• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini akan dilakukan pembahasan terhadap komponen-komponen arsitektural Istana Maimun yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Adapun pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi gaya arsitektur Istana Maimun.

Dari hasil perbandingan antara Istana Labuhan Deli dan Istana Maimun, dapat disimpulkan bahwa:

Perbandingan Gaya Arsitektural Istana Kesultanan Deli

Faktor yang melatar-belakangi transformasi:

5.1. Adaptasi

Penerapan bentuk atap perisai, cross ventilation dan bukaan lebar merupakan hasil penyesuaian dengan iklim Sumatera Utara yaitu iklim tropis yang memiliki temperatur dan kelembapan tinggi. Adaptasi ini memungkinkan bangunan tetap memiliki suhu yang nyaman terhadap penghuni bangunan. Karena dengan adanya ruang dibawah atap dan juga didukung dengan cross ventilation memungkinkan udara mengalir langsung dengan peletakan ventilasi atau jendela yang tegak lurus berseberangan. Penggunaan bukaan jendela yang besar dan jumlah ventilasi yang banyak juga membantu mengatur suhu dalam bangunan istana tetap dalam kondisi nyaman.

5.2. Pencapaian Misi Budaya

Kesultanan Deli berusaha untuk menunjukkan jati diri kerajaan yang diaplikasikan pada desain Istana Maimun. Hal ini merupakan pencapaian misi budaya Kesultanan Deli sebagai berikut.

5.2.1. Deli Sebagai Kerajaan Islam

Kesultanan Deli seperti diketahui adalah sebuah kerajaan penganut agama Islam yang taat. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa Gotjah Pahlawan sendiri adalah seorang yang Islam. Gotjah Pahlawan merupakan wakil sultan aceh yang juga merupakan kerajaan Islam. Pada saat itu Kerajaan Aceh yang mengutus

Gotjah Pahlawan sebagai wakil sultan aceh juga memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam hingga ke pedalaman di seluruh wilayah kekuasaan Deli. Proses pengislaman ini dilakukan dengan cara damai, diantaranya menjalin ikatan persaudaraan dengan datuk Sunggal, salah satu dari empat wilayah yang menjadi bagian kesultanan Deli pada masa itu. Seiring perkembangan Kesultanan Deli, perkembangan agama Islam juga turut menyertai. Pada Saat itu hampir seluruh masyarakat Melayu mengikuti agama yang dianut Sultan mereka yaitu Islam (Sinar, 1989).

Namun berkembangnya Islam di tanah Melayu ternyata sudah terjadi sejak 1400 M. Setelah pusat imperium Melayu berada di Malaka dan Pameshwara di-Islam-kan dari Pasai, maka sejak itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam yang disebarkan dari Melaka ke segenap penjuru nusantara. Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti dengan perkawinan puteri raja setempat, bukan saja membentuk masyarakat Islam disitu tetapi juga sekaligus membentuk “budaya Melayu”. Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada factor genealogis (hubungan darah) tetapi disatukan oleh factor kultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam (Sinar, 1989).

Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa masyarakat Melayu merupakan penganut Islam yang taat adalah sebagai berikut:

(1) Dalam “The Book of Duarte Barbosa” Vol. II (1518-M) sumber Portugis, terjemahan Mansel Longsworth Dames, Hakluyt Society London menyebutkan bahwa “These as I say are Moors with their own

distinct language and are called Malaios. These Malaios hold the Alcoran of Mafemede in great veneration. They are polished and wellbred, fond of Music, and given to love”. (Mereka sebagaimana saya katakana adalah orang Islam dengan bahasa yang khas dan disebut “Orang Melayu”. Mereka bersih dan sangat berketurunan baik, sangat gemar akan music dan berkasih sayang).

