• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Parameter Fisik-Kimia Perairan

Parameter fisika kimia air yang diukur pada saat pengamatan meliputi suhu, penetrasi cahaya, kecepatan arus, pH, DO, BOD, nitrat dan posfat. Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan setiap stasiun dan ulangan memiliki nilai yang bervariasi, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh antara masing-masing stasiun (Lampiran 2). Hasil pengamatan parameter fisika kimia perairan Sungai Sunggal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No. Parameter

Fisik-Kimia Satuan Stasiun

1 2 3 1. Suhu 0C Kisaran 27.67 – 29.67 28.34 – 29.67 28.67 – 29.67 Rata-Rata 28.67 29.11 29.33 2. Penetrasi cahaya cm Kisaran 23.5 – 28.5 19.5 – 25 18.5 – 25 Rata-Rata 26.67 22.84 22.84 3. Kecepatan Arus m/s Kisaran 0.38 – 0.40 0.07 – 0.16 0.14 – 0.38 Rata-Rata 0.38 0.10 0.22 4. pH Kisaran 8.0 – 8.3 7.6 – 8.2 7.6 – 8.3 Rata-Rata 8.2 7.8 7.8 5. DO mg/l Kisaran 6.53 – 6.77 5.71 – 6.95 5.88 – 7.01 Rata-Rata 6.63 6.40 6.48 6. BOD mg/l Kisaran 2.6 – 3.9 2.9 – 4.4 2.4 – 4.5 Rata-Rata 3.2 3.8 3.6 7. Nitrat mg/l Kisaran 0.8 – 1.4 0.8 – 1.0 0.9 – 1.1 Rata-Rata 1.0 0.9 0.9 8. Posfat mg/l Kisaran 0.12 – 0.21 0.15 – 0.18 0.1 – 0.13 Rata-Rata 0.16 0.16 0.12 Keterangan:

a. Stasiun 1 : Daerah Pertanian

b. Stasiun 2 : Pembuangan Limbah PDAM dan MCK

Penentuan kualitas air dilakukan dari nilai parameter fisika kimia perairan dengan menggunakan metode STORET untuk memperoleh total skor yang menunjukkan status mutu air. Pemberian skor setiap parameter per stasiun (Lampiran 3) dikelompokkan sesuai peruntukan baku mutu air dalam peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, kelas I (bahan baku air minum dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut), kelas II (untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman), kelas III (untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman) dan kelas IV (untuk mengairi pertanaman). Pada stasiun 1, 2 dan 3 menunjukkan mutu air yang telah tercemar sedang pada peruntukan kelas I dan II, tercemar ringan pada peruntukan kelas III dan memenuhi baku mutu pada kelas IV. Kualitas air berdasarkan parameter fisika kimia air dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Sungai Sunggal menurut Metode STORET

Kelas

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Jumlah

Skor Mutu Air

Jumlah

Skor Mutu Air

Jumlah

Skor Mutu Air

I -10 Tercemar ringan -18 Tercemar sedang -18 Tercemar sedang

II -8 Tercemar ringan -8 Tercemar ringan -8 Tercemar ringan

III 0 Memenuhi baku

mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu IV 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu

Hasil Identifikasi Plankton

Dari penelitian yang telah dilakukan di Sungai Sunggal diperoleh hasil sebanyak 31 genus plankton yang terdiri dari 26 genus fitoplankton dan 5 genus zooplankton. Fitoplankton yang diperoleh terdiri dari 10 kelas, 22 famili dan 26

genus, sedangkan zooplankton yang diperoleh terdiri dari 3 kelas, 5 famili, dan 5 genus. Foto plankton yang diperoleh dari semua stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5. Klasifikasi plankton yang diperoleh setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Plankton yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelas No. Famili No. Genus

Fitoplankton Bacillariophyceae 1. Chaetoceraceae 1. Bacteriastrum

2. Fragillariaceae 2. Fragillaria

3. Melosiraceae 3. Synedra

4. Melosira

4. Naviculaceae 5. Amphiprora

5. Surirellaceae 6. Surirella

Chlorophyceae 6. Botryococcaceae 7. Botryococcus

7. Chaetophoraceae 8. Chaetophora 8. Cladophoraceae 9. Rhizoclonium 9. Desmidiaceae 10. Closterium 10. Gonatozygaceae 11. Gonatozygon 11. Hydrodictyaceae 12. Sorastrum 12. Microsporaceae 13. Microspora

