• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 2 menyajikan nilai rataan pH daging kelinci selama 3, 6 dan 9 jam

postmortem.

Tabel 2. Nilai Rataan pH Daging Kelinci pada Lama Postmortem yang Berbeda

Kelompok

Perlakuan (lama postmortem)

Rataan

3 jam 6 jam 9 jam

1 6,54 6,04 5,66 6,08

2 5,75 5,65 5,76 5,72

3 6,37 4,37 4,93 5,22

Rataan 6,22 0,416 5,35 0,874 5,45 0,4531 5,67 0,674

Nilai rataan pH daging kelinci pada penelitian ini yaitu 5,67. Nilai pH daging kelinci pada penelitian ini sama dengan hasil penelitian Setiawan (2009) yakni 5,67. Perlakuan lama postmortem hingga 9 jam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH daging kelinci. Hal ini disebabkan lingkungan kelinci yang digunakan pada penelitian relatif sama. Soeparno (2005) menyatakan bahwa temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH daging

postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya akan meningkatkan laju penurunan

pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH.

Lama postmortem 3, 6 dan 9 jam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH disebabkan daging kelinci belum mencapai pH ultimat. Nilai pH ultimat daging tercapai pada saat 1) setelah glikogen otot habis, 2) setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah dan 3) glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. Nilai pH ultimat normal daging postmortem sekitar 5,5 (Lawrie, 2003). Data di atas menunjukkan setelah tiga jam postmortem sudah masuk fase rigormortis karena pH sudah relatif menurun.

Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan stress akibat kelelahan. Terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan rendahnya pH. Setelah hewan disembelih,

penyediaan oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Sehingga daging

hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH

(Purnomo dan Adiono, 1985).

Daya Mengikat Air

Tabel 3 menyajikan nilai rataan mgH2O daging kelinci selama 3, 6 dan 9 jam

postmortem.

Tabel 3. Nilai Rataan mgH2O Daging Kelinci pada Lama Postmortem yang Berbeda

Kelompok Perlakuan (lama postmortem) Rataan

3 jam 6 jam 9 jam

---Mg---

1 103, 58 128,08 117,87 122,98

2 92,02 80,45 75,01 82,49

3 49,15 83,85 96,10 76,37

Rataan 81,58 28,68 97,46 26,57 96,34 21,43 90,32 24,76

Nilai mgH2O menggambarkan DMA daging, semakin besar nilainya maka DMA semakin rendah. Rataan nilai mgH2O daging kelinci pada penelitian ini adalah 90,32 mg. Nilai DMA pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai daya mengikat air penelitian Setiawan (2009) yakni 108,57 mg. Perbedaan lama

postmortem tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai DMA. Hal ini didukung

oleh data nilai pH selama tiga taraf perlakuan didapat hasil yang tidak nyata. Honikel (1998) menyatakan bahwa tingkat DMA ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu setelah pemotongan (postmortem).

Mayoritas air di dalam otot terdapat di dalam miofibril, yaitu diantara miofibril dan sarkolema, antara sel otot dan kumpulan sel otot. Jumlah air dan lokasinya di dalam daging dapat berubah hal ini bergantung kepada banyaknya jaringan otot itu sendiri dan bagaimana produk tersebut ditangani. Protein daging berperan dalam pengikatan air daging. Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging sehingga menurunkan

kandungan air bebas, dan begitu pula sebaliknya (Elisabeth Huff Lonergan dan Steven M. Lonergan, 2000).

Keempukan

Keempukan daging dapat diketahui dengan menggunakan metode fisik. Sebuah alat secara mekanis telah dibuat untuk mengukur tingkat keempukan yakni

Warner Blatzler dengan melihat nilai daya putus daging (Combes et al., 2002).

Amerie et al (1965) membagi nilai Warner Blatzer shear force dalam tiga katagori yaitu empuk (skala 0-2), sedang (skala 2-8) dan keras (skala >8). Nilai daya putus yang semakin rendah mendeskripsikan keempukan daging yang semakin empuk.

