• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil survai dengan responden petani kubis menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Enrekang dan Gowa masing-masing menggunakan 6 dan 2 jenis insektisida untuk mengendalikan ulat daun kubis (Tabel 1). Selanjutnya kedelapan jenis insektisida tersebut diuji toksisitasnya terhadap P. xylostella yang berasal dari kedua kabupaten tersebut dan hasil pengujiannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Insektisida yang umum digunakan oleh petani kubis untuk mengendalikan hama ulat daun kubis P. xylostella di Kabupaten Enrekang dan Gowa, Sulawesi Selatan

Persentase petani yang menggunakan insektisida menurut lokasi

Jenis insektisida

Kabupaten Enrekang Kabupaten Gowa

Nama dagang Nama umum insektisida Kode cara kerja Kecamatan Anggeraja Kecamatan Baroko Kecamatan Tombolo Pao Kecamatan Tinggi Moncong Liebas 50 EC Beta-cyfluthrin 3A 0 0 40 70 Polydor 25 EC Lambda-cyhalothrin 3A 0 0 60 30

Ampligo 150 ZC Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 3A + 28 0 40 0 0 Klensect 200 EC Permethrin 3A 30 20 0 0 Prevathon 50 SC Chlorantraniliprol 28 50 50 0 0 Tracer 120 SC Spinosad 5 0 20 0 0 Turex WP Bacillus thuringiensis var. Aizawai 11 30 10 0 0 Virtako 300 SC Tiametoxam + Chlorantraniliprol 4A + 28 20 10 0 0

Data pada Tabel 2 menunjukkan terdapat perbedaan kerentanan P. xylostella yang berasal dari empat kecamatan dan telah terjadi resistensi P.

kubis di daerah tersebut. Salah satu faktor yang menentukan keefektifan insektisida ialah perilaku dalam mengaplikasikan insektisida tersebut. Oleh karena itu perilaku petani dalam mengaplikasikan insektisida juga dicatat dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Nilai LC50 insektisida yang umum digunakan petani untuk mengendalikan hama ulat daun kubis, P.xylostella dan nisbah resistensinya

Asal serangga Nama umum insektisida LC50 (ppm) Nisbah

resistensi Status resistensi

Kabupeten Enrekang : Beta-cyfluthrin 1.033,60 63,57 Resisten Lambda-cyhalothrin 924,51 56,86 Resisten Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 79,53 4,89 Resisten Permethrin 482,48 29,67 Resisten Chlorantraniliprol 306,62 18,85 Resisten Spinosad 16,26 1,00 Rentan

Bacillus thuringiensis var. Aizawai 164,60 10,12 Resisten Kecamatan Anggeraja

Tiametoxam + Chlorantraniliprol 151,93 9,34 Resisten

Beta-cyfluthrin 1.113,08 22,48 Resisten Lambda-cyhalothrin 1.462,68 29,55 Resisten Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 164,67 3,33 Rentan Permethrin 535,68 10,82 Resisten Chlorantraniliprol 680,61 13,75 Resisten Spinosad 49,50 1,00 Rentan

Bacillus thuringiensis var. Aizawai 272,69 5,51 Resisten Kecamatan Baroko

Tiametoxam + Chlorantraniliprol 126,10 2,55 Rentan

Kabupeten Gowa : Beta-cyfluthrin 2.091,60 40,65 Resisten Lambda-cyhalothrin 1.153,96 22,42 Resisten Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 176,39 3,43 Rentan Permethrin 590,60 11,48 Resisten Chlorantraniliprol 729,63 14,18 Resisten Spinosad 51,46 1,00 Rentan

Bacillus thuringiensis var. Aizawai 84,19 1,64 Rentan Kecamatan Tombolo

Pao

Tiametoxam + Chlorantraniliprol 392,81 7,63 Resisten

Beta-cyfluthrin 5.872,32 147,95 Resisten Lambda-cyhalothrin 3.571,71 89,99 Resisten Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 420,45 10,59 Resisten Permethrin 3.228,90 81,35 Resisten Chlorantraniliprol 591,63 14,90 Resisten Spinosad 39,69 1,00 Rentan

