• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk dan ukuran lahan yang digunakan baik untuk penyiangan manual maupun mekanis adalah seragam yakni berbentuk persegi panjang dengan ukuran (10 x 5) m pada kondisi tanah yang datar. Penggunaan kondisi lahan yang seragam bertujuan agar perbedaan beberapa perlakuan penyiangan dapat terlihat secara nyata. Nilai kada air yang dihasilkan dari 5 titik pengukuran sampel berbeda–beda nilainya disebabkan kadar air merupakan bagian tanah yang tidak stabil. Nilai kadar air secara berturut–turut dari sampel 1 – 5 adalah 33.08%, 48.92%, 51.57%, 45.54%, dan 49.61%. Nilai dry bulk density secara berturut– turut dari sampel 1 – 5 adalah 1.19 g/cm3, 1.13 g/cm3, 1.23 g/cm3, 1.13 g/cm3, dan 0.91 g/cm3. Sedangkan untuk nilai porositas tanah yang didapat secara berturut– turut dari sampel 1 – 5 adalah 55.28%, 57.20%, 53.43%, 57.39%, dan 65.77%. Data–data tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai kadar air tanah, drybulk density, dan porositas tanah sebelum penamanan

Sampel tanah

Kedalaman 0 - 10 cm Kadar air tanah

(%)

Dry bulk density

(g/cm3) Porositas tanah (%) 1 33.08 1.19 55.28 2 48.92 1.13 57.20 3 51.57 1.23 53.43 4 45.54 1.13 57.39 5 49.61 0.91 65.77

Porositas tanah optimum untuk pertumbuhan tanaman optimum adalah ± 60% dengan nilai densitas tanah kering 1.00 – 1.20 g/cm3. Lahan yang akan digunakan sebagai tempat budidaya tanaman terbilang baik karena nilai densitas tanah kering dan porositas tanah yang didapat hampir mendekati kondisi optimum (Kohne dan Helmut 1980).

Penutupan Gulma

Penutupan gulma selama budidaya ditunjukkan oleh Gambar 3. Penutupan gulma selama budidaya untuk setiap perlakuan berbeda-beda terutama setelah dilakukan penyiangan. Perlakukan P6 memiliki nilai penutupan gulma tertinggi mencapai 80%, tingginya nilai penutupan gulma disebabkan pada perlakuan P6 tidak dilakukan penyiangan sama sekali pada petakan lahannya sehingga gulma tumbuh tanpa ada gangguan. Sedangkan pada petakan lain yang diberikan perlakuan penyiangan baik mekanis dan manual pertumbuhan gulma menurun. Dari Gambar 3 dapat dilihat perlakuan P1 dan P5 merupakan perlakuan yang baik dalam menekan pertumbuhan gulma di lahan. Hal tersebut disebabkan pada perlakuan P1 dan P5 hasil penyiangan yang dilakukan memiliki nilai efisiensi

11

penyiangan yang tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P2, P3, dan P4 (Lampiran 3 dan 4).

Gambar 3 Penutupan gulma selama budidaya

Penutupan gulma awal pertanaman sampai minggu ke-4 mengalami kenaikan walaupun tidak terlalu tinggi nilainya, pada minggu ke-4 dilakukan penyiangan sehingga menurunkan nilai penutupan gulma. Penutupan gulma dari minggu ke-4 sampai minggu ke-8 memiliki nilai yang tinggi jika dibandingkan penutupan gulma dari minggu ke-0 sampai ke-4, tingginya nilai penutupan gulma dari minggu ke-4 sampai minggu ke-8 karena pada minggu ke-4 selain dilakukan penyiangan untuk membersihkan gulma yang ada di lahan dilakukan juga pemupukan di lahan sehingga mempercepat pertumbuhan gulma. Nilai penutupan gulma pada minggu ke-10 mengalami penurunan, karena dilakukan kembali penyiangan untuk membersihkan gulma.