Tabel 4. Nilai Rataan Daya Putus Daging Kelinci pada Lama Postmortem yang Berbeda

Kelompok Perlakuan (lama postmortem) Rataan

3 jam 6 jam 9 jam

---(kg/cm2)---

1 4,57 4,73 4,27 4,52

2 6,37 4,37 4,93 5,22

3 4,13 5,13 5,87 5,04

Rataan 5,02 1,19 4,74 0,380 5,02 0,804 4,93 0,755

Perlakuan 3, 6 dan 9 jam postmortem tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai daya putus daging kelinci. Rataan nilai daya putus daging kelinci pada penelitian ini adalah 4,93 kg/cm2. Hasil rataan nilai daya putus menunjukkan bahwa daging kelinci yang digunakan pada penelitian ini termasuk katagori keempukan sedang (skala 2-8), berdasarkan kriteria keempukan Amerie et al (1965), sedangkan menurut kriteria keempukan menurut Suryati dan Arif (2005) rataan nilai daya putus daging kelinci termasuk katagori daging empuk (skala 4,15 - <5,86 kg/cm2 ).

Nilai daya putus daging kelinci pada penelitian ini lebih besar dari penelitian Setiawan (2005) yakni 4,12 kg/cm2. Hal ini disebabkan kelinci yang digunakan dipelihara di kandang individu sehingga relatif sedikit melakukan aktivitas gerak dibandingkan kelinci yang dipelihara pada kandang koloni. Aktivitas gerak yang sedikit pada kelinci tersebut akan mengurangi kontraksi otot, terutama pada otot-otot rangka tulang gerak sehingga keempukan daging akan meningkat/bertambah.

Soeparno (2005) menyatakan bahwa keempukan daging dipengaruhi oleh temperatur penyimpanan, lingkungan, metode pemasakan serta nilai pH. Di samping itu keempukan dipengaruhi oleh aktivitas fisik, proses pemotongan, dan penanganan setelah pemotongan. Menurut Ramirez et al. (2003) nilai keempukan pada daging kelinci dipengaruhi oleh faktor antemortem dan postmortem.

Kelinci yang digunakan pada penelitian ini setelah disembelih dilakukan proses penggantungan pada tulang tendo achiles saat dikuliti dan pengeluaran jeroan. Menurut Natasasmita et al. (1987 karkas yang digantung pada tendo achiles akan menyebabkan otot psoas (has dalam) lebih empuk, sedangkan dengan penggantungan pada tulang pelvis yang empuk adalah otot di daerah paha dan daerah punggung (has luar).

Susut Masak

Tabel 5 menyajikan nilai rataan susut masak daging kelinci selama 3, 6 dan 9 jam postmortem.

Tabel 5. Nilai Rataan Persentase Susut Masak (Cooking Loss) Daging Kelinci pada Lama Postmortem yang Berbeda

Kelompok Perlakuan (lama postmortem) Rataan

3 jam 6 jam 9 jam

---(%)---

1 37,16 34,71 33,57 35,15

2 39,46 35,73 40,50 38,56

3 45,45 47,37 42,13 44,98

Rataan 40,69 4,28 39,27 7,03 38,73 4,54 39,56 4,78

Susut masak merupakan perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Rataan susut masak daging kelinci 3 hingga 9 jam postmortem adalah 39,56%. Nilai susut masak pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Setiawan (2005) yakni 40,77 %. Nilai rataan susut masak yang rendah menunjukkan bahwa daging kelinci yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kualitas yang baik. Daging dengan susut masak yang rendah memiliki nutrisi yang baik, karena sedikit mengalami pengurangan nutrisi saat pemasakan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan

kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara otot. Menurut Shanks et al., (2002) besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air.

Lama postmortem hingga 9 jam tidak berpengaruh nyata terhadap nilai susut masak daging. Nilai susut masak yang tidak berpengaruh nyata pada penelitian ini dapat disebabkan oleh nilai DMA dan pH. Pada penelitian ini nilai DMA dan pH pada setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata, sehingga dapat menimbulkan pengaruh yang tidak nyata pula terhadap susut masak daging. Pendapat ini didukung oleh Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkormer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi moifibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging.

Uji Mutu Hedonik

Uji mutu hedonik adalah suatu cara penilaian produk dengan melihat kualitas fisik terhadap suatu produk. Uji mutu hedonik yang dilakukan pada penelitian ini meliputi warna, aroma, tekstur, dan kekenyalan daging kelinci. Uji mutu hedonik dilakukan dengan melibatkan panelis sebanyak 45 orang. Warna, aroma, tekstur, dan kekenyalan daging kelinci diketahui dengan melihat nilai modus tiap parameter. Modus adalah nilai yang banyak muncul tiap parameter.

Tabel 6. Nilai Rataan dan Modus Uji Mutu Hedonik terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Keempukan Daging Kelinci.

