• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi dan Pengujian Kemampuan Perombakan Dekomposer

Hasil seleksi dekomposer koleksi Prof Dr Iswandi Anas Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB yang digunakan (Tabel 4) menunjukkan indeks selulotik yang paling tinggi oleh Myrothecium sp. tetapi tidak berbeda jauh dengan

Trichoderma viride dan Aspergillus niger yang keduanya juga memiliki kekuatan perombakan selulosa yang paling tinggi yang dilihat dari kejernihan zona beningnya (Gambar 1). Dua isolat yang memiliki indeks selulotik dengan kekuatan perombakan selulosa paling tinggi kemudian dipilih untuk digunakan dalam pengujian kecepatan perombakan jerami, yaitu Trichoderma viride dan

Aspergillus niger.

Hasil penelitian Fikrinda et al. (2000) juga melaporkan kemampuan isolat menjernihkan substrat CMC tidak selalu diiringi dengan kemampuannya menjernihkan selulosa kristal. Tingginya kemampuan isolat merombak sumber karbon menyebabkan media pertumbuhan isolat menjadi jernih.

Tabel 4 Pertumbuhan dan aktivitas selulotik dekomposer

a

IS: Indeks selulotik

(a) (b) (c) (d) (e)

Gambar 1 Hasil pengujian dekomposer pada media CMC (a) Myrothecium sp., (b) Trichoderma

viride, (c) Aspergillus niger, (d) Penicillium, dan (e) dekomposer komersial

Hasil uji perombakan selulosa pada dekomposer komersial menunjukkan mikrob perombak selulosa yang tumbuh hanya bakteri (1 koloni) dan tidak menunjukkan pertambahan populasi selama diinkubasi. Selain bakteri juga terdapat fungi yang populasinya lebih banyak tetapi tidak menunjukkan aktivitas perombakan selulosa.

Dekomposer koleksi Prof Dr Iswandi Lab.Bioteknologi Tanah IPB Dekomposer komersial

Kode Isolat Jenis Spesies Diameter koloni (cm) Diameter zona bening (cm) IS Jenis Diameter koloni (cm) Diameter zona bening (cm) IS

CD 001 Fungi Myrothecium sp. 3.16 4.54 1.44 Bakteri 0.20 0.55 2.75

LD 137 Fungi Trichoderma viride

4.67 5.57 1.19 Bakteri 0.22 0.32 1.44 LD 140 Fungi Aspergillus niger 3.27 4.32 1.32 Bakteri 0.33 0.52 1.55

13

Proses Dekomposisi Bahan Organik

Perubahan Nilai C/N dan Tingkat Kemasaman (pH) Bahan Organik selama Proses Dekomposisi

Nilai C/N merupakan salah satu indikator yang menandakan berjalannya proses dekomposisi dan menunjukkan tingkat kematangan bahan organik (Smith dan Peckenpaugh 1986; Kausar et al. 2010). Selama proses dekomposisi bahan organik yang berbeda-beda terjadi perubahan total kandungan C-organik. Pupuk organik yang sudah matang memiliki nilai C/N kurang atau sama dengan 20 (Goyal et al. 2005). Atkinson et al. (1996) menambahkan bahwa perubahan C-organik disebabkan oleh hilangnya karbon sebagai karbondioksida.

Gambar 2 Penurunan nilai C/N bahan organik ( :kontrol, :dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB, : dekomposer komersial)

Pemberian dekomposer baik koleksi Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB (D1) maupun komersial (D2), dan kontrol tidak berbeda dalam percepatan proses dekomposisi bahan organik (jerami padi) karena kondisi jerami padi yang digunakan baik yang diberi perlakuan dekomposer maupun kontrol (tanpa dekomposer) sudah disimpan selama 10 hari setelah panen dan dalam keadaan lembab, sedangkan pada kontrol diduga juga terdapat mikrob dekomposer. Jerami padi sudah mengalami dekomposisi dan terlihat banyak jamur yang tumbuh pada jerami. Hal ini ditunjukkan oleh nilai C/N yang sudah rendah (26.86) (Gambar 2). Jerami padi segar memiliki nilai C/N yang tinggi seperti hasil pengukuran nilai C/N jerami padi varietas IR 64 (46.26) berlokasi di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat dan jerami padi varietas Ciherang (38.00) berlokasi di Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea. Gambar 2 juga menunjukkan mulai minggu ke-3 sampai ke-6 nilai C/N bahan organik telah mencapai < 20.

