• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Minyak Dasar Pelumas dari Minyak Ikan

Minyak ikan hasil precooking pengalengan ikan secara visual memiliki warna coklat kemerahan (Gambar 3a). Kenampakan warna sampel minyak ikan serupa dengan minyak ikan makarel hasil penyulingan dari penelitian Adeniyi & Bawa (2006) dengan warna coklat kemerahan. Proses epoksidasi pada suhu 58±2 oC dengan katalis H2SO4 menghasilkan minyak yang berwarna kuning keputihan (Gambar 3b).

Perubahan warna pada sampel minyak ikan disebabkan proses oksidasi (pemutihan karotenoid) atau dekomposisi selama proses pemanasan sehingga terbentuk chroman-5,6-quinones yang menyebabkan warna berubah menjadi kuning kemerahan(Maskan 2003).

Gambar 3 Visualisasi (a) minyak ikan precooking pengalengan ikan dan (b) minyak dasar pelumas dari minyak ikan hasil epoksidasi

b a

12

Analisis keragaan terhadap jenis dan besarnya kadar asam lemak (Tabel 2) terlihat bahwa minyak ikan mengandung saturated fatty acids (SAFA) (30,04±0,63) %, monounsaturated fatty acids (MUFA) (19,53±0,38) %, dan polyunsaturated fatty acids (PUFA) (34,99±0,73) %. Kandungan tertinggi pada sampel minyak ikan terdapat pada PUFA yang didominasi eicosapentaenoic acid (EPA) (11,62±0,15) % dan docosahexaenoic acid (DHA) (18,45±0,09) %.

Tabel 2 Keragaan asam lemak pada minyak ikan dan hasil epoksidasi (%w/w)

Asam Lemak Minyak

Ikan Minyak epoksidasi Myristic Acid C14:0 6,07±0,17 5,36±0,08 Pentadecanoic Acid C15:0 0,92±0,09 0,83±0,09 Palmitic Acid C16:0 17,07±0,18 15,36±0,12 Heptadecanoic Acid C17:0 0,83±0,02 0,76±0,04 Stearic Acid C18:0 4,07±0,06 3,68±0,11 Arachidic Acid C20:0 0,68±0,01 0,58±0,04 Behenic Acid C22:0 0,21±0,02 0,20±0,04 Lignoceric Acid C24:0 0,17±0,04 0,16±0,06 Total SAFA 30,04±0,63 26,94±0,62 Palimitoleic Acid C16:1 7,02±0,12 2,25±0,14 Cis-10-Heptadecanoic Acid C17:1 0,29±0,03 0,10±0,02 Oleic Acid C18:1n9c 10,91±0,15 3,51±0,15 Cis-11-Eicosenoic Acid C20:1 0,72±0,01 0,27±0,05 Erucic Acid C22:1n9 0,18±0,04 0,08±0,04 Nervonic Acid C24:1 0,40±0,01 0,15±0,07 Total MUFA 19,53±0,38 6,36±0,50 Linoleic Acid C18:2n6c 1,31±0,04 0,29±0,04 v-Linolenic Acid C18:3n6 0,23±0,02 0,01±0,01 Linolenic Acid C18:3n3 0,88±0,05 0,09±0,03 Cis-11,14-Eicosedienoic Acid C20:2 0,24±0,02 0,08±0,04

Cis-8, 11, 14,-Eicosetrienoic Acid C20:3n6 0,20±0,07 0,10±0,14

Arachidonic Acid C20:4n6 2,07±0,25 0,18±0,02

Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoic Acid C20:5n3 11,62±0,15 0,58±0,04

Cis-4,7,10,13,,16,19-Docosahexaenoic Acid C22:6n3 18,45±0,09 0,71±0,02

Total PUFA 34,99±0,73 2,04±0,36

Total Asam lemak (ẕ 2 ulangan) 84,55±1,76 34,34±1,49

Keragaan asam lemak setelah proses epoksidasi terlihat bahwa telah terjadi pergeseran dari asam lemak tak jenuh (PUFA) menuju asam lemak jenuh (SAFA) yang didominasi asam palmitat (15,36±0,12) % (Tabel 2). Pergeseran komposisi ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan terhadap oksidasi pada minyak dasar pelumas (Almeida et al. 2015).

