• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kehadiran Pejantan dan Inhibitor Aromatase (IA) terhadap Perubahan Protein Gonad

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan kandungan protein gonad, kandungan protein gonad pada diawal perlakuan menunjukkan sebesar 32,81±1,26%, setelah diberi perlakuan selama 36 jam terjadi penurunan. Penurunan kandungan protein yang paling besar dan berbeda sangat nyata (p<0,01) terjadi pada dosis 2,5 mg yaitu menjadi 22,70±0,55% dan dosis 7,5 mg menjadi 24,84±1,23%.

Tabel 6 Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA terhadap kandungan

protein gonad (%) dari awal sampai 36 jam perlakuan

36 Jam Dosis Perlakuan IA (mg) Ulangan Awal 0 2,5 7,5 12,5 01 33,91% 29,34% 22,53% 25,82% 28,26% 02 33,08% 29,12% 23,32% 25,24% 27,50% 03 31,43% 28,94% 22,25% 23,46% 26,30% rerata 32,81±1,26%c 29,13±0,20%b 22,70±0,55%a 24,84±1,23%a 27,35±0,99%b

Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (p>0,01)

Hasil analisis kandungan protein telur ovulasi juga mengalami perubahan, dan berbeda sangat nyata (p<0,01) antara oosit kontrol (27,99±0,50%) yang tidak terjadi ovulasi dan hasil perlakuan yang mengalami ovulasi yaitu pada dosis 2,5 mg (20,61±0,55%); dosis 7,5 mg (21,58±0,74%) dan 12.5 mg (22,14±0,86%) (Tabel 7).

Tabel 7 Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA terhadap kandungan protein gonad (%) kontrol dan telur ovulasi

Ovulasi Dosis Perlakuan IA (mg) Ulangan Kontrol 2,5 7,5 12,5 01 28,21 20,36 21,08 22,89 02 28,34 21,24 22,43 21,21 03 27,41 20,22 21,22 22,33 rerata 27,99±0,50c 20,61±0,55a 21,58±0,74ab 22,14±0,86b

protein telur ovulasi menunjukkan bahwa hasil perlakuan dosis 2,5 mg sebesar 20,61±0,55%; dosis 7,5 mg sebesar 21,58±0,74% dan dosis 12,5 mg sebesar 22,14±0,86%, sedangkan kontrol masih menunjukkan sebesar 27,99±0,50%. Kandungan protein telur ovulasi ikan mas koki sekitar 20,61%-22,14% mempunyai kemiripan dengan kandungan protein telur pada ikan mas yaitu berkisar antara 17,6 – 27,7% (Linhart et al. 1995). Penurunan kandungan protein dalam gonad pada ikan mas koki diatas dari awal perlakuan sampai terjadinya ovulasi berkisar antara 32,52%-37,21%. Sedangkan penurunan kandungan protein pada ikan Atlantic hallibut (Hippoglossus hippoglossus) dalam oosit sebelum hidrasi dan sesudah ovulasi turun sekitar 25% (Finn et al. 2002).

Penurunan kandungan protein, diduga terjadi karena katabolisme protein dalam proses pematangan oosit dan juga terjadinya hidrasi; hal ini sesuai dengan pendapat Lam. (1982); Woynarovich dan Horvath (1985) yang menyatakan bahwa hormon progesteron merupakan salah satu MIH (Maturation Inducing Hormone), yang akan menyebabkan terjadinya proses pematangan oosit, proses pematangan oosit ditandai dengan menepinya inti sel kedekat dengan mikrofil dan terjadinya hidrasi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Matsubara dan Sawano (1995) bahwa pada saat maturasi MIH mengaktifkan enzim proteolitik sehingga akan menyebabkan terjadinya pembelahan VTG menjadi lipovitelin 170 kDa, akibatnya oosit mempunyai substrat sebagai energi aerobik untuk osmotik pada saat hidrasi dan untuk perkembangan awal embrio.

