• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Rumah Makan Tradisional Kelas C Di Daerah Tujuan Wisata Jakarta Timur

Berdasarkan data pada Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama/badan usaha. Dari sejumlah rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B, C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala berdasarkan nilai total investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu ditampung, bangunan yang permanen dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan fasilitas yang dimiliki.

Pemilik rumah makan yang diamati dalam penelitian ini adalah pemilik rumah makan yang merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dengan klasifikasi C berdasarkan kisaran jumlah meja antara 4-12, jumlah kursi 16-48, dan jumlah karyawan 5-12 (Sudin Jakarta Timur, 2007). Pemilik rumah makan tradisional kelas C yang menyediakan makanan khas tradisional yang berada di daerah tujuan wisata Jakarta Timur yang kemampuan dalam melaksanakan pengolahan makan.

Letak rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur berada di lokasi dekat terminal bus, pasar, pusat industri dan di daerah tujuan wisata Jakarta Timur. Hal ini menggambarkan bahwa target konsumen rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu para pelanggan yang sedang melakukan perjalanan wisata dan berbelanja di pasar ataupun bertransaksi di kawasan industri.

Peta sebaran potensi rumah makan kelas C (lihat Gambar 2 halaman 74) di Jakarta Timur tersebut menggambarkan bahwa sebanyak: (1) 27% berada di wilayah kecamatan Kramat Jati terdapat pasar Kramat Jati, terminal Cililitan, dan Batu Ampar (Condet) sebagai kawasan cagar budaya Betawi. (2) 22% di Pulogadung daerah kawasan industri dan 2 terminal Pulogadung dan Terminal Rawamangun, (3) 19% di kecamatan Jatinegara memiliki 2 pusat perbelanjaan yaitu Pasar Batu Aji Rawa Bening dan Pasar Jatinegara dan terdapat Terminal Bus Kampung Melayu dan Stasiun Kereta Api, (4) 11% di Duren Sawit yang merupakan sentra industri kayu/mebel, (5) 8% di Cipayung yang merupakan

kawasan tujuan wisata Taman Mini Indonesia Indah dan (6) 13% lainnya menyebar di kecamatan lainnya.

Letak rumah makan tradisional kelas C yang umumnya berada dipinggiran jalan dengan kondisi rumah makan ; berdebu, ventilasi kurang (ruang makan panas), keadaan ruang makan yang digabungkan dengan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan (di atas meja makan diletakkan dus aqua, sayur sawi, tisu, dan plastik) terkesan kotor dan kurangnya kebersihan tempat memasak dan tempat mencuci piring. Terdapat 48,8% tempat usaha rumah makan yang digabung dengan tempat tinggal, dimana kebersihan ruang makan yang terlihat masih kurang dengan terlihat dinding-dinding ruang makan yang terdapat sawang, lantai yang tidak dibersihkan/tidak dipel, anak-anak bermain diruang makan yang mengganggu kenyamanan pengunjung untuk menikmati makanan, Permukaan meja makan yang kurang bersih dan tampak kelihatan kusam.

Gambaran Umum Pemilik Rumah Makan Tradisional Kelas C

Gambaran umum pemilik rumah makan tradisional kelas C (43 orang) yang dijumpai di daerah Jakarta Timur memiliki rataan usia 34 tahun, rataan mengenyam pendidikan SMP, memiliki rataan pengalaman memasak 9 tahun. Pendapatan usaha rumah makan tradisional kelas C dari hasil informasi yang diperoleh dari sebagian rumah makan kelas C di Jakarta Timur Rp 2.267.000,- (dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu rupiah) per-hari, dengan rataan Rp. 1.780.000,- (satu juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah) per-hari.

Kebersihan diri pemilik rumah makan tradisional kelas C dalam proses memasak masih kurang, di mana pemilik rumah makan dalam mengolah makanan tidak memakai celemek/baju masak di saat memasak, rambut tidak diikat(ditutup) dengan rapi ini dapat mengakibatkan jatuhnya rambut kedalam makanan yang mengurangi kebersihan makanan, juru masak laki-laki dijumpai memasak sambil merokok dan tidak menggunakan alas kaki. Makanan tradisional yang diolah langsung masih ditemukan kekurangan di mana memasak menggunakan waktu yang lama sehingga bagi pengunjung yang membutuhkan waktu cepat/terburu-buru mereka kesal.

