• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lingkungan Peternakan

Penelitian ini dilakukan di Tawakal Farm yang terletak di Desa Cimande hilir RT 05 RW 05 Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Cuaca di daerah tersebut cukup baik karena letaknya di kaki Gunung Salak sehingga memiliki hawa yang sejuk. Hal ini merupakan faktor yang cukup baik untuk pertumbuhan domba dikarenakan stres panas tidak terlalu tinggi. Desa Cimande hilir terletak pada ketinggian 400-700 m diatas permukaan laut, temperatur udara berkisar antara 17-30⁰ C dengan kelembaban udara 70-80% dan curah hujan 3000-3400 mm/tahun (Hadiningrum, 2006). Kelembaban udara yang ideal bagi peternakan penggemukan adalah 60-80%. Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan domba mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh parasit dan jamur. Begitu pula kelembaban udara yang terlalu rendah dapat menyebabkan domba mudah terserang penyakit karena udara terlalu kering (Sodiq dan Abidin, 2003). Cuaca dan curah hujan yang baik juga memungkinkan untuk hijauan tumbuh dengan baik sehingga asupan pakan dapat terpenuhi.

Gambar 8. Kandang Domba Penelitian

Kandang di dalam Tawakal Farm ini berjumlah empat bangunan kandang besar dengan model kandang yang berbeda. Bangunan kandang yang ada berbentuk panggung dengan jarak dari tanah ke alas kandang 1,5 meter, dengan demikian memungkinkan kandang untuk selalu bersih karena kotoran dapat langsung jatuh ke tanah. Bangunan kandang ini sendiri terdiri dari satu kandang untuk domba betina dan tiga kandang untuk domba jantan serta terdapat bangunan rumah untuk tempat

tinggal para karyawan. Bangunan kandang untuk domba jantan ini dibedakan berdasarkan kelasnya. Populasi total di dalam Tawakal Farm ini kurang lebih 900 ekor.

Kebersihan kandang di Tawakal Farm ini dijaga dengan sangat baik. Kandang dibersihkan setiap hari dan domba yang dimandikan setiap satu minggu sekali. Hal tersebut membuat kondisi domba yang ada di Tawakal Farm ini sangat baik, bugar dan jarang sekali ada yang sakit.

Pertumbuhan Domba

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen-komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 2005).

Tabel 2. Rataan Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Kelompok

Domba

Bobot Badan Domba

PBBH Awal Akhir

Rataan Range Rataan Range Rataan Range Tumbuh Cepat n=3 18,67±1,53 17-20 30,33±1,53 29 - 32 164,59±3,61 160,42-166,67 Tumbuh Lambat n=3 19,33±1,15 18-20 22,67±0,58 22 - 23 43,41±9,67 32,30-50,00

Domba yang digunakan untuk sampel yang dipotong adalah domba yang memiliki pertambahan bobot badan harian (PBBH) di atas rata-rata PBBH dari populasi yaitu di atas 150 gram/hari dan domba yang memiliki PBBH yang sangat rendah yaitu di bawah 80 gram/hari. Domba dengan pertumbuhan yang cepat memiliki pertambahan bobot badan di atas rataan PBBH yang dinyatakan oleh Tarmidi (2004) yaitu domba dalam masa pertumbuhan memiliki PBBH berkisar antara 49,63–71,43 gram/ekor/hari. Bobot yang hampir sama pada awal pengamatan mengalami perbedaan bobot badan yang sangat mencolok pada akhir pengamatan.

Hal ini berarti terdapat suatu potensi yang sangat baik untuk dikembangkan pada domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat padahal diberikan pakan dan manajemen pemeliharaan dengan domba lain yang dipelihara, pada umur yang sama, jenis kelamin yang sama dan lingkungan yang sama. Pertumbuhan yang cepat pada

domba ini juga akan sangat menguntungkan bagi para peternak karena dengan pakan yang sama, domba dengan pertumbuhan cepat memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi sehingga dapat lebih mengefisienkan biaya produksi.

Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1975). Kedua aspek tersebut sangat penting dalam proses produksi peternakan. Domba yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang ekstrim memiliki potensi untuk lebih mengefisienkan produksi dikarenakan domba dengan pertumbuhan cepat ini dapat mengkonversikan pakan yang dikonsumsinya dengan lebih baik. Domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat ini juga memiliki perbedaan yang dapat diamati melalui ukuran-ukuran tubuhnya seperti panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, dalam dada, panjang muka dan lingkar moncong. Domba yang memiliki pertumbuhan cepat, memiliki lingkar moncong yang lebih besar. Hal ini akan memungkinkan domba untuk mengkonsumsi pakan lebih efektif dan efisien.

Domba yang digunakan untuk sampel ini adalah domba yang dipilih dengan menggunakan seleksi cepat melalui beberapa kategori yaitu bangsa, jenis kelamin, umur dan pertambahan bobot badan. Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi (Noor, 2008). Performa yang baik dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan. Domba dalam penelitian ini tidak dibedakan dari segi lingkungannya yang berarti keunggulan dari segi pertumbuhan ini disebabkan oleh faktor genetik. Seleksi penting dilakukan agar potensi genetik ini dapat lebih dikembangkan lagi. Seleksi merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Seleksi yang dilakukan bisa dengan cara memilih ternak yang dipakai sebagai tetua atau memilih ternak yang akan dikawinkan.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan domba jantan sebagai sampel penelitian. Hal ini dikarenakan domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk

pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah (Johnston, 1983).

Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba yang masih berusia di bawah satu tahun atau Io. Domba yang masih berumur di bawah satu tahun berarti sedang berada di dalam fase dipercepat. Cole (1962), menyatakan bahwa kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, sehingga perubahan yang terjadi akibat pertumbuhan baik pertambahan bobot badan maupun perubahan ukuran tubuh dari ternak. Fase dipercepat ini akan memudahkan untuk pegamatan pertumbuhan domba yang dilihat dari pertambahan bobot badan hariannya. Apabila domba telah mencapai dewasa tubuh maka pertambahan bobot badan lebih didominasi oleh deposisi lemak. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Menurut Parakkasi (1999), fase ini disebut fase finish.

Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% dicapai pada tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir (Herman, 2003). Hal itu berarti akan lebih memudahkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari domba dari segi pertambahan bobot badannya karena 75% dari bobot domba dicapai pada umur satu tahun.

Sifat Fisik Daging Domba

Daging domba memiliki serat yang lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat rapat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit, yaitu antara otot dan kulit, daging sedikit berbau amoniak (prengus) (Muzarnis, 1982). Sifat daging segar sendiri sangat berguna bagi penjual untuk ditampilkan ke pembeli atau konsumen, dan kesesuaiannya untuk pengolahan lebih lanjut. Hal yang penting adalah daya

mengikat air (water-holding capacity), warna, struktur, kealotan (firmness) dan tekstur (Aberle et al., 2001).

Tabel 3. Data Sisat Fisik Daging Domba

No Parameter TC TL Rataan 1 pH 6,39 ± 0,24 6,24 ± 0,21 6,41 ± 0,20 2 DMA (% mg H2O) 34,98 ± 8,83 35,81 ± 3,31 35,40± 5,98 3 Keempukan(Kg/cm2) 6,37 ± 0,74 6,04 ± 1,18 6,23 ± 2,10 4 Susut masak (g) 41,88 ± 0,31 37,29 ± 6,57 39,59± 4,86 \

Kualitas fisik daging yang diuji meliputi pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging, warna lemak, marbling, dan tebal lemak. Nilai rataan pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging domba, warna lemak, marbling, dan tebal lemak dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Nilai pH Daging

Hasil yang didapatkan untuk nilai pH menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat (dapat dilihat di Tabel 3). Rataan nilai pH yang didapatkan yaitu 6,39 untuk domba tumbuh cepat (TC) dan 6,24 untuk domba tumbuh lambat (TL) karena kemungkinan nilai pH daging lebih banyak disebabkan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot (Buckle et al, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Thatcher dan Gaunt (1992) bahwa perlakuan nutrisi dan pola pertumbuhan domba tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging. Pada lingkungan yang ideal, bentuk kurva pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa, yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno, 2005).