Bacillus thuringiensis var. Aizawai 92,42 2,33 Rentan Kecamatan Tinggi

Moncong

Tiametoxam + Chlorantraniliprol 502,61 12,66 Resisten

* Nisbah resistensi, adalah nilai LC50 strain P.xylostella yang diduga resisten dibagi nilai LC50 strain yang "rentan" (dicetak tebal)

Tabel 3. Cara penggunaan insektisida yang dilakukan oleh petani dalam mengendalikan hama P. xylostella pada budidaya kubis di Sulawesi Selatan

Persentase jumlah petani yang menggunakan insektisida menurut lokasi

Kabupaten Enrekang Kabupaten Gowa

Uraian Kecamatan Anggeraja Kecamatan Baroko Kecamatan Tombolo Pao Kecamatan Tinggi Moncong 1. Konsentrasi formulasi insektisida

a. di bawah anjuran 0 0 50 50

b. sesuai dengan anjuran 0 50 0 0

c. di atas anjuran 100 50 50 50

2. Rata-rata volume semprot per hektar

a. ≤ 500 liter 30 10 30 30

b. > 500 – 750 liter 70 90 20 20

c. > 750 liter 0 0 50 50

3. Interval penyemprotan insektisida

a. < 7 hari 70 0 100 100

b. 7 hari 30 0 0 0

c. > 7 hari 0 100 0 0

4. Waktu penyemprotan insektisida

a. pagi hari 100 100 100 100

b. siang hari 0 0 0 0

c. sore hari 0 0 0 0

5. Pencampuran

a. insektisida + insektisida + fungisida + pupuk

daun 60 20 0 0

b. insektisida + fungisida + pupuk daun 40 80 100 100

c. Insektisida tunggal 0 0 0 0

Resistensi P. xylostella terhadap Beta-cyfluthrin

Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa populasi lapangan P. xylostella asal Kecamatan Anggeraja dan Baroko, Kabupaten Enrekang serta Kecamatan Tombolo Pao dan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa telah resisten terhadap insektisida Betasiflutrin. Di antara keempat kecamatan tersebut, populasi P. xylostella asal Kecamatan Tinggi Moncong paling resisten dengan nilai LC50 sebesar 5.872,32 ppm. Meskipun insektisida tersebut baru digunakan oleh petani kubis di Kabupaten Gowa sejak 1-2 tahun yang lalu (Tabel 4), tetapi ternyata P. xylostella di daerah tersebut telah resisten.

Tabel 4. Lamanya penggunaan insektisida dan tahun terakhir penggunaan insektisida yang digunakan untuk mengendalikan P.xylostella pada tanaman kubis di Sulawesi Selatan

Lokasi Nama umum insektisida Lama penggunaan Tahun terakhir digunakan Alasan berhenti menggunakan insektisida Kabupeten Enrekang : Beta-cyfluthrin - - -

Lambda-cyhalothrin 3 – 4 tahun 2011 Tidak efektif Lambda-cyhalothrin +

Chlorantraniliprol 2 – 3 tahun 2011 Tidak efektif

Permethrin 3 – 4 tahun 2012 -

Chlorantraniliprol 2 – 3 tahun 2012 -

Spinosad 3 – 5 tahun 2011 Tidak tersedia di pasar

Bacillus thuringiensis var.

Aizawai 3 – 5 tahun 2012 - Kecamatan Anggeraja Tiametoxam + Chlorantraniliprol 3 – 5 tahun 2012 - Beta-cyfluthrin - - -

Lambda-cyhalothrin 1 – 4 tahun 2011 Tidak efektif Lambda-cyhalothrin +

Chlorantraniliprol 2 – 3 tahun 2012 -

Permethrin 3 – 6 tahun 2012 -

Chlorantraniliprol 1 – 3 tahun 2012 -

Spinosad 2 – 5 tahun 2012 -

Bacillus thuringiensis var.

Aizawai 4 – 7 tahun 2012 - Kecamatan Baroko Tiametoxam + Chlorantraniliprol 2 – 4 tahun 2012 - Kabupeten Gowa : Beta-cyfluthrin 1 – 2 tahun 2012 - Lambda-cyhalothrin 2 – 3 tahun 2012 - Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol 2 – 5 tahun 2011 Tidak tersedia di pasar

Permethrin 2 – 3 tahun 2010 Tidak efektif

Chlorantraniliprol 1 – 2 tahun 2011 Tidak efektif

Spinosad 4 – 9 tahun 2011 Tidak tersedia di pasar

Bacillus thuringiensis var.

