4.1. Hasil
Berdasarkan literatur-literatur yang didapat berikut ini hasil dari kadar optimal dari masing-masing faktor-faktor kimia yang baik untuk budidaya ikan. 4.1.1 Kesadahan (Hardness)
Konsentrasi total dari ion logam yang bervalensi dua terutama Ca dan Mg yang dinyatakan dalam mg/l setara CaCO3 menunjukkan tingkat kesadahan air. Total alkalinitas dan kesadahan air umumnya sama besarnya. Namun pada beberapa perairan, total alkalinitas mungkin lebih besar dari kesadahan atau sebaliknya. Tingkat total kesadahan dan total alkalinitas air yang diperlukan untuk budidaya ikan umumnya terletak pada deret 20 - 300 mg/l. Bila total alkalinitas dan total kesadahan terlalu rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan kapur. Bila total kesadahan dan total alkalinitas lebih tinggi dari yang diperlukan maka belum ada cara yang praktis untuk usaha menurunkannya (Ghofran et al, 2007). 4.1.2. Alkalinitas
Jumlah basa yang ada di air didefinisikan apa yang disebut alkalinitas. Basa umum yang ditemukan di kolam ikan meliputi karbonat, bicarbonate, hidroksida dan pospat. Carbonat dan bikarbonat adalah komponen alkalinitas yang paling umum dan paling penting. Alkalinitas diukur dengan jumlah asam (ion hydrogen) air yang dapat terabsorp (buffer) sebelum mencapai pH yang ditunjukkan. Total alkalinitas dinyatakan sebagai mg/l atau ppm calsium carbonat (mg/l atau ppm CaCO3). Kisaran total alkalinitas yang diinginkan untuk budidaya ikan antara 75 - 200 mg/l CaCO3 (Ilhad, 2008).
4.1.3. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Swingle dalam Boyd (1982) konsentrasi oksigen terlaurut yang dapat menunjang pertumbuhan dan peruses reproduksi yaitu lebih dari 5 ppm. Sedangkan menurut Wardoyo, kadar oksigen yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 2-10 ppm. Sedangkan ikan lele termasuk jenis ikan yang mampu hidup di perairan yang kandungan oksigen terlarutnya sedikit karena ikan ini memiliki alat pernapasan tambahan yang memungkinkan untuk mengambil oksigen dari udara diluar.
Kadar oksigen terlarut dalam suatu wadah budi daya ikan sebaiknya berkisar antara 7–9 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut ini sangat menentukan dalam akuakultur. (Darti dan Iwan, 2006).
4.1.4. Karbondioksida (CO2)
Pengaruh CO2 yang terlalu banyak tidak saja terhadap perubahan pH air, tetapi juga bersifat racun. Dengan meningkatnya CO2, maka O2 dalam air juga ikut menurun, sehingga pada level tertentu akan berbahaya bagi kehidupan binatang air. Kadar CO2 yang bebas didalam air tidak boleh mencapai batas yang mematikan (lethal), pada kadar 20 ppm sudah merupakan racun bagi ikan dan mematikan ikan jika kelarutan oksigen didalam air kurang dari 5 ppm (5 mg/l) (Chia, 1989).
4.1.5. Derajat Keasaman pH
Effendi (2003) menjelaskan Ikan dan vertebrata lainnya mempunyai rata-rata pH darah 7,4. Darah ikan kontak sangat dekat dengan air (terpisahkan hanya 1 atau 2 sel), lewat melalui pembuluh darah insang dan kulit. Kisaran pH air kolam yang dikehendaki sangat mendekati pH darah ikan (yakni 7,0 – 8,0). Ikan bisa
stress dan mati jika pH drop dibawah 5 (sangat asam) atau naik diatas 10 (misalnya di alkalinitas rendah kaitannya dengan intesitas fotosintesa oleh alga/fitoplankton atau lumut yang padat).
4.1.6. Nitrat
Agar supaya phitoplankton dapat tumbuh dan berkembang biak dengan subur dalam suatu perairan, paling sedikit dalam air itu harus tersedia 4 mg/l nitrogen (yang diperhitungkan dari kadar N dalam bentuk nitrat), bersama dengan 1 mg/l P dan 1 mg/l K. Bila kadar NH3 hasil pembongkaran bahan organik di dalam air terdapat dalam jumlah besar, yang disebabkan proses pembongkaran protein terhenti sehingga tidak terbentuk nitrat sebagai hasil akhir, maka air tersebut disebut “sedang mengalami pengotoran (Pollution)” (Husada, 1995). 4.1.7. Phospat
Kandungan fosfat yang diinginkan dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu 0,015 mg/L9(Ilhad, 2008).