Pengaruh Kehadiran Pejantan dan Inhibitor Aromatase (IA) terhadap Kandungan Hormon Steroid

Setelah pejantan dimasukkan ke dalam akuarium induk, dan disuntik dengan IA terjadi peningkatan hormon estradiol-17β dalam plasma darahnya. Pada 36 jam setelah perlakuan kandungan hormon estradiol-17β meningkat mencapai

penurunan hasil perlakuan menunjukkan pada dosis 2,5 mg, 7,5 mg dan 12,5 mg berturut-turut sebagai berikut 2147,88 pg/ml; 2686,34 pg/ml dan 2361,25 pg/ml. Disisi lain pada kontrol yang tidak terjadi ovulasi kandungan estradiol-17β masih tinggi yaitu sebesar 5569,72 pg/ml (Gambar 9)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Aw a l 6 12 18 24 36 48 O vul as i Jam ke-K a nd un ga n ho rm on E s tr a d io l-1 7 β (p g /m l) 0 2,5 mg 7,5 mg 12,5 mg

Gambar 9 Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA terhadap kandungan estradiol-17β

Hasil analisis hormon 17α-hidroksiprogesteron setelah pejantan dimasukkan ke dalam akuarium induk, dan disuntik dengan IA terjadi peningkatan. Pada 36 jam perlakuan meningkat dan mencapai puncaknya, pada dosis 2,5 mg; 7,5 mg; dan 12,5 mg berturut turut 8,17 ng/ml ; 7,86 ng/ml dan 7,65 ng/ml, sedang kontrol baru mencapai 5,15 ng/ml. Pada ikan yang telah berovulasi terjadi penurunan kandungan 17α-hidroksiprogesteron; hal ini dapat dilihat pada dosis 2,5 mg; 7,5 mg; dan 12,5 mg berturut-turut sebagai berikut 1,10 ng/ml; 1,15 ng/ml dan 1,73 ng/ml. Namun pada kontrol yang tidak terjadi ovulasi kandungan 17α-hidroksiprogesteron masih tinggi yaitu sebesar 4,26 ng/ml (Gambar 10).

0.00 2.00 4.00 Awal 12 Jam ke-24 48 K a ndunga n hor hi dr ok si pr (ng/ 2,5 mg 7,5 mg 12,5 mg Gambar 10. Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA

terhadap kandungan 17α−hidroksiprogesteron

Perubahan hormonal di dalam plasma darah induk mulai terjadi setelah pejantan dimasukkan ke dalam akuarium induk; masuknya pejantan memberikan rangsangan pada induk, sehingga menyebabkan terlepasnya hormon gonadotropin (Woynarovich dan Horvarth,1981; Lam,1985). Peningkatan gonadotropin menyebabkan terjadi peningkatan hormon estradiol-17β, titik puncak hormon dicapai 36 jam setelah pejantan dimasukkan dan akan turun mencapai titik terendah setelah terjadi ovulasi. Puncak hormon estradiol-17β sangat dibutuhkan pada proses ovulasi, diduga untuk umpan balik positif terhadap gonadotropin sehingga produksi testosteron dapat mencapai puncaknya.

Meningkatnya hormon estradiol-17β juga diikuti oleh meningkatnya hormon 17α-hidroksiprogesteron. Peningkatan hormon 17α-hidroksiprogesteron mencapai puncaknya pada 36 jam setelah penyuntikan IA. Hormon 17α-hidroksiprogesteron merupakan bahan pembentukan hormon 17α,20β-dihdydroksiprogesteron. Menurut Nagahama et al (1995) pada ikan salmon 17α-hidroksiprogesteron yang dibentuk di dalam sel teka akan dirembeskan ke dalam sel granulosa, didalam sel granulosa oleh enzim 17β- hidroksisteroid dehidrogenase (l7β-HSD) akan dibentuk 4-pregnen-3-one dari 17α-hidroksiprogesteron. Hormon 17α,20β-hidroksi-4-pregnen-3-one berfungsi sebagai MIH sehingga oosit mengalami proses pematangan (Nagahama, 1987; Nagahama, 1994; Nagahama, 1997; Nagahama et al.

Hasil penelitian lama waktu ovulasi menunjukkan pada dosis 2,5 mg sebesar

49.63±0,58 jam, merupakan lama waktu ovulasi tercepat (p<0,01) dibandingkan

perlakuan yang lain yaitu pada dosis 7,5 mg sebesar 55.68±0,53 jam dan pada dosis 12,5 mg sebesar 59.22±0,98 jam. Sedangkan (k) kontrol tidak mengalami ovulasi (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA terhadap waktu (jam) ovulasi

Dosis Perlakuan IA (mg) Ulangan 2,5 7,5 12,5 01 49.30 55.30 59.10 02 49.30 55.45 58.30 03 50.30 56.30 60.25 rerata 49,63±0,58a 55,68±0,53b 59,22±0,98c

Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda sangat nyata (p<0,01)

Hasil pembuahan telur ovulasi menunjukkkan bahwa persentase pembuahan hasil perlakuan dosis 2,5 mg sebesar 91,43 ± 1,14% dan dosis 7,5 mg sebesar 91,03 ± 3,88% lebih baik dan berbeda sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan hasil pembuahan pada dosis 12.5 mg yaitu sebesar 83,21 ± 3,61 %, (Tabel 9).

