• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak di Kota Bogor dengan jumlah penduduk sebesar 214 826 jiwa. (BPS Kota Bogor 2011) dengan luas wilayah sekitar 3 165 Ha terbagi dalam 16 kelurahan, diantaranya adalah Kelurahan Pasir Jaya dan Kelurahan Menteng. Kelurahan Pasir Jaya memiliki jumlah penduduk sebanyak 20 730 jiwa. Luas wilayah Kelurahan Pasir Jaya sekitar 138.2 Ha. Kelurahan Pasir Jaya terdiri dari 15 RW dengan 63 RT didalamnya. Kelurahan Menteng memiliki jumlah penduduk sebesar 15 785 jiwa dengan luas wilayah sekitar 209 Ha. Kelurahan Menteng terdiri atas 20 RW dan 78 RT. Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan dengan penduduk terpadat di Kota Bogor dengan jumlah penduduk sebesar 12 564 jiwa/km2 (BPS Kota Bogor 2011) dengan luas wilayah sekitar 851 Ha terbagi dalam 10 kelurahan, diantaranya adalah Kelurahan Panaragan dan Kelurahan Paledang. Kelurahan Panaragan memiliki penduduk berjumlah 7 181 jiwa dengan luas wilayah 27 Ha. Kelurahan Panaragan terdiri atas 7 RW dan 34 RT. Kelurahan Paledang memiliki jumlah penduduk sebesar 11 539 jiwa. Luas wilayah Kelurahan Paledang yaitu sekitar 178 Ha. Kelurahan Paledang terdiri dari 13 RW dengan 58 RT didalamnya Karakteristik Keluarga

Berdasarkan Tabel 2, terdapat perbedaan yang signifikan pada semua item karakteristik keluarga berdasarkan jenis pekerjaan sedangkan berdasarkan alokasi waktu kerja, hanya pendidikan isteri dan suami, pendapatan isteri, dan pendapatan perkapita yang berbeda secara signifikan. Rataan besar keluarga isteri dengan jenis pekerjaan informal (4.72) yang lebih dari separuhnya terkategori keluarga sedang lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan formal (3.79) yang mayoritas terkategori keluarga kecil. Begitu pula berdasarkan usia isteri dan suami dimana isteri dengan jenis pekerjaan informal (36.10) memiliki rataan usia lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan formal (33.69). Namun pada rataan pendidikan isteri dan suami, pendapatan perkapita, dan pendapatan isteri, isteri dengan jenis pekerjaan formal lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Berdasarkan pendapatan perkapita hampir seluruh isteri dengan jenis pekerjaan formal (95%) terkategori keluarga tidak miskin sedangkan isteri dengan jenis pekerjaan informal hanya 40 persen yang terkategori tidak miskin. Berdasarkan jenis pekerjaan, Hampir sepertiga (30%) suami bekerja sebagai pegawai swasta. Isteri dengan jenis pekerjaan formal 46.2 persen bekerja sebagai pegawai swasta sedangkan isteri dengan jenis pekerjaan informal 53.8 persen bekerja sebagai permbantu rumahtangga.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa rataan pendidikan isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam (12.08) lebih besar dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam (10.66). Selain itu pendapatan isteri dan pendapatan perkapita pada isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari

12

delapan jam lebih besar dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam.

Tabel 2 Hasil uji beda karakteristik keluarga

Karakteristik Jenis Pekerjaan P-Value

Alokasi waktu kerja P-Value Rataan Total Formal Informal ≤8 >8 Usia istri 33.69 36.10 0.015** 34.57 35.29 0.474 34.89 Usia suami 36.36 40.63 0.000** 38.32 38.71 0.737 38.49