Pemilik rumah makan tradisional yang menjual makanan yang sudah matang dalam penataan makanan di etalase terdapat lalat, dan hasil hidangan sayuran terlalu matang yang mengakibatkan kandungan gizinya hilang. Pencucian alat-alat memasak dan alat-alat hidang tidak menggunakan air yang mengalir tetapi menggunakan air yang ditampung dalam ember. Penggunaan lap untuk mengeringkan piring, gelas, sendok makan dan sendok garpu menggunakan sebuah lap yang sudah buram. Begitu juga untuk pencucian bahan-bahan makanan kurang menggunakan air bersih, dimana proses pencucian bahan-bahan makanan hanya menggunakan air dalam satu ember, dimana seharusnya untuk mencuci semua bahan makanan harus menggunakan air yang bersih dan mengalir. Pemilik rumah makan tradisional kurang memperhatikan penampilan dalam melayani tamu dimana tidak berpakaian rapi. Penanganan pesanan tamu, pengolahan makanannya terlalu lama hingga tamu kesal, kesan yang tidak menyenangkan mengakibatkan tamu tidak akan kembali lagi untuk membeli makanan di rumah makan tradisional yang dikelola.

Berdasarkan hal tersebut, maka pemilik rumah makan kelas C di daerah tujuan wisata Jakarta Timur menjadi perhatian penelitian ini, karena sampai saat ini aktivitas usaha rumah makan tradisional masih tetap berlangsung untuk memenuhi kebutuhan hidup pemilik rumah makan tradisional kelas C.

Karakteristik Individu Responden di Daerah Tujuan Wisata Jakarta Timur

Karakteristik individu responden yang diamati penelitian ini adalah (1) umur, (2) pendidikan formal, (3) pengalaman memasak, (4) motivasi di daerah tujuan wisata Jakarta Timur. Deskripsi selengkapnya, disajikan pada Tabel 4.

Tabel. 4 Deskripsi Karakteristik Individu PRMT Kelas C

No Karakteristik Individu Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

tradisional untuk mengisi waktu pensiun. Pada Table 4 20% responden berusia tua yakni antara 57 tahun hingga 75 tahun telah melakukan usaha rumah makan tradisional dari usia muda dan dari hasil usaha rumah makan tradisionalnya dapat menghidupi keluarga dan menyekolahkan putra putrinya hingga ke perguruan tinggi. Tetapi kenyataannya, putra-putri pemilik rumah makan tradisional tidak tertarik meneruskan usaha rumah makan tradisional yang telah dikelolanya dengan alasan lebih tertarik kerja kantoran.

Fenomena yang terjadi usia muda 22 tahun hingga 39 kurang tertarik melakukan usaha rumah makan tradisional ini terbukti 25% usia muda yang melakukan usaha rumah makan tradisional. Minat usia muda untuk usaha rumah makan tradisional rendah, rendahnya minat usia muda untuk berusaha rumah makan tradisional karena mereka lebih tertarik untuk mencoba menjadi pekerja kantoran yang mendapat gaji yang pasti dan tepat, tidak halnya dengan menjalankan usaha rumah makan tradisional memerlukan waktu, tenaga dan pikiran yang penuh dengan mempersiapkan semua keperluan usaha rumah makan. Alasan yang paling utama adalah untuk usaha rumah makan memerlukan investasi yang besar untuk membeli perlengkapan/alat memasak dan peralatan menghidang, untuk usia muda belum cukup investasi. Jika tidak bersumber dari warisan, maka seseorang perlu menabung untuk waktu yang cukup lama, agar ia bisa memiliki sebuah usaha rumah makan.

Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman perilaku. Semakin tua (di atas 50 tahun), kemampuan akan berkurang dan terasa secara nyata, hal ini disebabkan oleh fungsi kerja otot semakin menurun, semakin lama untuk mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan sehari-hari.

Pendidikan Formal

Pendidikan formal responden bervariasi SD-SMP 35%, SMA 55% dan D3 10%. Prosentase tertinggi untuk responden pendidikan formal pada tingkat pendidikan SMA adalah 53%, responden hanya mencapai pendidikan formal sampai SMA dikarenakan keterbatasan dana orang tua responden dan responden

berpikir SMA sudah cukup karena sesuai dengan pencanangan program pemerintah pendidikan wajib belajar 9 tahun.

