• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Rendemen

Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu proses produk atau bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan presentase perbandingan antara berat akhir dengan berat awal proses. Semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis produk tersebut, begitu pula nilai efektivitas dari produk tersebut (Amiarso 2003).

Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata rendemen tepung tulang ikan yang diperoleh berkisar antara 13,28–28,85 % (Gambar 6). Nilai rendemen ini tidak jauh berbeda dengan nilai rendemen tepung tulang ikan Elfauziah (2003) yaitu sebesar 28,96 %. Rendemen terendah diperoleh pada tepung tulang ikan A3P3, yaitu dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan rendemen tertinggi diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan lamanya autoklafing 1 jam dan perebusan sebanyak 1 kali.

Gambar 6. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap rendemen

Keterangan:

A1P1: Autoklafing 1 jam perebusan 1 kali A2P3: Autoklafing 2 jam perebusan 3 kali A1P2: Autoklafing 1 jam perebusan 2 kali A3P1: Autoklafing 3 jam perebusan 1 kali A1P3: Autoklafing 1 jam perebusan 3 kali A3P2: Autoklafing 3 jam perebusan 2 kali A2P1: Autoklafing 2 jam perebusan 1 kali A3P3: Autoklafing 3 jam perebusan 3 kali A2P2: Autoklafing 2 jam perebusan 2 kali

2 8 ,8 5 2 7 ,3 2 6 ,5 7 2 3 ,9 9 2 0 ,9 9 2 1 ,2 1 8 ,7 1 5 ,7 2 1 3 ,2 8 0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 A 1 P 1 A 1 P 2 A 1 P 3 A 2 P 1 A 2 P 2 A 2 P 3 A 3 P 1 A 3 P 2 A 3 P 3 K o mb ina si P e rla k ua n R e n d e m e n ( %

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa peningkatan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan akan cenderung menurunkan rendemen. Hal ini diduga karena semakin banyak komponen nonmineral (air, protein, dan lemak) dalam bahan akan larut dengan semakin lamanya waktu yang digunakan.

Hasil analisis ragam (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap rendemen menunjukkan bahwa perlakuan lamanya waktu autoklafing memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil rendemen, yaitu menurunkan rendemen tepung kalsium. Perlakuan frekuensi perebusan dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah rendemen yang dihasilkan.

Hasil Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap nilai rendemen (Lampiran 3) yang dilakukan menunjukkan bahwa waktu autoklafing satu jam menghasilkan nilai rendemen yang berbeda nyata dengan nilai rendemen pada perlakuan lama waktu autoklafing tiga jam, sedangkan untuk waktu autoklafing dua jam tidak berbeda nyata. Hal ini berarti antara waktu autoklafing satu jam dengan dua jam menghasilkan rendemen yang relatif sama dalam proses pembuatan tepung tulang ikan tuna. Semakin lama proses hidrolisis yang dilakukan, semakin besar kesempatan untuk melarutkan komponen nonmineral yang terdapat dalam bahan pangan sehingga akan menurunkan rendemen yang diperoleh.

Rendahnya nilai rendemen yang diperoleh juga dipengaruhi oleh adanya proses pengeringan yang dilakukan dalam proses pembuatan tepung tulang ikan. Hal lain yang menyebabkan rendahnya nilai rendemen adalah banyaknya bagian tepung yang terbuang pada saat proses pencucian setelah perendaman NaOH. Hidrolisis NaOH mempengaruhi struktur jaringan tulang menjadi rapuh dan hancur, sehingga komponen organik tulang banyak yang larut dan ikut terbuang pada saat penetralan basa dengan pencucian akuades. Menurut Murtiningrum (1997), rendemen yang tertinggi belum tentu akan menghasilkan kadar kalsium tertinggi, tetapi ditentukan juga oleh faktor-faktor lain seperti rendahnya kandungan protein dalam bahan.

4.2. Analisis Proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan pada tepung tulang ikan meliputi analisis kadar air, abu, protein dan lemak.

4.2.1. Kadar air

Jumlah kandungan air pada bahan terutama bahan-bahan hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut dari serangan mikroba (Winarno 1995). Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembangbiak dalam produk olahan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan. Batas kadar air minimal bagi mikroba untuk dapat tumbuh adalah 14-15 % (Fardiaz 1992).

Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata kadar air tepung tulang ikan yang diperoleh berkisar antara 5,60-8,30 % (Gambar 7). Kadar air terendah diperoleh pada tepung A2P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 2 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh pada tepung A1P2, yaitu perlakuan waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 2 kali.

