa pemberian kapur pada tanah ber Al-dd tinggi sangat diperlukan, sampai pada taraf 1 ton ha-1 kapur pertanian (kaptan) untuk setiap 1 me Al-dd per 100 g tanah. Pemberian kapur dapat meningkatkan pH tanah dari 4.55 menjadi 5.99. Selain meningkatkan pH, pemberian kaptan juga dapat meningkatkan kadar Ca dan Mg tersedia, meningkatkan KTK tanah dari 24.16 menjadi 30.81, serta menurunkan Al-dd dari 19.99 menjadi tidak terukur (sangat kecil).

Curah hujan rata-rata selama penanaman kacang tanah adalah 190.233 mm dengan 13 hari hujan (hh) dan suhu rata-rata harian sebesar 30.17 oC (Tabel 2). Menurut Fachruddin (2000), suhu sangat berpengaruh terhadap perkecambahan biji dan pertumbuhan awal. Pada suhu kurang dari 18 oC, laju perkecambahan rendah. Pertumbuhan kacang tanah meningkat sejalan dengan peningkatan suhu dari 20 oC menjadi 30 oC. Total curah hujan optimum selama periode pertumbuhan antara 300-500 mm. Curah hujan yang beragam dalam jumlah dan pendistribusiannya akan mempengaruhi pertumbuhan dan pencapaian hasil kacang tanah.

13 Pada penelitian ini, pemenuhan kebutuhan air sepenuhnya berasal dari air hujan. Pada Lampiran 1 terlihat bahwa selama fase pertumbuhan, pertanaman kacang tanah mengalami cekaman kekeringan terutama pada 40-45 HST. Irsal (2005) menyatakan bahwa tanaman kacang tanah yang terkena cekaman kekeringan setiap 7 hari sekali selama fase pertumbuhannya memiliki jumlah polong paling sedikit diantara perlakuan cekaman lainnya (1 hari sekali, 3 hari sekali, dan 5 hari sekali).

Tabel 2. Curah hujan, jumlah hari hujan, dan suhu udara selama penanaman Bulan Suhu udara (oC) Curah Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan

Maret 34.80 362.00 20

April 27.80 152.50 12

Mei 27.90 56.20 7

Rata-rata 30.17 190.23 13

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Jatiwangi

Hama yang umum ditemukan pada lahan percobaan adalah belalang (Oxya spp.), ulat bulu (Caterpillar phenomenon), kutu (Aphis sp.), dan tikus (Rattus sp.). Serangan hama belalang, ulat bulu, dan kutu mulai terjadi pada 5 MST dan serangan mulai membahayakan pertanaman pada 7 MST. Pengendalian hama dilakukan dengan menyemprotkan insektisida Matador dengan konsentrasi 0.5-1 ml L-1. Hama tikus menyerang pada 10 MST dan sangat menurunkan hasil yang diperoleh per petak percobaan. Intensitas serangan hama tikus paling parah terjadi pada galur GWS 110D.

A B C Gambar 1. Hama yang menyerang kacang tanah. (A) ulat bulu (Caterpillar

14 A B

C

D E

Gambar 2. Gejala serangan hama dan gejala penyakit pada kacang tanah. (A) tikus (Rattus sp), (B) karat daun, (C) virus belang, (D) layu bakteri, dan (E) bercak daun.

Penyakit bercak daun mulai menyerang pertanaman kacang tanah pada umur 3 MST. Penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak hitam kecil pada daun bagian bawah. Serangan awal terjadi pada sebagian besar pertanaman kacang tanah kecuali Sima pada ulangan satu dan dua dan Sima, GWS 27C, dan Zebra Putih pada ulangan tiga. Pada 5 MST intensitas serangan mulai meningkat hingga semua pertanaman kacang tanah telah terjangkit penyakit bercak daun.