Chrysophyceae 13. Chromulinaceae 14. Oikomonas

Cryptophyceae 14. Pyrenomonadaceae 15. Rhodomonas

Conjugatophyceae 15. Zygnemataceae 16. Mougeotia

17. Spirogyra

18. Zygnema

Coscinodiscophyceae 16. Biddulphyceae 19. Isthmia

20. Terpsinoe

Cyanophyceae 17. Entophysalidaceae 21. Entophysalis

18. Phormidiaceae 22. Phormidium

19. Prasiolaceae 23. Hormidium

Euglenophyceae 20. Phacaceae 24. Phacus

Ulvophyceae 21. Ulothricaceae 25. Ulothrix

Xanthophyceae 22. Tribonemataceae 26. Tribonema

Zooplankton Branchiopoda 1. Chydoridae 1. Acroperus

2. Macrothricidae 2. Macrothrix

Gastropoda 3. Cavollinidae 3. Creseis

Maxillopoda 4. Acartidae 4. Acartia

5. Diaptomidae 5. Diaptomus

Nilai Kelimpahan (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton di Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan data mentah plankton (Lampiran 4), hasil analisis data plankton diperoleh nilai Kelimpahan (K), Kelimpahan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK), pada tiap stasiun penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Kelimpahan (ind/l), Kelimpahan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Kelas Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

FITOPLANKTON K (ind/l) KR (%) FK (%) K (ind/l) KR (%) FK (%) K (ind/l) KR (%) FK (%)

A Bacillariophyceae 1 Bacteriastrum sp. 0,8 3,23 33,33 2 5,16 66,66 1,6 2,96 66,66 2 Fragillaria sp. 0 0 0 0,4 1,03 33,33 0 0 0 3 Synedra sp. 2,8 11,29 66,66 5,6 14,43 66,66 8,4 15,56 66,66 4 Melosira sp. 0 0 0 2 5,16 66,66 0 0 0 5 Amphiprora sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 6 Surirella sp. 1,2 4,84 33,33 4 10,30 66,66 1,6 2,96 33,33 B Chlorophyceae 7 Botryococcus sp. 0 0 0 0,8 2,06 33,33 0,8 1,49 33,33 8 Chaetophora sp. 0 0 0 1,2 3,09 66,66 0,8 1,49 33,33 9 Rhizoclonium sp. 2 8,06 66,66 2,4 6,19 100 1,2 2,23 66,66 10 Closterium sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 11 Gonatozygon sp. 6,4 25,80 66,66 3,6 9,29 66,66 12,8 23,70 66,66 12 Sorastrum sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 13 Microspora sp. 0,4 1,61 33,33 1,2 3,09 66,66 3,2 5,92 66,66 C Chrysophyceae 14 Oikomonas sp. 0 0 0 0 0 0 2,4 4,45 66,66 D Cryptophyceae 15 Rhodomonas sp. 0,4 1,61 33,33 0 0 0 0 0 0 E Conjugatophyceae 16 Mougeotia sp. 0,8 3,23 33,33 5,6 14,43 100 4,4 8,14 100 17 Spirogyra sp. 3,2 12,90 66,66 1,2 3,09 66,66 4,4 8,14 66,66

Tabel 7. Lanjutan 18 Zygnema sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 F Coscinodiscophyceae 19 Isthmia sp. 2 8,06 33,33 0,4 1,03 33,33 1,2 2,23 33,33 20 Terpsinoe sp. 0 0 0 0 0 0 2 3,70 33,33 G Cyanophyceae 21 Entophysalis sp. 0 0 0 0,4 1,03 33,33 0 0 0 22 Phormidium sp. 0 0 0 0 0 0 0,8 1,49 33,33 23 Hormidium sp. 0,4 1,61 33,33 0 0 0 0,4 0,74 33,33 H Euglenophyceae 24 Phacus sp. 0,8 3,23 66,66 0,4 1,03 33,33 0,4 0,74 33,33 I Ulvophyceae 25 Ulothrix sp. 0 0 0 0,8 2,06 33,33 0,8 1,49 66,66 J Xanthophyceae 26 Tribonema sp. 1,2 4,84 33,33 0 0 0 0,8 1,49 33,33 ZOOPLANKTON A Branchiopoda 1 Acroperus sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 2 Macrothrix sp. 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 B Gastropoda 3 Creseis sp. 2,4 9,69 33,33 6,4 16,50 66,66 3,2 5,92 33,33 C Maxillopoda 4 Acartia sp. 0 0 0 0,4 1,03 33,33 0 0 0 5 Diaptomus sp 0 0 0 0 0 0 0,4 0,74 33,33 TOTAL 24,8 100 38,8 100 54 100