4.1.8. Ammoniak (NH3)
Kadar amonia yang dapat mematikan ikan budidaya jika dalam wadah budidaya mengandung 0,1 – 0,3 ppm. Oleh karena itu sebaiknya kadar amonia didalam wadah budidaya ikan tidak lebih dari 0,2 mg/l (ppm). Kadar amonia yang tinggi ini diakibatkan adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian (Floyd et al, 2009).
4.1.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Perairan yang memiliki BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah induetri dapat mencapai 25.000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi 2003). Nilai BOD limbah industri
makanan antara 500 - 4.000 mg/l, industri farmasi antara 4.000 – 10.000 mg/l, dan industri kertas sekitar 1.500 – 25.000 mg/l (Rao, 1991 dalam Effendi 2003). Lee at al., (1978) dalam pdf-finder.com, mengemukakan bahwakriteria perairan tercemar berdasarkan BOD, yaitu: konsentrasi BOD < 2,90 mg/l tegolong perairan tidak tercemar, 3 – 5 mg/l perairan tercemar ringan, 5 – 14 mg/l perairan tercemar sedang, sedangakan > 15 mg/l perairan dalam kondisi tercemar berat.
4.1.10. COD
COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (bon
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003). nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l , sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi 2002). 4.1.11. Sulfur
Disamping itu juga berasal dari hasil proses penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Pada kadar 0.05 ppm sudah bersifat fatal bagi organisme-organisme yang sensitif seperti ikan “trout” (ikan forel). Tanah masam (pH rendah) mengandung banyak FeS. Unsur-unsur pokok yang diperlukan dalam pembentukan pyrite (FeS2) adalah sulfat, besi hasil metabolisme bahan organic, bakteri pereduksi belerang, dan kondisi anaerob merupakan ciri kebanyakan daerah mangrove. Kondisi sangat memungkinkan terbentuknya hydrogen sulfida dalam perairan budidaya terutama tambak. Saat
pyrite terdedah pada oksigen, belerang tereduksi di oksidasi menjadi asam sulfat. Akibat buruk terhadap udang dapat diakibatkan oleh kemasaman mineral tersebut (Ilhad, 2008).
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kesadahan (Hardness)
Kesadahan atau kekerasan (hardness) pada perairan disebabkan oleh banyak mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam ion maupun ikatan molekul (Ghufran et al, 2007). Perairan keras (hrad) mengandung kalsium, magnesium, karbonat, dan sulfat yang tinggi. Jika dipanaskan perairan keras akan mengakibatkan terjadinya deposit (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Nilai kesahan dapat dilihat pada tabel 3.
Table 1. Klasifikasi kadar CaCO3 dan derajat kesadahan atau kekerasan air. Istilah Kadar CaCO3 (mg/l) Kekerasan (0 dH)
Soft (lunak) 0 – 50 0 – 3
Moderately soft (agak lunak) 50 – 100 3 – 6
Slightly hard (sedang) 100 – 200 6 – 12
Moderately hard (agak keras) 200 – 300 12 – 16
Hard (keras) 300 – 400 16 – 25
Very hard (sangat keras) > 400 > 25
Sumber: Andrews, et. al., 1988 dalam Ghufran et al 2007. 4.2.2. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bicarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-). Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/l CaCO3. N (Chia, 1989).
ilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas diperairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas diperairan alami adalah 40 mg/l CaCO3 (Boyd, 1988 dalam Effendi 2003). Perairan yang nilai alkalinitas > 40 mg/l disebut perairan sadah (hard
water), sedangkan perairan yang nilai alkalinitas < 40 mg/l disebut lunak (soft
water) (Effendi, 2003). Untuk tumbuh optimal, plankton menghendaki total alkalinitas skiter 80-120 ppm. Pada kisaran alkalinitas melebihi atau kurang dari kisaran tersebut, pertumbuhan plankton akan terhambat (Ghufran et al, 2007). 4.2.3. Oksigen Terlarut (DO)
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan biota budi daya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan batas minimumnya adalah 3 ppm atau 3 mg/l. kandungan oksigen didalam air yang dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4-10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas kelarutan oksigen 3-4 ppm pada suhu 20-300C. Meskipun beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen 3 ppm, namun konsentrasi minimum yang masih dapat diterima sebagian besar spesies biota air untuk budidaya hidup dengan baik adalah 5 ppm. Pada perairan dengan konsentrasi oksigen diibawah 4 ppm, beberapa jenis ikan masih mampu bertahan hidup akan tetapi nafsu makannya mulai menurun. Untuk itu, konsentrasi oksigen yang baik dalam budidaya perairan adalah 5-7 ppm (Ghufran
et al, 2007). Pada budidaya udang windu, jika kadar oksigen terlarut sebesar 2,1
mg/l pada suhu 300C dalam kondisi kualitas terpenuhi, udang windu sudah mulai memperlihatkan gejala abnormal yaitu berenang dipermukaan air. Kandungan oksigen di dalam air yang dianggap optimum bagi budidaya udang windu adalah 5-10 ppm. Konsumsi batas kadar oksigen terlarut antara 4,5-7 ppm adalah sekitar 0,55 mg O2/g persatuan unit berat badan udang/jam (Poernomo, 1989 dalam Ghufran et al, 2007).