Selain penyakit bercak daun, penyakit yang menyerang pertanaman kacang tanah adalah karat (Puccinia arachidis), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan virus belang (Peanut Stripe Virus/PStV). Penyakit layu bakteri mengurangi populasi pertanaman kacang tanah hingga 2.46% karena penyakit ini menyebabkan tanaman layu dan pada akhirnya tanaman menjadi

15 mati. Suryadi dan Rais (2009) mengemukakan bahwa infeksi pada tanaman muda dapat mengakibatkan tanaman layu secara tiba-tiba dengan daun tetap berwarna hijau, tetapi tampak layu, seperti bekas tersiram air panas, kemudian tanaman mati. Sama halnya dengan penyakit bercak daun, penyakit layu bakteri menyerang tanaman pada umur 3 MST. Serangan penyakit layu bakteri tidak dalam taraf yang membahayakan, sehingga tidak dilakukan pengendalian terhadap penyakit ini.

Keragaan Karakter Genotipe-Genotipe yang Diuji

Genotipe-genotipe yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji F untuk karakter tinggi tanaman dan jumlah cabang pada taraf 5% (Tabel 3). Perbedaan yang tidak nyata ditunjukkan oleh genotipe yang diuji untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau tua, persentase panjang batang utama berdaun hijau tua, jumlah polong total, jumlah polong bernas, jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot 100 butir biji, dan bobot biji total.

Tabel 3. Rekapitulasi uji F karakter pada 20 genotipe kacang tanah

Keterangan: *: nyata pada taraf 5% ; tn: tidak nyata; KK: koefisien keragaman; a: transformasi 1/x; b: transformasi ; c: transformasi log x.

Tabel 3 juga menunjukkan beberapa karakter yang diikuti oleh huruf a, b, dan c. Karakter yang diikuti huruf-huruf tersebut adalah karakter yang telah ditransformasi menggunakan jenis transformasi sesuai keterangan pada

masing-Karakter F hitung Pr>F KK (%)

Tinggi tanaman 2.26* 0.016 30.11

Jumlah cabang 2.05* 0.029 22.75

Persentase panjang batang utama

berdaun hijau tua (%) b 0.77

tn

0.727 18.43

Jumlah polong total b 1.41 tn 0.177 25.97

Jumlah polong bernas b 1.54 tn 0.127 26.85

Jumlah polong cipo c 0.66 tn 0.833 25.65

Bobot polong total (g) 1.06 tn 0.422 49.14 Bobot polong bernas (g) 1.14 tn 0.350 49.29 Bobot polong cipo (g) c 0.59 tn 0.892 32.35 Bobot 100 butir biji 1.72 tn 0.077 11.27

16 masing huruf yang berada di bawah tabel. Karakter-karakter tersebut ditransformasi disebabkan oleh data dari karakter tersebut tidak menyebar normal setelah dilakukan analisis kenormalan menggunakan uji Anderson-Darling. Data dikatakan normal dengan uji Anderson-Darling jika data tersebut memiliki P value >0.05%.

Data yang tidak menyebar normal membuat asumsi pokok dalam analisis ragam tidak terpenuhi. Salah satu cara untuk membuat data menjadi mendekati sebaran normal dan ragam tidak dipengaruhi oleh perubahan nilai tengah perlakuan adalah melalui transformasi data. Melalui transformasi data diharapkan asumsi pokok dalam analisis ragam dapat terpenuhi, sehingga pengambilan keputusan melalui uji nyata menjadi sahih(Mattik dan Sumertajaya, 2006).

Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun

Karakter-karakter vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang, dan persentase panjang batang utama berdaun hijau tua. Genotipe-genotipe yang diuji menunjukkan perbedaan keragaan terhadap ketiga karakter vegetatif tersebut. Hasil uji F menunjukan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki perbedaan yang nyata pada taraf 5% untuk karakter tinggi tanaman dan jumlah cabang (Tabel 3). Namun setelah dilakukan uji t-Dunnet pada taraf 5%, galur-galur yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan varietas pembanding rentan (Gajah) dan toleran (Sima). Sima dipilih sebagai pembanding toleran untuk karakter tinggi tanaman dan jumlah cabang pada uji t-Dunnet karena Sima memiliki nilai tengah yang tertinggi untuk kedua karakter tersebut (Tabel 4). Kedua karakter tersebut memiliki kisaran nilai sebesar 47-92 cm untuk karakter tinggi tanaman dan 3-7 cabang untuk karakter jumlah cabang.

Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau tua merupakan peubah yang diajukan untuk menilai secara kuantitatif tingkat ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun (Yudiwanti et al., 2008). Karakter ini memiliki kisaran nilai 8%-17% dengan nilai tengah terendah ada pada Gajah (Tabel 4). Apabila dibandingkan dengan Gajah, keenambelas galur yang diuji memiliki nilai tengah yang lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa semua galur yang diuji lebih tahan terhadap penyakit bercak daun dibandingkan dengan Gajah.

17 Tabel 4. Nilai tengah karakter vegetatif 20 genotipe kacang tanah

Genotipe Tinggi

tanaman (cm)

Jumlah cabang

Persentase panjang batang utama berdaun

hijau tua (%) GWS 110A2 47.82 5.80 12.57 GWS 73D 58.77 4.73 17.46 GWS 110A1 63.02 5.47 15.64 GWS 74 D 65.17 4.60 12.89 GWS 39 D 66.13 5.47 16.30 GWS 74 A1 67.80 4.87 15.19 GWS 27 C 70.10 4.80 13.82 GWS 72 A 69.73 7.00 17.78 GWS 18 A1 52.87 5.73 13.51 GWS 138 A 60.60 6.60 15.71 GWS 134 A1 59.97 7 .00 14.57 GWS 39 B 52.08 5.28 15.09 GWS 110 D 60.77 6.80 10.80 GWS 134 D 72.50 7.70 17.92 GWS 134 A 79.58 7.20 15.71 GWS 79 A 63.49 7.20 11.46 Zebra Putih 53.73 3.93 13.24 Gajah 63.13 5.27 8.79 Sima 97.09 4.40 15.93 Jerapah 60.85 4.13 12.53

Persentase panjang batang utama berdaun hijau tua yang diukur pada saat panen menunjukan ketahanan tanaman dalam mempertahankan jumlah daun yang masih hijau selama terserang penyakit bercak daun. Penurunan hasil yang disebabkan penyakit bercak daun lebih pada penurunan kemampuan fotosintesis selama tanaman terserang penyakit. Hal ini karena tanaman yang terkena penyakit bercak daun, daunnya akan mengering dan rontok.

Semakin banyaknya daun yang masih hijau pada batang utama selama tanaman terserang penyakit bercak daun diharapkan dapat meningkatkan hasil. Hal ini karena daun-daun pada batang utama merupakan penyuplai utama asimilat untuk pengisian polong/biji, sedangkan daun-daun yang tumbuh pada cabang merupakan penyuplai asimilat utuk kebutuhan sink-sink lain selain biji (Purnamawati, 2012). Seperti yang dilaporkan oleh Purnamawati et al. (2010), apabila kegiatan fotosintesis dapat tetap dipertahankan tinggi selama periode pengisian biji maka akan sangat menguntungkan karena kebutuhan biji akan dapat terpenuhi.

18 Galur 134D memiliki nilai tertinggi untuk karakter jumlah cabang (7.73 cabang), namun nilai tengah tertinggi untuk karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas tidak dimiliki oleh galur 134D (Tabel 5). Hal ini bertentangan dengan Riduan dan Sudarsono (2005) yang melaporkan bahwa peningkatan jumlah cabang biasanya berasosiasi dengan peningkatan daya hasil yang menghasilkan polong dan biji lebih banyak karena bunga dan polong kacang tanah lebih banyak berkembang dari cabang sekunder bagian bawah. Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002), pengaruh jumlah cabang terhadap daya hasil akan lebih ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong.

Karakter Hasil dan Komponen Hasil

Karakter hasil yang diamati adalah bobot biji total, dan karakter komponen hasil yang diamati adalah jumlah polong total, jumlah polong bernas, jumlah polong cipo, bobot polong bernas, bobot polong total, bobot polong cipo, dan bobot 100 butir biji. Pengamatan karakter hasil dan komponen hasil dilakukan pada seluruh tanaman pada ubinan berukuran 1 m x 1 m atau 17 tanaman bebas serangan hama tikus.