Pendidikan formal mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat (Mosher, 1987). Dengan pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi perilaku dalam menerapkan inovasi baru untuk perkembangan usaha rumah makan tradisional. Dapat juga ditunjang dengan mengikuti pendidikan nonformal yang berkaitan dengan usaha rumah makan, namun dari hasil survey yang dilakukan belum ada responden mengikuti pelatihan, kursus dan pembinaan untuk mengembangkan ilmu memasak, ilmu pengelolaan usaha rumah makan tradisional kelas C yang dijalani.

Pendidikan yang tinggi mempengaruhi perilaku dalam menerapkan inovasi baru responden dengan pendidikan formal SMP dan SMA sebelum memulai usaha rumah makan pernah bekerja di rumah makan, dengan berbekal keterampilan dan modal cukup baru memulai usaha rumah makan tradisional, tetapi perilaku dalam menjaga kebersihan ruang makan serta ruang memasak masih kurang. Berdasarkan Table 4 di atas 10% responden mendapatkan pendidikan formal D3, dan hasil penelitian dengan pendidikan formal yang tinggi responden pendidikan formal D3 lebih berinovasi dalam melakukan usaha rumah makan tradisional kelas C. Responden pendidikan formal D3 menjaga kebersihan dan kenyamanan ruang makan. Sejalan dengan pendapat Maryani (1995) seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya.

Pengalaman Memasak

Pada Table 4 sebagian besar responden 82.5% memiliki pengalaman memasak pada taraf rendah dengan kisaran 6 hingga 8 tahun, karena responden baru memulai usaha rumah makan. Usaha rumah makan dijalani karena; putus hubungan kerja (PHK) dan untuk menghidupi keluarganya menjalankan usaha rumah makan tradisional, dan melanjutkan usaha yang diwarisi orang tua. Presentase 5.0% memiliki pengalaman memasak pada taraf tinggi dengan kisaran 41 hingga 61 tahun, karena responden telah melakukan usaha rumah makan

tradisional sejak usia 20 tahun dan menjadikan mata pencarian yang pokok untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Sesuatu yang telah dialami seseorang akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Sejalan dengan teori Walker (1973), pengalaman ialah hasil akumulasi dari proses pengalaman seseorang, yang selanjutnya mempengaruhi terhadap respon yang diterimanya guna memutuskan sesuatu yang baru baginya. Pengalaman memasak memiliki peranan yang sangat penting bagi responden dalam mempengaruhi respon yang diterimanya dan memutuskan hal yang baru guna meningkatkan jumlah pendapatan melalui hasil kunjungan konsumen untuk mengembangkan usaha rumah makan tradisional, dan menerima inovasi baru. Pengalaman yang diperoleh responden terjadi melalui dua cara, yaitu (1) dari ikut bekerja di rumah makan tradisional milik orang tua dan (2) dari teman yang memiliki usaha rumah makan tradisional.

Pengalaman memasak yang dimiliki adalah bagian dari proses belajar bagi pemilik rumah makan tradisional kelas C, sehingga mampu mengasah kemampuan mengatasi masalah kegiatan pengolahan makan, menentukan harga, memilih karyawan dan memeliharanya sebagai bagian dari aset usaha.

Motivasi

Motivasi yang diukur dalam penelitian ini adalah faktor yang mendorong responden untuk berusaha rumah makan tradisional di daerah tujuan wisata Jakarta Timur. Keberhasilan dan keuntungan yang dirasakan dan didapatkan responden merupakan faktor motivasi responden dalam aktivitas usaha rumah makan tradisional. Dorongan pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan merupakan alasan terbesar yang mendasari responden untuk melakukan usaha rumah makan tradisional di daerah tujuan wisata Jakarta Timur, artinya ada tujuan yang akan dicapai yang memberi dorongan lebih kepada responden untuk berusaha rumah makan tradisional. Hal ini sejalan dengan pendapat McClelland (Barbutto et al., 2004) dan Bird (1989), bahwa motivasi terkait dengan kebutuhan seseorang.

Sebagian besar responden (47,5%) memiliki motivasi pada taraf tinggi. Tingginya motivasi responden ini berasal dari dalam diri berupa semangat yang tinggi dan optimisme berusaha, dan responden merasakan keuntungan dari hasil usaha rumah makan tradisional.