Aizawai 14 – 16 tahun 2010 Tidak tersedia di pasar Kecamatan Tombolo Pao Tiametoxam +

Chlorantraniliprol 2 – 5 tahun 2011 Tidak efektif Beta-cyfluthrin 1 – 2 tahun 2012 -

Lambda-cyhalothrin 2 – 3 tahun 2012 - Lambda-cyhalothrin +

Chlorantraniliprol - - -

Permethrin 2 tahun 2010 Tidak efektif

Chlorantraniliprol 1 – 3 tahun 2010 Tidak efektif

Spinosad 6 – 11 tahun 2011 Tidak tersedia di pasar

Bacillus thuringiensis var.

Aizawai 12 – 18 tahun 2011 Tidak tersedia di pasar Kecamatan

Tinggi Moncong

Tiametoxam +

Insektisida Beta-cyfluthrin merupakan racun saraf yang cara kerjanya sama dengan insektisida dari golongan Organoklorin seperti DDT (Cox 1994; Singh et al 2009). Kebiasaan petani di Kabupaten Gowa mengaplikasikan insektisida tersebut di bawah anjuran (Tabel 3) diduga merupakan penyebab terjadinya resistensi P. xylostella terhadap Beta-cyfluthrin secara cepat.

Singh et al. (2009) menyatakan bahwa dengan paparan insektisida pada konsentrasi subletal (di bawah anjuran), timbul tanda-tanda awal dimulainya serangga keracunan, tetapi serangga mampu mendetoksifikasi insektisida tersebut sehingga daya racunnya menurun. Pada kondisi ini serangga masih tetap hidup dan akan menghasilkan keturunan berikutnya yang resisten terhadap insektisida tersebut.

Petani kubis di Kabupaten Enrekang tidak menggunakan insektisida Beta-cyfluthrin tetapi P. xylostella di daerah tersebut ternyata telah resisten terhadap insektisida tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena petani kubis di Kabupaten Enrekang menggunakan insektisida Permethrin, yang masih satu golongan dengan insektisida Beta-cyfluthrin yaitu golongan Piretroid sintetik, yang oleh IRAC dimasukkan dalam satu kelompok dengan cara kerja yang sama (Tabel 1).

Resistensi P. xylostella terhadap Lambda-cyhalothrin

Populasi lapangan P. xylostella di Kabupaten Enrekang dan Gowa telah resisten terhadap insektisida Lambda-cyhalothrin dan yang paling resisten ialah P. xylostella asal Kecamatan Tinggi Moncong dengan nilai LC50 sebesar 3.571,71 ppm. Insektisida Lambda-cyhalothrin digunakan di daerah ni sejak 2-3 tahun yang lalu dan masih digunakan walaupun sudah tidak efektif. Praktik aplikasi insektisida tersebut yang dilakukan oleh petani kubis dengan konsentrasi formulasi penyemprotan di atas anjuran (Tabel 3) diduga mengakibatkan resistensi P. xylostella terhadap insektisida Lambda-cyhalothrin terjadi dengan cepat. Hal ini disebabkan dalam tindakan aplikasi insektisida tidak semua individu serangga hama tersebut mati terbunuh, tetapi ada satu atau dua individu yang lolos dari tekanan seleksi dan tetap hidup. Individu-individu ini akan melahirkan keturunan yang resisten terhadap konsentrasi formulasi insektisida yang diaplikasikan tersebut.

