• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU)

Kondisi Tofografi dan Klimatologi

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) berada di Kecamatan Lembang di wilayah utara Kabupaten Bandung dan merupakan salah satu kawasan yang sangat cocok dalam pengembangan usaha ternak sapi perah. Berdasarkan tofografinya kecamatan Lembang memiliki kondisi geografis yang berbukit, ketinggian tempat 1.200-1.275 m di atas permukaan laut. Curah hujan cukup tinggi sekitar 1.800-2.500 mm/tahun. Wilayah kecamatan Lembang berhawa sejuk dengan kisaran suhu antara 15,6-16,8 0C pada musim hujan dan 30,5-32,7 0C pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 17-25 0C). Luas wilyah kecamatan Lembang 10.620 Ha yang terdiri atas 16 desa, 43 dusun (Prihatin, 2008). Keadaan lingkungan yang sedemikian rupa mendukung usaha peternakan sapi perah di daerah Lembang.

Perkembangan

KPSBU Lembang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1971 akibat ketidakpuasan peternak terhadap kolektor atau pengumpul susu. KPSBU berupaya mencapai tujuan menjadi model koperasi dalam mensejahterakan anggotanya. Keunggulan yang dimilikinya adalah anggota yang setia dan aktif dalam menjalankan semua kewajibannya. Jumlah anggota KPSBU sampai dengan 2009 mencapai 5.079 orang yang terdiri atas 21 kelompok. Jumlah anggota mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya namun mengalami peningkatan dalam jumlah sapi yang dipelihara peternak.

KPSBU Lembang mempunyai badan hukum No. 4891/PAD/KWK. 10/X yang semakin terus berkembang dan semakin maju. Perkembangan ditunjang oleh kebijaksanaan pemerintah yang mewajibkan pihak Industri Pengelola Susu (IPS) menerima susu yang berasal dari peternak dalam negeri sehingga memberikan peluang peternak untuk meningkatkan produksi susu. Bulan Januari 1996 KPSBU menerapkan sistem pembayaran berdasarkan kualitas susu yang disetor ke koperasi.

Harga susu tertinggi per Agustus 2007 pada level peternak adalah Rp. 3000,00/liter (Prihatin, 2008). Tahun 2010 harga susu menjadi Rp. 3.100,00/liter

(KPSBU, 2010). Pengurus mendorong tercapainya transparansi dan bertanggung jawab membangun manajemen koperasi yang berbasis pada hasil dan berorientasi pada kebutuhan anggota.

Manajemen di KPSBU diarahkan untuk berfungsi sebagai sebuah tim agar dapat mendukung keberadaan koperasi dalam lingkungan yang sangat kompetitif. Tujuan utama koperasi adalah menghasilkan komoditas yang unggul, yakni susu segar yang dihasilkan peternak sebagai produk bermutu tinggi di pasaran.

Visi KPSBU pada tahun 2010 adalah menjadikan koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan anggota dengan misi mensejahterakan anggota melalui layanan prima dalam industri persusunan dengan manajemen yang berkomitmen dan meningkatkan kapasitas kelembagaan koperasi melalui pendidikan, pemberdayaan SDM dan kemitraan strategis (KPSBU, 2010). Visi dan misi KPSBU tahun 2010 di ubah seiring dengan ulang tahun KPSBU yang ke 39 yang lebih menekankan kepada kesejahteraan anggotanya. Nilai-nilai KPSBU terhadap anggotanya adalah harus inovatif, dinamis, berorientasi pada kualitas, keterbukaan, keadilan, demokratis dan mandiri. Tahun 2004 KPSBU memberikan pendidikan dasar untuk anggota yang wajib diikuti oleh semua anggota.

Wilayah Kerja

Wilayah kerja KPSBU Lembang meliputi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung dan Kecamatan Ciater Kabupaten Subang yang dibagi dalam beberapa komisaris daerah (komda). Untuk mempermudah pelayanan koperasi, di setiap komda didirikan TPK (Tempat Pelayanan Koperasi) dan TPS (Tempat Penampungan Susu). Pembangunan sarana tersebut mempermudah peternak dalam penyetoran susu dan urusan administrasi, sehingga KPSBU Lembang telah mempunyai 22 TPK dan 700 TPS (KPSBU, 2010).