Tabel 9 Pengaruh kehadiran pejantan dan pemberian IA terhadap Persentase pembuahan dan penetasan telur ovulasi

Dosis Perlakuan IA (mg) Jml Telur (butir) Pembuahan Penetasan 2,5 138,33±43,62 91,43 ± 1,14b 86,68 ± 3,05b 7,5 115,00±15,59 91,03 ± 3,88b 86,20 ± 1,48b 12,5 116,33±27,23 83,21 ± 3,61a 75,48 ± 0,74a

Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama tidak berbedanyata (p>0,01)

Hasil penetasan telur ovulasi menunjukkan bahwa persentase penetasan dosis perlakuan 2,5 mg sama dengan dosis 7,5 mg yaitu 86,68 ± 3,05% dan 86,20 ± 1,48 %, lebih baik dibandingkan dengan dosis 12,5 mg yaitu 75,47 ± 0,74 % (Tabel 9).

pematangan oosit, terjadinya peningkatan hormon steroid dan berobahnya posisi inti dari tengah menuju ke tepi, perubahan yang terjadi tadi menunjukkan bahwa oosit telah mengalami proses pematangan. Pada proses pematangan oosit ini ternyata hasil perlakuan dosis 2,5 mg dan 7,5 mg menghasilkan perbedaan yang nyata, dosis 12,5mg IA mengalami kelambatan proses pematangan, hal ini juga berakibat pada kelambatan ovulasinya. Ovulasi terjadi sebagai akibat pembentukan PGF2α, yang berfungsi untuk kontraksi folikel, sehingga terjadilah ovulasi (Lam, 1985). Hasil penelitian menunjukkan kecepatan ovulasi dosis 2,5 mg dan 7,5 mg berbeda nyata dibandingkan dosis 12,5 mg.

Hasil penelitian pembuahan dan penetasan menunjukkan bahwa dosis 2,5 mg dan 7,5 mg lebih baik daripada dosis 12,5 mg, hal ini diduga karena pada saat proses pematangannya juga berbeda mengakibatkan oosit yang belum matang sudah menyerap air pada saat oosit lain dalam proses hidrasi akibatnya oosit tidak berkembang dan mati. Sedangkan pada proses penetasan diduga embrio gagal dalam proses penyerapan VTG. Penyerapan VTG oleh embrio menurut Sire et al. (1994) dijelaskan bahwa yolk protein dalam embrio terbungkus oleh lapisan synsytial atau

periblast, dua buah daun coelemic mesoderm, splanchnopleure dan somatopleure, dan

epidermis. Jaringan vitelin vascular berkembang di dalam splanchnopleure dengan menggunakan jaringan ini embrio dapat menggunakan protein yang disimpan di dalam yolkmassnya. Untuk memecah globula kuning telur, di permukaan peribalast terdapat zona viteolisis oleh aktivitas thiol proteinase yaitu cathepsin L aktivitas enzim meningkat menyebabkan globula kuning telur sobek dari massa kuning telurnya sehingga protein dapat diserap.

perubahan hormon steroid dalam plasma darah.

2. Penyuntikan IA 2,5 mg/kb b.t. merupakan dosis optimum untuk ovulasi, pembuahan dan penetasan pada ikan mas koki.

DAFTAR PUSTAKA

Afonso LOB, Iwama GK, Smith J, Donaldson EM. 1999a. Effect of aromatase inhibitor fadrozol on plasma sex steroid secretion and oocyte maturation in female coho salmon (Onchorinchus kisuth) during vitellogenesis. Fish Physiol.

Biochem. 20 : 231-241.

Afonso LOB, Iwama GK, Smith J, Donaldson EM. 1999b. Effect of aromatasc inhibitor fadrozol on plasma sex steroid secretion and ovulation rate in female coho salmon, Onchorinchus kisuth close to final maturation. Gen Comp

Endocrinol 113: 221-229.