Usia anak terakhir 3.87 5.04 0.001** 4.65 4.22 0.242 3.87

Besar keluarga 3.79 4.72 0.000** 4.28 4.22 0.725 4.26

Pendidikan istri 13.95 8.65 0.000** 10.66 12.08 0.017* 11.30

Pendidikan suami 13.45 9.10 0.000** 10.78 11.88 0.045* 11.28

Lama bekerja istri 9.76 6.88 0.003** 8.30 8.35 0.955 11.76

Lama perninikahan 9.16 14.54 0.000** 11.91 11.76 0.880 11.86 Pendapatan istri (Rp dalam ribu) 2611.3 1559.1 0.003** 1557 2371 0.002** 2085.2 Pendapatan perkapita (Rp dalam ribu) 1529.2 791.9 0.000** 910.9 14656 0.006** 1160.5

Berdasarkan jenis pekerjaan 33.8 persen isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki pembantu rumah tangga sedangkan pada isteri dengan jenis pekerjaan informal hanya 2.5 persen. Berdasarkan alokasi waktu kerja, 22.2 persen isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam memiliki pembantu rumah tangga sedangkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam hanya 14.8 persen. Berdasarkan keberadaan pengasuhan anak, 7.5 persen isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki pengasuh anak sedangkan isteri dengan jenis pekerjaan informal hanya 3.8 persen. Sedangkan berdasarkan alokasi waktu kerja, 9.7 persen isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam memiliki pengasuh anak, sedangkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam hanya 2.3 persen. Isteri pada dengan jenis pekerjaan formal (37.5%), informal (20.0%), isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam (25.0%), dan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam (31.8%) memiliki bantuan dari anggota keluarga lain dalam mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Masalah kerja-keluarga

Masalah kerja-keluarga adalah hal-hal paling menyulitkan yang dirasakan oleh isteri bekerja yang terjadi terkait pekerjaan dan keluarga (Tabel 3). Secara keseluruhan 42.5 persen isteri mengalami masalah terkait pengasuhan anak. Hampir sepertiga isteri (30%) merasa kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik. Masalah terkait hubungan dengan suami hanya 3.1 persen isteri yang menyatakan memiliki masalah tersebut. Masalah terkait kurangnya waktu untuk anak paling banyak dirasakan oleh isteri dengan jenis pekerjaan formal (26.25%). Masalah terkait pendapatan dari pekerjaan paling sedikit dirasakan oleh isteri dengan jenis pekerjaan formal (1.25%) dan isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam (1.39%). Sedangkan masalah kelelahan fisik paling dirasakan oleh isteri dengan jenis pekerjaan informal (31.25%).

