• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Tingkat Mortalitas Spodoptera litura

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa kerapatan konidia Beauveria bassiana yang berbeda berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%) Spodoptera litura.

Tabel 1. Mortalitas larva S. litura pada berbagai tingkat kerapatan konidia B. bassiana (%) pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa).

Perlakuan

Mortalitas (%)

1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa Po 0 0 0,00 b 0,00 c 0,00 c 0,00 c 0,00 d P1 0 0 0,00 b 3,75 bc 12,50 b 26,25 b 45,00 c P2 0 0 3,5 ab 8,75 ab 21,75 a 37,50 a 58,75 b P3 0 0 6,25 a 13,75 a 23,75 a 41,25 a 63,75 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple

Range Test. hsa: hari setelah aplikasi.

P0: Kontrol, P1: Kerapatan spora 106/ml, P2: : Kerapatan spora 107/ml, P3: : Kerapatan spora 108/ml.

Tabel 1 menunjukkan bahwa kematian larva terjadi pada 3 hsa (hari setelah aplikasi) pada kerapatan konidia 107/ml sebesar 3,75% dan pada kerapataan konidia 108/ml sebesar 6,25%. Hal ini erat kaitannya dengan viabilitas, jumlah konidia dan virulensi jamur B. bassiana. Semakin tinggi daya kecambah dan semakin meningkatnya konsentrasi jamur B. bassiana dan konidia semakin banyak akan membuat proses infeksi berlangsung cepat yang membuat sistem metabolisme tergangggu pada tubuh sehingga mempercepat kematian pada larva S. litura. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ummidi et al. (2013) yang menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara tingkat perkecambahan dan virulensi B.

bassiana. Semakin tinggi daya kecambah maka semakin tinggi tingkat patogenisitas.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang terinfeksi jamur B. bassiana mengalami kematian mulai 3 hsa. Infeksi ini mulai terjadi setelah larva memakan daun kelapa sawit sekaligus tubuh larva bersentuhan dengan suspensi jamur tersebut. Hal ini sesuai pernyataan Mirhaghparast (2013) yang menyatakan bahwa ketika spora menempel pada kutikula serangga, kemudian spora berkecambah dan membentuk tabung kecambah dan akan masuk melalui integumen melalui proses mekanik dan enzimatik. Setelah mencapai haemocoel akan membentuk blastospora dan akan menginfeksi serangga inang.

Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan tingkat kerapatan konidia B. bassiana berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Pada akhir pengamatan (7 hsa) persentase mortalitas tertinggi terdapat pada perlakukan kerapatan konidia 108/ml sebesar 63,75%. Hal ini menunjukkan bahwa konidia yang berkembang dari aktivitas konidia yang melekat pada bagian tubuh inang telah melakukan penetrasi dan mengaktifkan berbagai enzim yang mendegradasi kutikula hingga serangga mati. Tingkat kematian larva S. litura tersebut akibat jamur B. bassiana tergolong dalam patogenesitas sedang. Hal ini sesuai dengan literatur Carolina et al. (2014) yang menyatakan bahwa konidia yang telah melekat pada bagian tubuh inang akan mengaktifkan enzim seperti lipase, protease, kitinase yang akan merusak dan mendegradasi kutikula lalu berkembang di dalam hemolift kemudian menyerang haemoceol dengan mengeluarkan destruksin sehingga menyebabkan penyakit dan kematian serangga. Thungrabeab et al. (2006) mengklasifikasikan tingkat patogenisitas menjadi tiga yaitu

patogenisitas tinggi dengan persentase kematian lebih dari 64,49 %, patogenisitas sedang dengan persentase kematian 64,49–30,99 % dan patogenisitas rendah dengan persentase kematian kurang dari 30,99 %.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan kerapatan konidia 108/ml pada 3 hsa – 6 hsa tidak berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan konidia 107/ml. Hal ini diduga karena kerapatan konidia yang optimal untuk menginfeksi dan membunuh larva S. litura terdapat pada kerapatan konidia 107/ml sehingga tidak berbeda nyata dengan kerapatan konidia 108/ml. Tetapi berbeda nyata pada pengamatan 7 hsa. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerapatan spora yang berbeda. Semakin tinggi kerapatan spora pada jamur maka akan semakin tinggi tingkat mortalitas larva. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa secara signifikan ada korelasi yang positif antara konsentrasi spora dan mortalitas. Semakin tinggi konsentrasi spora maka semakin tinggi mortalitas.

Tabel 1 menunjukkan rataan mortalitas larva S. litura pada akhir pengamatan, kerapatan konidia 108/ml sebesar 63,75%, kerapatan konidia 107/ml sebesar 58,75% dan P1 kerapatan konidia 106/ml sebesar 45% berbeda nyata antara P3, P2 dan P1. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan spora sangat berpengaruh terhadap keefektifan jamur entomopatogen dalam menginfeksi dan membunuh larva S. litura. Menurut Ahmed dan Katatny (2007) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi jamur entomopatogen yang diaplikasi, maka semakin tinggi kematian larva dan efektivitas jamur entomopatogen akan semakin tinggi.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadinya mortalitas dimulai dari 3 hsa, larva yang mati berubah berwarna hitam. Hal ini disebabkan oleh racun yang telah

masuk menggangu sistem saraf maupun metabolisme tubuh sehingga mempengaruhi morfologis larva dan jenis toksin yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen tersebut. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa jamur entomopatogen menyebabkan kematian serangga inang dengan menyerap nutrisi dan menyebarkan racun pada hemolymph sehingga dapat mempengaruhi perkembangan serangga terutama reproduksi dan molting yang memiliki tuntutan energik tinggi. Terjadi juga perubahan fisiologis pada serangga setelah diaplikasikan jamur entomopatogen karena racun pada jamur entomopatogen menghancurkan keseimbangan pada sistem fisiologis serangga.

