• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai rata-rata drip loss dan cooking loss daging yang dihasilkan dari pemotongan menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa menggunakan restraining box. Hal ini menunjukkan pemotongan dengan restraining box menghasilkan daya ikat air daging yang relatif lebih tinggi daripada pemotongan tanpa restraining box (Tabel 1 dan 2).

Pada ketiga jam pengamatan, drip loss pada daging hasil pemotongan dengan restraining box lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Nilai drip loss daging dengan restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box, sedangkan kedua jam sebelumnya tidak nyata (p>0.05). Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.1+1.7, lalu mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu rata-rata 5.6+2.6, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.3+1.7. Sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.7+2.4 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 6.2+2.1, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.8+2.4 (Tabel 1 dan Gambar 3).

Tabel 1 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box

Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box

6 6.1 + 1.7* 6.7 + 2.4*

8 5.6 + 2.6* 6.2 + 2.1*

10 6.3 + 1.7* 7.8 + 2.4**

Keterangan: superscript (*) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

19 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 8 10 Jam ke-D ri p l o s s ( % )

Restraining Box Non-Restraining Box

Gambar 3 Perbandingan nilai rata-rata drip loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box.

Dari Tabel 1 dan Gambar 3 terlihat bahwa nilai drip loss daging dengan restraining box lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan proses penanganan hewan sebelum pemotongan. Hewan yang menggunakan restraining box sebelum pemotongan tidak diperlakukan secara kasar sehingga tidak mengalami stres. Berbeda dengan hewan yang tidak menggunakan restraining box, hewan diperlakukan secara kasar sehingga hewan tersiksa dan ketakutan, yang mengakibatkan hewan menjadi stres. Stres akan menyebabkan laju glikolisis anaerob berlangsung lebih cepat sehingga laju penurunan pH postmortem juga lebih cepat. Hal tersebut berdampak pada daya ikat air, sehingga banyak cairan dari daging yang dilepas, yang berarti drip loss tinggi.

Nilai drip loss daging tanpa restraining box nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan restraining box pada jam ke-10. Hal tersebut diduga karena pada jam ke-10 telah terjadi proses rigormortis. Rigormortis adalah proses kekakuan (kontraksi) otot setelah kematian yang bersifat irreversible. Onset rigormortis pada sapi terjadi + 6-12 jam setelah kematian. Dalam keadaan rigormortis, daya ikat air daging menjadi relatif lebih rendah, yang terkait dengan pembentukan ikatan di antara miofilamen (aktin dan miosin), sehingga ruang di antara miofilamen menjadi lebih kecil (Soeparno 1994). Selain itu, suhu juga mempengaruhi daya ikat air.

Penelitian Hermansyah (2008) menunjukkan bahwa penurunan nilai pH daging yang dihasilkan dari pemotongan yang menggunakan restraining box

20 relatif lebih tinggi dibandingkan nilai pH daging tanpa restraining box. Penurunan pH pada jam ke-6 sampai jam ke-8 pada daging postmortem baik dengan atau tanpa restraining box mengalami punurunan yang ekstensif, kemudian naik kembali pada jam ke-10.

Pada proses penanganan hewan dengan restraining box, hewan lebih tenang pada saat pemotongan. Sedangkan pada hewan yang tidak menggunakan restraining box, hewan lebih banyak bergerak sehingga hewan mengalami stres. Soeparno (1994) menyebutkan bahwa stres sebelum pemotongan disebabkan oleh ketakutan, terluka, dan gerakan yang berlebihan. Menurut Buckle (1983), stres adalah kondisi yang mengancam integritas ternak dan dapat timbul melalui reaksi-reaksi kompleks dari sistem endokrin.

Hasil penelitian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memiliki nilai cooking loss yang nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada ketiga jam pengamatan. Untuk daging hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 41.6+1.1 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 41.0+1.2, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 41.5+1.6. Sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 43.7+1.7 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 43.0+2.2, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 44.9+2.7 (Tabel 2 dan Gambar 4).

Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box

Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box

6 41.6 + 1.1* 43.7 + 1.7**

8 41.0 + 1.2* 43.0 + 2.2**

10 41.5 + 1.6* 44.9 + 2.7**

Keterangan: superscript (*) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

21 39 40 41 42 43 44 45 46 6 8 10 Jam ke-C o o k in g l o s s ( % )

Restraining Box Non-Restraining Box

Gambar 4 Perbandingan nilai rata-rata cooking loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Nilai cooking loss daging dengan menggunakan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box pada ketiga jam pengujian berkaitan juga dengan kondisi hewan sebelum pemotongan. Restraining box mencegah terjadinya stres pada hewan sebelum dipotong yang tentunya menyebabkan penurunan pH secara gradual (normal). Perbedaan nyata pada ketiga jam pengujian cooking loss terkait dengan faktor pemanasan saat pengujian yang menambah penurunan daya ikat air, yang menyebabkan drip loss meningkat. Menurut Soeparno (1994), suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan pH postmortem sehingga meningkatkan denaturasi protein akibatnya perpindahan air ke ruang ekstraselular meningkat atau drip loss meningkat.

Soeparno (1994) menerangkan bahwa stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Stres dapat terjadi karena penanganan hewan yang tidak benar sebelum pemotongan. Pengendalian hewan dengan menggunakan restraining box dapat mempercepat pengendalian hewan sebelum pemotongan dan menurunkan tingkat stres pada hewan karena hewan tidak melakukan gerakan yang berlebihan dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Oleh karena itu, menjaga hewan agar tetap tenang sesaat sebelum pemotongan harus dilakukan. Sebagaimana diungkapkan oleh Grandin dan Regenstein

22 (1994), pengendalian hewan yang lebih cepat sesaat sebelum pemotongan dan mengurangi tekanan yang berlebihan harus dilakukan agar hewan tetap dalam keadaan tenang. Selain itu, untuk jaminan kesejahteraan hewan, pengendalian hewan sebelum pemotongan harus dilakukan dengan alat yang sesuai sehingga hewan dalam posisi yang nyaman pada saat dilakukan pemotongan (Grandin 1994). Menurut Gilbert dan Devine (1982), pengendalian yang salah dapat menyebabkan luka pada kulit akibat hewan berontak sehingga akhirnya dapat menyebabkan pendarahan.

Cara pengendalian hewan secara konvensional atau tanpa menggunakan restraining box dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti terjadi memar, kesakitan pada hewan, bahkan trauma yang menyebabkan penurunan bobot badan (Brown et al. 1981). Grandin (1980) menerangkan bahwa pengendalian yang tidak tepat pada sapi sebelum pemotongan juga akan menyebabkan patah tulang pada pelvis, bahkan ruptura diafragma akibat pemberontakan yang terjadi pada hewan saat pengendalian. Selain itu dapat pula terjadi asphyxia akibat tekanan darah yang tinggi pada Arteri carotis yang mengakibatkan hewan pingsan sebelum pemotongan.

Dilihat dari segi ekonomi gizi, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan gizinya berkurang karena pada drip yang dilepaskan terkandung berbagai komponen seperti garam, protein, peptida, asam-asam amino, asam laktat, purin, dan vitamin yang larut dalam air termasuk vitamin B kompleks (Soeparno 1994).

Dokumen terkait