Pada saat penelitian ini dilaksanakan, petani kubis di Kabupaten Enrekang tidak menggunakan insektisida Lambda-cyhalothrin, tetapi mereka pernah menggunakan insektisida tersebut sebelum tahun 2012 selama 1-4 tahun. Petani kubis di daerah tersebut berhenti menggunakan insektisida Lambda-cyhalothrin karena mereka menganggap insektisida tersebut sudah tidak efektif terhadap P. xylostella (Tabel 4). Sama halnya dengan insektisida Beta-cyfluthrin dan Permethrin, insektisida Lambda-cyhalothrin termasuk ke dalam golongan Piretroid sintetik yang mempunyai cara kerja yang sama (Tabel 1). Menurut Toth & Sparks (1990) suhu berpengaruh terhadap daya racun (toksisitas) insektisida tersebut. Hal ini terjadi di Kecamatan Anggeraja (590 m dpl) yang bersuhu lebih tinggi dibandingkan dengan tiga kecamatan yang lain, yang menyebabkan nilai LC50 Lambda-cyhalothrin terendah.

Resistensi P. xylostella terhadap Permethrin

Populasi lapangan P. xylostella dari semua lokasi telah resisten terhadap insektisida Permethrin. Hal ini dapat dipahami karena insektisida Permethrin masih satu golongan cara kerja dengan insektisida Beta-cyfluthrin dan Lambda-cyhalothrin. Untuk mencegah terjadinya hal itu dapat dilakukan pergiliran penggunaan insektisida dengan insektisida yang mempunyai kode cara kerja yang berbeda (Georgiou & Taylor 1986; IRAC 2011).

Resistensi P. xylostella terhadap Chlorantraniliprol

Populasi lapangan P. xylostella asal Kabupaten Enrekang dan Gowa ternyata telah resisten terhadap insektisida Chlorantraniliprol. Insektisida ini toksik terhadap serangga dengan alat mulut menggigit dan mengunyah dan bekerja sebagai racun nafas dan racun kontak (Dinter et al. 2009). Dengan demikian, sebenarnya insektisida tersebut sangat tepat untuk mengendalikan hama P. xylostella yang mempunyai tipe alat mulut penggigit pengunyah. Namun, ternyata P. xylostella dari Kabupaten Enrekang dan Gowa telah resisten terhadap insektisida Chlorantraniliprol. Hal ini diduga karena petani kubis di daerah tersebut melakukan praktik pencampuran pestisida (insektisida/ fungisida) dengan pupuk daun. Menurut Moekasan et al. (2012) perbedaan sifat kemasaman pupuk daun dengan pestisida akan mengakibatkan menurunnya daya bunuh pestisida tersebut. Akibatnya,

serangga tidak mati dan selanjutnya akan melahirkan individu-individu yang resisten.

Resistensi P. xylostella terhadap B. thuringiensis

B. thuringiensis merupakan insektisida biologi yang berkembang menjadi penting dalam pengelolaan hama. Insektisida tersebut sangat toksik terhadap hama sasaran, tetapi tidak berbahaya bagi manusia dan sebagian besar serangga berguna (Khan et al. 2005). Karena insektisida tersebut relatif aman terhadap lingkungan dan manusia, maka ada kecenderungan petani menggunakannya secara terus menerus. Petani kubis di Kabupaten Enrekang menggunakan insektisida tersebut sejak 3-7 tahun yang lalu hingga sekarang dan ternyata P. xylostella telah resisten terhadap insektisida tersebut. Menurut Ferre et al. (1991) dan Lee et al. (1995) P. xylostella mempunyai reseptor kristal protein di membran ususnya. Serangga yang resisten menunjukkan hilangnya kemampuan reseptor untuk menangkap kristal protein B. thuringiensis. Hal ini terjadi karena menurunnya konsentrasi reseptor, menurunnya gaya gabung dengan racun atau keduanya.

Meskipun petani kubis di Kecamatan Baroko mengaplikasikan B. thuringiensis sesuai dengan konsentrasi formulasi anjuran, tetapi praktik pencampuran insektisida dengan pupuk daun atau insektisida lainnya mengakibatkan insektisida tersebut kurang toksik. Menurut Moekasan & Murtiningsih (2010) praktik pencampuran pestisida akan menimbulkan efek sinergsitik, netral, atau antagonistik. Dari ketiga efek pencampuran tersebut, pencampuran pestisida yang dilakukan sembarangan dengan tidak memperhatikan kompatibilitasnya paling sering menimbulkan efek antagonistik, yaitu sifat saling mengalahkan sehingga daya racun pestisida tersebut menurun.