Tabel 2. Mortalitas larva S. litura pada waktu aplikasi yang berbeda (%) pada 1-7 hari setelah aplikasi (hsa).

Perlakuan Mortalitas (%)

1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa I1 0 0 3.13 8.75 a 16.88 a 29.38 a 46.25 a I2 0 0 1.88 4.38 b 11.88 b 23.13 b 37.50 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple

Range Test. hsa: hari setelah aplikasi.

I1: Waktu aplikasi pukul 07.00 wib, I2: Waktu aplikasi pukul 17.00 wib

Tabel 2 menunjukkan bahwa aplikasi pukul 07.00 wib berbeda nyata dengan aplikasi pukul 17.00 wib. Dimana mulai dari 3 hsa – 7 hsa aplikasi B. bassiana pada pagi hari menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi sore hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh daya kecambah konidia B. bassiana yang berkorelasi dengan patogenisitas dan virulensi B. bassiana terhadap mortalitas sehingga mortalitas larva lebih tinggi pada aplikasi pagi hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo et al. (2005) yang menyatakan bahwa daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan

cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya dan semakin cepat waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan proses infeksi inang.

Persentase mortalitas pada aplikasi B. bassiana pagi hari lebih tinggi dibandingkan sore hari. Hal ini disebabkan karena pengaruh faktor lingkungan seperti cahaya matahari, kelembapan dan temperatur sehingga mempengaruhi keefektifan jamur entomopatogen. Menurut Abboud et al. (2012) biopestisida memiliki efektifitas membunuh yang tinggi ketika kelembaban diatas 95% dan ketika kelembaban berkisar antara 65-75% efektivitas biopestisida menurun dan menurut Prayogo et al. (2005) faktor lingkungan (sinar matahari, kelembapan, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga.

2. Gejala Kematian S. litura

Dari hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa larva S. litura yang terinfeksi B. bassiana terjadi melalui integumen maupun tertelan bersama makanan yang merusak sistem pertahanan larva S. litura. Suspensi spora yang kontak dengan integument segera berkecambah membentuk hifa dan menyerap nutrisi yang ada di tubuh larva dan dengan toksin yang dihasilkannya, B. bassiana menghancurkan struktur dalam tubuh larva S. litura dan mengakibatkan kematian larva tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Mahr (2003) yang menyatakan B. bassiana masuk ketubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protenase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga B. bassiana

memproduksi toksin yang disebut beauvericin yang melemahkan system imun serangga dan menyebabkan kematian serangga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang diuji sudah memperlihatkan adanya gejala infeksi seperti gerakannya lamban dan larva yang terinfeksi mulai menjauh dari daun kelapa sawit yang merupakan makanan larva tersebut. Setelah gejala infeksi ini terjadi, terlihat bahwa larva sudah ada yang mati. Menurut Kaur et al. (2011) yang menyatakan bahwa larva yang terinfeksi menunjukkan gerakan yang lebih lambat dan pada akhirnya akan mati, setelah mati larva menjadi keras dan kaku.

Gejala yang disebabkan B. bassiana adalah cendawan ini menyerang tubuh inangnya dan menyerap cairan dari tubuh inangnya. Berkembang tumbuh keluar dari tubuh inangnya dan menghasilkan spora. Tubuh inangnya menjadi keras (mumifikasi). Dari pengamatan diketahui bahwa larva yang mati berubah warna menjadi hitam. Disamping itu dapat dilihat tubuh larva menciut dan mengeras (mumifikasi). Hal ini diduga sebagai akibat dari mulai bekerjanya toksin yang diproduksi oleh cendawan. Toksin tersebut merusak jaringan dan menyerap cairan sel tubuh larva, sehingga menyebabkan larva mengering dan mati. Menurut Kherb (2014) yang menyatakan bahwa jamur hidup dan tumbuh dengan memanfaatkan cairan di dalam tubuh serangga dan menghasilkan racun yang dapat membunuh serangga. Setelah serangga mati, miselium akan tumbuh di tubuh serangga.

3. Viabilitas konidia Beauveria bassiana

Tabel 3. Viabilitas konidia B. bassiana pada waktu inkubasi yang berbeda (%)

Waktu inkubasi Viabilitas (%)

12 jam 17,23d

16 jam 30,86c

20 jam 59,80b

24 jam 94,43a

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada perlakuan inkubasi selama 24 jam perkecambahan konidia tertinggi yaitu sebesar 94,43%. Semakin tinggi tingkat perkecambahan konidia maka akan semakin efektif untuk mengendalikan larva S. litura. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo et al. (2005) yang menyatakan bahwa semakin tinggi daya kecambah konidia dan semakin cepat waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan proses infeksi inang.

Penghitungan viabilitas konidia B. bassiana diambil dari jamur B. bassiana yang telah dibiakkan pada media beras jagung. Media perbanyakan jamur B. bassiana dapat mempengaruhi jumlah konidia, persentase daya kecambah dan virulensi jamur B. bassiana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo (2006) yang menyatakan jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada inkubasi selama 24 jam viabilitas konidia B. bassiana berbeda nyata dengan perlakuan 20 jam, 16 jam dan 12 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perkecambahan konidia pada setiap

jam pengamatan. Viabilitas konidia menentukan kualitas konidia dan virulensinya. Kurangnya asupan protein pada media biakan dapat menurunkan kemampuan konidia berkecambah. Menurut Herlinda et al. (2006) nutrisi media biakan dapat menurunkan kualitas spora dan virulensi jamur entomopatogen. Kurangnya asupan protein dari media biakan dapat menurunkan kemampuan spora berkecambah.

Dokumen terkait