Finn RN, Østby GC, Norberg B, Fyhn HJ. 2002. In vivo oocyte hidration in Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus); proteolytic liberation of free amino acids, and ion transport, are driving forces for osmotic water influx. J Exp Bio 205: 211-224

Fritzpatrick L, Susan LC, Diana LR, Richards, JS. 1997. Expression of aromatase in the ovary: Down-regulation of mRNA by the ovulatory luteinizing hormone surge. Steroids 62 : 197-206.

Lam TJ. 1985. Induce Spawning in Fish. Work Shop on the reproduction culture of milk fish. Oceanic Institut Hawaii.

Linhart et al. 1995. Morphology, composition and fertilization of carp eggs : A review. Aquaculture 129: 75-93.

Matsubara T, Sawano K. 1995. Proteolytic Clevage of vitellogenin and yolk protein during vitellogenin up take and oocyte maturation in Barfin Flounder (Verasper

moseri). J Exp Zool 272 : 34-45.

Nagahama Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int Dev Biol 38 : 217-229.

Nagahama Y. 1997. I7α,20β-dihidroksi-4-pregnen-3-one, a maturation-inducing hormone in fish oocytes. Mechanisms of synthesis and action. Steroid 62 : 190-196

Nagahama Y, Yoshikuni M, Yamashita M, Tokumoto T, Katsu Y, 1995. Regulation of oocyte growth and maturation in fish. Dev Biol. 30: 103-145

Sire MF, Babin PJ, Verner JM. 1994. Involvement of the lysosomal system in yolk protein deposit and degradation during vitellogenesis and embrionic development in trout. J Exp Zool 269 : 69-83.

Slamet et al, 1990. Pedoman Analisis Zat Gizi. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian Dan Pengembangan Gizi. Woynarovich E, Horvath L 1980. The Artificial Propagation of Warm Water

Finfishes. A Manual Extension. Food And Agriculture. Organization of The United Nation.

Yamashita M, Mita K, Yoshida N, Kondo T. 2000. Moleculer mechanisms of the initiation of oocyte maturation : general and species-species aspects. Cell Cycle

Research 4 : 115-129

Yamashita M. 2000. Toward modeling of a general mechanism of MPF formation during oocyte maturation in vertebrates. Zool Sci l7 : 841-851

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan penggunaan kombinasi hCG (human Chorionic Gonadotropin) dan Inhibitor aromatase (IA) terhadap proses ovulasi ikan mas koki. Adapun dosis hCG dan IA yang digunakan adalah k= kontrol (disuntik NaCl fisiologis); Pl = Kombinasi 750 IU hCG dengan 2,5 mg IA/kg berat tubuh (b.t) ; P2 = Kombinasi 750 IU hCG dengan 7,5 mg IA/kg b.t.; dan P3 = Kombinasi 750IU hCG dengan 12,5 mg IA/kg b.t. Proses ovulasi ditandai dengan perubahan kandungan protein dalam gonad, dan perubahan hormon dalam plasma darahnya. Setelah ikan terlihat berovulasi diangkat, kemudian distriping. Telur yang dihasilkan ditampung dan ditambahkan spermatozoa. Kurang lebih 100 butir telur diamati, kemudian dihitung persentase daya fertilitas dan daya tetas telurnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua dosis perlakuan menyebabkan terjadinya proses ovulasi. Proses ovulasi ditandai dengan terjadinya penurunan kandungan protein pada jam kesembilan perlakuan, kandungan protein pada semua dosis perlakuan turun sangat nyata dan lebih rendah dibandingkan kandungan protein kontrol. Kandungan hormon estradiol-17β dan progesteron-17α mencapai puncak pada jam kesembilan perlakuan. Waktu ovulasi tercepat dicapai pada kombinasi 750 iu hCG dan 2,5 mg IA yaitu 12,03±0,50 jam dengan hasil daya fertilitas dan daya tetas telur masing-masing sebesar 89,54±0,75% dan 85,59±0,72%

Kata kunci : hCG, inhibitor aromatase (ia), ovulasi, daya fertilitas, daya tetas telur

THE INFLUENCE OF COMBINATION hCG (HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN) AND INHIBITOR AROMATASE (IA) TO OOCYTE MATURATION AND OVULATION OF GOLD FISH (Carassius auratus)