Uji Kinerja Alat

Penyiangan dilakukan 2 kali selama budidaya yakni pada 24 dan 57 HST. Penyiangan pertama dilakukan pada 24 HST didasarkan atas masa kritis tanaman yang berada pada 3–4 MST sehingga perlu dilakukan penyiangan walaupun tingkat penutupan gulma masih berada di bawah 20% dan mendekati periode kritis tanaman budidaya (Gambar 4). Penyiangan kedua dilakukan pada 57 HST ketika penutupan gulma rata–rata melebihi 20% (Gambar 5). Periode kritis merupakan saat suatu pertanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan terutama unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Bila gulma tumbuh dan mengganggu tanaman pada periode kritis tersebut maka tanaman akan kalah bersaing dalam hal penggunaan unsur–unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman terhambat, yang pada akhirnya menurunkan produksi tanaman (Sukman dan Yakup 2002).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 MST 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST P enutupa n g ulm a ( %) Waktu (minggu) P1 P2 P3 P4 P5 P6 Penyiangan I Penyiangan II

12

Gambar 4 Penutupan gulma pada 24 HST

Gambar 5 Penutupan gulma pada 57 HST

Penyiangan dilakukan dengan 2 metode, yakni penyiangan manual (Gambar 6a) dan penyiangan mekanis menggunakan mesin penyiang tipe dorong (Gambar 6b). Penyiangan mekanis menggunakan beberapa perlakuan terhadap mesin diantaranya pemberian perlakuan, kecepatan maju 4 dengan menggunakan roda penggerak hexagon rotor dan implemen bar resistance-h (P1), kecepatan maju 2 dengan menggunakan roda penggerak hexagon rotor dan implemen bar

resistance-h (P2) (Gambar 7a), kecepatan maju 2 dengan menggunakan roda

penggerak hexagon rotor dan implemen ridger bersayap (P3) (Gambar 7b), dan kecepatan maju 2 dengan menggunakan roda penggerak hexagon rotor dan implemen ridger tanpa sayap (P4) (Gambar 7c). dengan tujuan bisa mencari perlakuan mana yang yang paling cocok untuk penyiangan budidaya kacang tanah.

(a) (b)

13

(a) (b) (c)

Gambar 7 Perlakuan penyiangan mekanis (a) perlakuan P2 (b) perlakuan P3 (c) perlakuan P4

Efisiensi penyiangan tertinggi didapat ketika penyiangan dilakukan secara manual baik pada penyiangan I maupun penyiangan II sedangkan untuk nilai efisiensi terendah didapat ketika penyiangan dilakukan secara mekanis dengan perlakuan P2 (menggunakan roda penggerak hexagon rotor dengan implemen bar

resistance-h). Nilai efisiensi penyiangan pertama pada 24 HST dari perlakuan P1

sampai P5 secara berturut–turut sebesar 96.7%, 72.79%, 89.13%, 89.53%, dan 100% (Gambar 8). Hasil penyiangan gulma dengan berbagai perlakuan pada penyiangan 24 HST ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 8 Efisiensi penyiangan dengan berbagai perlakuan pada 24 HST

0 20 40 60 80 100 120 P1 P2 P3 P4 P5 E fis iens i peny ia ng a n ( %) Perlakuan penyiangan Bar resistance H Kecepatan maju 2 Ridger bersayap

Ridger tanpa sayap

14

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 9 Hasil penyiangan ke I perlakuan (a) P1 (b) P2 (c) P3 (d) P4 (e) P5 Nilai efisiensi penyiangan kedua yang dilakukan pada 57 HST dari perlakuan P1 sampai P2 secara berturut–turut sebesar 78.89%, 54.89%, 61.71%, 70.78%, 88.99%, dan 89.41% (Gambar 10). Hasil penyiangan gulma dengan berbagai perlakuan pada penyiangan 57 HST ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 10 Efisiensi penyiangan dengan berbagai perlakuan pada 57 HST

(a) (b) (c) (d)

Gambar 11 Hasil penyiangan ke II perlakuan (a) P1 (b) P2 (c) P3 (d) P4

0 20 40 60 80 100 P1 P2 P3 P4 P5 E fis iens i peny ia ng a n ( %) Perlakuan penyiangan

15

Dapat dilihat dari Gambar 8 dan 10, pada penyiangan mekanis perlakuan P1 nilai efisiensi penyiangannya paling tinggi dibandingkan perlakuan penyiangan mekanis lainnya baik pada penyiangan I maupun II. Hal ini karena pada penyiangan mekanis dengan perlakuan P1 putaran hexagon rotor yang berfungsi mencabut dan mencacah gulma yang tumbuh memiliki putaran per menit dua setengah kali lebih banyak daripada perlakuan lainnya pada keadaan tanpa beban (Lampiran 5). Tingginya putaran hexagon rotor tersebut menyebabkan hexagon

rotor memiliki kekuatan yang cukup untuk memotong dan mencacah gulma yang

terdapat dilahan.