Nilai Peubah

Warna Aroma Tekstur Kekenyalan

Rataan 3,5 2,4 3,3 3,8

Modus 4 2 4 4 Keterangan :

Warna Aroma Tekstur Kekenyalan

1. Merah 1. Sangat tidak menyengat daging kelinci 1. Kasar 1. Sangat lembek 2. Agak merah 2. Tidak menyengat daging kelinci 2. Agak kasar 2. Lembek 3. Agak pucat 3. Agak tidak menyengat daging kelinci 3. Agak halus 3. Agak kenyal 4. Pucat 4. Menyengat daging kelinci 4. Halus 4. Kenyal 5. Sangat pucat 5. Sangat menyengat daging kelinci 5. Sangat halus 5. Sangat kenyal

Warna

Warna daging ditentukan oleh pigmen daging mioglobin, yang konsentrasinya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis ternak, bangsa, jenis kelamin, umur, jenis otot, tingkat aktivitas fisik, pakan, pH dan oksigen. Warna daging adalah total impressi yang dilihat oleh mata, dan dipengaruhi oleh kondisi pemandangan. Terdapat perbedaan yang jelas diantara individu dalam persepsi tentang warna. Struktur dan tekstur otot yang terlihat juga mempengaruhi refleksi dan absorpsi cahaya (Abustam, 2009).

Nilai modus uji mutu hedonik menunjukkan bahwa 47 % dari total 45 panelis menilai warna daging kelinci berwarna pucat (skala 4), nilai modus untuk parameter warna daging kelinci sama dengan nilai rataan uji mutu hedonik yang menunjukkan warna daging kelinci adalah pucat. Daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti halnya daging ayam. Daging putih mempunyai kandungan lemak yang rendah, serat yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot rendah dengan frekuensi istirahat yang lebih sering serta kandungan glikogen yang tinggi (Lawrie, 2003).

Aroma

Aroma dan rasa mempengaruhi rangsangan selera dan dalam hal ini aroma dan rasa sulit dipisahkan. Perubahan aroma dan rasa antara lain dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan bakteri atau mikroba. Aroma adalah bau yang sangat subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda. Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang berlainan (Natasasmita et al.,1987). Nilai modus uji mutu hedonik menunjukkan bahwa 49 % dari total 45 panelis menilai aroma sampel daging kelinci yakni tidak menyengat daging kelinci (skala 2), nilai modus untuk parameter aroma daging kelinci sama dengan nilai rataan uji mutu hedonik yang menunjukkan aroma daging kelinci adalah tidak menyengat daging kelinci. Menurut Hernandez et al. (1997) lemak intramuskuler merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas daging yang berhubungan langsung dengan juiceness dan aroma.

Tekstur

Tekstur otot dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu tekstur kasar dengan serabut yang lebih besar dan tekstur halus (Soeparno, 2005). Nilai modus uji mutu hedonik menunjukkan bahwa 44 % dari total 45 panelis menilai tekstur daging kelinci adalah halus (skala 4), nilai modus untuk parameter tekstur daging kelinci berbeda dengan nilai rataan uji mutu hedonik yang menunjukkan tekstur daging kelinci adalah agak halus. Nilai tekstur daging kelinci diambil berdasarkan nilai yang banyak muncul tiap parameter (modus). Tekstur daging yang halus kemungkinan disebabkan karena kelinci yang digunakan pada penelitian ini dipelihara dikandang individu sehingga relatif sedikit melakukan gerakan. Menurut Natasasmita et al. (1987) jumlah jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak selama hewan hidup, teksturnya terlihat lebih kasar.

Kekenyalan

Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk kembali ke bentuk asal sebelum dipecah (Sudrajat, 2007). Nilai modus uji mutu hedonik menunjukkan bahwa 51 % dari totala 45 panelis menilai kekenyalan daging kelinci adalah kenyal (skala 4), nilai modus untuk parameter kekenyalan daging kelinci sama dengan nilai rataan uji mutu hedonik yang menunjukkan kekenyalan daging kelinci adalah kenyal. Kekenyalan dipengaruhi oleh pH, urat daging, suhu penyimpanan dan daya mengikat air daging. Seperti halnya dengan keempukan, kekenyalan juga dipengaruhi faktor

antemortem dan postmortem. Faktor antemortem meliputi genetik, manajemen, jenis

kelamin, dan umur, sedangkan faktor postmortem meliputi metode chilling, pelayuan, pembekuan, metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005). Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari, daging sehat akan memiliki konsistensi kenyal (padat).

Dokumen terkait