Jumlah dan Kepemilikan Sapi Perah

Sapi perah yang dipelihara pada umumnya adalah bangsa Friesian Holstein (FH) dan peranakan FH (PFH), yang diperoleh dari paket kredit koperasi, kredit Bank Bukopin dan BRI (Prihatin, 2008). Jumlah sapi perah tiap tahunnya mengalami kenaikan. Jumlah sapi berkaitan dengan produksi susu yang semakin meningkat pula setiap tahunnya. Populasi yang semakin bertambah akan menyebabkan penghasilan koperasi pun semakin meningkat dan kualitas serta kuantitas susu pun semakin

bertambah. Data populasi sapi perah FH di KPSBU Lembang pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Populasi Sapi Perah FH di KPSBU Lembang Tahun 2009

Nomor Komposisi 2009 1 Laktasi 11.645 Kosong 6.350 Bunting 5.295 2 Dara 3.287 Kosong 2.081 Bunting 1.206 3 Pedet 4.038 Jantan 1.303 Betina 2.735 4 Jantan Dewasa 200 Jumlah 19.045

Keterangan : Rekapitulasi Pendataan Populasi Sapi Perah, KPSBU Lembang Bulan September 2009

Reproduksi Sapi Perah FH

Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur makhluk betina dengan sel mani dari jantan menjadi makhluk hidup baru yang disebut zigot(Hardjopranjoto, 1995). Reproduksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas dari sapi perah. Efisiensi reproduksi dapat tercapai dengan manajemen yang baik sehingga dapat menghasilkan produksi susu yang optimal.

Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak (Yudhie, 2010). Ukuran efisiensi reproduksi dalam usaha peternakan sapi perah sangatlah penting, karena untuk mendapatkan produksi susu dan keuntungan yang optimal sangat bergantung kepada pengaturan reproduksi sapi (Tawaf, 2010). Beberapa faktor reproduksi yang mempengaruhi produktifitas adalah kawin pertama setelah beranak, masa kosong, S/C, PKB, kebuntingan, calving interval atau selang beranak. Faktor-faktor tersebut masing-masing memiliki nilai yang ideal untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Pernyataan tersebut didukung oleh Hardjopranjoto (1995), bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ditentukan oleh angka kebuntingan, selang beranak, masa kosong, service per conceptiondan angka kelahiran

Efisiensi reproduksi di KPSBU Lembang dari hasil penelitian memperlihatkan hasil yang kurang baik karena faktor-faktor reproduksi sapi tersebut tidak mencapai nilai yang ideal. Rataan efisiensi reproduksi hasil penelitian di KPSBU Lembang dapat dilihat pada Tabel 3. Data tersebut didapat dari tahun 2002 sampai 2009.

Tabel 3. Rataan Kawin Pertama Setelah Beranak, service per conception, Periksa Kebuntingan, Masa Kosong, Kebuntingan dan calving interval di KPSBU Lembang mulai Tahun 2002 – 2009.

Keterangan n Rataan

Interval Kawin Pertama Setelah Beranak 102 119,87±88,86

Service Per Conception 115 3,92±1,49

Periksa Kebuntingan 102 52,35±16,28

Masa Kosong 102 445,27±381,95

Kebuntingan 102 278,45±8,07

Calving Interval 102 694,87±387,32

Interval Kawin Pertama Setelah Beranak

Interval kawin kembali setelah beranak merupakan interval sapi dari waktu kelahiran sampai dengan dikawinkan kembali. Siklus birahi setelah beranak pada setiap individu sapi berbeda-beda. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), sebagian besar 65% dari sapi-sapi betina kembali berahi 21-80 hari sesudah melahirkan. Selow (2009), mengatakan sebaiknya sapi dikawinkan kembali 60 hari setelah beranak yang diharapkan akan mencapai konsepsi yang tinggi dengan gangguan reproduksi yang kecil.

Rataan hasil penelitian di KPSBU Lembang untuk interval kawin pertama setelah beranak yaitu 119,87±88,86 hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa interval kawin pertama setelah beranak pada sapi perah FH di Lembang kurang baik. Panjangnya interval kawin pertama setelah beranak dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti terlambatnya post partum estrus, ketidaktelitian peternak dalam

mendeteksi estrus sehingga peternak sering tidak mengetahui kalau sapi perahnya sedang estrus (Selow, 2009) serta gangguan reproduksi seperti kasus birahi tenang.

Hasil penelitian sebelumnya oleh Prihatin (2008), interval kawin pertama setelah beranak di peternakan rakyat KPSBU Lembang yaitu 118,7±67,3 hari. Interval yang panjang tersebut dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan setelah beranak seperti kecukupan pakan yang dapat menyebabkan proses pemulihan kondisi tubuh dan involusi uteri terlambat sehingga birahi pun tertunda. Kondisi tubuh dapat dilihat dari body condition scoreyang memiliki grade dari 1 sampai 5.