Dari Tabel 7 diketahui nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan kelimpahan total 54 ind/l yang terdiri dari 26 genus. Genus yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah genus Gonatozygon sebesar 12,8 ind/l dengan kelimpahan relatif 23,70% dan frekuensi kehadiran 66,66%, kemudian diikuti oleh genus Synedra sebesar 8,4 ind/l dengan kelimpahan relatif sebesar 15,56% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Genus yang memiliki kelimpahan terendah pada stasiun 3 adalah Amphriprora, Closterium, Sorastrum, Zygnema, Hormidium, Phacus, Acroperus, Macrothrix dan Diaptomus sebesar 0,4 ind/l dan kelimpahan relatif 0,74% dan frekuensi kehadiran 33,33%.

Pada stasiun 2 diperoleh kelimpahan total sebesar 38,8 ind/l yang terdiri dari 18 genus. Pada stasiun ini genus yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah genus Cresseis sebesar 6,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 16,50% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Kelimpahan terendah pada stasiun ini adalah dari genus

Fragillaria, Isthmia, Entophysalis, Phacus dan Acartia sebesar 0,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 1,03% dan frekuensi kehadiran sebesar 33,33%.

Pada stasiun 1 diperoleh kelimpahan total sebesar 24,8 ind/l yang terdiri dari 14 genus. Genus yang mempunyai kelimpahan terbanyak di stasiun ini adalah

Gonatozygon sebesar 6,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 25,80% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Kelimpahan plankton terendah dari stasiun 1 diperoleh dari genus Microspora, Rhodomonas dan Hormidium sebesar 0,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 1,62% dan frekuensi kehadiran 33,33%. Rendahnya kelimpahan genus-genus ini dikarenakan nutrien seperti nitrat dan posfat sedikit sehingga pertumbuhan plankton di daerah ini terbatas jumlahnya.

kelimpahan genus tertinggi yaitu stasiun 3 sebanyak 54 ind/l dengan jumlah 26 genus, 23 famili dan 12 kelas. Kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 1 sebanyak 24,8 ind/l dengan jumlah 14 genus, 13 famili dan 9 kelas.

Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data plankton diperoleh nilai Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada tiap stasiun. Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,65 dan terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,32. Nilai keseragaman pada semua stasiun berkisar antara 0,82 – 0,88. Indeks keseragaman (E) tertinggi diperoleh dari stasiun 1 sebesar 0,88 dan terendah sebesar 0,82. Nilai Dominansi (D) tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,13 dan terendah diperoleh dari stasiun 2 dan 3 sebesar 0,10. Nilai Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada semua stasiun dapat dilihat pada Tabel 8. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8. Nilai Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D), pada tiap stasiun

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Indeks (H') 2,32 2,50 2,65

Keseragaman (E) 0,88 0,87 0,82

Pembahasan

Parameter Fisika-Kimia Perairan

Berdasarkan hasil pengamatan interval suhu rata-rata di perairan Sungai Sunggal berkisar 28,67 – 29,330C. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca pada saat pengamatan yang cenderung panas dan tidak terlalu cerah, sehingga penetrasi cahaya berkurang ke dalam perairan. Anwar dkk (1984), menyatakan bahwa penyebaran suhu dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan dan angin, sedangkan yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah musim, cuaca, waktu pengukuran, kedalaman air, dan sebagainya.

Hasil pengamatan diperoleh suhu tertinggi pada stasiun 3 sebesar 29,330C dan suhu terendah pada stasiun 1 sebesar 28,67 0C (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada saat pengambilan data pada stasiun 1 cuaca tidak terlalu cerah. Suhu tertinggi pada stasiun 3 disebabkan karena aktivitas manusia lebih banyak disekitar sungai seperti aktivitas domestik, daerah pemukiman yang padat dan keluaran limbah pabrik kuningan yang mempengaruhi proses peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme menggunakan sejumlah oksigen dan menghasilkan karbondioksida sehingga dapat menaikkan suhu pada perairan. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya naungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