Petani kubis di Kecamatan Tombolo Pao dan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa sudah cukup lama (6-16 tahun) menggunakan insektisida B. thuringiensis. Mereka berhenti menggunakan insektisida tersebut sejak tahun 2010-2011 karena produk tersebut sulit diperoleh di pasar. Adanya periode waktu tanpa menggunakan B. thuringiensis inilah yang diduga menyebabkan P. xylostella di daerah tersebut masih rentan terhadap B. thuringiensis, seperti

insektisida, maka tingkat resistensi hama akan menurun (Hama 1987, Murai et al. 1992). Dengan demikian insektisida B. thuringiensis masih dapat digunakan di daerah tersebut.

Resistensi P. xylostella terhadap Spinosad

Spinosad merupakan insektisida yang berbahan aktif bakteri Saccharopolyspora spinosa yang diisolasi dari tanah. Menurut Salgado (1998), berdasarkan cara kerjanya bahan aktif Spinosad digolongkan dalam kelompok neurotoksik yang bekerja sebagai racun perut dan kontak. Spinosad mempunyai cara kerja yang unik yang berbeda dengan produk insektisida lain yang telah dikenal. Spinosin A yang merupakan bagian terbesar dalam Spinosad dapat menyebabkan kontraksi otot yang tidak terkendali dan tubuh akan gemetar karena rangsangan yang berlebihan pada pusat sistem saraf serangga. Apabila terpapar bahan aktif spinosin A lebih lama, otot serangga akan lelah dan akhirnya mengalami kelumpuhan.

Populasi lapangan P. xylostella dari empat kecamatan yang diuji masih rentan terhadap insektisida Spinosad, dengan nilai LC50 terendah dibandingkan dengan nilai LC50 insektisida lain yang diuji. Insektisida Spinosad telah digunakan sejak 2-5 tahun yang lalu hingga sekarang di Kabupaten Enrekang, sementara di Gowa lebih lama yaitu 4-11 tahun tetapi sekarang tidak digunakan lagi karena tidak tersedia di pasar. Dengan hasil pengujian ini diketahui bahwa Spinosad dapat digunakan sebagai pilihan dalam pengendalian P. xylostella untuk menggantikan insektisida lain yang sudah tidak efektif.

Resistensi P. xylostella terhadap Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol dan Tiametoxam + Chlorantraniliprol

Pada beberapa tahun terakhir, perusahaan pestisida mengeluarkan formulasi insektisida berbahan aktif ganda, sebagai upaya mengatasi tingginya serangan OPT yang sudah terindikasi resisten terhadap pestisida berbahan aktif tunggal. Pencampuran insektisida yang tepat dapat mengatasi masalah resistensi hama terhadap insektisida yang digunakan (Benz 1971, Perez & Shelton 1997). Namun ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya P. xylostella asal Kecamatan Baroko saja yang masih rentan terhadap

kedua jenis insektisida tersebut. Meskipun petani di Kecamatan Baroko mengaplikasikan kedua jenis insektisida tersebut dengan konsentrasi formulasi di atas anjuran, tetapi diduga interval penyemprotan yang lebih panjang yaitu lebih dari 7 hari, yang menyebabkan hama tersebut masih rentan. Terjadinya resistensi hama terhadap insektisida berbahan aktif ganda sangat menghawatirkan, karena dapat dipastikan bahwa hama tersebut resisten pula terhadap insektisida yang berbahan aktif tunggalnya.

Pengelolaan Resistensi Hama

Salah satu dampak penggunaan insektisida yang tidak tepat ialah timbulnya resistensi hama terhadap insektisida yang digunakan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diterapkan program pengelolaan resistensi. Program tersebut pernah diterapkan untuk mengatasi masalah P. xylostella yang telah resisten terhadap Spinosad di Hawaii. Taktik yang dilakukan pada program tersebut ialah : (1) konservasi musuh alami, (2) pemantauan resistensi hama, dan (3) rotasi penggunaan insektisida berdasarkan cara kerjanya yang berbeda (Mau & Gukusuma-Minuto 2001; IRAC 2011).