Setelah dilakukan penyiangan dengan kecepatan maju 4, penyiangan dilakukan dengan kecepatan maju yang lebih rendah tapi tanpa mengubah implemen yang digunakan. Penurunan kecepatan tersebut ternyata menurunkan nilai efisiensi penyiangan menjadi sebesar 23.91% pada penyiangan I dan 24% pada penyiangan II. Penurunan efisiensi terjadi disebabkan mesin penyiang yang bekerja pada kecepatan maju 2 menghasilkan lebih sedikit putaran hexagon rotor

sehingga gulma tidak tersiangi sepenuhnya atau terdapat gulma yang bertahan dari penyiangan yang dilakukan mesin penyiang.

Penggantian implemen bar resistance-h menjadi ridger bersayap dengan kecepatan maju yang sama dengan perlakuan P2 ternyata bisa menaikkan nilai efisiensi penyiangan sebesar 13.34% pada penyiangan I dan 6.82% pada penyiangan II. Meningkatnya nilai efisiensi pada perlakuan P3 karena lebar kerja dan alat yang berfungsi sebagai alat penyiang bertambah. Perlakuan P2 lebar kerja penyiangannya sebesar 0.28 m dan yang berfungsi sebagai alat penyiang hanya

hexagon rotor, sedangkan pada perlakuan P3 lebar penyiangannya menjadi

sebesar 34 cm karena adanya ridger bersayap dan yang berfungsi sebagai alat penyiang tidak hanya hexagon rotor yang memotong dan mencacah gulma tapi juga ridger yang berfungsi menarik gulma. Penambahan lebar kerja dan fungsi kerja pada perlakuan P3 ternyata tidak hanya menaikkan efisiensi penyiangan tetapi juga beban kerja dari mesin dan juga operator sehingga mempercepat konsumsi bahan bakar mesin maupun kelelahan operator. Untuk mengurangi beban kerja baik oleh mesin dan operator pada kecepatan maju yang sama, maka dilakukan pelepasan bagian sayap ridger untuk mengurangi lebar kerja penyiangan (perlakuan P4).

Sayap yang terdapat pada ridger dilepas pada perlakuan P4, pelepasan sayap ridger menjadikan nilai efisiensi penyiangan meningkat sebesar 0.4% pada penyiangan I dan 9.07% pada penyiangan II. Peningkatan nilai efisiensi ini karena pada perlakuan P4, pengendalian mesin oleh operator lebih mudah karena beban kerja yang berkurang akibat lebar kerja penyiangan lebih kecil. Tenaga yang dikeluarkan oleh operator menjadi lebih kecil dan pengendalian keseimbangan alat lebih mudah jika dibandingkan ketika adanya sayap pada ridger.

Kecepatan kerja untuk setiap perlakuan penyiangan berbeda–beda nilainya disebabkan pada setiap perlakuan penyiangan alat yang digunakan tidak sepenuhnya sama, terdapat perbedaan baik dalam penggunaan implemen, penggunaan kecepatan maju, bahkan adanya perbedaan alat penyiangan. Secara berturut–turut nilai kecepatan kerja dari perlakuan P1 sampai P5 pada penyiangan I adalah 0.68 m/s, 0.44 m/s, 0.37 m/s, 0.43 m/s, 0.07 m/s sedangkan pada penyiangan II adalah 0.72 m/s, 0.35 m/s, 0.24 m/s, 0.23 m/s, 0.05 m/s (Gambar 12).