Sunggal berkisar 22,84 – 26,67 cm. Penetrasi cahaya tersebut belum sampai ke dasar peraian dan kedalaman perairan pada semua stasiun bervariasi yaitu pada stasiun 1 kedalamanya lebih tinggi dari pada stasiun 2 dan 3. Nilai penetrasi cahaya tertinggi diperoleh dari stasiun 1 sebesar 26,67 cm. Hal ini disebabkan karena stasiun 1 mempunyai kedalaman yang lebih tinggi dari stasiun 2 dan 3, selain itu disebabkan rendahnya kandungan organik akibat sedikitnya aktivitas di kawasan ini sehingga cahaya matahari dapat menembus hingga ke badan perairan yang lebih dalam. Simanjuntak (2010), menyatakan besaran nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Nilai penetrasi terendah diperoleh dari stasiun 2 dan 3 yaitu sebesar 22,84 cm. Hal ini disebabkan karena adanya masukan zat-zat terlarut ke badan perairan seperti buangan dari aktivitas domestik, MCK, buangan dari limbah PDAM dan daerah pemukiman. Effendi (2003), kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kecepatan arus dari masing-masing stasiun di perairan Sungai Sunggal berkisar 0,10 – 0,38 m/s. Kecepatan arus tertinggi diperoleh dari stasiun 1 sebesar 0,38 m/s. Hal ini disebabkan karena perbedaan ketinggian dan kemiringan yang berbeda antara stasiun 2 dan 3. Selain itu tingginya arus pada stasiun 1 disebabkan oleh aliran sungai yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Kecepatan arus terendah diperoleh dari stasiun 2 sebesar 0,10 m/s. Rendahnya arus pada stasiun 2 diakibatkan oleh air sungai yang tidak lurus. Jenis substrat akan mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena

arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari periode ke periode tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Sungai Sunggal nilai pH dari masing-masing stasiun berkisar 7,8 – 8,2. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 8,2. Hal ini disebabkan karena daerah ini tidak banyak aktivitas yang menghasilkan senyawa organik sehingga tidak terjadi penguraian yang dapat menurunkan nilai pH. Siregar (2009), daerah yang tidak terdapat aktivitas yang menghasilkan senyawa organik, maka belum terjadi penguraian yang menghasilkan karbondioksida sehingga nilai pH nya tinggi.

Nilai pH terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sebesar 7,8. Hal ini disebabkan karena adanya pembuangan limbah dari aktivitas PDAM, MCK dan pemukiman yang mengandung senyawa organik yang selanjutnya mengalami penguraian yang menurunkan pH di daerah ini. Siregar (2009), menyatakan bahwa daerah yang terdapat aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik akan mengalami penguraian yang menimbulkan penurunan pH di daerah tersebut. Secara umum nilai pH di semua stasiun sudah termasuk kedalam nilai pH yang netral.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh oksigen terlarut (DO) dari masing-masing stasiun di perairan Sungai Sunggal berkisar 6,40 – 6,63 mg/l, nilai oksigen

terlarut ini masih dalam kisaran optimum bagi kehidupan plankton. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 6,63 mg/l dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 6,40 mg/l. Tingginya nilai DO pada stasiun 1 disebabkan karena merupakan daerah yang minim aktivitas sehingga beban masukan dari luar untuk penguraian zat organik sangat sedikit dan adanya vegetasi yang melakukan fotosintesis disekitar daerah ini menyuplai oksigen sehingga kadar oksigen terlarut di daerah ini tinggi. Siregar (2009), menyatakan bahwa banyaknya tumbuhan air akan memberikan suplai oksigen terhadap perairan tersebut dan penguraian secara aerob hanya sedikit pada suhu yang tidak terlalu tinggi.

Rendahnya oksigen terlarut pada stasiun 2 disebabkan adanya masukan dari limbah PDAM dan aktivitas MCK yang menyerupai senyawa organik dan anorganik sehingga dibutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa tersebut dan tingginya suhu yang menimbulkan konsumsi oksigen meningkat oleh biota air yang menyebabkan terjadinya defisit oksigen terlarut di stasiun tersebut. Menurut Michael (1994), oksigen hilang dari air secara alami oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu.

Nilai BOD dari masing-masing stasiun pengamatan di perairan Sungai Sunggal berkisar 3,2 – 3,8 mg/l. Nilai BOD tertinggi diperoleh dari stasiun 2 sebesar 3,8 mg/l dan terendah pada stasiun 1 sebesar 3,2 mg/l. Tingginya BOD pada stasiun 2 ini disebabkan karena merupakan daerah pembuangan limbah cair PDAM yang langsung dibuang ke sungai dan aktivitas MCK sehingga banyaknya bahan organik dan anorganik membutuhkan penguraian oleh mikroba yang mengakibatkan tingginya nilai BOD di stasiun ini. Sirait (2011), menyatakan

banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan akibat masukan dari daerah pemukiman akan membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikannya.