Pemenuhan kebutuhan pokok merupakan motivasi utama berusaha rumah makan tradisional di daerah tujuan wisata Jakarta Timur saat ini; agar responden memiliki motivasi atau dorongan kuat berusaha rumah makan tradisional, perlu ditumbuhkan kesadaran responden misalnya melalui penyuluhan pariwisata terhadap kebutuhan untuk mengembangkan usaha rumah makan tradisionalnya. Hasil penelitian yang dilakukan Barbuto et al (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka yang perlu diketahui: (1) kejelasan tujuan yang ingin dicapai, (2) kebutuhan yang dianggap paling penting, dan (3) lingkungan yang kondusif yang mendukung seseorang mencapai tujuan.

Motivasi merupakan modal yang sangat penting bagi responden untuk menunjang keberhasilan dalam berusaha rumah makan tradisional. Motivasi yang tinggi diperlukan untuk mendorong responden dalam berusaha rumah makan tradisional dan menerima atau mengadopsi informasi atau teknologi yang baru guna meningkatkan hasil usaha rumah makan tradisionalnya.

Faktor Pendukung PRMT Kelas C di Daerah Tujuan Wisata Jakarta Timur

Faktor pendukung PRMT yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) pelatihan, (2) interaksi dengan penyuluh pariwisata, (3) ketersediaan peralatan memasak, (4) kepemiliki modal, (5) kepuasan pengunjung. Deskripsi selengkapnya, disajikan pada Tabel 5.

Pelatihan

Pelatihan yang diukur dalam penelitian ini ialah pelatihan yang telah diikuti yang berkaitan dengan pengolahan makanan yang dinyatakan dengan frekuensi pelatihan yang pernah diikuti. Pelatihan dibagi menjadi dua kategori yaitu: (1) Tidak pernah, (2) Jarang, (3) Sering.

Sebagian besar responden (82.5%) tidak pernah mengikuti pelatihan. Hal ini terjadi karena selama ini responden sibuk mengelola rumah makan tradisionalnya, tidak termotivasi untuk berkembang lebih baik dari yang sudah ada. Responden tidak mau membuka diri dengan perkembangan dari teknologi baru yang ada di dunia usaha rumah makan tradisional dan tidak melihat akan kebutuhan dari wisatawan saat ini.

Kegiatan pelatihan diadakan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur setiap tahun. Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur menfasilitasi semua kegiatan tanpa mengutip bayaran, tetapi sebagian responden tidak tertarik mengikuti pelatihan yang diadakan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dengan alasan tidak memiliki waktu dan materi pelatihan tidak relevan dengan usaha rumah makan tradisional yang dikelolanya. Responden belum menyadari penting dan bermanfaatnya pelatihan yang dilaksanakan untuk perbaikan dan perkembangan usaha rumah makan tradisional.

Sebagian kecil responden 17.5% mengikuti pelatihan yang diadakan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan kursus catering. Responden yang mengikuti pelatihan merasakan pentingnya pelatihan usaha rumah makan untuk pengembangan usaha rumah makan tradisional yang dikelolanya.

Pelatihan merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian dan efisiensi kerja seseorang (Manullang, 1996). Untuk mengembangkan usaha rumah makan tradisional responden perlu mengikuti pelatihan, karena pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan produktivitas kerja seseorang.

Tabel. 5 Deskripsi Faktor Pendukung PRMT Kelas C

No Faktor Pendukung Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

pelatihan karena pelatihan dilakukan seharian penuh dan materi pelatihan kurang relevan dengan usaha rumah makan yang dikelolanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2008) bahwa penyuluhan diidentikkan dengan proses yang berorientasi pada target pemerintah. Perencanaan merasa tahu apa yang dibutuhkan rakyat, seolah yang dibutuhkan rakyat adalah mencapai target-target pemerintah saja.