16

Gambar 12 Kecepatan kerja penyiangan berbagai perlakuan pada penyiangan I dan penyiangan II

Gambar 12 memperlihatkan kecepatan kerja penyiangan terendah didapat pada perlakuan P5 yang merupakan perlakuan penyiangan secara manual. Rendahnya kecepatan kerja penyiangan secara manual karena pada penyiangan manual tingkat akurasi penyiangan sangat tinggi dan juga lebar kerja alat penyiang lebih kecil dibandingkan dengan penyiangan mekanis. Perlakuan P2, P3, dan P4 menggunakan kecepatan maju yang sama tapi implemen yang berbeda menunjukkan semakin kecil lebar kerja penyiangan (Lampiran 6 dan 8), maka kecepatan kerja penyiangan semakin tinggi. Penggunaan kecepatan maju yang lebih tinggi pada perlakuan penyiangan P1 selain meningkatkan kecepatan kerja penyiangan juga meningkatkan nilai efisiensi.

Pada penyiangan I nilai efisiensi dan nilai kecepatan kerja setiap perlakuan lebih besar dibandingkan nilai efisiensi pada penyiangan II. Besarnya nilai efisiensi penyiangan dan kecepatan kerja pada penyiangan I disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kondisi gulma pada penyiangan I (Gambar 13a) masih sedikit dan masih kecil dibandingkan penyiangan II (Gambar 13b), kondisi tanaman yang masih kecil pada penyiangan I memudahkan penggunaan alat saat penyiangan dan pembedaan gulma dengan tanaman budidaya jika dibandingkan dengan penyiangan II dimana tanaman sudah mencapai tinggi rata-rata lebih dari 20 cm dan tanaman sudah menutupi baris antar tanaman tempat gulma berada mengakibatkan meningkatnya kesulitan penggunaan alat. Tetapi penurunan kecepatan akibat kondisi gulma dan tanaman ternyata tidak terlihat pada perlakuan P1 dimana nilai kecepatan kerjanya mengalami peningkatan kerja, hal ini terjadi karena adanya kondisi perbedaan operator yang mengoperasikan mesin penyiang yakni pada penyiangan I operator yang menggunakan alat merupakan seorang teknisi bengkel Labarotaroium Siswadhi Seopardjo, sedangkan pada penyiangan II operator yang menggunakan alat merupakan petani yang biasa bekerja di lahan pertanian. Perlakuan P4 pada penyiangan II nilai kecepatan kerja penyiangannya lebih kecil dari nilai penyiangan P3, sedangkan pada penyiangan I nilainya lebih besar dari perlakuan P3. Kecilnya nilai kecepatan kerja perlakuan P4 saat penyiangan II disebabkan operator mengalami kelelahan akibat penggunaan mesin penyiang yang terus menerus sehingga terjadi penurunan dalam pengendalian mesin pada petakan lahan perlakuan P3 yang merupakan petakan lahan terakhir yang perlu penyiangan.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 P1 P2 P3 P4 P5 K ec epa ta n k er ja ( m /s ) Perlakuan penyiangan Penyiangan I Penyiangan II

17

(a) (b)

Gambar 13 Kondisi tanaman budidaya dan gulma pada (a) penyiangan I (b) penyiangan II

Penggunaan mesin penyiang tipe dorong tiap perlakuan memiliki nilai efisiensi lapang yang berbeda. Nilai efisiensi lapang pada penyiangan I dari pelakuan P1 sampai P4 secara berturut – turut adalah 49.33%, 73,49%, 61.62%, dan 71.20% (Gambar 14).

Gambar 14 Nilai efisiensi lapang penyiangan I dengan menggunakan mesin penyiang tipe dorong pada berbagai perlakuan

Pada penyiangan II nilai efisiensi lapang yang didapat untuk tiap perlakuan adalah P1 sebesar 52.87%, P2 sebesar 56.86%, P3 sebesar 39.25%, dan P4 sebesar 37.85% (Gambar 15).