4.2.4. Karbondioksida (CO2)
Pada perairan alami mengandung karbondioksida atau asam arang sebesar 2 ppm. Pada konsentrasi yang tinggi (>10 ppm), karbondioksida dapat beracun, karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin (Zonneveld dkk, 1991 dalam Ghufran et al 2007). Kadar karbon dioksida dalam air sebesar 5ppm dapat di toleransi oleh hewan air asalkan kadar oksigennya cukup tinggi, akan tetapi kadar karbondioksida 50-100 ppm dalam mematikan ikan. Sedangkan kadar karbondioksida 100-200 ppm bersifat akut (Ghufran et al, 2007). Kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat fotosintesis, evaporasi, dan agitasi air. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung karbondioksida bebas < 5 ppm. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/l atau ppm (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003)
4.2.5. Derajat Keasaman pH
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter kimia perairan yang memiliki pengaruh besar terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Nilai pH akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Zooneveled et al, (1991) dalam Amriawati (2001) menyatakan bahwa pada pH rendah aktivitas dan produksi enzim pencernaannya rendah, kondisi ini menyebabkan kinerja perncernaan berkurang dan berimbas pada menurunnya pertumbuhan. Selain itu, ketika insang berada pada pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang dan meyebabkan penurunan difusi oksigen pada lamela insang. Kisaran pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6.5-9. Batas terendah yang menyebabkan kematian ikan adalah pH 4 dan tertinggi pada pH 11 Perairan dengan kisaran pH 4-6 mengakibatkan pertumbuhan lambat bagi ikan budidaya (Boyd, 1990).
Derajat keasaman pH Air suatu kolam ikan sangat dipengaruhi oleh keadaan tanahnya yang dapat menentukan kesuburan suatu perairan. Nilai pH air asam tidak baik untuk budidaya ikan dimana produksi ikan dalam suatu perairan akan rendah. Pada pH air netral sangat baik untuk kegiatan budidaya ikan, biasanya berkisar antara 7 – 8, sedangkan pada pH air basa juga tidak baik untuk kegiatan budidaya. Pengaruh pH air pada perairan dapat berakibat terhadap komunitas biologi perairan (Ghufran et al, 2007).
4.2.6. Nitrat
Kandungan nitrit yang tinggi didalam perairan sangat berbahaya bagi udang dan ikan, karena nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi meta-haemoglobin yang tidak mampu mengedarkan oksigen (Darti dan Iwan, 2006), kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam
air merupakan faktor pembatas dan sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses nitrifikasi. Nilai kosentrasi nitrit dari kedua petak ujicoba ini berkisar antara 0,012 – 0,018 ppm (mg/l), di bawah nilai ambang batas yang di sarankan. Sehingga dengan kandungan nitrit pada ujicoba ini termasuk kedalam kondisi yang cukup optimal. Pada salinitas di atas 20 ppt, batas ambang aman nitrit adalah < 2 ppm (Chia, 1989).
Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi kebalikan dari stratifikasi yaitu proses denitrifikasi di mana nitrat akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan lepas ke udara atau dapat juga kembali membentuk ammonium dan amoniak melalui proses amonifikasi nitrat. Nitrat dapat digunakan untuk mengklafisikasikan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik kadar nitrat 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik kadar nitrat 1 – 5 mg/l, perairan eutrofik kadar nitrat 5 -50 mg/l (Darti dan Iwan, 2006). Menurut Boyd (1988) dalam Gusrina (2008), terdapat hubungan antara kadar ammonia total dengan ammonia bebas pada berbagai pH dan suhu. Ikan masih dapat hidup pada air yang mengandung N 2 mg/l. Batas letal akan tercapai pada kadar 5 mg/l. 4.2.7. Phospat
Bila kadar fosfat pada air alam sangat rendah (yaitu < 0,01 mg P/l), maka dapat mengakibatkan pertumbuhan ganggang dan tanaman akan terhalang, keadaan ini disebut dengan oligotrop. Bila kadar fosfat dan nutrien lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas (atau yang disebut dengan eutrop), sehingga mengakibatkan tanaman tersebut dapat menghabiskan oksigendalam sungai atau kolam pada malam hari, atau bila tanaman tersebut mati dan dalam keadaan yang sedang dicerna (digest) (Effendi, 2003).