13 Tabel 3 Sebaran isteri (%) dan hasil uji beda berdasarkan masalah kerja- keluarga

Subvariabel Jenis Pekerjaan P-Value

Alokasi waktu

kerja P-Value Total

Formal Informal ≤8 >8

Masalah pengasuhan anak 42.50 42.50 0.772 45.45 38.89 0.620 42.5

Sulit mengerjakan pekerjaan

rumah dengan baik 26.25 33.75 0.304 28.41 31.94 0.630 30.0

Kurangnya waktu untuk anak 26.25 5.00 0.000** 12.50 19.44 0.166 15.6

Membagi waktu kerja-keluarga 13.75 17.50 0.517 11.36 20.83 0.111 15.6

Kelelahan fisik 8.75 31.25 0.000** 27.27 11.11 0.011* 20.0

Tekanan pekerjaan 12.50 10.00 0.619 7.95 15.28 0.158 11.3

Masalah terkait pendapatan dari

pekerjaan 1.25 10.00 0.017* 9.09 1.39 0.024* 5.6

Sulit membagi pekerjaan dengan

anggota keluarga 11.25 1.25 0.009** 6.82 5.56 0.745 6.3

Tidak dapat mengerjakan

pekerjaan dengan baik 1.25 7.50 0.055 3.41 5.56 0.512 4.4

Kurangnya waktu untuk

keluarga 7.50 2.50 0.149 4.55 5.56 0.772 5.0

Kesulitan berkomunikasi dengan

keluarga 6.25 0.00 0.024* 3.41 2.78 0.821 3.1

Masalah hubungan dengan

suami 3.75 2.50 0.652 1.14 5.56 0.137 3.1

*signifikan pada p< 0,05 **sangat signifikan pada p<0,01

Berdasarkan hasil uji beda masalah kerja-keluarga (Tabel 3), terdapat perbedaan yang signifikan pada isteri dengan jenis pekerjaan formal dan informal terkait masalah kurangnya waktu dengan anak, sulit membagi pekerjaan dengan anggota keluarga, dan kesulitan berkomunikasi dengan keluarga dimana isteri dengan jenis pekerjaan formal lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Selain itu perbedaan yang signifikan juga terjadi pada masalah kelelahan fisik dan masalah terkait pendapatan dari pekerjaan dimana isteri dengan jenis pekerjaan informal lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan formal. Sedangkan berdasarkan alokasi waktu kerja, hanya masalah kelelahan fisik dan masalah terkait pendapatan dari pekerjaan yang memiliki perbedaan signifikan dimana isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam.

Konflik kerja-keluarga

Konflik kerja-keluarga adalah sesuatu yang dirasakan oleh isteri dimana terjadi keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara pekerjaan dengan keluarga sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik kerja-keluarga dibagi menjadi dua yaitu konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu pekerjaan (Netemeyer et.al. 1996). Ukuran konflik kerja-keluarga ini dapat berbeda-beda untuk setiap individunya.

Berdasarkan Tabel 4, konflik kerja mengganggu keluarga memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan konflik keluarga mengganggu pekerjaan. Hal ini berarti bahwa pengaruh atau gangguan dari pekerjaan dirasa lebih banyak sehingga lebih banyak dirasakan menimbulkan konflik. Isteri secara keseluruhan memiliki persentase capaian konflik kerja-keluarga sebesar (43.68%) dimana

14

isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki persentase capaian lebih besar (44.80%) dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal (42.55%) terutama dalam hal isteri tidak bisa menyelesaikan sesuatu dirumah karena adanya tuntutan dari pekerjaan.

Berdasarkan alokasi waktu, isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam memiliki persentase capaian total konflik kerja-keluarga lebih tinggi (46.17%) dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam (41.64%) terutama pada dalam hal dimana jumlah waktu yang diambil untuk bekerja membuat isteri sulit memenuhi tanggung jawab keluarga. Persentase capaian konflik kerja mengganggu keluarga lebih besar dibandingkan Konflik keluarga mengganggu pekerjaan pada kedua jenis isteri.

Tabel 4 Rata-rata persentase capaian dan hasil uji beda konflik kerja-keluarga

Variabel Jenis Pekerjaan

P-value

Alokasi waktu

kerja P-value

Total

Formal Informal ≤ 8 >8 jam

Konflik kerja mengganggu keluarga 49.35 44.80 0.077 43.86 51.00 0.005** 47.08 Konflik keluarga mengganggu pekerjaan 40.25 40.30 0.982 39.41 41.33 0.393 40.23

Total konflik kerja-keluarga

44.80 42.55 0.277 41.64 46.17 0.029* 43.68

*signifikan pada p< 0,05 **sangat signifikan pada p<0,01

Berdasarkan hasil uji beda, Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terkait variabel konflik kerja-keluarga antara contoh formal dengan informal sedangkan berdasarkan alokasi waktu kerja terdapat perbedaan yang sangat signifikan (α= 0.005) pada konflik kerja mengganggu keluarga dan signifikan (α = 0.029) pada total konflik kerja-keluarga.

Gambar 3 Sebaran skor konflik kerja-keluarga isteri (%) berdasarkan jenis pekerjaan 46,3 51,2 48,8 53,7 48,8 51,2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Formal Informal Total

Rendah Tinggi

15 Gambar 3 menunjukkan lebih banyak isteri dengan jenis pekerjaan formal daripada isteri dengan jenis pekerjaan informal yang mempunyai konflik kerja-keluarga dengan kategori tinggi. Isteri dengan jenis pekerjaan informal memiliki persentase capaian yang lebih tinggi dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan formal untuk item pernyataan pekerjaan memberi tekanan yang membuat sulit memenuhi tugas keluarga, sering menunda melakukan hal ditempat kerja karena tuntutan rumahtangga, dan tidak bisa melakukan hal di tempat kerja karena tuntutan keluarga.