Karakteristik minyak dasar pelumas hasil dari epoksidasi minyak ikan memperlihatkan bilangan iod (49,91±1,90) gI2/100g, bilangan oksiran (4,74±0,09) %, bilangan peroksida (59,33±3,05) meq/kg, dan asam lemak bebas (8,62±0,18) % (Tabel 3).

13

Tabel 3 Bilangan iod, oksiran, peroksida, dan asam lemak bebas pada minyak ikan, hasil epoksidasi, dan perbandingan dengan minyak jarak pagar

Parameter bilangan Minyak ikan Minyak

epoksidasi Minyak jarak pagar* Minyak jarak pagar epoksidasi* Iod (g I2/100g) 206,84±1,20 49,91±1,90 97,26 8,04 Oksiran (%) 0,04±0,01 4,74±0,09 0,04 3,38 Peroksida (meq/kg) 47,33±4,16 59,33±3,05 14,08 21,85

Asam Lemak Bebas

(mg KOH/g) 8,62±0,18 11,07±0,10 - -

* Suharto (2007)

Bilangan iod minyak ikan sebelum epoksidasi (206,84±1,2) gI2/100g menurun menjadi (49,91±1,9) gI2/100g. Hasil ini sesuai Suharto (2007), dalam penelitiannya dengan menggunakan minyak jarak dihasilkan bilangan iod dari 97,26 gI2/100g menjadi 8,04 gI2/100g. Campanella & Baltanas (2005) melaporkan penurunan bilangan iod diduga karena ikatan rangkap bereaksi dengan iod, sehingga hilangnya ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal untuk membentuk cincin oksiran. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar. Nilai bilangan iod minyak ikan yang jauh lebih besar menunjukkan banyaknya jumlah ikatan tidak jenuh berantai panjang pada minyak ikan dibandingkan minyak jarak pagar. Kaushik & Bhardwaj (2013) menyatakan minyak jarak pagar memiliki rata-rata asam lemak tak jenuh 76,84 yang terdiri dari asam oleat (C18:1n9) 46,17 % dan Linoleat (C18:2n6) 30,67 %. Peningkatan bilangan oksiran dari 0,04±0,01 % menjadi 4,74±0,09 % mengindikasikan telah terbentuknya cincin epoksida sebagai salah satu produk oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada minyak ikan. Mekanisme pembentukan cincin oksiran disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Mekanisme pembentukan cincin oksiran

Mekanisme reaksi epoksidasi ikatan rangkap menggunakan asam perkarboksilat dalam suasana asam merupakan reaksi adisi elektrofilik (Dinda et al. 2008). Epoksida yang terbentuk merupakan senyawa antara yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk senyawa diol dengan adanya nukleofil. Gugus berupa anion karboksilat dapat bereaksi lebih lanjut dengan epoksida terprotonasi membentuk asam konjugat yaitu asam karboksilat dan epoksida netral. Bilangan oksiran minyak ikan epoksidasi yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Suharto (2007) yaitu 3,38% dengan menggunakan konsentrasi Amberlite IR-120 3%, suhu 70 oC dan waktu reaksi 12 jam. Jumlah ikatan rangkap pada sampel yang lebih banyak dan waktu reaksi yang lebih lama diduga juga dihasilkan bilangan oksiran yang lebih tinggi. Peningkatan bilangan

14

peroksida diduga disebabkan proses oksidasi dan pembukaan cincin oksiran. Campanella & Baltanas (2005) melaporkan pembukaan cincin dapat terjadi pada suasana asam dan serangan peroksida pada proses epoksidasi.

Peningkatan bilangan peroksida dari (47,33±4,16) meq/kg menjadi (59,33±3,05) meq/kg diduga disebabkan proses oksidasi dan pembukaan cincin oksiran. Almeida et al. (2015) menyatakan bahwa oksidasi asam lemak sangat tergantung pada jumlah ikatan rangkapnya, selain itu dipengaruhi juga oleh suhu, konsentrasi oksigen, logam, aktivitas air, prooksidan, antioksidan, dan katalis. Campanella & Baltanas (2005) menambahkan pembukaan cincin dapat terjadi pada suasana asam dan serangan peroksida pada proses epoksidasi. Proses epoksidasi dalam Alves et al. (2013) dapat digunakan untuk mengkonversi ikatan rangkap menjadi cincin oksiran pada minyak sehingga dapat meningkatkan stabilitas suhu dan oksidasi. Hasil bilangan peroksida sampel tidak memenuhi standar bilangan peroksida minyak ikan yang baik yaitu 3-20 meq/kg (Khoddami et al. 2009).