Hasil uji F (Tabel 3) menunjukkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil tidak memiliki perbedaan yang nyata. Namun secara keseluruhan, galur-galur yang diuji sebagian besar memiliki nilai tengah lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding (rentan dan toleran) untuk karakter hasil dan komponen hasil yang diamati (Tabel 5 dan Tabel 6).

Bobot 100 biji merupakan karakter yang biasa digunakan untuk menduga ukuran biji (Yudiwanti dan Ghani, 2002). Semakin besar bobot 100 biji maka ukuran benihnya semakin besar. Menurut Utomo et al (2005), ukuran polong dan biji yang lebih besar dapat berkontribusi pada hasil yang tinggi.

Genotipe yang diuji memiliki kisaran nilai 38-194 polong untuk jumlah polong total, 27-148 polong untuk jumlah polong bernas dan 10-49 polong untuk jumlah polong cipo (Tabel 5). Nilai tengah tertinggi untuk jumlah polong total terdapat pada GWS 110A1 dan terendah terdapat pada GWS 110D. GWS 134D mamiliki jumlah polong bernas yang lebih banyak dibandingkan dengan 110A1 yang memiliki jumlah polong total paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

19 galur 134D memiliki kemampuan mengisi polong yang lebih baik bila dibandingkan dengan 110A1.

Tabel 5. Nilai tengah jumlah polong (total, bernas, cipo), dan bobot 100 butir biji pada 20 genotipe kacang tanah

Galur Jumlah polong

total Jumlah polong bernas Jumlah polong cipo Bobot 100 butir biji (g) GWS 110A2 142.67 101.33 41.33 38.38 GWS 73D 165.67 121.33 44.33 43.07 GWS 110A1 194.67 141.67 49.67 42.78 GWS 74 D 107.67 74.67 33.00 47.71 GWS 39 D 175.67 140.00 35.67 41.59 GWS 74 A1 121.67 90.00 21.67 43.18 GWS 27 C 59.67 43.33 16.33 43.76 GWS 72 A 95.33 75.00 20.33 44.13 GWS 18 A1 147.33 132.67 14.67 34.55 GWS 138 A 111.67 86.00 25.00 46.01 GWS 134 A1 183.00 148.00 35.00 46.41 GWS 39 B 143.67 112.00 31.67 40.34 GWS 110 D 38.00 27.67 10.33 39.13 GWS 134 D 118.00 89.33 28.00 43.09 GWS 134 A 81.67 60.33 21.33 45.30 GWS 79 A 123.67 85.67 38.00 45.73 Gajah 122.33 96.67 23.67 43.41 Zebra putih 97.00 76.33 20.67 35.72 Sima 110.67 78.00 32.67 40.27 Jerapah 78.00 61.33 16.67 44.52

Galur-galur yang diuji memiliki kisaran nilai 34-47 g untuk bobot 100 butir biji. Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002), ukuran benih kacang tanah tergolong medium jika memiliki bobot 100 butir benih sebesar 31-38 g, sehingga dapat disimpulkan bahwa galur-galur yang diuji memiliki ukuran benih medium dan besar. Galur yang memiliki ukuran benih medium adalah galur GWS 110A2 dan GWS 18A1, sedangkan keduabelas galur yang lain memiliki ukuran benih yang besar. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Junaedi (2010) dan Budiman (2011) yang melaporkan bahwa keenambelas galur yang diuji memiliki ukuran biji yang besar.

Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan lokasi, iklim dan tidak dilakukannya pengapuran. Namun menurut Wijaya (2011), tindakan pengapuran tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Tindakan pengapuran hanya berpengaruh

20 nyata pada persentase polong penuh, setengah penuh, dan jumlah bunga pada 10 MST. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan bobot 100 butir biji yang terjadi pada penelitian ini dan dua penelitian sebelumnya lebih dikarenakan pada perbedaan lokasi dan iklim.