Di samping terjadinya penurunan nilai C/N, selama proses dekomposisi juga terjadi perubahan pH bahan organik, yaitu pH bahan organik selama 6 minggu sedikit bervariasi (Tabel 5). Namun, ada kecenderungan bertambahnya waktu dekomposisi baik bahan organik perlakuan D0, D1, dan D2 meningkatkan

0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 C/ N Minggu ke- D0 D1 D2

14

pH, kecuali pH bahan organik pada perlakuan D0 sedikit menurun pada minggu ke-6.

Tabel 5 Tingkat Kemasaman (pH) bahan organik

Perlakuan pH bahan organik pada minggu ke-

0 1 2 3 4 5 6

D0 7.5 7.48 7.75 7.73 7.48 7.60 7.48

D1 7.5 7.45 7.65 7.83 7.63 7.75 7.55

D2 7.5 7.38 7.60 7.60 7.45 7.58 7.65

a

D0:kontrol, D1: dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB, dan D2:dekomposer komersial

Penurunan dan peningkatan pH terjadi seperti yang telah dijelaskan Misra

et al. (2003). Allison (1973) menambahkan selama proses dekomposisi bahan tanaman terjadi suatu pelepasan asam, termasuk karbonat, nitrat, fosfat sulfat, sitrat, format, asetat, butirat. Sebagian besar adalah asam lemah yang hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah dan asam organik segera terurai menjadi karbondioksida dan air. Peningkatan pH disebabkan adanya perubahan asam organik menjadi CO2. Informasi dari Peraturan Menteri Pertanian No 70 (2011) pH ideal dalam proses dekomposisi adalah antara 4-9.

Perubahan Suhu dan Volume Bahan Organik selama Proses Dekomposisi

Hasil pengukuran suhu bahan organik selama proses dekomposisi pada Gambar 3 menunjukkan suhu setiap perlakuan mencapai nilai maksimum pada minggu pertama. Bahan organik yang diinokulasi dengan mikrob koleksi Prof Dr Iswandi Anas Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB memiliki pencapaian suhu tertinggi yaitu 44.13 °C. Bahan organik yang diinokulasi dengan dekomposer komersial memiliki pencapaian suhu tertinggi yaitu 43.63 °C sedangkan bahan organik tanpa dekomposer memiliki pencapaian suhu tertinggi sebesar 43.34 °C. Selanjutnya, mulai minggu ketiga sampai minggu keenam suhu relatif konstan pada kisaran 20-30 °C. Meskipun tetap dilakukan pembalikan hingga minggu keenam suhu pupuk organik tidak meningkat lagi. Hal ini menunjukkan aktivitas perombakan bahan pupuk organik sudah berlangsung sangat lambat sehingga energi panas yang dihasilkan tidak meningkatkan suhu bahan organik.

Hasil pengukuran suhu tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan baik perlakuan D2, D1 maupun D0 (tanpa dekomposer) berada dalam fase mesofilik. Hal ini dapat disebabkan jumlah/volume jerami yang digunakan terlalu sedikit/kecil sehingga menyebabkan panas mudah menguap. Pengaruh lainnya diduga karena cuaca lokasi penelitian yang hampir setiap hari hujan disertai angin kencang sehingga suhu lingkungan rendah. Menurut Misra et al. (2003), cuaca juga merupakan faktor yang memengaruhi proses dekomposisi. Timbunan yang lebih besar cocok untuk cuaca dingin yang bertujuan meminimalkan kehilangan panas.