Proses epoksidasi juga dapat meningkatkan nilai asam lemak bebas minyak ikan dari (8,62±0,18) mgKOH/g menjadi (11,07±0,10) mgKOH/g. Dugaan ini akibat proses epoksidasi yang berlangsung pada suhu tinggi 58±2 oC selama 24 jam. Menurut Yahyaee et al. (2013) suhu yang tinggi dapat menghasilkan asam lemak bebas. Asam lemak bebas terbentuk akibat panas dan keberadaan air dari bahan sehingga terjadi reaksi hidrolisis.

Karakteristik Partikel Chitosan

Rendemen, bentuk dan struktur partikel chitosan

Rendemen partikel chitosan yang dihasilkan 3,210 g dari berat chitosan awal 10 g (32,10%). Jafarinejad et al. (2012) melaporkan rendemen chitosan:TPP nanoparticle tertinggi setelah proses spray dried yang dihasilkan pada penelitiannya (42,9%). Perbedaaan rendemen ini diduga disebabkan perbedaaan proses yang digunakan, terutama saat pengeringan semprot (spray drying), karena terjadi kontak antara semprotan dengan udara panas, pengeringan semprotan, dan pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara.

Gambar 5 (a) Partikel Chitosan, (b) struktur partikel chitosan menggunakan Scanning Electron Microscopy perbesaran 1000 kali

b a

15

Partikel chitosan pada penelitian ini memiliki ukuran rata-rata 259,56 nm. Kim et al. (2012) melakukan studi untuk mengontrol ukuran partikel dan distribusi ukuran chitosan berkisar antara 130-300 nm memiliki bentuk serbuk halus yang dapat diaplikasikan sebagai bahan tambahan pada pembuatan kosmetik. Partikel chitosan yang dihasilkan memiliki bentuk cenderung halus dan seragam dengan warna keputihan. Struktur partikel chitosan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukan struktur yang hampir seragam dan bentuk hampir bulat (Gambar 5). Alves et al. (2013) menambahkan penggunaan ultrasonik digunakan untuk menjamin pembentukan suspensi stabil dalam larutan partikel chitosan. Aglomerat lembut juga terbentuk selama proses pengumpulan dengan sentrifugasi.

Sebaran ukuran rata-rata partikel chitosan

Ukuran partikel chitosan yang kecil dalam minyak pelumas dapat mengisi goresan dan alur pada permukaan bahan, dimana pada saat yang sama membentuk film yang melapisi permukaan bahan (Alves et al. 2013).

Gambar 6 Sebaran ukuran rata-rata partikel chitosan dengan menggunakan Particle Size Analizer

Sebaran ukuran rata-rata dari partikel chitosan yang berdasarkan volume dihasilkan memiliki batas minimum 51,33 nm dan batas maksimum 4266,93 nm. Nilai tengah yang terdapat pada grafik 259,56 nm dengan diperlihatkan pada sebaran yang mengumpul pada area tengah (Gambar 6). Sebaran partikel yang terlihat pada gambar yang mengumpul pada area tengah menandakan ukuran partikel yang terbentuk rata-rata mendekati 259,56 nm dan jumlah yang kurang atau melebihi nilai tengah tersebar hanya sedikit. Nilai tengah partikel chitosan yang dihasilkan mendekati mendekati hasil penelitian Kim et al. (2012) dengan proses sonifikasi yaitu 230 nm.