Tabel 6. Nilai tengah bobot polong (total, bernas, dan cipo) dan bobot biji total 20 genotipe kacang tanah

Genotipe Bobot polong total (g) Bobot polong bernas (g) Bobot polong cipo (g) Bobot biji total (g) GWS 110A2 115.41 95.57 19.69 77.99 GWS 73D 156.47 132.73 23.74 92.92 GWS 110A1 155.25 133.30 21.94 117.27 GWS 74 D 110.55 86.63 23.98 69.82 GWS 39 D 116.80 135.24 11.13 99.31 GWS 74 A1 117.91 93.60 18.49 72.14 GWS 27 C 54.43 64.69 9.35 31.75 GWS 72 A 94.59 81.97 12.62 61.08 GWS 18 A1 93.38 83.94 9.45 68.83 GWS 138 A 111.86 97.87 8.69 73.31 GWS 134 A1 172.27 119.65 17.79 115.43 GWS 39 B 126.79 111.99 14.79 78.73 GWS 110 D 41.43 33.06 8.47 18.90 GWS 134 D 112.03 97.33 14.07 65.97 GWS 134 A 78.62 68.59 10.03 60.32 GWS 79 A 120.91 96.18 24.73 83.16 Gajah 114.43 103.08 11.35 77.31 Zebra Putih 122.80 107.18 15.62 61.67 Sima 122.96 101.09 21.86 74.25 Jerapah 77.44 71.70 7.79 51.92

Kisaran nilai untuk karakter bobot polong total adalah 41-172 (g), bobot polong bernas adalah 33-135 (g), bobot polong cipo adalah 8-24 (g), dan bobot biji total adalah 18-117 (g) (Tabel 6). Galur GWS 73D dan 110A1 memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan nilai tengah kedua varietas pembanding (toleran dan rentan) untuk karakter bobot polong total, bobot polong bernas, dan bobot biji total. Varietas pembanding toleran terbaik untuk karakter bobot polong total dan bobot polong bernas adalah Sima, sedangkan varietas pembanding toleran terbaik untuk karakter bobot polong bernas adalah Zebra Putih.

Nilai tengah rata-rata untuk karakter bobot polong cipo, semua galur yang diuji memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding toleran dan rentan. Tingginya bobot polong cipo pada galur yang diuji

21 menunjukkan bahwa galur-galur tersebut masih memiliki kemampuan mengisi polong yang kurang baik bila dibandingkan dengan pembanding Gajah (rentan) dan Jerapah (toleran terbaik).

Korelasi antar Karakter yang Diamati

Analisis korelasi menggambarkan hubungan keeratan antar karakter yang diamati. Nilai korelasi dapat bernilai positif atau negatif dengan rentang nilai antara -1 sampai +1. Nilai koefisien korelasi semakin mendekati -1 atau +1 maka tingkat keeratan antara dua karakter semakin tinggi dan semakin mendekati nol maka tingkat keeratannya semakin rendah (Mattik dan Sumertajaya, 2006). Menurut Abu Bakar (2007), hubungan signifikansi menerangkan tentang kesahihan hubungan antara dua variabel berdasarkan pada taraf kepercayaan yang diambil (5% atau 1%). Nilai korelasi yang nyata berarti adanya hubungan yang kuat, bukan karena adanya peluang tetapi benar-benar hubungan yang nyata antara dua variabel tersebut.

Hubungan antar karakter yang erat dan positif ditunjukan oleh karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas (Tabel 7). Hal ini dikarenakan hubungan antara dua karakter tersebut memiliki koefisien korelasi positif yang paling tinggi (0.984) dan hubungan keeratannya nyata pada taraf 1% dibandingkan dengan hubungan antar karakter yang lainnya. Korelasi yang nyata dan positif dari kedua karakter tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi atau rendah jumlah polong total maka jumlah polong bernas akan semakin tinggi atau rendah pula.

Salah satu kendala untuk merakit varietas baru yang tahan dan daya hasil tinggi adalah adanya hubungan yang negatif antara karakter ketahanan dengan daya hasil. Yudiwanti et al. (1998) dan Utomo dan Akin (2004) melaporkan bahwa sifat ketahanan terhadap suatu penyakit berkorelasi negatif dengan daya hasil. Namun pada penelitian kali ini, karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau yang diajukan sebagai karakter ketahanan terhadap penyakit bercak daun berkorelasi positif terhadap karakter hasil yaitu bobot biji total meskipun hubungan keeratan tersebut tidak nyata (Tabel 7).