15

Gambar 3 Suhu bahan organik selama 6 minggu proses dekomposisi ( : kontrol, : dekomposer koleksi Lab. Bioteknologi Tanah IPB, : dekomposer komersial)

Proses perombakan bahan organik juga menyebabkan penyusutan volume bahan organik. Penyusutan volume terjadi akibat perubahan ukuran partikel bahan organik yang semakin kecil. Semakin besar penyusutan volume bahan organik maka akan menghasilkan bahan organik yang lebih sedikit. Persen volume sisa bahan pupuk organik selama proses dekomposisi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Persen volume sisa pupuk organik setelah 6 minggu proses dekomposisi (D0:kontrol, D1: dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB, D2: dekomposer komersial)

Penyusutan volume terbesar terdapat pada perlakuan D2 sehingga menyebabkan persen sisa volume pupuk organik paling rendah sebesar 20.59% tetapi tidak jauh berbeda dengan persen volume sisa pada perlakuan D1 sebesar 21.38%, dan persen sisa volume pupuk organik pada kontrol sebesar 24.77%.

Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik

Kandungan hara pupuk organik juga mencerminkan kualitas pupuk organik. Saat proses dekomposisi berlangsung, sebagian unsur hara akan dilepaskan melalui proses mineralisasi. Komposisi bahan organik, kondisi lingkungan, sifat mikroflora maupun fauna akan menentukan kandungan hara dalam bahan organik (Allison 1973).

Hasil analisis (Tabel 6) menunjukkan kualitas ketiga pupuk organik jerami padi dari kandungan haranya tidak berbeda karena berasal dari sumber bahan organik yang sama. Berdasarkan tabel di bawah (D0) pupuk organik yang

0 10 20 30 40 50 0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 °C Hari D0 D1 D2 0 10 20 30 D0 D1 D2 V o lu me ( %)

16

dihasilkan per ton mampu menyumbangkan 19.6 kg N setara 42.6 kg Urea, 9.6 kg P setara 61 kg SP 36, 22.2 kg K setara 44.6 kg KCl, 10 kg Ca, 9 kg Mg, 2.7 kg Fe, 0.02 kg Cu, 0.06 kg Zn, dan 0.75 kg Mn.

Tabel6 Kandungan unsur hara pupuk organik setelah 6 minggu proses dekomposisi Perlakuan N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn (%) (ppm) D0 1.96 0.96 2.22 1.0 0.9 2690 20.8 65.1 751 D1 1.97 0.96 2.30 1.3 0.9 2500 21.3 71.5 703 D2 1.99 0.96 2.54 1.1 0.9 2300 21.8 84.1 699 a

D0:kontrol, D1: dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB, dan D2: dekomposer komersial

Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi

Pertumbuhan Padi

Hasil percobaan lapang menunjukkan perlakuan 50% NPK yang ditambah pupuk organik tidak berbeda terhadap 100% NPK yang berarti NPK yang diberikan pada lokasi penelitian sudah cukup 50% sedangkan NPK dengan dosis 100% adalah kelebihan. Akibatnya dalam penelitian ini pengaruh penambahan pupuk organik tidak bisa dievaluasi secara signifikan.

Pengaruh pupuk organik (Tabel 7) menunjukkan pada 4 MST, perlakuan NPK 50% + PO1 menghasilkan tinggi tanaman tertinggi, meskipun tidak berbeda dengan NPK 100% dan NPK 50% + PO2 + PB, tetapi nyata lebih tinggi daripada perlakuan NPK 50%, sedangkan pada 8 MST NPK 100% tertinggi yang tidak berbeda dengan NPK 50% + PO1, NPK 50% + PO2 + PB tetapi nyata lebih tinggi daripada perlakuan NPK 50%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik PO1 maupun (PO2 + PB) efektif dalam meningkatkan tinggi tanaman, karena dengan dosis NPK yang lebih rendah (50%) bila ditambah pupuk organik dapat meningkatkan tinggi tanaman yang relatif sama dengan perlakuan NPK 100%.

Penambahan pupuk organik menyumbangkan hara-hara makro maupun mikro yang dibutuhkan tanaman. Selain itu bahan organik juga dapat memperbaiki sifat biologi, sifat fisik, dan kimia tanah terutama KTK tanah sehingga efisiensi pemupukan menjadi meningkat (Lin et al. 1996; Rachman et al.

2008). Hasil penelitian Sutardjo (1995) menunjukkan penambahan pupuk organik cenderung meningkatkan KTK tanah antara 3.00-4.57 me/100 g.