ABSTRACT

The objective of this research is to know the optimal dosage of combination inhibitor aromatase (IA) and hCG (human Chorionic Gonadotropin). The dosage that is used is k = control (injected NaCl fisiologis); P1 = combination 750 IU hCG with 2,5 mg IA/kg of body weight; P2 = 750 IU hCG with 7,5 mg IA/kg of body weight; and P3 = 750 IU hCG with 12,5 mg IA/kg of body weight. The development of ovulation process is indicated with the change of protein content in gonad and the change of hormone in blood plasma. To observe the egg fertility capacity and the egg hatching, after the fish has done the ovulation, the fish is taken and stripped. The eggs that they produced are collected and added spermatozoa. About 100 eggs are observed, and then counted the percentage of the egg fertility capacity and the egg hatching capacity. The result of the research

indicates that in ovulation process, that protein content is decrease in the 9th hour

Key word : hCG, aromatase inhibitor (ai), ovulation, fertilization rate, hatching rate.

pemijahan dengan cara tradisional adalah hanya mencapai 53,33%. Kegagalan pemijahan diduga karena gagal merangsang induk agar induk melepas hormon gonadotropin sehingga poses pemijahan tidak terjadi.

Berbagai jenis teknologi reproduksi yang telah diterapkan pada usaha pembenihan ikan termasuk ikan hias air tawar, selain cara yang sederhana, juga telah digunakan berbagai jenis hormon gonadotropin, antara lain untuk merangsang ovulasi ikan lele dumbo digunakan Gonadotropin Releasing Hormone/GnRH (Lukistyowati, 1990). Untuk merangsang ovulasi pada Clariasbatracus digunakan hCG/human Chorionic Gonadotropin (Zairin, 1993). Untuk merangsang ovulasi ikan mas koki (Carassius auratus) digunakan 2500 IU hCG/kg berat tubuh (Carman, 1992). Sedangkan untuk merangsang ovulasi ikan jambal siam (Pangasius hypothalmus) digunakan implantasi LH-RH dan 17α-metiltestosteron (Ernawati, 1999).

Penggunaan hormon gonadotropin protein dengan molekul yang besar dapat menyebabkan terjadinya kekebalan. Selain itu faktor harga hormon yang mahal juga menjadi salah satu kendala dalam penerapan hormon gonadotropin dari kelompok protein.

Didalam tubuh ikan teleostei betina tahap oogenesis terdiri dari dua tahap yaitu perkembangan dan matang tahap akhir. Tahap vitelogenesis atau perkembangan oosit terjadi peningkatan produksi estradiol-17β, dimediasi oleh enzim aromatase di dalam sel granulosa, estradiol-l7β masuk ke dalam sistem vaskuler dan merangsang hati mensintesis dan mensekresikan vitelogenin (VTG) ke dalam peredaran darah, kemudian membran oosit mengikat VTG masuk ke dalam oosit sehingga oosit tumbuh. Sedangkan pematangan oosit dikontrol oleh LH. LH telah merangsang sel teka dan memproduksi 17α-hidroksiprogesteron, kemudian ditranfer ke basal lamina. LH mempengaruhi sel granulosa mengaktipkan enzim 20β-hidroksisteroid dehidrogenase (20β-HSD), sehingga aktivitas enzim meningkat dan

et al 1995). Selain itu LH juga menekan aktivitas aromatase sehingga aktivitas

aromatase berkurang akibatnya terjadi pengurangan atau penghentian produksi estradiol-17β, dan terjadi peningkatan produksi testosteron, testosteron akan memberikan umpan balik positip terhadap gonadotropin, akibatnya gonadotropin semakin melimpah dan akhirnya terjadi pematangan dan ovulasi oosit.

Pada penelitian yang hanya menggunakan IA telah berhasil menghambat produksi estrogen dengan menghambat proses aromatisasi hasilnya estradiol-17β turun, namun belum terjadi ovulasi, kegagalan ovulasi diduga kandungan LH belum mampu menyebabkan terjadinya ovulasi. Penelitian ini merupakan solusi lanjutan pada permasalahan faktor kegagalan dalam merangsang ovulasi yaitu dengan kombinasi penyuntikan hCG dan IA, hCG dimaksudkan untuk menggantikan peranan LH, sehingga fungsi hCG diharapkan akan mengaktipkan enzim 20βHSD (20β-hidroksisteroidehidrogenase) sehingga terjadi peningkatan produksi 17α,20β-dihidroksiprogesteron., hasilnya akan terjadi proses pematangan oosit. Adapun, kerja hCG dalam menghambat enzim aromatase akan digantikan oleh IA atau diperkuat dengan penambahan IA ini, akibatnya akan terjadi efisiensi penggunaan hCG dalam proses pematangan oosit yang diikuti dengan ovulasi.