22 Tabel 7. Koefisien korelasi pearson antar karakter pada galur-galur kacang tanah tahan penyakit bercak daun

TT JC PPBH JPT JPB JPC BPT BPB BPC BSBB JC 0.013 (0.958) PPBH 0.293 -0.26 (0.21) (0.268) JPT -0.001 -0.155 0.35 (0.995) (0.515) (0.13) JPB 0.064 -0.164 0.383 0.984** (0.788) (0.49) (0.095) (<0.001) JPC -0.12 0.004 0.273 0.771** 0.661** (0.613) (0.988) (0.244) (<0.001) (0.001) BPT -0.116 -0.044 0.171 0.85** 0.809** 0.718** (0.628) (0.855) (0.471) (<0.001) (<0.001) (<0.001) BPB -0.106 0.04 0.345 0.897** 0.863** 0.788** 0.885** (0.657) (0.867) (0.136) (<0.001) (<0.001) (<0.001) (<0.001) BPC 0.019 0.221 0.103 0.518 0.389 0.801 0.593** 0.575** (0,938) (0.349) (0.666) (0.019) (0.09) (<0.01) (0.006) (0.008) BSBB -0.648 -0.301 0.021 -0.023 -0.081 0.177 0.138 0.059 0.05 (0.002) (0.197) (0.929) (0.923) (0.734) (0.455) (0.561) (0.804) (0.834) BBT -0.191 -0.17 0.275 0.929** 0.895** 0.779** 0.899** 0.912** 0.538* 0.225 (0.421) (0.473) (0.241) (<0.001) (<0.001) (<0.001) (<0.001) (<0.001) (0.014) (0.339) Keterangan : Angka dalam tanda kurung “()” menunjukkan nilai peluang koefisien korelasi di atasnya; JC: jumlah cabang; TT: tinggi

tanaman; PPBH: persentase panjang batang utama berdaun hijau; JPT: jumlah polong total; JPC: jumlah polong cipo; JPB: jumlah polong bernas; BPT: bobot polong total; BPC: bobot polong cipo; BPB: bobot polong bernas; BBT: bobot biji total; BSBB: bobot 100 butir; *: nilai korelasi nyata pada taraf 5%; **: nilai korelasi nyata pada taraf 1%.

23 Menurut Yudiwanti (2006), korelasi negatif tersebut disebabkan oleh peran antagonis stomata terhadap daya hasil dan terhadap tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Stomata yang membuka sempit dengan kerapatan rendah mendukung tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun karena dapat menurunkan peluang penetrasi patogen melalui stomata, akan tetapi karakter yang sama mengurangi difusi karbondioksida ke dalam daun sehingga kapasitas fotosintesis berkurang dan akibatnya daya hasilnya lebih rendah.

Seleksi terhadap Galur-Galur GWS Terbaik

Tahap awal dari proses menyeleksi galur-galur GWS terbaik adalah memilih kriteria seleksi ketahanan dan kriteria daya hasil dari karakter-karakter yang diamati. Karakter-karakter yang akan dipilih sebagai kriteria seleksi adalah karakter-karakter yang dapat mencerminkan potensi galur GWS yang diuji terhadap ketahanan penyakit bercak daun dan daya hasil tinggi. Kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap bercak daun digunakan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau (Yudiwanti et al., 2007), sedangkan untuk kriteria seleksi daya hasil digunakan karakter-karakter yang berkorelasi nyata dan positif dengan daya hasil serta memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi. Karakter jumlah polong total, jumlah polong bernas, jumlah polong cipo, bobot polong bernas, bobot polong cipo, dan bobot polong total berkorelasi nyata dan positif dengan bobot biji sebagai karakter hasil (Tabel 8). Keenam karakter tersebut dapat dijadikan kriteria seleksi untuk daya hasil, namun menurut Yudiwanti et al. (1998) karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas lebih mencerminkan potensi genetik daya hasil genotipe kacang tanah berkaitan dengan penyakit bercak daun. Hal ini disebabkan penyakit bercak daun menyerang pertanaman kacang tanah saat pengisian polong, sehingga potensi genetik tanaman yang tahan terhadap penyakit bercak daun lebih pada ketahanannya dalam pengisian polong bukan pada pembentukan polong. Hal ini diperkuat oleh nilai heritabilitas kedua karakter tersebut yang lebih tinggi dibandingkan keempat karakter lainnya (Tabel 7). Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu karakter menggambarkan semakin besarnya pengaruh genetik dalam mempengaruhi keragaman fenotipe tanaman untuk karakter tersebut. Oleh karena itu, karakter