17

Tabel 7 Pengaruh aplikasi pupuk organik terhadap pertumbuhan padi

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

b

PO1: dekomposisi jerami menggunakan dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB), PO2: dekomposisi jerami menggunakan dekomposer komersial, PB: pupuk bioorganik

Namun demikian, jumlah anakan rumpun-1 tidak nyata dipengaruhi oleh penambahan pupuk organik baik pada 4 MST maupun 8 MST. Hal ini menunjukkan penggunaan 50% NPK ditambah pupuk organik 4 ton/ha sudah dapat menyamai jumlah anakan rumpun-1 100% NPK. Pupuk organik selain menyumbangkan hara makro (NPK) juga mengandung Ca, Mg, dan unsur-unsur mikro (Tabel 6) sehingga unsur-unsur esensial yang dibutuhkan tanaman terpenuhi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksinya.

Tabel 7 juga menunjukkan bahwa perlakuan NPK 50% + PO2 + PB memiliki jumlah anakan rumpun-1 yang paling tinggi. Walaupun peningkatannya hanya sedikit (9%) dibandingkan perlakuan NPK 100%. Hal ini disebabkan pupuk bioorganik mengandung mikrob pengurai bahan organik, yaitu Azotobacter,

Azospirillum, Rhizobium, Aspergillus, dan Bacillus serta mengandung unsur hara makro dan mikro. Mikrob-mikrob tersebut mampu menambat N, melarutkan hara P, penghasil fito hormon, vitamin, asam amino sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Azotobacter, Azospirillum, dan Rhizobium

merupakan bakteri penambat N. Azotobacter dapat menghasilkan hormon Indole Acetic Acid (IAA) di daerah perakaran yang berfungsi meningkatkan biomassa akar. Sebagian genus Bacillus memiliki kemampuan untuk melarutkan P tidak larut dalam tanah menjadi larut dengan mengeluarkan asam-asam organik (Rao 1994). Azospirillum merupakan salah satu genus Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Bakteri ini mampu mensintesis hormon pemacu pertumbuhan tanaman seperti IAA, giberelin,dan sitokinin, mampu melarutkan P, dan sebagai agen pengendali hayati (Salisbury et al. 1995).

Pada fase vegetatif, beberapa rumpun tanaman padi setiap perlakuan juga terserang hama belalang dan wereng hijau (vektor penyakit tungro) sehingga daun padi berwarna kuning sampai kuning oranye, penurunan jumlah anakan dan pertumbuhan tanaman yang terhambat/memendek (Syam et al. 2007).

Perlakuan Pertumbuhan tanaman pada minggu ke-

4 8 Tinggi (cm) NPK 100% 38.99ab 72.23a NPK 50% 37.43b 63.57b NPK 50% + PO 1 39.82a 68.97a NPK50% + PO 2 + PB 39.01ab 69.04a

Jumlah anakan rumpun-1 (batang)

NPK 100% 9.65a 27.72a

NPK 50% 10.55a 25.88a

NPK 50% + PO 1 10.93a 27.77a

18

Produksi padi

Beberapa faktor yang memengaruhi potensi hasil pada tanaman padi, antara lain jumlah anakan produktif, jumlah gabah hampa, dan bobot gabah kering panen. Jumlah anakan produktif berhubungan dengan jumlah anakan rumpun-1 saat fase vegetatif. Anakan produktif adalah anakan yang menghasilkan malai. Pengaruh pemberian pupuk organik terhadap jumlah anakan produktif, bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling dan jumlah gabah hampa disajikan pada Tabel 8.

Aplikasi pupuk organik tidak nyata memengaruhi jumlah batang produktif, bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan jumlah gabah hampa. Pada Tabel 8 terlihat parameter produksi untuk perlakuan NPK 50% tidak berbeda dengan perlakuan NPK 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan NPK di lokasi percobaan cukup dengan dosis NPK 50%. Namun, pada Tabel 8 terlihat bahwa perlakuan NPK 50% + PO2 + PB memiliki jumlah batang produktif, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) yang relatif sama dengan perlakuan NPK 100% dan sedikit lebih tinggi daripada perlakuan NPK 50%. Hal ini menunjukkan pupuk organik efektif meningkatkan produksi tanaman seperti yang telah dijelaskan pada pengaruh aplikasi pupuk organik terhadap pertumbuhan padi.