Gambar 4 Sebaran skor konflik kerja-keluarga isteri (%) berdasarkan alokasi waktu kerja

Gambar 4 menunjukkan bahwa lebih banyak isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam yang terkategori rendah. Isteri degan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam memiliki persentase capaian yang lebih tinggi untuk item pernyataan tuntutan keluarga mempengaruhi pekerjaan. Secara total, lebih dari separuh contoh (51.2%) memiliki konflik kerja-keluarga dengan kategori tinggi. Strategi penyeimbangan kerja-keluarga

Data terkait strategi penyeimbangan yang dilakukan isteri bekerja diambil menggunakan pernyataan terbuka, dimana isteri diminta untuk menjawab terkait strategi penyeimbangan kerja-keluarga yang paling sering dilakukan (Tabel 5). Hampir separuh isteri (45%) melakukan strategi penyeimbangan kerja-keluarga dengan cara merencanakan kegiatan dengan baik, mengatur waktu dengan baik (41.9%), dan sepertiga isteri (33.8%) melakukan penyeimbangan dengan bantuan dukungan sosial.

Strategi penyeimbangan melalui dukungan sosial paling banyak dilakukan oleh isteri dengan jenis pekerjaan formal (45%), sedangkan strategi penyeimbangan dengan cara bangun lebih pagi banyak dilakukan oleh isteri

54,5 41,7 48,8 45,5 58,3 51,2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

≤8 jam >8 jam Total

Rendah Tinggi

16

dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam (22.22%) . Strategi dengan cara membeli makanan siap saji hanya dilakukan oleh 1.9 persen isteri.

Tabel 5 Sebaran isteri (%) berdasarkan strategi penyeimbangan yang dilakukan

No Strategi Penyeimbangan Jenis Pekerjaan Alokasi waktu

kerja Total

Formal Informal ≤8 jam > 8 jam

1 Merencanakan kegiatan dengan baik 37.50 52.50 42.05 48.61 45.0

2 Mengatur waktu dengan baik 38.75 45.00 38.64 45.83 41.9

3 Dukungan sosial 45.00 22.50 31.82 36.11 33.8

4 Bangun lebih pagi 10.00 18.75 7.95 22.22 14.4

5 Komunikasi bersama keluarga dengan baik 18.75 5.00 7.95 16.67 11.9

6 Fokus terhadap tugas yang sedang dikerjakan 12.50 2.50 6.82 8.33 7.5

7 Mengadakan waktu untuk kebersamaan

keluarga 10.00 2.50 3.41 9.72 6.3

8 Melakukan kegiatan pribadi 2.50 7.50 7.95 1.39 5.00

9 Memberikan kebutuhan anak dengan baik 6.25 1.25 5.68 1.39 3.75

10 Membeli makanan siap saji 1.25 2.50 1.14 2.78 1.9

McCubbin dan Skinner (1981) membagi strategi penyeimbangan menjadi lima pola koping (Tabel 6), dimana pola koping dengan persentase capaian tertinggi adalah mengembangkan hubungan interpersonal (80.42%) sedangkan pola koping dengan persentase capaian terendah adalah mengelola ketegangan dan tekanan psikologis (69.63%). Isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki persentase capaian (73.98%) lebih tinggi dibandingkan Isteri dengan jenis pekerjaan informal (72.68%), hal ini berarti isteri dengan pekerjaan formal memiliki strategi penyeimbangan yang lebih baik. Isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki persentase capaian yang lebih tinggi dibandingkan istri dengan jenis pekerjaan formal pada pola koping mengendalikan secara perseptual makna gaya hidup, hal ini berarti isteri dengan jenis pekerjaan informal lebih baik dalam mempertahankan optimisme terhadap sesuatu dan kepercayaan terhadap nilai dari makna gaya hidup.