Gambar 7. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar air

Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6

Tepung tulang ikan tuna yang dihasilkan mengandung kadar air yang lebih tinggi dari nilai tepung tulang produksi ISA 2002 dan Mulia 2004, yaitu berturut-turut sebesar 3,4 % dan 3,6 %. Perbedaan kadar air yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung dan teknik pengeringan tepung. Kadar air tepung tulang ikan tuna masih berada pada kisaran standar yang ditetapkan SNI. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3158-1992),

7,42 8,3 8,03 6,99 6,2 5,6 7,33 5,64 6,09 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A 1P 1 A 1P 2 A 1P 3 A 2P 1 A 2P 2 A 2P 3 A 3P 1 A 3P 2 A 3P 3 K o m b ina si P e rla k ua n K a d a r A ir (

tepung tulang memiliki kadar air maksimal 8 %. Produk dengan kadar air yang rendah akan mempunyai daya awet yang lebih lama.

Hasil analisis ragam (Lampiran 5) yang dilakukan terhadap kadar air menunjukkan bahwa perlakuan lamanya waktu autoklafing memberikan pengaruh nyata dalam menurunkan kadar air tepung tulang ikan. Perlakuan frekuensi perebusan dan interaksi kedua faktor menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar air (Lampiran 6) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 2 dan 3 jam menurunkan kadar air secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 1 jam, tetapi perlakuan waktu autoklafing 3 jam tidak menurunkan kadar air secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 2 jam. Hal ini berarti bahwa dalam penurunan kadar air, perlakuan waktu autoklafing 2 jam lebih baik daripada waktu autoklafing 1 jam dan 3 jam, karena menghasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dari perlakuan waktu autoklafing 1 jam dengan waktu yang lebih singkat dari perlakuan autoklafing 3 jam.

Penurunan kadar air juga disebabkan karena proses hidrolisis dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahap dimulai dari proses autoklafing, perebusan dan ekstraksi protein menggunakan larutan NaOH. Proses pemasakan dengan autoklafing menggunakan suhu dan tekanan lebih tinggi dari pada perebusan biasa. Sebagian ikan dalam proses pemanasan mengeluarkan cairan. Jumlah cairan yang dikeluarkan sangat bervariasi pada tiap-tiap jenis ikan dan dari jenis metode pemasakannya. Pembebasan air dalam proses pemasakan berbanding lurus dengan temperatur dan lamanya pemasakan (Zaitsev et al. 1969).

Hal lain yang mempengaruhi rendahnya nilai kadar air tepung kalsium tulang ikan adalah adanya proses pengeringan yang dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ikan. Proses pengeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan sinar matahari. Pengeringan dengan sinar matahari memerlukan waktu yang lama karena suhu, kelembaban udara dan kecepatan aliran udara tidak dapat diatur (Winarno dan Fardiaz 1973). Berbeda dengan proses pengeringan dengan alat pengering buatan yang lebih terkontrol dan memberikan keseragaman suhu yang sama.

4.2.2. Kadar abu

Analisis kadar abu bertujuan untuk menentukan kadar abu total dan kandungan masing-masing mineral yang terdapat dalam tepung tulang ikan. Kandungan abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik didestruksi (Sulaiman et al. 1995). Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan jumlah mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriantono et al. 1989).

Hasil pengukuran kadar abu yang diperoleh pada beberapa tingkat waktu autoklafing dan frekuensi perebusan dapat dilihat pada Gambar 8. Nilai rata-rata kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini antara 77,54-84,22 (% bb). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu yang diperoleh pada tepung tulang produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004). Kadar abu tepung tulang ikan produksi ISA 2002 hanya sebesar 33,0 %, sedangkan pada penelitian tepung tulang ikan Elfauziah (2003) dan Mulia (2004) sebesar 79,14 % dan 63,5 %. Kandungan abu yang tinggi dalam tepung tulang disebabkan karena komponen utama penyusun tulang adalah mineral. Tulang mengandung sel-sel hidup dan matriks intraseluler dalam bentuk garam mineral.

Kadar abu tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan nilai kadar abu terendah diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan 1 jam autoklafing dan perebusan sebanyak 1 kali.