Karakteristik Pelumas Aktif (Lubricant Oil Active)

Struktur pelumas aktif

Struktur permukaan pelumas dengan komposisi ZnO 0,5% dan partikel chitosan 0,5 % memperlihatkan bahwa percampuran antara ZnO dan partikel chitosan sudah baik terlihat dari sudah tidak dapat terlihat lagi bidang batas antara

16

zat-zat yang dicampurkan (Gambar 7D). Hal itu diduga disebabkan chitosan mampu membentuk ikatan dengan banyak logam transisi (golongan 3 sampai 7 tabel periodik) (Weerakkody et al. 2011). Wang et al. (2003) menambahkan bahwa Zinc (Zn) merupakan salah satu unsur yang mudah menyatu dengan chitosan dan dalam penelitiannya digunakan dalam bidang kesehatan karena penggabungannya menghasilkan khelat (kombinasi logam dengan molekul organik yang membentuk struktur seperti cincin). Ing et al. (2012) menyatakan gugus amin dalam chitosan dalam larutan asam asetat akan terprotonasi sehingga memungkinkan interaksi yang lebih efisien.

Gambar 7 Struktur pelumas aktifmenggunakan mikroskop Olympus perbesaran 100 kali (A) Minyak epoksidasi, (B) Minyak epoksidasi + ZnO 1%, (C) Minyak epoksidasi + partikel chitosan 1%, (D) Minyak epoksidasi + ZnO 0,5% + partikel chitosan 0,5%.

Tingkat keausanpelumas aktif

Keausan pelumas merupakan kerusakan pada permukaan padat yang terjadi akibat gesekan antar permukaan suatu benda karena gerakan relatif sehingga menimbulkan bekas gesekan dalam bentuk goresan yang biasa disebut scar. Besarnya scar pada suatu permukaan bahan dapat diketahui dengan menghitung diameternya. Tingkat keausan pelumas ditunjukan dengan nilai scar diameter. Scar diameter dapat di ukur menggunakan alat Fourball tester. Nilai scar diameter merupakan nilai rata-rata diameter dari scar pada tiga bola berputar dengan satuan milimeter. Cheenkachorn (2013) menyatakan semakin kecil nilai scar yang dihasilkan maka kualitas pelumas semakin baik dalam menahan gesekan yang terjadi.

C D

B A

17

Gambar 8 Tingkat keausanpelumas aktif dengan beban 40 kgf

Nilai scar diameter pelumas dengan penambahan ZnO 1% menghasilkan nilai scar diameter paling kecil, yaitu (1,15±0,04) mm. Formulasi ZnO 0,5% + partikel chitosan 0,5% memiliki nilai scar diameter yang cukup rendah yakni (1,16±0,04) mm (Gambar 8). Syahrullail et al. (2013) melaporkan scar diameter pelumas mineral umumnya sebesar 0,5391 mm dan meningkat menjadi 0,8952 mm setelah ditambahkan minyak kelapa sawit. Hal ini disebabkan scar diameter mencerminkan tingkat oksidasi yang terjadi selama pengujian. Minyak kelapa sawit memiliki rantai oksigen yang mempermudah proses oksidasi pada permukaan bola four ball, sehingga membuat struktur bola bantalan rapuh dan menghasilkan tingkat keausan yang lebih tinggi. Xie et al. (2001) melaporkan bahwa larutan chitosan memiliki aktivitas berupa pengikatan radikal bebas, sehingga gugus radikal OH+ dari proses oksidasi lipida bereaksi dengan ion hidrogen dari gugus ion ammonium (NH3+) pada chitosan sehingga menghasilkan molekul yang lebih stabil.

Viskositas kinematik pelumas aktif pada 40 °C

Viskositas cairan menunjukkan berapa besarnya tahanan di dalam cairan untuk mengalir. Apabila cairan itu mudah mengalir dapat dikatakan cairan tersebut memiliki viskositas yang rendah atau kondisinya encer. SNI 06-7069.9-2005 menjelaskan viskositas kinematik sebagai ukuran untuk sifat hambatan bagi cairan. Viskositas kinematik dipengaruhi oleh gravitasi. Besar kecilnya viskositas kinematik ditentukan oleh sistem standar Internasional dengan ukuran mm2/s atau biasa disebut centi-Stokes (cSt). Viskositas pada suhu 40 °C diklasifikasikan dan dibatasi nilai minimum dan maksimum untuk tiap kelasnya, sehingga memudahkan konsumen memilih grade viskositas menurut kebutuhannya.