Menurut Sukandar (2008), ternak yang memiliki grade 5 bearti ternak tersebut sangat gemuk. Adapun ciri-ciri ternak yang sangat gemuk yaitu processus spinosus tidak dapat dideteksi, processus transversus tidak dapat diraba dan otot sangat penuh dengan perlemakan yang tebal. Body condition score (BCS) yang memiliki nilai rendah saat puncak produksi susu dapat disebabkan karena pemberian pakan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan untuk berproduksi, sehingga terjadi mobilisasi lemak tubuh yang sangat banyak.

Kawin pertama setelah beranak pada beberapa sapi yang ada di KPSBU mencapai 42 hari setelah beranak sampai 488 hari. Jarak waktu yang lama menandakan manajemen pemeliharaan dan reproduksi di KPSBU masih kurang baik. Hal ini mengurangi efisiensi produksi peternakan karena masa interval yang terlalu panjang. Pernyataan tersebut didukung oleh Hafez (2000), bahwa kesuburan tertinggi dicapai bila involusi uteri telah berlangsung 60-90 hari agar estrus kembali normal secara sempurna. Waktu yang paling baik untuk dikawinkan kembali setelah beranak adalah sekitar umur 60-90 hari. Sapi dikawinkan pada waktu kurang dari 60 hari dapat menyebabkan gangguan reproduksi karena sapi tersebut belum kembali pulih kondisi tubuhnya dan jika dikawinkan pada umur lebih dari 90 hari maka akan mengalami kerugian karena pengurangan masa produktif sapi dan akan menambah biaya untuk pemeliharaan sapi yang kurang produktif (Prihatin, 2008).

Keakuratan peternak dalam mendeteksi birahi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan interval kawin pertama setelah beranak menjadi panjang karenanya deteksi birahi yang tepat merupakan faktor yang penting dalam usaha peternakan. Tomaszewska et al. (1991), mengatakan deteksi birahi yang tepat berguna untuk mengetahui waktu konsepsi sehingga dapat menyesuaikan nutrisi

yang diperlukan untuk kebuntingan dan menentukan waktu beranak. Peternak seharusnya sudah paham betul tentang ciri-ciri birahi pada ternaknya, biasanya sapi birahi ditandai dengan 3B yaitu baseuh, bareuhdan beureumpada bagian vaginanya, selain itu, deteksi birahi juga dapat dilihat pada ternak yang menaiki sapi betina.

Service Per Conception(S/C)

Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang berhasil dikawinkan dan menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting (Selow, 2009). S/C menunjukkan angka kesuburan setiap ternak dalam menggambarkan penampilan reproduksinya pada suatu peternakan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rataan nilai S/C sapi perah FH di KPSBU yang ditampilkan pada Tabel 3 yaitu sebesar 3,92±1,49.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan pernyataan Toelihere (1977), bahwa nilai S/C yang optimal berkisar antara 1,6-2,0. Tawaf (2010), berpendapat bahwa nilai S/C yang ideal yaitu 1 sampai 3. Nilai S/C yang tinggi di KPSBU Lembang dapat disebabkan dari tata laksana pemeliharaan yang kurang baik. Tata laksana pemeliharaan dapat dilihat dari manajemen, breeding dan feeding. Adapun manajemen pemeliharaan di peternakan rakyat KPSBU dilakukan dengan sistem intensif, semua sapi yang dimiliki peternak dikandangkan sehingga jika ada birahi diam sulit sekali dideteksi karena sapi tersebut tidak dapat menaiki sapi lainnya untuk menunjukkan keadaan birahinya. Tata laksana perkawinan atau breeding di KPSBU dilakukan dengan kawin buatan atau IB sehingga setiap sapi yang birahi peternak harus segera melaporkan kepada inseminator untuk segera melakukan inseminasi buatan. Tata laksana pemberian pakan atau feeding dilakukan setiap 3 kali dalam sehari dengan pemberian pakan hijauan dan 2 kali sehari pakan konsentrat. Pakan hijauan yang diberikan berupa jerami padi, rumput gajah dan pohon pisang, sementara konsentrat yang diberikan berupa ampas kecap, white pollard, dedak dan bungkil kelapa.