Rendahnya nilai BOD pada stasiun 1 disebabkan karena daerah ini merupakan daerah minim aktivitas yang sedikit adanya beban masukan sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik itu rendah. Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

Nilai nitrat dari masing-masing stasiun di perairan Sungai Sunggal berkisar 0,9 – 1,0 mg/l. Nilai nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 1,0 mg/l dan terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sebesar 0,9 mg/l, namun nilai nitrat ini masih dalam kisaran normal bagi pertumbuhan organisme air seperti plankton. Nilai nitrat tinggi pada stasiun 1 disebabkan karena aktivitas pertanian yang menghasilkan limbah yang mengandung amoniak dibuang ke badan perairan sehingga menyebabkan nitrat menjadi lebih tinggi. Nilai nitrat rendah disebabkan karena beban masukan dari luar sedikit. Barus (2004), menyatakan nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit serta merupakan zat yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang.

Posfat yang terukur di perairan Sungai Sunggal berkisar 0,12 – 0,16 mg/l. Posfat tertinggi ditemukan pada stasiun 2 sebesar 0,16 mg/l dan terendah ditemukan pada stasiun 3 sebesar 0,12 mg/l. Rendahnya Posfat pada stasiun 3

disebabkan karena tingginya populasi tumbuhan air yang menyebabkan konsumsi terhadap posfat juga tinggi sehingga kandungan posfat di perairan akan semakin berkurang. Sumber posfat berasal dari perairan alami dan antropogenik seperti industri dan domestik. Posfat pada perairan alami berasal dari pelapukan batuan mineral dan antropogenik berasal dari aktivitas industri dan domestik (Effendi, 2003).

Tingginya posfat pada stasiun 2 karena disana jarang dijumpai tumbuhan air sehingga konsumsi posfat oleh tumbuhan air tidak ada. Barus (2004), mengatakan bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrat dan posfat sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya, namun peningkatan unsur posfat dalam perairan juga dapat menyebabkan populasi alga secara massal yang dapat menyebabkan eutrofikasi dalam ekosistem air.

Parameter Fisika-Kimia Perairan Sungai Sunggal Berdasarkan Metode STORET

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 5 jumlah skor pada stasiun 1, 2 dan 3 menurut metode STORET dan berdasarkan baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 dengan baku mutu air kelas I, pada stasiun 1 sebesar -10 dan pada stasiun 2 dan 3 sebesar -18. Skor tertinggi diperoleh dari stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan karena banyaknya aktivitas di stasiun ini seperti limbah cair PDAM, MCK (mandi, cuci, kakus), daerah pemukiman yang berpotensi menampung limbah domestik serta keluaran limbah pabrik kuningan, sehingga menyebabkan parameter fisika-kimia perairan tidak memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Berdasarkan klasifikasi penilaian skor dengan metode STORET, kualitas perairan pada stasiun 2 dan 3

tergolong tercemar sedang untuk peruntukan kelas I (bahan baku air minum) dan tergolong tercemar ringan untuk peruntukan kelas II (untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman.

Skor terendah diperoleh dari stasiun 1 sebesar -10, hal ini disebabkan karena minimnya aktivitas pada stasiun 1 sehingga menyebabkan parameter fisika- kimia yang diamati masih sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Berdasarkan klasifikasi penilaian skor dengan metode STORET, kualitas perairan pada stasiun 1 termasuk tercemar ringan untuk peruntukan kelas I dan II.

Bedasarkan klasifikasi penilaian skor dengan metode STORET, kualitas perairan Sungai Sunggal pada stasiun 1, 2 dan 3 termasuk tercemar ringan dengan skor -8 untuk peruntukan kelas II (untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman). Kualitas perairan Sungai Sunggal memenuhi baku mutu dengan skor 0 pada stasiun 1, 2 dan 3 pada peruntukan kelas III (untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, mengairi pertanaman) dan kelas IV (untuk mengairi pertanaman).

Kelimpahan Plankton (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK)

Dari hasil penelitian yang dilakukan di perairan Sungai Sunggal ditemukan plankton sebanyak 31 genus yang terdiri atas 13 kelas dan 27 famili. Fitoplankton ditemukan sebanyak 26 genus yang terdiri atas 10 kelas dan 22 famili, sedangkan zooplankton ditemukan sebanyak 5 genus yang terdiri atas 3 kelas dan 5 famili. Pada stasiun 1 ditemukan 14 genus yang terdiri atas 9 kelas dan 13 famili. Pada stasiun II ditemukan 18 genus yang terdiri atas 9 kelas dan 16

famili sedangkan pada stasiun III ditemukan 26 genus yang terdiri atas 12 kelas dan 23 famili.