Gambar 15 Nilai efisiensi lapang penyiangan II dengan menggunakan mesin penyiang tipe dorong dengan berbagai perlakuan

0 20 40 60 80 P1 P2 P3 P4 E fis iens i la pa ng peny ia ng a n (%) Perlakuan penyiangan 0 10 20 30 40 50 60 P1 P2 P3 P4 E fis ien si la p a n g peny ia ng a n (%) Perlakuan penyiangan

18

Perlakuan penyiangan P1 merupakan perlakuan dengan nilai efisiensi lapang terkecil pada penyiangan I dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kecilnya nilai efisiensi lapang pada perlakuan P1 disebabkan dengan penggunaan kecepatan maju yang tinggi maka slip yang terjadi saat penyiangan semakin banyak dan menyebabkan waktu hilang di lahan selama penyiangan berlangsung semakin banyak. Penurunan kecepatan maju dari kecepatan maju 4 menjadi 2 bisa menaikkan nilai efisiensi lapang penyiangan sebesar 24.16% naiknya nilai efisiensi lapang karena waktu hilang yang terjadi karena slip pada mesin penyiang berkurang dengan penurunan kecepatan maju mesin penyiang.

Nilai efisiensi lapang penyiangan akan menurun jika implemen bar

resistance-h digantikan oleh ridger. Penggunaan ridger akan menambah beban

kerja karena lebar kerja dan kedalaman kerja bertambah. Pemberian implemen yang semakin lebar akan semakin mengurangi nilai efisiensi lapang penyiangan dari alat yang digunakan (mesin penyiang tipe dorong) yang bisa dilihat pada Gambar 14 dan 15, dimana pada perlakuan P3 nilai efisiensinya lebih rendah dari pada perlakuan P4 karena implemen ridger yang digunakan dilengkapi dengan sayap. Penggunaan sayap pada ridger telah menambah lebar kerja penyiangan alat dan bertambah beratnya pengaturan kedalaman saat penyiangan (Lampiran 6 dan 8).

Penyiangan ke-II terlihat bahwa nilai efisiensi lapang perlakuan P3 lebih besar daripada perlakuan P4, dimana pada penyiangan I nilai efisiensi lapang P3 lebih kecil daripada P4. Kecilnya nilai efisiensi P4 saat penyiangan II dibanding P3 disebabkan saat penyiangan dengan perlakuan P4 mengalami mati mesin akibat terjatuh karena operator hilang kendali dalam menyeimbangkan alat saat berbelok. Kejadian tersebut menambah waktu total penyiangan sehingga menurunkan nilai efisiensi lapang penyiangan. Pada penyiangan I nilai efisiensi lapang penyiangannya lebih besar daripada penyiangan II hal ini sama dengan nilai efisiensi penyiangan dimana faktor–faktor yang mempengaruhi besarnya nilai efisiensi lapang yang didapat pada penyiangan I adalah sama.

Pengaruh Penyiangan Terhadap Produktivitas Tanaman Kacang Tanah Penggunaan beberapa perlakuan penyiangan selama masa tanam pada budidaya tanaman kacang tanah varietas gajah memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil panen yang dihasilkan. Panen dilakukan secara manual pada 91 HST (Gambar 16).

19

Gambar 16 Proses pemanenan tanaman kacang tanah

Nilai bobot polong basah berbagai perlakuan dari P1 sampai P6 secara berturut–turut adalah 1.28 ton/ha, 1.23 ton/ha, 1.71 ton/ha, 1.45 ton/ha, 3.18 ton/ha, dan 2.53 ton/ha (Gambar 17). Sedangkan nilai biomassa tanamannya secara berturut–turut adalah 3.40 ton/ha, 5.67 ton/ha, 4.58ton/ha, 3.08 ton/ha, 9.76 ton/ha, dan 7.02 ton/ha (Gambar 18).

Gambar 17 Produktivitas polong basah tanaman kacang tanah

Gambar 18 Produktivitas biomassa tanaman kacang tanah

Penggunaan mesin penyiang tipe dorong (walking type cultivator) pada perlakuan P1 sampai P4 telah menurunkan bobot polong basah dan biomassa yang

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P ro du k tiv it a s po lo ng ba sa h (t o n/h a ) Perlakuan penyiangan 0 2 4 6 8 10 12 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P ro du k tiv it a s bio m a ss a (t o n/h a ) Perlakuan penyiangan

20

didapat saat panen. Kecilnya nilai bobot polong basah dan biomassa yang didapat berada di bawah perlakuan P6, dimana pada perlakuan penyiangan P6 merupakan petakan kontrol yang tidak dilakukan penyiangan. Rendahnya nilai yang didapat ketika digunakan mesin penyiang tipe dorong dengan berbagai perlakuan disebabkan banyaknya tanaman budidaya yang ikut tersiangi saat penyiangan (Gambar 19). Persentase tanaman mati saat penyiangan ditunjukkan pada Lampiran 10 dan 11, dimana persentase tanaman mati terbanyak didapat ketika digunakan perlakuan P2 sebesar 21.67%. Tersiangnya tanaman budidaya oleh mesin karena jarak tanam yang digunakan dinilai kurang lebar.