Tabel 6 Rata-rata persentase capaian dan hasil uji beda strategi penyeimbangan

Pola Koping Jenis Pekerjaan

P-Value Alokasi waktu kerja P-Value Total Formal Informal ≤8 >8 Mempertahankan, menguatkan, dan menata sistem keluarga

75.35 70.85 0,040* 71.73 74.78 0.167 73.10

Memodifikasi kerja keluarga 76.75 69.81 0,001** 71.82 75.07 0.126 73.28

Mengelola ketegangan psikologis dan tekanan

69.97 69.28 0,575 69.77 69.44 0.792 69.63

Mengendalikan secara perseptual makna gaya hidup

71.25 76.00 0,261 76.14 70.56 0.834 70.38

Mengembangkan hubungan interpersonal

83.67 77.17 0,003** 79.02 82.13 0.164 80.42

Total Strategi Penyeimbangan 73.98 72.68 0,002** 71.67 73.11 0.181 72.32

*signifikan pada p< 0,05 **sangat signifikan pada p<0,01

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam memiliki persentase capaian (73.11%), lebih tinggi dibandingkan Isteri maksimal delapan jam (71.67%). Namun isteri dengan alokasi waktu kerja

17 maksimal delapan jam memiliki persentase capaian (76.14%), lebih besar dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam (70.56%) pada pola koping mengendalikan secara perseptual makna gaya hidup.

Berdasarkan hasil uji beda persentase capaian total strategi penyeimbangan terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis pekerjaan formal dan informal, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan alokasi waktu kerja (≤8 jam dan > 8 jam). Dari semua pola koping strategi penyeimbangan pada Isteri yang bekerja di sektor formal dan informal, pola koping yang tidak signifikan adalah pola koping mengelola ketegangan psikologis dan tekanan serta mengendalikan secara perseptual makna gaya hidup. Subvariabel lainnya mempunyai p-value < 0,05 (berbeda signifikan) (Tabel 6).

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah, konflik, dan strategi penyeimbangan kerja-keluarga. Hampir dua pertiga keluarga isteri (64.4%) termasuk dalam kategori keluarga kecil. Rata-rata lama pendidikan isteri sebesar 11.30 tahun. Pendapatan, pendidikan yang lebih baik dimiliki oleh isteri yang bekerja pada jenis pekerjaan formal dibandingkan informal dan lebih baik pada isteri yang memiliki alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam dibandingkan isteri yang memiliki alokasi kerja maksimal delapan jam. Sejalan dengan penelitian Sunarti (2013) yang menyatakan bahwa isteri dengan pekerjaan stabil dalam penelitian ini sesuai dengan karakteristik pekerjaan formal memiliki pendidikan dan pendapatan yang lebih baik dibandingkan isteri dengan pekerjaan tidak stabil (informal). Partisipasi isteri bekerja dalam sektor publik mengakibatkan terjadinya peran ganda. Hal tersebut membuat kesulitan bagi seseorang untuk memenuhi peran satu dan peran lainnya berhasil (Abrar dan Ghouri 2010), dan merupakan faktor pemicu stres kerja (Almasitoh 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 42.5 persen isteri menyatakan masalah yang paling dirasakan adalah masalah pengasuhan anak dan hampir sepertiga (30%) merasa memiliki kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik. Hal ini dikarenakan masih sedikit isteri bekerja yang mendapatkan dukungan untuk pengasuhan anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sesuai dengan pernyataan Strong dan Devault (1986) bahwa semoderen apapun sebuah keluarga, ketika berbicara pekerjaan rumahtangga, wanita tetap menjadi penanggungjawab utama dalam mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan mengasuh anak. Masalah terkait kurangnya waktu untuk anak paling banyak dirasakan oleh isteri dengan jenis pekerjaan formal. Sedangkan masalah kelelahan fisik paling dirasakan oleh Isteri dengan jenis pekerjaan informal.