Gambar 8. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar abu

Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6

7 7 .5 4 7 7 .7 8 8 1 .2 8 8 1 .2 8 1 .1 4 8 1 .1 3 7 9 .8 8 8 2 .3 6 8 4 .2 2 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 A 1 P 1 A 1 P 2 A 1 P 3 A 2 P 1 A 2 P 2 A 2 P 3 A 3 P 1 A 3 P 2 A 3 P 3 K o m b ina si p e rla k ua n K a d a r A bu ( %

Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa lama waktu autoklafing, frekuensi perebusan dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh berbeda nyata yaitu meningkatkan kadar abu tepung kalsium tulang. Tahap perebusan dan autoklafing yang dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ikan merupakan proses hidrolisis yang berfungsi untuk mengurangi dan menghilangkan kandungan protein dan bahan-bahan lain dalam tulang. Sebagaimana pernyataan Zaitsev et al. (1969) yang menyebutkan bahwa perebusan pada ikan akan menyebabkan terjadinya hidrolisis kolagen, koagulasi protein, pelepasan lemak dan air, substansi nitrogen, garam dan vitamin yang larut dalam air dari daging akibat dari koagulasi dan pembongkaran sel selama perebusan.

Hasil uji lanjut BNJ waktu autoklafing terhadap kadar abu (Lampiran 9) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 2 dan 3 jam meningkatkan kadar abu secara nyata dengan kadar abu perlakuan waktu autoklafing 1 jam, tetapi perlakuan waktu autoklafing 3 jam tidak meningkatkan kadar abu secara nyata dengan kadar air perlakuan waktu autoklafing 2 jam. Hal ini berarti bahwa dalam peningkatan kadar abu, perlakuan waktu autoklafing 2 jam lebih baik daripada waktu autoklafing 1 jam dan 3 jam, karena menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi dari perlakuan waktu autoklafing 1 jam dengan waktu yang lebih singkat (2 jam) dari perlakuan autoklafing 3 jam.

Pada uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar abu (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan peningkatan nilai kadar abu yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 kali, sedangkan perebusan 2 kali menunjukkan nilai peningkatan kadar abu yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 3 kali.

Pada uji lanjut BNJ interaksi waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar abu menunjukkan bahwa interaksi perlakuan A1P1 (waktu autoklafing 1 jam, perebusan 1 kali) dan perlakuan A1P2 (waktu autoklafing 1 jam, perebusan 2 kali) berbeda nyata dengan A3P2 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 2 kali) dan A3P3 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 3 kali), sedangkan perlakuan A3P1 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 1 kali) berbeda nyata dengan perlakuan A3P3 (waktu autoklafing 3 jam, perebusan 3 kali).

Peningkatan waktu dan frekuensi hidrolisis cenderung akan meningkatkan kadar abu. Meningkatnya kadar abu ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis yang digunakan maka kontak antara larutan pengekstrak dengan bahan akan semakin lama pula. Sehingga kesempatan untuk melarutkan komponen nonmineral dalam bahan semakin besar. Semakin rendah komponen non mineral yang terkandung dalam bahan akan semakin meningkatkan persen abu relatif terhadap bahan.

4.2.3. Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Dalam pembuatan tepung tulang ikan, kadar protein dihilangkan semaksimal mungkin dengan proses hidrolisis protein. Penghilangan protein ini dimaksudkan untuk meningkatkan kadar mineral/abu yang terkandung dalam tepung.

Nilai rata-rata kadar protein tepung tulang ikan yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 0,48-1,29 % (Gambar 9). Kadar protein tepung tulang ikan yang diperoleh sangat rendah, jauh di bawah kadar protein tepung tulang ikan produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004), yaitu berturut-turut sebesar 34,20; 16,9 dan 11,08 %. Kadar protein terendah diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali, sedangkan kadar protein tertinggi diperoleh pada tepung kalsium A1P1, yaitu perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 1 kali.

Rendahnya kadar protein yang dimiliki tepung tulang ikan dalam penelitian ini disebabkan adanya proses hidrolisis protein yang dilakukan secara berulang selama proses pembuatan tepung tulang ikan. Proses hidrolisis protein terjadi pada tahap perebusan, autoklafing dan ekstraksi dengan NaOH. Damayanthi (1994) menyatakan bahwa protein sangat peka terhadap panas dan akan mengalami perubahan struktur kimia (denaturasi) akibat adanya pemanasan.

Gambar 9. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar protein

Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6

Hasil analisis ragam kadar protein (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan memberikan pengaruh yang nyata dalam menurunkan kadar protein tepung tulang ikan. Sebaliknya interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.

Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar protein menunjukkan bahwa perlakuan waktu autoklafing 3 jam menurunkan kadar protein secara nyata dengan kadar protein pada perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam. Perlakuan waktu autoklafing 2 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan autoklafing 1 jam maupun 3 jam dalam menurunkan kadar protein tepung tulang ikan (Lampiran 13).

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ terhadap waktu autoklafing, dapat dilihat bahwa waktu autoklafing 1 jam lebih baik daripada dua perlakuan waktu autoklafing yang lain dalam menurunkan kadar protein, karena dalam waktu yang lebih singkat (1 jam) menghasilkan nilai kadar protein yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam.