Alabaster dan Loyd (1982) menyatakan Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Dalam air limbah biasanya senyawa fosfat berasal dari limbah penduduk, industri, ataupun pertanian.
4.2.8. Ammoniak (NH3)
Kandungan ammonia dalam air media pemeliharaan merupakan hasil perombakan dari senyawa-senyawa nitrogen organik oleh bakteri atau dampak dari penambahan pupuk yang berlebihan. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme perairan walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi amonia yang mampu ditolerir untuk kehidupan udang dewasa < 0,3 ppm dan ukuran benih < 0,1 ppm (Effendi, 2002). Kosentrasi ammonia yang terukur pada kedua petak ujicoba menujukan nilai yang cukup rendah yaitu berkisar antara 0,011 – 0,04 ppm. Boyd (1990) melaporakan bahwa kosentrasi amoniak sebesar 0,045 ppm dapat mengurangi laju pertumbuhan udang penaeid sebesar 50%. Sedangkan kosentrasi ammonia yang disarankan dan aman di tambak adalah dibawah nilai 0,13 ppm. Pada salinitas air di atas 20 ppt, batas ambang aman amonium adalah <1,6 ppm (Floyd et al, 2009).
4.2.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Nilai BOD ditentukan oleh Jumlah oksigen yang diperlukan untuk proses Biologi di dalam perairan, semakin tinggi bahan organik yang terkandung dalam perairan, maka nilai BOD juga semakin tinggi (Hardjamulia, 1978)
Menurut Alaerts dan Santika (1984) dalam Bapedalda (2006)
Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis adalah
suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (men-oksidasi) hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air. Penguraian zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut
dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik, jadi nilai yang sesuai untuk perairan alami sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001 adalah < 3 mg/L.
4.2.10. COD
Menurut Effendi (2003) nilai COD yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L dan tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk respirasi, keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam, ataupun dari aktifitas rumah tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa pada lokasi 3 diperoleh nilai COD yang lebih tinggi dikarenakan tebalnya lapisan bahan organik pada lokasi tersebut (Ghufran et al, 2007).
4.2.11. Sulfur
Udang yang dibudidaya dalam tambak pada konsentrasi oksigen terlarut rendah pada pagi hari umumnya mulai makan lagi pada sore hari tetapi pada udang yang terdedah pada konsentrasi sublethal Hidrogen Sulfida (H2S) mungkin tidak akan makan secara normal untuk berminggu-minggu. Hal ini akan mengakibatkan laju pertumbuhan udang menurun karena tidak dapat mengkonsumsi pakan yang diberikan secara baik. Setiap konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) yang terdeteksi dianggap merugikan produksi budidaya perairan.
Untuk udang akan kehilangan keseimbangan pada konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) 0,1 sampai 0,2 ppm, kematian terjadi pada konsentrasi 1 ppm. (Chia, 1989).
Perbandingan belerang terionisasi dan tidak terionisasi sama halnya dengan ammonia, tergantung pH dan temperatur air. Daya racun Hidrogen Sulfida (H2S) meningkat dengan meningkatnya suhu. Hubungan antara pH dengan persentase belerang tak terionisasi menunjukkan bahwa pH 6,5 berakibat buruk pada udang, tidak saja diakibatkan kemasaman tetapi juga mungkin akibat daya racun Hidrogen Sulfida (H2S) yang meningkat. (Chia, 1989).
Persentase hidrogen sulfida terhadap sulfida total di perairan sangat tergantung nila pH yang ada dalam perairan tersebut. Pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Keadaan ini mengakibatkan tekanan parsial H2S dapat menimbulkan permasalahan bau yang cukup serius. H2S bersifat mudah larut, toksik, dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Oeh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai pH perairan. (Effendi, 2002).
Pembentukan ammonia dan Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak merupakan sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan survival rate (SR) udang ditambak intensif. SR udang menurun sampai 50% pada konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak sebesar 0,25 ppm (Kodoatie, 2005)