Pakan hijauan diberikan mulai pkl. 05.00-06.00 WIB pagi hari, pkl. 12.00-13.00 WIB siang hari dan pkl. 16.00-17.00 sore hari, sementara pakan konsentrat diberikan pada pagi hari setelah pemerahan dan sore hari sesaat sebelum pemerahan. Prihatin (2008), mengatakan rataan perbandingan pakan hijauan dan konsentrat di

KPSBU adalah 67,34% : 32,66% yang mencapai 15,92 Kg untuk hijauan dan 7,72 Kg untuk konsentrat. Pemberian pakan sapi perah untuk induk laktasi lebih tinggi karena untuk produksi susu, pemberian hijauan yaitu 38,80 Kg dengan konsentrat 10,38 Kg per harinya.

Pabrik pakan KPSBU mengeluarkan konsentrat sebanyak 100 ton/harinya, pakan yang diberikan sudah cukup sesuai untuk kebutuhan sapi sehingga KPSBU tidak memiliki masalah dengan pemberian pakan dan kandungan pakan didalamnya. Berikut disajikan pada Tabel 4 jenis dan kandungan bahan makanan di KPSBU Lembang.

Tabel 4. Jenis dan Kandungan Bahan Makanan Sapi Perah di KPSBU Lembang

Bahan Makanan BK TDN PK DCP SK Ca P ...BK(%)... Rumput Gajah 22 11,4 2 1,3 7,3 0,13 0,09 Ruput Raja 20 10 1,6 0,9 8 0,1 0,07 Jerami Padi 25 10,5 1,7 1,1 9,1 0,1 0,07 Ampas Kecap 25 16,5 6,4 4,5 5,6 0,11 0,1 Dedak 88 59,5 12 9 13,5 0,08 1,22 Sumber : Prihatin (2008)

Menurut Toelihere (1977), nilai S/C yang rendah diartikan dengan kesuburan hewan betina yang semakin tinggi, sebaliknya jika nilai S/C yang tinggi diartikan dengan kesuburan hewan betina yang semakin rendah. Dengan demikian, rataan nilai S/C yang tinggi di KPSBU Lembang menyebabkan kesuburan hewan betina yang semakin rendah.

Tingginya nilai S/C dapat disebabkan oleh pendeteksian waktu birahi yang kurang tepat oleh peternak dan operator IB, kualitas semen yang kurang baik, pemberian pakan, jarak antara inseminator ke peternakan, jam dalam melakukan inseminasi buatan kepada ternak serta kondisi tubuh dari sapi itu sendiri. Selain itu hasil penelitian Kurniadi (2009), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi service per conception adalah birahi pertama setelah melahirkan, lama masa kering, produksi susu, lama masa kosong, perkawinan kembali setelah melahirkan, selang beranak, lama waktu sapih dan gangguan reproduksi.

KPSBU memiliki jumlah inseminator sebanyak 25 orang yang sebagian besar berasal dari pendidikan sekolah peternakan dan sebagiannya dari lulusan perguruan tinggi dokter hewan. Masing-masing inseminator memegang satu TPK (Tempat Pelayanan Koperasi) dimana setiap TPK terdapat sekitar 500 ekor induk sapi, jika dirata-ratakan dalam sehari terdapat sekitar 1-2 sapi yang birahi sehingga inseminator tidak terlalu berat dalam menjalankan tugasnya terkecuali jika ada sekitar 10 ekor sapi yang birahi per harinya, hal tersebut yang dapat menyebabkan suatu kendala akan kemampuan inseminator karena sulitnya transportasi dan jarak yang mungkin terlampau jauh dari satu daerah ke daerah lainnya.

Waktu yang tepat untuk dilakukan IB merupakan faktor penting dalam keberhasilan IB sehingga nilai S/C dapat lebih ditekankan. Menurut Toelihere (1981), waktu yang terbaik untuk inseminasi adalah mulai dari pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah akhir estrus, maka sebaiknya pendeteksian birahi dilakukan setidaknya tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan malam hari untuk memperoleh hasil yang terbaik (Hardjopranjoto, 1995). Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknik untuk perbaikan mutu genetik (Tomaszewska et al., 1991). IB sudah bukan merupakan hal yang asing bagi peternak karena IB merupakan perkawinan secara buatan yang lebih ekonomis dibandingkan dengan kawin alam yang membutuhkan pejantan dan membutuhkan biaya pemeliharaan yang lebih besar. Keuntungan IB menurut Rahardi (2008), yaitu dapat menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan; dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik; mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding) dan mencegah terjadinya penularan penyakit.