18

Gambar 9 Viskositas kinematik pelumas aktif pada 40 °C

Hasil uji viskositas kinematik pada 40 °C pelumas aktif menunjukan sampel dengan penambahan ZnO 0,5% + partikel chitosan 0,5% memiliki nilai viskositas kinematik (66,50±0,35) mm2/s (Gambar 9). SNI 06-7069.9-2005 mengklasifikasi hasil tersebut kedalam ISO Viscosity Grade 68. Nomor VG 68 diperoleh melalui angka pembulatan dari pertengahan diantara viskositas minimum 61,2 mm2/s dan viskositas maksimum 74,8 mm2/s.

Korosi bilah tembaga pelumas aktif

Korosi bilah tembaga merupakan suatu ukuran kualitatif sifat korosi pada produk minyak menurut SNI 06-7069.9-2005 dibawah kondisi suhu dan waktu yang ditentukan terhadap bilah tembaga. Hasil pengujian pada korosi bilah tembaga dicocokkan dengan ASTM copper strip corrotion standard. Nilai hasil pengujian korosi bilah tembaga terbagi atas empat tingkatan yaitu slight tarnish (peringkat 1A dan 1B), moderate tarnish (2A, 2B, 2C, 2D, dan 2E), dark tarnish (3A dan 3B), dan corrosion (4A, 4B, dan 4C) (Gambar 10b). Korosi disebabkan adanya udara atau sebagai hasil dari reaksi oksidasi. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya yaitu terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas (Rancidity) terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Kenaikan peroxyda value hanya menyebabkan terjadinya oksidasi (Belitz dan Grosch 1999). Pencegahan korosi logam dapat dilakukan dengan penambahan inhibitor korosi. Menurut Saji (2010) salah satu inhibitor korosi yang dipakai yaitu penambahan antioksidan dan zinc sulfat (ZnSO4).

19

Gambar 10 (a) Korosi bilah tembaga pelumas aktif, (b) ASTM standar warna bilah tembaga, (A) Minyak epoksidasi, (B) Minyak epoksidasi+ZnO 1%, (C) Minyak epoksidasi+ partikel chitosan 1%, (D) Minyak epoksidasi+ZnO 0,5%+ partikel chitosan 0,5%.

Uji kerusakan oksidasi menunjukkan bahwa semua formulasi pelumas yang dihasilkan memiliki ketahanan korosi golongan 1A dengan waktu pengujian selama 3 jam ± 5 menit (Gambar 10). Peringkat 1A dalam strip standar korosi menandakan slight tarnish atau sedikit ternoda oleh karat yang berarti lempeng tembaga dengan peringkat 1A belum mengalami korosi. Uji kerusakan oksidasi menunjukkan bahwa penambahan ZnO dan partikel chitosan tidak mengurangi ketahanan oksidasi dari formulasi yang dibuat. Hasil yang didapat lebih baik dari standar pelumas industri jenis anti aus (SNI 06-7069.9-2005) yaitu minimal 1B. Penelitian Yanto et al. (2013) menunjukkan penambahan berbagai anti oksidan TBHQ, BHT dari konsentrasi 0 hingga 1 tidak mempengaruhi kerusakan oksidasi dari pelumas food grade grease berbahan dasar minyak sawit dengan nilai kerusakan oksidasi sebesar 1A.

Struktur gugus fungsi kimia pelumas aktif dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektrum lubricant oil active dengan dengan bahan dasar minyak ikan pada hasil penelitian ditandai dengan munculnya gugus –CH2 pada bilangan gelombang 2925 cm-1. Hal ini sesuai dengan Zhao et al. (2014) dimana muncul gugus –CH2 pada sampel minyak yang didominasi asam oleat.

Pelumas aktif dengan penambahan partikel chitosan terdeteksi adanya gugus hidroksil (OH) yang ditandai dengan munculnya pita absorpsi pada bilangan gelombang 3400 cm-1 (Gambar 11D dan 11E). Data ini tidak jauh berbeda dengan Pherelstein et al. (2013) yang menyatakan spektra dari gugus OH pada bilangan gelombang 3420 cm-1. Semakin tinggi konsentrasi chitosan yang digunakan, ikatan O=H yang terdeteksi akan semakin kuat. El-Hefian et al. (2011) menyebutkan bahwa interaksi kimia yang terjadi antara dua material atau lebih dapat menyebabkan adanya perubahan pada puncak spektrum yang terdeteksi.