Testosteron Estradiol-17β Hipofisa (Gonadotropin) Hipothalamus (Gn-RH) Iduk Matang Gonad Pematangan Ovulasi Gonad 17α-Progesteron 17α,20β dihidroksiprogesteron hCG + AI

Gambar 11 Alur kerangka pemikiran penelitian pemberian hCG dan IA

holding ground ikan hias, Dinas Agribisnis Kota Bogor, di Desa Cipaku Rancamaya

Bogor. Analisa protein gonad dilakukan di Laboratorium Penguji Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor. Analisa hormon estradiol-17β dan 17α-hidroksiprogesteron dilakukan di Laboratorium RIA, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Penelitian berlangsung selama 4 bulan, dari bulan Maret sampai dengan bulan

Juni 2004.

Ikan Uji

Penelitian ini menggunakan 72 ekor Ikan mas koki yang digunakan diperoleh dari petani ikan di desa Ciseeng, Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Ikan terpilih selanjutnya dipelihara dan dipersiapkan di akuarium-akuariun holding ground ikan hias Dinas Agribisnis Kota, di Desa Cipaku Bogor.

Pakan

Selama tahap persiapan ikan diberi pakan pellet dengan kandungan protein 35%, dan jumlah pakan diberikan sekitar 2-5 % dari berat tubuh ikan, diberikan 3 (tiga) kali per hari.

Wadah Pemeliharaan

Sebagai wadah pemeliharaan ikan adalah akuarium dengan ukuran l00x 40x35 cm, sebanyak 8 buah dilengkapi dengan aerasi dan disifon setiap hari.

Inhibitor Aromatase (IA) yang digunakan

Inbibitor aromatase (IA) yang akan digunakan adalah Imidazole. Nama lain dari imidazole adalah glyoxaline, iminazole (1,3-Diaza-2,4-cyclopentadience atau 1,3

Glyoxalin) dan rumus kimia C3H4N2, diproduksi oleh Wako Pure Intemational Inc.

Untuk pelarut IA digunakan NaCl fisiologis.

Hormon hCG yang digunakan

Hormon human Chorionic Gonadatropin (hCG) yang akan digunakan adalah pregnyl diproduksi oleh PT Orgamon. Untuk pelarut hCG digunakan NaCl fisiologis.

menggantikan peranan LH, sehingga fungsi hCG diharapkan akan mengaktipkan enzim 20βHSD (hidroksisteroid-dehidrogenase) sehingga terjadi peningkatan produksi 17α,20β-dehidroksiprogesteron., hasilnya akan terjadi proses pematangan oosit. Adapun, kerja hCG dalam menghambat enzim aromatase akan digantikan oleh IA atau diperkuat dengan penambahan IA ini, akibatnya akan terjadi efisiensi penggunaan hCG dalam proses pematangan oosit yang diikuti dengan ovulasi. Untuk mencapai tujuan didalam penelitian ini dilakukan dua tahap penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

Penelitian pendahuluan

Dosis IA yang dapat menghambat aromatase dan menurunkan estradiol-17β pada ikan koki adalah 2,5 mg IA/kg bt; 7,5 mg IA/kg bt dan 12,5 mg IA/kg bt, tetapi penggunaan dosis tersebut tidak menyebabkan ovulasi. Agar terjadi ovulasi maka diperlukan kombinasi dengan hCG, penelitian pendahuluan ini dilakukan mencari kombinasi hCG dan IA yang dosisnya paling kecil dan mampu merangsang ovulasi. Pada penelitian pendahuluan ini dicoba dosis IA 2,5 mg/kg, dengan 2500 iu/kg; 1500 iu/kg; 750 iu/kg dan 250 iu/kg. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi dosis hCG dan IA terkecil yang menyebabkan ovulasi adalah menggunana 750 iu hCG/kg. Selanjutnya dalam penelitian utama dosis hCG 750 iu/kg digunakan sebagai dosis kombinasi dengan IA adapun dosis IA adalah 2,5 mg IA/kg bt; 7,5 mg IA/kg bt dan 12,5 mg IA/kg bt.