24 jumlah polong total dan jumlah polong bernas dijadikan kriteria seleksi untuk daya hasil berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit bercak daun. Tabel 8. Nilai duga heritabilitas dan koefisien korelasi enam karakter yang

menjadi kriteria seleksi daya hasil pada 20 genotipe kacang tanah

Karakter h²bs Koefisien korelasi

Jumlah Polong Total 0.29 0.929**

Jumlah Polong Bernas 0.35 0.895**

Jumlah Polong Cipo

0 0.779**

Bobot Polong Total

0.04 0.899**

Bobot Polong Bernas 0.11 0.912**

Bobot Polong Cipo

0 0.538*

Keterangan : **: berkorelasi nyata pada taraf 1%, *: berkorelasi nyata pada taraf 5%.

Galur-galur GWS terbaik dipilih berdasarkan pada galur yang memiliki persentase panjang batang utama berdaun hijau, jumlah polong total, dan jumlah polong bernas yang lebih tinggi diantara galur lainnya. Untuk mempersempit proses seleksi, maka dipilih galur-galur dengan persentase panjang batang utama berdaun hijau tua, jumlah polong total, dan jumlah polong bernas yang lebih tinggi dari Gajah

sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap bercak daun. Berdasarkan kriteria

seleksi ketahanan terhadap penyakit bercak daun dan daya hasil, diperoleh galur GWS 110A2, 73D, 110A1, 39D, 18A1, 134A1, dan 39B terpilih sebagai galur yang tahan terhadap penyakit bercak daun dan daya hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Gajah. Galur GWS 18A1 merupakan galur yang juga terpilih pada penelitian Junaedi (2010) dan Budiman (2011) sebagai galur yang tahan terhadap penyakit bercak daun dan daya hasil tinggi dibandingkan dengan Gajah. Galur-galur GWS terbaik yang terpilih pada penelitian ini dan penelitian Junaedi (2010) adalah galur GWS 110A2, GWS 73D, GWS 134A1, dan GWS 39B.

Galur 110A1 merupakan galur yang baru terpilih pada penelitian kali ini. Galur GWS 79A yang terpilih sebagai galur yang tahan terhadap penyakit bercak daun dan berdaya hasil tinggi pada penelitian Junaedi (2010) dan Buiman (2011) tidak terpilih pada penelitian kali ini. Pada penelitian ini, jumlah polong total 79A lebih besar dibandingkan Gajah, namun jumlah polong bernas galur GWS 79A

25 lebih rendah dibandingkan Gajah. Hal ini diduga karena pada penelitian kali ini, tanaman terpapar cekaman kekeringan selama fase pengisian polong sehingga menyebabkan sedikit perbedaan terhadap pemilihan galur GWS terbaik yang berkaitan dengan karakter daya hasil.

26

KESIMPULAN

Hasil evaluasi dari daya hasil terhadap 16 galur generasi lanjut hasil persilangan antara varietas Gajah x galur introduksi GP-NC WS4 untuk ketahanan pada penyakit bercak daun dan daya hasil tinggi, diperoleh galur GWS 110A2, 73D, 110A1, 39D, 18A1, 134A1, dan 39B sebagai galur yang tahan terhadap penyakit bercak daun dan daya hasil lebih tinggi dibanding varietas Gajah. Galur 18A1 merupakan galur selalu terpilih pada penelitian dalam kurun waktu 2010-2012.

27

Dokumen terkait