20

Gambar11 Spektra gugus fungsi pelumas aktif (A) Minyak ikan, (B) minyak epoksidasi, (C) Minyak epoksidasi + ZnO 1 %, (D) Minyak epoksidasi + partikel chitosan 1 %, (E) Minyak epoksidasi +ZnO 0,5 % + partikel chitosan 0,5 %.

Bilangan gelombang pada puncak 3550-3200 cm-1 sesuai dengan getaran peregangan -OH dan -NH2 menjadi lebih luas dan intensitas yang lebih tinggi menunjukkan beberapa interaksi antara kelompok ini dan ZnO (Gambar 11E). Tang et al. (2001) menyatakan bilangan gelombang yang muncul dalam spektrum Zn-CS di kisaran 590-560 cm-1 dapat dikaitkan dengan getaran peregangan N-Zn dan O-Zn. Perelshtein et al. (2013) menambahkan intensitas karakteristik bilangan gelombang meningkat secara signifikan dalam spektrum kompleks Zn-CS, menunjukkan bahwa C-O dan C-N kelompok terlibat dalam koordinasi Zn.

21

Tingkat Kesesuaian Pelumas Aktifdengan Standar Pelumas

Tingkat kesesuian pelumas aktif dilakukan dengan membandingkan terhadap standar pelumas industri jenis anti aus (SNI 06-7069.9-2005).

Tabel 4 Tingkat kesesuaian pelumas aktifdengan standar pelumas

Parameter Pembanding SNI 06-7069.9-2005 Pelumas aktif * Minyak mineral** Minyak Mineral + Minyak Kelapa Sawit**

Anti aus (mm) Max 0,5 1,16±0,04 0,5391 0,8952

Viscositas pada suhu 40 oC (mm2/s)

Sesuai ISO

VG 68 66,50 ± 0,35 - -

Korosi bilah

tembaga Min 1B 1A - -

* Minyak pelumas minyak ikan dengan penambahan aditif partikel chitosan dan ZnO ** Syahrullail et al. (2013)

Parameter uji anti aus dengan metode uji ASTM D4172 menghasilkan anti aus minyak pelumas sebesar 1,16±0,04 mm yang lebih besar dibandingkan standar pelumas (Tabel 4). Syahrullail et al. (2013) melaporkan perubahan scar diameter setelah penambahan minyak nabati adalah 0,8952. Hal itu menunjukan bahwa hampir semua minyak pelumas nabati belum bisa memenuhi standar. Hasil pengujian viskositas pada suhu 40oC (ASTM D2270-10) menunjukan pelumas aktif telah memenuhi standar, apalagi pada pengujian sifat korosi bilah tembaga (ASTM D130), pelumas aktif menunjukan hasil 1A yaitu lebih baik dari standar pelumas hanya sebesar 1B. Pelumas aktif yang terbuat dari epoksidasi minyak ikan dengan penambahan aditif partikel chitosan dapat dijadikan sebagai pelumas industri jenis anti aus.

Pelumas yang tersedia di pasar sebagian besar menggunakan bahan dasar minyak mineral yang berasal dari minyak bumi. Karakteristik minyak mineral umumnya tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan, karena bersifat toksik dan tidak mudah terurai/non biodegradable (Zhao et al. 2014). Cadangan minyak bumi yang tidak diketahui dan peningkatan konsumsi pelumas yang meningkat, menyebabkan perhatian terhadap alternatif pelumas dasar untuk memenuhi permintaan di masa mendatang merupakan masalah penting (Mobarak et al. 2014), untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar yang berbahan dasar minyak bumi, pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan tentang Biofuel (Peraturan Dirjen MIGAS DESDM no.3675/K/24/DJM/2006), dimana pembuatan biodiesel diperbolehkan dicampur dengan minyak solar s/d 10% (B10). Inisiatif tersebut juga diperlukan untuk pembuatan pelumas.

22

Dokumen terkait