Nilai pH yang masih tetap tinggi ini dapat disebabkan salah satunya oleh proses rigormortis yang belum tuntas setelah pemotongan dilakukan proses pembekuan cepat. Nilai pH awal setelah 1 jam postmortem pada domba menurut Soeparno (2005) adalah 6,95. Karkas domba pada penelitian ini langsung disimpan setelah proses pemotongan pada suhu -12o C selama 4 jam. Hal ini yang menyebabkan nilai pH turun sangat sedikit sekali, karena pada suhu yang sangat

(2003), pada sejumlah ternak dapat dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5-6,8. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005).

Menurut Lukman et al. (2007), nilai pH dapat menunjukan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan. Domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat telah diistirahatkan dan dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam sebelum pemotongan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi stres yang akan timbul pada saat pemotongan yang seharusnya menyebabkan nilai pH dapat turun secara perlahan menuju pH ultimat daging. Kusumastuti (2006) menyatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh stres sebelum pemotongan. Domba yang tenang saat dipotong mempunyai cadangan glikogen yang cukup untuk proses rigormortis, sedangkan domba yang stres kemungkinan menghasilkan pH daging ultimat yang lebih tinggi dikarenakan cadangan glikogen menjadi cepat habis. Proses rigormortis yang belum tuntas akibat dari pembekuan cepat berarti masih menyisakan cadangan glikogen di dalam daging sehingga asam laktat yang terbentuk tidak terlalu banyak yang akan menyebabkan penurunan pH hanya sedikit sekali.

Nilai pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4-5,5 (Lawrie, 1979). Nilai pH yang didapatkan pada penelitian ini berada di atas nilai pH ultimat dari daging. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen pada saat pemotongan (Soeparno, 2005). Proses pembekuan cepat setelah pemotongan yang menyebabkan proses rigormortis yang belum tuntas akan menyebabkan masih terdapatnya cadangan glikogen di dalam daging yang menyebabakan nilai pH dari daging dalam penelitian ini masih tinggi di atas pH ultimat daging. Menurut Lawrie (2003) pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik.

Nilai pH daging merupakan faktor kualitas yang akan berpengaruh terhadap daya mengikat air, juiciness daging, keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanis daging. Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan juiciness daging, daya mengikat air dan susut masak daging domba secara linear (Soeparno, 2005).

Daya Mengikat Air

Hasil dari analisis daya mengikat air menunjukan hasil yang juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai yang didapatkan menunjukan rataan untuk domba tumbuh cepat (TC) dan tumbuh lambat (TL) masing-masing 34,98% dan 35,81% (Tabel 3). Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Damayanti (2003), rataan nilai daya mengikat air pada domba dengan pertumbuhan cepat dan lambat masing-masing adalah 34,10% dan 29,27%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya perbedaan spesies, umur, perlakuan pakan dan otot yang digunakan untuk pengujian. Penyebab lainnya juga karena nilai pH dari domba dengan tumbuh cepat dan tumbuh lambat menunjukan hasil yang tidak berbeda. Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Daya mengikat air akan berbeda jika terdapat perbedaan spesies, umur, fungsi otot, pH dan kandungan lemak intramuskular (Lawrie, 2003). Pemeliharaan domba yang dilakukan secara intensif dan digemukan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan dengan penelitian yang dilakukan Kusumastuti (2006) yaitu pada domba yeng digemukkan selama tiga bulan memiliki nilai daya mengikat air sebesar 34,03%,.

Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH pascamati mempengaruhi nilai DMA, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA. Menurut Arnim (1996), daging dengan daya mengikat air lebih tinggi mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan dengan daya mengikat air yang rendah. Tingginya daya mengikat air protein daging menyebabkan (a) keempukan dan Juiciness daging meningkat dan (b) menurunkan susut masak daging sehingga kehilangan nutrisi lebih rendah. Rataan nilai daya mengikat air daging di dalam penelitian ini yang menggunakan domba dengan umur di bawah satu tahun adalah

35,40%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai daya mengikat air daging domba dalam penelitian Sarjito (2009) yang menggunakan domba yang berumur dua tahun (I2) yaitu sebesar 37,52%. Semakin besar nilai % mgH2O berarti semakin banyak air yang keluar kemampuan daya mengikat airnya semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005) bahwa domba muda cenderung memiliki daya mengikat air yang lebih besar daripada domba yang lebih tua.

Daya mengikat air berkaitan dengan susut masak Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa daya mengikat air dari jaringan otot mempunyai efek langsung terhadap penyusutan selama pemasakan. Ketika daya mengikat air rendah, daging akan kehilangan cairan, dan sebagai akibatnya kehilangan berat selama penyusutan adalah besar.

Keempukan

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor atau warna (Lawrie, 2003). Hasil yang didapatkan untuk keempukan menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan rataan untuk domba tumbuh cepat dan tumbuh lambat masing-masing 6,37 kg/cm2 dan 6,04 kg/cm2 (pada Tabel 3). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Damayanti (2003) yaitu untuk domba dengan pertumbuhan cepat dan lambat masing-masing 5,29 kg/cm2 dan 4,96 kg/cm2. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifin et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pembesaran domba lokal secara intensif, peningkatan bobot potong tidak mempengaruhi keempukan. Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis yang terlatih menunjukan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzer) <4,15 kg/cm2, daging empuk 4,15 - < 5,86 kg/cm2, daging agak empuk 5,86 - < 7,86 kg/cm2, daging agak alot 7,56 - < 9,27 kg/cm2, daging alot 9,27 - < 10,97 kg/cm2, daging sangat alot = 10,97 kg/cm2. Berdasarkan kriteria tersebut, domba di dalam penelitian ini termasuk ke dalam daging agak empuk. Domba yang digunakan dalam penelitian ini berumur di bawah satu tahun yang seharusnya masuk ke dalam kategori daging sangat empuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya nilai pH daging akibat dari proses rigormortis yang belum tuntas. Penyebab lainnya bisa juga karena perbedaan bagian sampel daging yang diamati dan pemberian pembekuan cepat pada kedua jenis sampel.

Proses pembekuan cepat yang diberikan pada sampel yang baru dipotong dalam penelitian ini dapat juga menyebabkan keempukan dari daging menurun. Hal ini disebabkan daging yang masih mengalami rigormortis sudah langsung dibekukan akan mengalami “thaw rigor” yaitu rigormortis kembali setelah di thawing yang akan menyebabkan struktur daging menjadi rapat dan alot. Sama seperti pernyataan Natasasmita et al. (1987) yaitu, pemendekan daging terjadi waktu otot dicairkan kembali (thawing). Fenomena itu disebut “thaw rigor”, yang semua ini berakibat menjadi alotnya daging dan hilangnya sari minyak (juiciness) daging.

Proses pembekuan cepat dilakukan dengan tujuan menghambat perkembangan mikroorganisme. Namun seharusnya daging dilayukan terlebih dahulu agar proses rigormortis tuntas dan didapatkan daging dengan keempukan yang maksimal. Pembekuan cepat segera setelah pemotongan pada kedua jenis karkas yaitu domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat disebabkan waktu pada saat penelitian ini sangat terbatas. Penelitian ini tidak membahas pengaruh dari pelayuan jadi apabila dilakukan proses pelayuan pada karkas belum tentu akan menyebabkan perbedaan hasil dari keempukan daging dari domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat. Metode pembekuan cepat ini dilakukan pada kedua jenis sampel daging dari domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat sehingga hasilnya tetap dapat dibandingkan.

Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dibagi menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres, dan faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan, dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005).

Tidak berbedanya keempukan antara domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat dikarenakan tidak adanya pembedaan dalam manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan, baik dari manajemen pemeliharaan maupun pemberian pakan. Domba yang digunakan juga tidak berbeda yaitu domba dengan umur I0 (dibawah 1 tahun). Veiseth et al. (2004) yang meneliti keempukan domba yang berumur 2, 4, 6, 8, dan 10 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa daging domba memiliki keempukan terendah pada umur domba dua bulan dan keempukan

terus meningkat dengan bertambahnya umur. Puncak dari keempukan adalah pada domba umur 8 bulan dan selanjutnya jika dibandingkan dengan daging domba berumur 10 bulan sudah tidak ada perbedaan. Natasasmita (1994) menyatakan bahwa jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini dipelihara secara intensif sehingga membuat daging domba menjadi lebih empuk karena pemeliharaan secara intensif tidak memungkinkan domba untuk bergerak banyak dan tidak terjadi agonistik dengan domba lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aberle et al. (1981), domba yang dipelihara dalam kandang individu relatif sedikit. Aktivitas gerak pada domba mampu melakukan aktivitas gerak dibandingkan dengan domba yang dipelihara pada kandang koloni, begitu juga dengan domba yang digembalakan setiap hari. Aktivitas gerak pada domba mampu meningkatkan kontraksi otot, terutama pada otot-otot rangka tulang gerak, sehingga keempukan daging dapat berkurang. Sampel daging yang digunakan adalah sampel daging bagian paha atau (Semitendinosus).

Otot bagian paha adalah bagian yang paling banyak mengalami aktifitas kerja yang tentu saja akan mempengaruhi dari nilai keempukan daging. Menurut Natasasmita (1994), jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus.

Setelah pemotongan, daging domba langsung diberikan perlakuan pembekuan cepat tanpa pelayuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005), karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan, karena dagingnya relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda, dan proses kekakuan berlangsung dalam proses yang cepat. Keempukan pada daging juga dipengaruhi oleh faktor setelah pemotongan. Menurut Lawrie (2003) pada umumnya, faktor-faktor sebelum hewan dipotong yang mempengaruhi keempukan akan menentukan jumlah dan distribusi (tekstur) dan tipe tenunan pengikat. Seperti yang sudah telihat, ada suatu korelasi tidak langsung (umum, tetapi

tidak berubah-ubah) antara tenunan pengikat dan keempukan. Tetapi dalam suatu urat daging tertentu, dimana jumlah tipe tenunan konstan, maka perbedaan keempukan yang banyak dapat saja terjadi, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi sesudah hewan dipotong.

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek, pertama mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno (2005), laju pertumbuhan ternak tidak berhubungan dengan perubahan profil enzim-enzim proteolitik dalam daging dan perbedaan laju pertumbuhan juga tidak berpengaruh terhadap perubahan enzim-enzim kateptik dalam daging, dimana kedua enzim tersebut akan berpengaruh terhadap keempukan daging.

Susut Masak

Susut masak atau berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan juiciness daging. Hasil analisa untuk susut masak menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan nilai untuk domba cepat dan tumbuh lambat masing-masing 41,8% dan 37,29% (Tabel 3). Hal ini sejalan dengan Soeparno (2005) yang menyebutkan susut masak umumnya bervariasi antara 1,5% sampai 54% dengan kisaran 15%-40%. Berdasarkan pernyataan Soeparno (2005), daging domba dalam penelitian ini

Dokumen terkait