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan kelimpahan total 54 ind/l yang terdiri atas 26 genus. Genus yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah genus Gonatozygon sebesar 12,8 ind/l dengan kelimpahan relatif 23,70% dan frekuensi kehadiran 66,66%, kemudian diikuti oleh genus Synedra sebesar 8,4 ind/l dengan kelimpahan relatif sebesar 15,56% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun 3 baik untuk kehidupan kedua genus tersebut. Barus, (2004), mengatakan bahwa apabila didapatkan nilai KR > 10% dan FK > 25%, maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme.

Genus yang memiliki kelimpahan terendah pada stasiun 3 adalah

Amphriprora, Closterium, Sorastrum, Zygnema, Hormidium, Phacus, Acroperus, Macrothrix dan Diaptomus sebesar 0,4 ind/l dan kelimpahan relatif 0,74% dan frekuensi kehadiran 33,33%. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi fisika-kimia perairan tersebut tidak cocok bagi pertumbuhan genus tersebut. Menurut Suin (2002), pola penyebaran plankton di dalam air tidak sama. Tidak samanya penyebaran plankton dalam badan air disebabkan oleh adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor-faktor lainnya di kedalaman air yang berbeda.

Pada stasiun 2 diperoleh kelimpahan total sebesar 38,8 ind/l yang terdiri atas 18 genus. Pada stasiun ini genus yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah genus Cresseis sebesar 6,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 16,50% dan frekuensi

kehadiran 66,66%. Keadaan ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan tersebut mendukung kehidupan genus tersebut. Barus (2004), fluktuasi dari populasi plankton dipengaruhi oleh perubahan berbagai kondisi lingkungan, salah satunya adalah ketersediaan nutrisi di perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan posfor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi plankton.

Kelimpahan terendah pada stasiun 2 adalah dari genus Fragillaria, Isthmia, Entophysalis, Phacus dan Acartia sebesar 0,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 1,03% dan frekuensi kehadiran sebesar 33,33%. Rendahnya kelimpahan genus-genus ini dikarenakan kecepatan arus yang relatif tinggi yakni 0,22 m/s. Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut termasuk penyebaran plankton (Suin, 2002).

Pada stasiun 1 diperoleh kelimpahan total sebesar 24,8 ind/l yang terdiri atas 14 genus yang terdiri dari 9 kelas dan 13 famili. Genus yang mempunyai kelimpahan terbanyak di stasiun ini adalah Gonatozygon sebesar 6,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 25,80% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Kelimpahan genus ini karena kondisi lingkungan perairan tersebut sesuai dengan pertumbuhannya seperti kadar oksigen yang optimal yakni 6,63 mg/l sehingga perairan pada stasiun ini dalam keadaan optimal untuk pertumbuhannya. Menurut Suin (2002), kadar oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan biota air.

Kelimpahan plankton terendah dari stasiun 1 diperoleh dari genus

Microspora, Rhodomonas dan Hormidium sebesar 0,4 ind/l dengan kelimpahan relatif 1,62% dan frekuensi kehadiran 33,33%. Rendahnya kelimpahan genus-genus ini dikarenakan nutrien seperti nitrat dan posfat sedikit sehingga

pertumbuhan plankton di daerah ini terbatas jumlahnya. Ketersediaan sumberdaya pada lingkungan menentukan keberadaan jenis, jumlah individu, kelimpahan dan frekuensi kehadirannya (Suin, 2002).

Dari ketiga stasiun dapat diketahui bahwa stasiun yang memiliki kelimpahan genus tertinggi yaitu stasiun 3 sebanyak 54 ind/l dengan jumlah 26 genus, 23 famili dan 12 kelas. Kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 1 sebanyak 24,8 ind/l dengan jumlah 14 genus, 13 famili dan 9 kelas. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan nutrien seperti nitrat dan posfat yang mempengaruhi pertumbuhan plankton pada kedua stasiun tersebut. Banyaknya unsur hara disebabkan deskripsi area pada stasiun 3 merupakan daerah hilir sehingga unsur hara dari hulu terakumulasi di daerah ini sehingga konsentrasinya tinggi yang mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama fitoplankton. Menurut Nybakken (1992), fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan posfat.

Indeks Keanekaragaman Plankton (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Dari Tabel 8 nilai indeks keanekaragaman (H’) semua stasiun hampir

Dokumen terkait