Berdasarkan hasil uji beda masalah kerja-keluarga, perbedaan yang signifikan pada isteri dengan jenis pekerjaan formal dan informal terdapat pada masalah kurangnya waktu dengan anak, kesulitan berkomunikasi dengan keluarga, dan sulit membagi pekerjaan dengan anggota keluarga dimana isteri dengan jenis pekerjaan formal lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Hal ini dikarenakan 46.2 persen isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta yang memiliki karakteristik pekerjaan dengan fleksibilitas yang rendah sehingga isteri memiliki fokus yang lebih besar kepada

18

pekerjaan. Selain itu perbedaan yang signifikan juga terjadi pada masalah kelelahan fisik dan masalah terkait pendapatan dari pekerjaan dimana isteri dengan jenis pekerjaan informal lebih besar dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan formal karena isteri dengan pekerjaan informal bekerja lebih menggunakan fisik seperti pembantu rumah tangga, penjahit, pedagang, dan wiraswasta, selain itu mayoritas isteri pada pekerjaan informal memiliki pendapatan yang lebih kecil dibandingkan isteri pada pekerjaan formal. Berdasarkan alokasi waktu kerja, hanya masalah kelelahan fisik dan masalah terkait pendapatan dari pekerjaan yang memiliki perbedaan signifikan. Masalah-masalah yang terjadi baik di pekerjaan maupun keluarga dapat menyebabkan timbulnya konflik kerja-keluarga. Konflik kerja-keluarga terjadi karena konflik antar peran dimana peran yang satu (kerja atau keluarga) menuntut peran yang lain (kerja atau keluarga) (Tsai 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isteri secara keseluruhan memiliki persentase capaian konflik kerja-keluarga sebesar (43.68%). Persentase capaian konflik kerja mengganggu keluarga lebih tinggi dibandingkan konflik keluarga mengganggu pekerjaan. Hal ini dapat terjadi karena tuntutan di sektor domestik dapat dikelola melalui kompromi dengan sengaja menurunkan standar di keluarga (Holstrom 1973 dalam Ahmad 1995). Sebagian besar isteri mungkin menganggap bahwa pekerjaan di keluarga atau rumahtangga merupakan kewajiban utama sebagai seorang isteri, sehingga apabila ada hal yang mengganggu peran isteri dalam melaksanakan pekerjaan di keluarga atau rumahtangga akan lebih dirasakan oleh isteri. Mclelland dan Uys (2009) menyatakan bahwa kurang fokusnya ibu pada komitmen pekerjaan mereka tidak menyebabkan mereka merasa bersalah namun mereka akan merasa bersalah ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dan melakukan tanggung jawab pada anak atau keluarga mereka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konflik kerja mengganggu keluarga, pernyataan yang memiliki persentase capaian tertinggi adalah tidak bisa menyelesaikan sesuatu dirumah karena adanya tuntutan dari pekerjaan. Hobfoll dan Freedy (1993) dalam Tsai (2008) menyatakan bahwa tuntutan pekerjaan dapat mengancam sumberdaya seseorang dari waktu ke waktu, terlalu lama terkena tuntutan seperti jam kerja yang panjang dapat mengakibatkan kelelahan, emosi, dan stres. Hal tersebut dapat mengakibatkan isteri tidak dapat menyelesaikan sesuatu dirumah. Sedangkan pada konflik keluarga mengganggu pekerjaan, pernyataan dengan persentase capaian tertinggi ada pada pernyataan bahwa hal yang ingin dilakukan di tempat kerja tidak bisa dilakukan karena tuntutan keluarga. Hal tersebut dapat terjadi karena walaupun isteri memiliki pekerjaan penuh waktu diluar rumah, isteri tetap mengerjakan dua kali lebih banyak tugas-tugas rumahtangga daripada suami (Amato dan Booth dalam Kawamura dan Brown 2006).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh isteri (51.2%) memiliki konflik kerja-keluarga pada kategori tinggi. Lebih banyak isteri dengan jenis pekerjaan formal daripada isteri dengan jenis pekerjaan informal yang mempunyai konflik kerja-keluarga dengan kategori tinggi dan lebih banyak isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam dibandingkan isteri dengan alokasi waktu maksimal delapan jam yang mempunyai konflik kerja-keluarga dengan kategori tinggi. Hal ini dikarenakan isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki fleksibilitas waktu dan jadwal kerja yang rendah, sesuai dengan

19 penelitian Siew Kim dan Seow Ling (2001) dimana konflik pekerjaan atau keluarga perempuan pengusaha di Singapura menunjukkan bahwa tekanan waktu diukur dengan jumlah jam kerja dan fleksibilitas jadwal.