(2) E. Godinho de Eredia, “Declaracam de Malacae India Meridionale Com o Cathay” (1613M). Terjemahan bahasa portugis ke Inggris oleh J.V. Milis: “The Malaios are all Serracenos or Moriscos”. (Orang Melayu itu semuanya Islam atau Muslim)

(3) R. J. Wilkinson, “A Malay English Dictionary” (1959) “A Malay” (occationally Moslem) e.g. “Masuk Melayu” (To turn Mohammedan)

Kesultanan Deli sebagai kerajaan Islam dapat dilihat pada perencanaan lingkungan istana. Pada istana Labuhan Deli terdapat mesjid pada bagian depan istana yaitu Mesjid Al-Osmani atau yang juga dikenal dengan Mesjid Labuhan Deli. Begitu juga Istana Maimun yang memiliki Mesjid Raya Al-Mashun yang terletak hanya 100 meter di depan Istana Maimun. Hal ini menguatkan identitas Kesultanan Deli sendiri sebagai kerajaan Islam dan juga mengikuti syariah Islam kehidupan sehari-hari.

Istana Maimun juga banyak mengambil komponen-komponen bangunan yang berasal dari bangunan-bangunan mesjid atau bangunan yang memiliki corak Islam. Hal ini terlihat pada ornamen-ornamen dan motif hiasan dinding, lantai,

langit-langit, lengkungan-lengkungan, dan juga kubah. Bentuk denah yang mengadopsi unsur arsitektur Palladian yang berbentuk simetris dengan peletakan bangunan utama di tengah dan bangunan pendukung di sayap kiri dan kanan merupakan arti dari ketuhanan yang maha esa. Ini merupakan hasil dari pencapaian misi budaya Kesultanan Deli yaitu mengedepankan ketuhanan yang maha esa dan dengan agama yang dianut yaitu Islam. Hasan Muarif Ambary dalam bukunya, Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia menyatakan, “Istana Maimun yang memiliki atap-atap kubah dan barisan tiang penopang atap bercirikan khas Maroko, secara jelas meniru gaya Mughal India (atau mungkin kolonial Eropa yang menerapkan konsep arsitektur Mughal) untuk menandai sebuah istana Islami”.

5.2.2. Deli Sebagai Kerajaan Melayu

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Kesultanan Deli merupakan lanjutan dari Kerajaan Aru. Pada abad ke 15 Aru sudah merupakan kerajaan terbesar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Kebesaran Aru ini diakui Portugis yang tetap berusaha menjalin persahabatan dengan Melayu Malaka (Sinar, 1989). Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti perkawinan dengan puteri raja setempat, bukan saja membentuk masyarakat Islam disitu tetapi juga sekaligus membentuk “budaya melayu”. Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang tidak lagi terikat pada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh

faktor kultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa Melayu, dan adat-istiadat Melayu di pesisir Sumatera Timur (Sinar, 1989).

Syafwandi berpendapat bahwa dalam menata ruang atau membentuk fisik bangunan rumah tinggal, masyarakat Melayu pada umumnya dipengaruhi oleh agama dan adat istiadat yang berlaku. Kehidupan etnis dan agamis yang tercerminkan pada bangunan kemudian diistilahkan dengan Arsitektur Melayu (Syafwandi, 1993 dalam Winandari, 2005:143).

Pintu dan jendela dicat menggunakan cat minyak dengan warna dominan kuning dengan paduan warna hijau dan putih. Warna putih sendiri banyak digunakan pada bagian kisi-kisi jendela dan pintu. Pemilihan warna kuning sebagai warna dominan merupakan pengaplikasian unsur budaya melayu yang mengartikan warna kuning sebagai warna kebesaran kerajaan dan sebagai perlambang kemakmuran Sedangkan hijau berarti kesuburan dan putih berarti kesucian. Perpaduan warna tersebut merupakan perlambang kerajaan yang mahsyur dan subur (Sinar, 1993).

Pemisahan zona kamar dan ruang rehat sesuai dengan jenis kelamin pada Istana Maimun juga mengacu kepada konsep rumah melayu yang sering memisah zona kamar dan area rehat yang dikhususkan untuk penghuni rumah berjenis kelamin wanita khususnya yang belum menikah. Sinar dalam bukunya mengatakan rumah melayu terbagi dalam ruangan tamu, ruang kumpul keluarga, ruang masak, dan ditingkat atasnya ada kamar kecil (loteng) untuk para anak gadis (Sinar 1993).