Kemampuan peternak dalam mendeteksi IB dapat membantu operator IB menentukan waktu yang tepat untuk melakukan inseminasi buatan. Operator IB harus berpengalaman dalam penanganan semen dan penempatan semen kedalam saluran reproduksi betina. Tomaszewska et al. (1991), mengatakan cara yang tepat untuk melakukan inseminasi buatan pada sapi yaitu melalui serviks yang dipegang melalui dinding usus besar dan diluruskan, lalu sebuah pipet atau alat pemegang straw dimasukkan ke dalam uterus untuk meletakkan semen tepat di bagian badan dari uterus dan atau pada bagian depan dari serviks.

Menurut Jogjavet (2008), faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan IB adalah kualitas semen. Kualitas semen yang baik untuk IB yaitu yang memiliki konsentrasi 25 juta untuk semen beku, post thawing motility 40% dan spermatozoa tidak mengalami abnormalitas. Spermatozoa yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuannya untuk membuahi sel telur dalam tuba falopii untuk itu semen dievaluasi secara periodik selama 6 bulan. Semen berkualitas baik akan meningkatkan keberhasilan dari inseminasi buatan. Menurut Prihatin (2008), semen berkualitas baik mengandung spermatozoa yang mempunyai tingkat fertilitas tinggi. Kegagalan IB dapat terjadi karena lokasi IB yang tergolong jauh dan penanganan semen seperti thawingyang kurang baik. Prosedur pelaksanaan IB yang tepat akan menyebabkan efisiensi reproduksi sapi perah FH menjadi lebih baik sehingga produktivitas meningkat.

S/C yang tinggi merupakan gangguan reproduksi yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada peternak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hafez (2000), bahwa gangguan reproduksi pada ternak khususnya sapi perah akan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak berupa conception rate

(CR) yang rendah, service per conception(S/C) yang tinggi dan calving interval(CI) yang panjang. S/C yang tinggi dapat terjadi pula karena sapi dikawinkan berulang. Menurut Hafez (2000), kawin berulang atau repeat breeding yaitu dimana seekor betina kembali minta kawin berulang-ulang setelah dikawinkan dengan pejantan fertil dengan menunjukkan tanda-tanda birahi yang normal tiap 18-24 hari tetapi membutuhkan lebih dari tiga kali perkawinan untuk menjadi bunting.

Tabel 5 menunjukkan nilai S/C tahun 2009 sudah mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya yaitu memiliki nilai 2,7. Nilai S/C ini tidak berbeda jauh dengan Koperasi Peternak Bandung Selatan hasil penelitian Kurniadi (2009), yaitu 2,150,73. Nilai S/C yang rendah di KPSBU tahun 2009 dapat diartikan bahwa adanya usaha dari peternak untuk memperbaiki manajemen reproduksi dari sapi yang dimilikinya. Perbaikan tersebut merupakan suatu usaha yang dapat meningkatkan produksi susu per tahunnya dan merupakan suatu prestasi besar bagi Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara. Namun, efisiensi reproduksi tidak hanya dilihat dari rendahnya nilai S/C sehingga manajemen reproduksi dan pemeliharaan masih harus

diperhatikan agar peternak tidak mengalami kerugian yang besar dan produktivitas sapi perah dapat lebih ditingkatkan.

Periksa Kebuntingan(PKB)

PKB merupakan suatu cara yang dilakukan untuk memeriksa kebuntingan pada ternak setelah ternak tersebut dikawinkan. PKB pada sapi biasanya dilakukan dengan palpasi rektal karena cara tersebut paling mudah dan praktis. Menurut Nugroho (2008), palpasi rektal merupakan salah satu cara untuk melakukan diagnosis kebuntingan dengan cara tangan dimasukkan lewat rektum untuk melakukan perabaan terhadap uterus ataupun ovarium. Tujuan dari palpasi ini adalah untuk mendeteksi adanya pembesaran uterus yang bunting dengan ditandai adanya isi fetus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKB yang dilakukan di wilayah KPSBU memiliki rataan 52,35±16,28 hari. Rataan tersebut mencapai 2,5 kali siklus birahi. Hunter (1981), lama satu siklus birahi merupakan proporsi lama kebuntingan yang penting dan bila satu siklus hilang karena ketidakberhasilan pembuahan ini merupakan kerugian ekonomi pada sistem produksi yang intensif dan hilangnya siklus kedua karena kegagalan dalam mendeteksi dan menginseminasi kembali hewan yang tidak bunting juga dapat merugikan dalam segi ekonomi.