Musuh alami potensial bagi hama P. xylostella di dataran tinggi di Indonesia ialah parasitoid Diadegma semiclausum dengan tingkat parasitasi di lapangan mencapai 80% (Sastrosiswojo et al. 2001; Regupathy 2008). Berdasarkan pengamatan di lapangan, parasitoid tersebut telah berkembang di Kecamatan Baroko (1.140 m dpl) dan Tombolo Pao (1.600 m dpl) dan Tinggi Moncong (1.500 m dpl), tetapi dengan penggunaan insektisida yang tidak selektif, tingkat parasitasinya menurun, yaitu berkisar antara 20-37%. Oleh karena itu, peran parasitoid tersebut perlu ditingkatkan dengan jalan melepaskan parasitoid hasil perbanyakan masal. Selain itu, penggunaan insektisida yang selektif seperti B. thuringiensis di Kecamatan Tombolo Pao dan Tinggi Moncong dan insektisida Spinosad di Kecamatan Baroko akan memberikan kesempatan bagi parasitoid tersebut untuk berkembang. Untuk Kecamatan Anggeraja (590 m dpl) yang bersuhu lebih tinggi, perlu dikembangkan jenis parasitoid lain seperti Cotesia plutellae yang mampu berkembang pada kisaran suhu yang cukup lebar, yaitu 21 – 33º C (Nofemela 2004).

Dalam pengelolaan hama P. xylostella secara terpadu, penggunaan insektisida harus berdasarkan ambang pengendalian. Untuk maksud tersebut diperlukan pengamatan yang intensif dan berkala yang bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi hama P. xylostella dan tingkat parasitasi musuh alaminya (D. semiclausum). Dengan mengetahui tingkat populasi hama P. xylostella dan tingkat parasitasi D. semiclausum, maka ambang pengendalian untuk menetapkan kapan insektisida digunakan pada tanaman kubis untuk mengendalikan P. xylostella dapat diketahui. Selain itu, pengetahuan tentang insektisida selektif yang dapat digunakan pada tanaman kubis juga sangat diperlukan, karena dengan menggunakan insektisida selektif peranan parasitoid D. semiclausum dalam mengendalikan P.xylostella tetap terjaga. Untuk maksud tersebut, salah satu caranya adalah dengan melalui pelatihan, baik bagi petani maupun petugas.

Rotasi penggunaan insektisida bukan berdasarkan bahan aktif yang berbeda tetapi harus berdasarkan kode cara kerja yang berbeda (IRAC 2011). Moekasan et al. (2011) menyatakan bahwa pergiliran penggunaan insektisida dilakukan dengan cara mengaplikasikan 3 jenis insektisida dengan kode cara kerja yang berbeda dalam satu musim tanam. Setiap jenis insektisida diaplikasikan secara berturut-turut selama 3 minggu, kemudian digantikan dengan insektisida yang kedua selama 3 minggu, lalu insektisida yang ketiga selama 3 minggu dan kembali lagi ke insektisida yang pertama. Alasannya ialah bahwa dalam periode satu daur hidup, serangga tersebut hanya mendapatkan paparan 1 jenis insektisida dan generasi berikutnya mendapatkan paparan insektisida dari golongan dengan kode cara kerja yang berbeda. Dengan demikian kesempatan serangga untuk mendetoksifikasi suatu jenis insektisida dapat dikurangi, sehingga terjadinya resistensi dapat ditekan.

Di Kecamatan Anggeraja, Spinosad masih dapat digunakan tetapi harus dirotasi dengan insektisida lain yang tidak mempunyai cara kerja dengan kode 3 A, 4 A, 28, 11 dan 5. Di Kecamatan Baroko terdapat tiga jenis insektisida yang masih efektif, yaitu Lambda-cyhalothrin + Chlorantraniliprol, Spinosad, dan Tiametoxam + Chlorantraniliprol. Ketiganya dapat digunakan secara bergantian. Insektisida Lambda-cyhalothrin, Spinosad, dan B. thuringiensis masih dapat digunakan secara bergiliran di Kecamatan Tombolo

Pao. Insektisida Spinosad dan B. thiringiensis masih dapat diaplikasikan pada tanaman kubis di Kecamatan Tinggi Moncong. Namun, untuk pergiliran masih diperlukan satu jenis insektisida dengan cara kerja yang tidak berkode 3 A, 4 A, 28, 11, dan 5.

Dokumen terkait