Gambar 19 Tanaman budidaya yang ikut tersiangi oleh mesin penyiang tipe dorong

Biaya Penyiangan

Biaya penyiangan selama budidaya berbagai perlakuan ditunjukkan pada Gambar 20. Biaya penyiangan tertinggi untuk satu kali penyiangan didapat saat menggunakan perlakuan P5 sebesar Rp 1,214,286 per ha, kedua adalah perlakuan P4 sebesar Rp 904,387 per ha, ketiga adalah perlakuan P3 sebesar Rp 843,142 per ha, keempat adalah perlakuan P2 sebesar Rp 712,006 per ha, dan yang terkecil adalah perlakuan P1 sebesar Rp 570,877 per ha.

Gambar 20 Biaya penyiangan pada berbagai metode penyiangan

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 P1 P2 P3 P4 P5 B ia y a p enyia n g a n ( Rp /h a ) Perlakuan penyiangan Tanaman kacang

21

Biaya penyiangan tertinggi didapat dengan menggunakan metode penyiangan manual (P5) sebesar Rp 1,214,286 per ha. Tingginya biaya penyiangan menggunakan perlakuan P5 karena kecilnya nilai kapasitas lapang efektif dari perlakuan P5 yakni sebesar 0.01 ha/jam pada penyiangan I dan 0.007 ha/jam pada penyiangan II. Penggunaan mesin walking type cultivator mampu mengurangi biaya penyiangan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan penyiangan manual. Biaya penyiangan menggunakan mesin penyiangan dari perlakuan P1-P4 secara berturut-turut adalahRp 570,877 per ha, Rp 712,006 per ha, Rp 843,142 per ha, dan Rp 904,387 per ha. Terlihat terjadi peningkatan biaya penyiangan dari perlakuan P1-P4, hal tersebut disebabkan nilai dari kapasitas lapang efektifnya. Nilai kapasitas lapang efektif perlakuan P1 merupakan kapasitas lapang efektif tertinggi yakni sebesar 0.067 ha/jam pada penyiangan I dan 0.072 ha/jam pada penyiangan II, sedangkan untuk perlakuan P2-P4 nilai kapasitas lapang efektifnya secara berturut-turut sebesar 0.041 ha/jam, 0.041 ha/jam, dan 0.042 ha/jam pada penyiangan I dan 0.032 ha/jam, 0.026 ha/jam, dan 0.022 ha/jam pada penyiangan II. Semakin kecil nilai kapasitas lapang efektifnya maka biaya penyiangannya akan semakin besar.

Tiap penyiangan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing–masing. Penyiangan manual memiliki beberapa kelebihan pertama penyiangan dengan nilai efisiensi penyiangan yang paling tinggi karena tingkat akurasi penggunaan alat yang sangat baik saat penyiangan dimana penyiangan tidak hanya dilakukan di antara baris tanaman tapi juga antar tanaman, kedua tingkat penggunaan alat sangat mudah karena alat yang digunakan merupakan alat-alat sederhana (cangkul, koret, dan tangan), dan terakhir memiliki dampak negatif kepada lingkungan paling kecil disebabkan pada penyiangan manual tidak digunakannya engine yang menghasilkan gas pembuangan berupa asap. Kekurangan penyiangan manual, diantaranya: kecepatan kerja penyiangan yang paling rendah disebabkan tingkat akurasi saat penyiangan yang tinggi, membutuhkan tenaga kerja lebih banyak jika dibandingkan dengan penyiangan menggunakan mesin, semakin mahal dan sulit mencari tenaga kerja yang disebabkan tenaga kerja yang semakin berkurang. Menurut Kurstjens (2007) penyiangan secara mekanis merupakan komponen yang paling penting dari sistem organik, karena ada beberapa cara untuk mengendalikan gulma antar baris setelah munculnya tanaman.

Dokumen terkait