Rataan PKB yang lama dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar pada peternak dari segi produksi dan reproduksi. PKB di KPSBU yang mencapai 2,5 kali siklus birahi dapat disebabkan karena kurang perhatiannya peternak pada sapi yang telah dikawinkan. Jika sapi sudah mengalami perkawinan dan sebelum dilakukan pemeriksaan kebuntingan maka peternak tidak memperhatikan siklus birahi pada sapi tersebut padahal perkawinan tidak selamanya berhasil. Peternak akan memperhatikan siklus birahi sapinya setelah pemeriksaan kebuntingan. Kemampuan dalam menentukan kebuntingan secara tepat dan dini sangat diperlukan oleh dokter hewan atau petugas pemeriksa kebuntingan lapangan (Manan, 2001). Selain itu, catatan tentang reproduksi juga sangat dibutuhkan oleh dokter hewan sebelum melakukan pemeriksaan kebuntingan, Manan (2001), mengatakan bahwa tugas dokter hewan tidak hanya sekedar menentukan kebuntingan akan tetapi harus mampu menentukan umur masa kebuntingan serta meramalkan waktu akan melahirkan. Sehingga catatan

perkawinan dan reproduksi yang lengkap sangat bermanfaat untuk penentuan kebuntingan secara cepat dan tepat.

Diagnosa kebuntingan yang paling sesuai dan paling praktis adalah dengan palpasi rektal. Diagnosa tersebut didasarkan pada asimetri, fluktuasi dan konsistensi, lokasi cornua uteri serta pergerakan foetus itu sendiri (Toelihere, 1977). Diagnosa kebuntingan dapat dilihat dari bulan pertama sampai dengan bulan kesembilan. Tanda-tanda utama dapat terlihat pada bulan tersebut. Namun PKB pada bulan pertama sampai ketiga memang sangat sulit sehingga dibutuhkan jam terbang yang tinggi dan lebih cekatan apalagi jika terjadi pada induk yang sudah dua kali atau lebih beranaknya. Lain halnya dengan induk dara yang lebih mudah untuk dilakukan pemeriksaan pada umur 2-3 bulan (Jogjavet, 2008). Teknisi PKB harus sangat berpengalaman dan mahir dalam hal memeriksa kebuntingan sapi.

Rataan PKB yaitu 52,35±16,28 hari, berarti sudah hampir mendekati kebuntingan dua bulan. Menurut Toelihere (1977), kebuntingan pada usia dua bulan sulit untuk dideteksi, adapun ciri-ciri kebuntingan pada usia dua bulan yaitu uterus membesar, mengembang dan tegang, amnion berkembang ukuran sebesar kelereng pada umur lima minggu sampai sebesar telur ayam pada umur tujuh minggu.

Secara garis besar terdapat dua indikasi dalam menentukan kebuntingan pada hewan betina yaitu indikasi kebuntingan secara eksternal dan internal. Indikasi kebuntingan eksternal meliputi catatan/ recording, adanya anestrus, pembesaran abdomen sebelah kanan secara progresif, berat badan yang meningkat, adanya gerakan fetus, gerakan sapi melambat, bulunya mengkilat, sapi menjadi lebih tenang temperamennya dan kelenjar air susu membesar secara progresif. Indikasi kebuntingan secara internal lebih mudah, praktis, murah dan cepat serta dapat dilakukan setelah 50-60 hari perkawinan, sehingga dapat ditentukan adanya: perubahan pada kornua uteri, adanya kantong amnion, adanya pergelinciran selaput janin, adanya fetus, adanya plasentom dan fremitus (Jogjavet, 2008). Indikasi yang sering digunakan oleh peternak pada umumnya adalah indikasi secara internal dan eksternal. Indikasi kebuntingan ini dilakukan oleh inseminator dan dilakukan pencatatan atau recording sementara peternak tidak memiliki catatan dari hasil indikasi tersebut.

Masa Kosong

Masa kosong adalah jarak antara waktu induk beranak sampai bunting kembali. Selow (2009), mengatakan masa kosong atau days openadalah jarak waktu antara sapi beranak atau partus sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari. Panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak (Payne, 1970). Masa kosong merupakan salah satu faktor yang penting dalam tata laksana sapi perah dalam hal ketepatan waktu kebuntingan yang diinginkan.

Hasil penelitian pada Tabel 3 menyatakan bahwa rataan masa kosong di

Dokumen terkait