Komunikasi yang tidak ada antara penyuluh pariwisata dengan 60% responden dapat diamati dari keadaan sebagian besar rumah makan tradisional kelas C di mana; kebersihan, kenyamanan, sanitasi dan higiene dalam pengolahan dan penampilan hidangan yang masih kurang. Pembinaan dalam hal kebersihan, kenyaman, sanitasi dan higiene dalam pengolahan dan penampilan hidangan masih kurang dilakukan. Komunikasi antara penyuluh dan responden sangatlah penting, untuk menunjang keberhasilan dalam peningkatan pendapatan responden dan keberhasilan program penyuluhan pariwisata. Sejalan dengan pendapat Amanah (2005) penyuluhan adalah proses perubahan berencana secara berkesinambungan, di dalamnya tercakup kegiatan pembelajaran bagi individu, kelompok, organisasi, komunitas, hingga masyarakat yang lebih luas guna melakukan transformasi atau perbaikan situasi (situation improvement) melalui perubahan perilaku. Jika hubungan dekat, maka merupakan entry point atau pintu masuk bagi penyuluh untuk mengembangkan program kerja penyuluhan pariwisata. Responden yang mengikuti pelatihan sebanyak 17.5% dalam kegiatan penyuluhan pariwisata , maka responden tersebut memperolah pengetahuan, wawasan yang lebih baik sehingga dapat melakukan cara-cara berusaha rumah makan tradisional lebih baik, seperti selalu melakukan kebersihan dan kenyamanan ruang makan, menjaga kualitas makanan dari segi rasa, warna dan melakukan kebersihan makanan dalam penampilan makanan diatas piring/alat hidang.

Akibat dari kurangnya komunikasi antara penyuluh pariwisata dengan responden, jika responden mempunyai persoalan dalam usaha rumah makan tradisional responden tidak menghubungi penyuluh. Alasan responden tidak menghubungi penyuluh pariwisata karena mereka tidak mengenal penyuluh pariwisata, responden berprinsip bahwa Suku Dinas Pariwisata hanya menuntut

retribusi atas usaha rumah makan tradisional saja tidak melakukan pembinaan dan interaksi dengan responden.

Kurangnya kesertaan responden dalam kegiatan penyuluhan pariwisata disebabkan antara lain: (1) tidak ada interaksi penyuluh pariwisata dengan responden (2) kegiatan penyuluhan jarang ada, (3) ada kegiatan penyuluhan dalam bentuk pelatihan, tetapi responden tidak berminat mengikuti karena pelatihan dilakukan seharian penuh dan pelatihan yang bersifat sesaat tidak ada tindak lanjutnya, (4) responden menganggap penyuluh pariwisata hanyalah mengutip retribusi saja, (5) responden tidak menyadari manfaat atau pentingnya penyuluhan. Akibatnya, saat ini sebagian besar responden tidak mendapatkan peningkatan kemampuan sesuai kebutuhan atau masalah yang dihadapinya dari penyuluh yang ada.

Uraian tentang kesertaan penyuluhan tersebut menunjukkan bahwa kesertaan responden dalam penyuluhan adalah masih rendah, artiya hanya sebagian kecil PRMT yang mengalami proses belajar, sebagian besar responden tidak mendapat kesempatan memperoleh tambahan informasi dan kemampuan baru.

Ketersedian Peralatan Memasak

Penelitian ini mengukur ketersediaan peralatan memasak responden dari sisi kelengkapan alat-alat memasak, peralatan menghidang, dan peralatan penyimpanan bahan basah dan bahan kering.. Ketersediaan alat memasak berupa; (1) peralatan memasak; panci, kompor, wajan, parutan kelapa, blender, saringan, sendok goreng, rice cooker, panggangan, talenan, pisau, (2) peralatan menghidang; piring makan, piring kecil, mangkuk soto, gelas juice, cangkir, teko, sendok, garpu, tempat tisu, dan (3) alat penyimpanan bahan-bahan makanan berupa refrigerator dan freezer. Tingkat ketersediaan peralatan memasak bagi responden di daerah tujuan wisata Jakarta Timur adalah sedang 62,5%, dimana responden ketersediaan peralatan memasaknya lengkap tetapi tidak memiliki penyimpanan bahan-bahan makanan yang dingin (refrigerator/freezer) sehingga tempat penyimpanan dilakukan dengan meletakkan diatas meja makan dan dilantai, ini menimbulkan kesan ruang makan tidak bersih dan tidak nyaman bagi

pengunjung. Sebagian kecil responden (25.0%) memiliki peralatan memasak yang lengkap dan penyimpan dingin yang tingkat ketersediaan sarana produksi tinggi.