Tabel 8 Pengaruh penggunaan pupuk organik terhadap produksi padi

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

b

PO1: dekomposisi jerami menggunakan dekomposer Prof Dr Iswandi Anas Lab. Bioteknologi Tanah IPB), PO2: dekomposisi jerami menggunakan dekomposer komersial, PB: pupuk bioorganik

Berdasarkan hasil analisis kandungan hara pupuk organik (N, P, K) pada Tabel 6, pupuk organik dosis 4 tonha-1 mampu menyamai suplai NPK dari dosis 50% NPK. Namun, unsur hara pupuk organik sifatnya lambat tersedia karena ketersediaan hara pupuk organik ditentukan oleh proses mineralisasinya (Mandal

et al. 2004). Pupuk organik dapat memperbaiki perkembangan perakaran tanaman, sehingga perbaikan sifat kimia dan perkembangan akar tanaman dapat meningkatkan efisiensi pupuk anorganik. Dengan demikian, meskipun dosis NPK lebih rendah (50%) pada perlakuan NPK 50% + PO2 + PB mampu menyamai pengaruh perlakuan NPK 100%. Perlakuan Jumlah anakan Produktif (batang rumpun-1) Gabah Kering Panen (tonha-1) Perbedaan produksi (%) Gabah Kering Giling (tonha-1) Perbedaan produksi (%) Gabah Hampa (%)

NPK 100% 17.83a 8.04a 100 6.63a 100 5.63a

NPK 50% 15.70a 6.29a 78 5.39a 81 4.91a

NPK 50% + PO1 16.68a 7.06a 88 5.99a 90 4.11a

19

Hasil penelitian Yigit dan Dikilitas (2008) menunjukkan aplikasi asam humik yang dihasilkan oleh perombakan bahan organik dapat meningkatkan aktivitas mikrob di dalam tanah, meningkatkan bobot dan panjang akar tanaman. Begitu juga dengan hasil penelitian Yusnaini et al (2004) menunjukkan populasi dan keragaman fungi pembentuk mikoriza dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik dan kombinasinya dengan pupuk anorganik, sehingga keberadaan fungi di dalam tanah dapat meningkatkan produksi tanaman agronomi.

Data dari Suprihatno (2007) menunjukkan bahwa potensi jumlah anakan produktif padi varietas Ciherang adalah 14 sampai 17 batang dan potensi produksi mencapai 5 sampai 8.5 tonha-1. Bobot gabah kering panen (GKP) dan bobot gabah kering giling (GKG) tidak ada perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan pemupukan baik perlakuan pupuk anorganik maupun perlakuan kombinasi pupuk anorganik dengan pupuk organik.

Peningkatan hasil tertinggi dicapai oleh perlakuan NPK 100%. Namun, jika produksi GKP perlakuan 100% NPK adalah 100% maka penggunaan NPK dengan dosis yang lebih rendah (50%) yang dikombinasikan dengan pupuk organik 4 ton/ha mampu menghasilkan produksi GKP sebasar 88% dan GKG

sebesar 90% pada perlakuan NPK 50% + PO1, sedangkan pada perlakuan NPK 50% + PO2 + PB menghasilkan produksi GKP sebesar 96% dan GKG

sebasar 97%.

Bobot GKG perlakuan NPK 100% merupakan bobot yang paling besar dibandingkan dengan semua perlakuan. Tingginya bobot gabah kering giling pada perlakuan NPK 100% berhubungan dengan data gabah kering panen yang relatif lebih tinggi. Namun, secara statistik kombinasi penggunaan NPK 50% dengan pupuk organik tidak berbeda. Hal ini menunjukkan penggunaan dosis NPK yang lebih rendah (50%) bila dikombinasi dengan pupuk organik baik PO1 maupun PO2 + PB efektif dalam meningkatkan produksi padi.

Pada fase produktif ini, tanaman padi terserang hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) yang merusak bulir ketika masa berbunga hingga matang susu sehingga gabah menjadi hampa (Syam et al. 2007).

20

Dokumen terkait