Penelitian Utama. Persiapan Ikan.

Induk-induk ikan uji yang baru saja memijah dimasukkan kedalam kolam fiber glas ukuran 2,5x1,5x0,5 m3 sebanyak 2 buah yang dilengkapi dengan aerasi untuk mempertahankan oksigen didalam perairan dan filtrasi untuk memelihara kebersihan air, filter dicuci setiap hari. Selama tahap persiapan ikan diberi pakan pelet dengan kandungan protein 35%, dan jumlah pakan diberikan sekitar 2-5 % dari

dipelihara 9 ekor betina.

Dosis Perlakuan

Dosis hCG adalah 750 iu/kg berat tubuh (b.t.). dan dosis IA yang diberikan adalah P1 : 2,5 mg/kg ; P2 :7,5mg/kg P3 ; 12,5 mg/kg, dan k = kontrol dosis hCG 0 iu/kg dan dosis IA 0 mg/kg.

Parameter yang diamati

Untuk mengetahui proses pematangan oosit, ovulasi dan evaluasi telur ovulasi diperlukan parameter sebagai berikut :

Profil hormon estrogen dan progesteron plasma darah

Pengambilan darah ikan untuk mengukur profil hormon estrogen menggunakan syring yang telah diberi EDTA dengan jarum nomor 21, darah diambil dari caudal vasculature sebanyak ± 0,5 ml, kemudian ditempatkan pada es sebelum disentrifugasi 3000 rpm selama l0 menit plasma dimasukkan dalam tabung plastik kecil dan disimpan beku pada suhu –20°C.

Pengujian hormon menggunakan KIT hormon estdradiol 17β dan 17α-progesteron (DPC/Diagnotstic Product Corp., Los Angeles CA USA).

Kandungan Protein Gonad

Pengamatan perkembangan gonad dilakukan dengan menganalisis kandungan protein didalam gonadnya. Analisis kandungan protein menggunakan metoda Kjeildahl (Slamet et al, 1990). Dengan cara acak ikan dikorbankan untuk diambil gonadnya, mulai dari awal perlakukan kemudian setiap tujuh hari sekali, yaitu hari ke tujuh; ke empatbelas; dan ke-21, dengan ulangan tiga kali.

Waktu Ovulasi

Untuk pengamatan lama waktu ovulasi, daya fertilitas serta daya tetas telur dihitung sejak ikan disuntik sampai terjadi berovulasi. Setelah terlihat mengalami ovulasi ikan diangkat, kemudian distriping. Telur yang dihasilkan ditampung dan ditambahkan spermatozoa.

bening, sedangkan secara mikroskupis terjadi proses pembentukan embrio, adapun telur yang tidak terbuahi berwama putih kekeruhan. Telur hasil pemijahan diamati 100 butir kemudian dihitung prosentasenya, perhitungan daya fertilisasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah telur yang dibuahi

Daya fertilitas telur = --- x 100% Jumlah telur keseluruhan

Daya Tetas Telur (DTT), merupakan kelanjutan dari proses pembentukan embrio,

dan embrio yang terbentuk dapat atau tidak dapat menetas. Telur diamati sebanyak 100 butir dihitung prosentase penetasan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

Jumlah telur yang menetas

Daya tetas telur = --- x 100% Jumlah telur keseluruhan

Analisis Data

Data level protein gonad, waktu ovulasi, daya ferlitilitas dan daya tetas telur yang diperoleh dianalisis dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan program MSUSTAT. Sedangkan data perubahan hormonal dianalisa secara deskriptif.

Hasil analisis kandungan protein dalam gonad pada awal perlakuan menunjukkan besarnya kandungan protein di dalam gonad sebesar 32,81±1,26%. Setelah diberi perlakuan yaitu suntikan kombinasi hCG dan IA selama sembilan jam kemudian terjadi penurunan kandungan protein gonadnya, penurunan kandungan protein terjadi pada semua dosis perlakuan, pada kontrol tidak mengalami perubahan yang berarti (Tabel 10).

Tabel 10 Pengaruh kombinasi hCG dan IA terhadap kandungan protein gonad (%) dari awal sampai 9 jam perlakuan

9 Jam Dosis Perlakuan 750 iu hCG Ulangan Awal

Dokumen terkait