Dari Table 5 disajikan bahwa sebanyak 12.5% responden memiliki peralatan memasaknya tergolong rendah, hal ini disebabkan responden baru mulai usaha rumah makan tradisionalnya berkisar 3 tahunan dan belum memiliki modal untuk melengkapi peralatan memasaknya. Responden secara bertahap melengkapi peralatan memasaknya untuk saat ini hanya memiliki peralatan memasak yang seadanya. Penyimpanan bahan-bahan makanan seperti: sayur sawi, sayur singkong, daun bawang, kecap, saos cabe dan dus gelas aqua diletakkan di atas meja yang terlihat dari ruang makan, dari segi keindahan ruang ini sangat mengganggu kenyamanan dari pelanggan yang menikmati makanan, terkesan ruang makan kotor dan sumpek. Kemudahan mendapatkan bahan-bahan makanan responden diperoleh dari pasar-pasar tradisional yang besar seperti; pasar Kramat Jati, Pasar Senen, Pasar Klender dan Pasar Bekasi, yang ketersediaan bahan-bahan makanan yang lengkap dengan harga yang relatif lebih murah dari pasar-pasar kecil. Sejalan dengan pendapat Sudjati (1981) sarana merupakan alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan sarana berupa kelengkapan peralatan memasak yang dimiliki responden akan memperlancar usahan rumah makan tradisionalnya.

Kepemilika n Modal

Kepemilikan modal yang diukur dalam penelitian ini adalah ketersediaan sumber modal dan tingkat kemudahan responden untuk memanfaatkannya. Ketersediaan modal mempengaruhi kemampuan dalam mengatasi masalah usaha rumah makan tradisional.

Ketersediaan sumber modal dan kemudahan bagi responden untuk memanfaatkan sumber modal dari bank pemerintah, bank swasta, lembaga koperasi, pegadaian dan rentenir sebagian besar responden (72.5%) berada pada tingkat rendah, responden mengandalkan modal sendiri, responden tidak mencari pinjaman ke sumber modal lainnya. Sebagian kecil responden (17.5%) berada pada tingkat tinggi memanfaatkan sumber modal melalui bank pemerintah.

Responden umumnya tidak berminat meminjam ke Bank, karena; (1) persyaratan pinjaman yang tidak mudah, (2) khawatir tidak mampu mengembalikan angsuran pinjaman, dan (3) usaha masih kecil memanfaatkan modal yang ada. Umumnya responden mengandalkan modal sendiri dalam menjalankan usaha rumah makan tradisionalnya. Sebagian besar responden mengikuti arisan kelompok rumah makan daerah (kelompok arisan rumah makan Padang), dari hasil survey besar arisan berkisaran Rp. 500.000 hingga 1.000.000-, dengan jumlah peserta 11 responden, hasil arisan digunakan sebagai modal usaha rumah makan. Kegiatan arisan merupakan salah satu mekanisme mengumpulkan dana untuk menambah modal usaha rumah makan. Hal ini menjadi penyebab investasi modal terbatas (Fuad, 2000).

Kepuasan Pelanggan

Sebagian besar responden (67.5%) dalam memperhatikan kepuasan pelanggan tidak melakukan interaksi dengan pelanggan, responden tidak melakukan komunikasi dengan cara menanyakan apakah pelanggan puas dengan masakan/pelayanan yang ada. Sebagian kecil responden (22.5%) memperhatikan akan kepuasan pelanggan, di mana responden melakukan komunikasi kepada pelanggan dengan menanyakan langsung kepada pelanggan; (1) bagaimana hasil makanan, (2) menanyakan apa yang perlu ditambah atau dikurangi dari rasa makanan, dan (3) menanyakan bagaimana pelayanan yang diterima. Kepuasan pelanggan sangat penting diperhatikan oleh responden berkaitan langsung dengan keberhasilan pemasaran dan penjualan makanan tradisionalnya. Pilar (2000) menyimpulkan bila konsumen merasa puas dapat mempengaruhi satu saja teman atau rekannya mengenai kehebatan suatu produk atau jasa yang ditawarkan satu perusahaan dan akhirnya mendatangkan seorang konsumen atau pelanggan baru, maka mulai konsumen atau pelanggan yang pertama itu menjadi bertambah dua kali lipat.

Bagi 22.5% responden yang memperhatikan keinginan pelanggan, mereka memiliki perbedaan pelayanan yang lebih baik dan pengunjung yang lebih dari 67.5% responden yang tidak melakukan komunikasi dengan pelanggan. Umberto (2008) mengemukakan bahwa apa pun yang diperbuat oleh produsen akan laku di

Dokumen terkait