Pada hasil uji beda konflik kerja-keluarga, tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara isteri pada jenis pekerjaan formal dengan informal, namun berdasarkan alokasi waktu kerja terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada konflik kerja mengganggu keluarga dan signifikan pada total konflik kerja-keluarga dimana isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam lebih tinggi dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Alam et.al. (2011) yang menyatakan bahwa jam kerja yang panjang mempengaruhi keseimbangan kerja-keluarga secara langsung dan anak merupakan korban dari ketidakseimbangan tersebut. Selain itu, jam kerja yang panjang akan mengakibatkan konflik kerja atau keluarga yang tinggi (Siew Kim dan Seow Ling 2001).

Berdasarkan pertanyaan terbuka terkait strategi penyeimbangan yang sering dilakukan, hampir separuh isteri (45%) menyatakan melakukan strategi penyeimbangan kerja-keluarga dengan cara merencanakan kegiatan dengan baik, mengatur waktu dengan baik (41.9%), dan sepertiga isteri (33.8%) melakukan penyeimbangan dengan bantuan dukungan sosial. Mclelland dan Uys (2009) menyatakan bahwa perencanaan dan penyusunan merupakan bagian utama dari semua kemampuan penyeimbangan peran ganda pada wanita.

Pernyataan strategi penyeimbangan kerja-keluarga dengan persentase capaian tertinggi ada pada item pernyataan mendorong anak untuk mandiri, walaupun ada kesulitan isteri tetap fokus menjalankan kebiasaan hidup yang baik, dan menggunakan waktu di rumah lebih baik sehingga lebih efisien. Hal tersebut dilakukan karena isteri bekerja merasa perlu untuk mengatur dan menjamin bahwa semua aktivitas dan tanggungjawab direncanakan untuk meyediakan kualitas waktu yang baik dengan keluarga dan merasa bahagia dan puas ketika memiliki pengaturan dengan baik sehingga tekanan yang dialami berkurang (Mclelland dan Uys 2009).

Pada strategi penyeimbangan terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada pola koping memodifikasi kerja keluarga, mengembangkan hubungan interpersonal, dan total strategi penyeimbangan. Perbedaan yang signifikan terjadi pada pola koping mempertahankan, menguatkan, dan menata sistem keluarga dimana isteri dengan jenis pekerjaan formal memiliki rata-rata persentase capaian lebih tinggi dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan dan pendapatan pada isteri dengan jenis pekerjaan formal lebih tinggi dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Seperti yang dinyatakan Huang (2011) yang menyebutkan bahwa pekerja dengan jenis pekerjaan formal (white collar) memiliki tingkat intelektualitas dan pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja dengan jenis pekerjaan informal (blue collar). Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pekerja dengan jenis pekerjaan formal merupakan salah satu modal dalam melakukan strategi penyeimbangan kerja-keluarga sehingga menyebabkan capaian strategi penyeimbangan isteri dengan jenis pekerjaan formal lebih tinggi dibandingkan isteri dengan jenis pekerjaan informal. Sedangkan berdasarkan alokasi waktu kerja tidak terdapat perbedaan yang signifikan dapat dikarenakan jenis pekerjaan dan status sosial yang beraneka ragam dalam kedua kategori

20

tersebut. Namun berdasarkan rata-rata persentase capaian strategi penyeimbangan, isteri dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan yan memiliki rata-rata persentase capaian yang lebih tinggi dibandingkan isteri dengan alokasi waktu kerja maksimal delapan jam. Hal ini terjadi karena isteri dengan dengan alokasi waktu kerja lebih dari delapan jam memiliki fokus yang lebih besar untuk

Dokumen terkait