Masih bertahannya bentuk rumah panggung pada desain Istana Maimun juga merupakan penguat identitas Kesultanan Deli sebagai kerajaan melayu. Rumah panggung memiliki bentuk dengan kaki atau tiang yang berfungsi sebagai penopang atau pondasi bangunan, diletakkan diatas tanah setinggi 1,5 meter – 4 meter, kemudian pada bagian tengah merupakan badan rumah dan pada bagian atas merupakan atap rumah. Atap pada rumah panggung biasanya berbentuk perisai ataupun juga pelana yang membumbung tinggi keatas. Bentuk rumah panggung seperti ini awalnya berfungsi sebagai dari ancaman binatang buas dan juga sebagai pencegah terkena banjir atau air pasang bagi rumah-rumah yang terletak di pesisir pantai. Namun selain berfungsi sebagai bentuk adaptasi terhadap alam tersebut, rumah panggung juga dimanifestasikan secara antropometrik dengan tubuh manusia yaitu atap sebagai atas (kepala), badan sebagai bagian tengah dan bagian bawah sebagai kaki pada tubuh manusia (Frick, 1997). Masyarakat melayu juga percaya bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki tempat di tengah, bukan pada dunia bawah / bumi ataupun di dunia atas langit. Dasar-dasar inilah yang pada akhirnya membentuk makna dari rumah panggung itu sendiri yang selanjutnya menjadi identitas dalam arsitektur melayu sendiri dan hal ini yang berusaha dipertahankan oleh Kesultanan Deli pada desain istana barunya.

5.2.3. Nilai Sosio Kultural

Bentuk rumah panggung yang juga perwujudan bentuk badan manusia merupakan manifestasi kedaulatan Kesultanan Deli terhadap sebuah sistem sosial antar sesama manusia dimana sultan dan rakyatnya merupakan suatu kesatuan yang dengan bahu-membahu menuju kemakmuran Kerajaan Deli. Istana Maimun juga dipagari dengan pagar yang berupa tombak besi yang memungkinkan bangunan terlihat jelas dari sisi luar, tidak dengan beton tebal seperti benteng yang membuat bangunan terkesan tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa sultan pada saat itu sangatlah terbuka kepada rakyatnya dan tidak terkesan seperti menutup-nutupi atau berlindung didalam istana. Dalam istilah Melayu dikenal ''Sultan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.'' Artinya, seorang sultan hanyalah manusia biasa yang memang harus dijunjung dan dihormati, namun tidak melebihi tinggi ranting dan dikedepankan tidak lebih dari satu langkah. Dengan demikian, seorang sultan masih dapat dilihat, disapa, bahkan disentuh oleh rakyatnya. Sultan dan rakyat bukanlah dua entitas yang berbeda, tetapi merupakan dua unsur masyarakat yang saling melengkapi.

BAB 6. KESIMPULAN

Kerajaan Deli yang merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar di Indonesia saat itu, sangat mengedepankan keagamaan dalam keseharian dan kebudayaannya. Bahkan kerajaan sendiri memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah kekuasaan kerajaan. Hal inilah yang membuat gaya arsitektur Istana Maimun sangat mengedepankan ketuhanan yang merupakan penunjukan jati diri Kerajaan Deli sendiri sebagai kerajaan yang beragama yaitu agama Islam. Selain itu juga Kesultanan Deli memberikan kesan sosial yang kuat pada desain Istana Maimun dengan membuat istana terkesan sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan mempawa pesan kepada Sultannya.

Kesultanan Deli juga masih mempertahankan beberapa unsur dalam istana yang masih memiliki kemiripan dengan istana Kesultanan Deli yang sebelumnya yaitu Istana Labuhan Deli. Istana Maimun juga memberikan kesan Melayu yang kuat pada desain bangunan itu sendiri dengan memasukkan ornamen-ornamen kesenian Melayu dan juga dengan pemilihan warna kuning sebagai warna dominan yang dalam kebudayaan melayu melambangkan kemakmuran.

Dokumen terkait