Proses autoklafing menggunakan suhu dan tekanan lebih tinggi daripada proses perebusan selama proses hidrolisis. Perbedaan ini menyebabkan kerusakan protein yang ditimbulkan pada proses autoklafing lebih besar daripada proses perebusan biasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Harrow dan Mazur (1961) bahwa semakin tinggi suhu hidrolisis, semakin banyak molekul protein menjadi tidak stabil. Pemanasan yang tinggi akan mempengaruhi ikatan-ikatan kovalen

1 ,2 9 1 ,1 0 ,7 2 1 ,0 6 0 ,7 3 0 ,7 6 0 ,6 0 ,5 1 0 ,4 8 0 0 ,2 0 ,4 0 ,6 0 ,8 1 1 ,2 1 ,4 A 1 P 1 A 1 P 2 A 1 P 3 A 2 P 1 A 2 P 2 A 2 P 3 A 3 P 1 A 3 P 2 A 3 P 3 K o m b ina s i P e rla k ua n K a d a r P ro te in ( %

protein sehingga menyebabkan terjadinya degradasi pada molekul-molekul protein. Hasil degradasi dari molekul tersebut banyak menghasilkan turunan protein yang larut dalam air (Winarno 1986). Selain itu semakin tinggi suhu dan tekanan yang digunakan selama proses pemasakan akan membuat bahan baku yang digunakan semakin lunak dan hancur, ini disebabkan oleh semakin banyaknya protein yang terhidrolisis sehingga ikatan sekunder protein rapuh. Kondisi ini memudahkan protein yang tertinggal atau belum larut pada proses hidrolisis akan ikut terbuang pada saat pencucian.

Peningkatan waktu autoklafing akan menurunkan kadar protein tepung tulang ikan. Menurunnya kadar protein ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis, semakin banyak molekul protein yang terhidrolisis karena kontak antara larutan pengekstrak dengan bahan akan semakin lama pula, sehingga kesempatan untuk melarutkan komponen non mineral dalam bahan semakin besar. Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar protein (Lampiran 14) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan penurunan kadar protein yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 2 kali, sedangkan perebusan 1 kali tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 kali dalam menurunkan kadar protein. Menurunnya kadar protein pada proses perebusan disebabkan karena larutnya golongan protein yang mudah larut air ke dalam air perebusan setelah terjadinya proses koagulasi dan denaturasi beberapa protein seperti albumin dan globulin. Perebusan juga dapat melarutkan kolagen yang merupakan jenis protein jaringan pengikat dan bersifat tidak larut dalam air. Apabila kolagen tersebut dipanaskan maka akan berubah menjadi gelatin yang bersifat larut dalam air dan keluar dari tulang ikan bersama cairan (Alais dan Linden 1991).

Penggunaan NaOH pada proses pemisahan kalsium dalam penelitian ini juga merupakan bagian dari proses yang bertujuan untuk menghilangkan protein dari tepung kalsium tulang ikan. Kirk dan Othmer (1953) menyatakan bahwa protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam, alkali kuat atau enzim kuat atau enzim proteolitik dan juga pemanasan (perebusan). Sebagai larutan yang bersifat basa NaOH berpengaruh terhadap kelarutan dan tingkat hidrolisis protein. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH, dimana perubahan ini mungkin bersifat positif mungkin pula bersifat negatif.

Protein merupakan polimer alam yang tersusun dari berbagai asam amino melalui ikatan peptida. Pada suatu titik di pH tertentu yang dikenal sebagai titik isoelektrik, asam amino akan bersifat dipolar dan mempunyai muatan bersih nol. Sebagai akibatnya asam amino tersebut tidak dapat bergerak ke arah elektroda positif maupun negatif (West dan Todd 1964).

Menurut Cheftel et al. (1985), kelarutan dan hasil ekstraksi lebih tinggi pada daerah alkalin daripada daerah asam. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada jumlah gugus bermuatan positif, dengan demikian reaksi antara protein dan NaOH membentuk ester semakin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan semakin besar.

4.2.4. Kadar lemak

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia, selain itu minyak dan lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Winarno 1997). Namun untuk tepung tulang ikan, kadar lemak yang lebih rendah lebih diharapkan. Kadar lemak yang rendah membuat mutu relatif lebih stabil dan tidak mudah rusak. Kadar lemak yang tinggi dapat menyebabkan tepung mempunyai citarasa ikan (fish taste) dan menyebabkan terjadinya oxydative rancidity sebagai akibat oksidasi lemak (Almatsier 2002).

Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata kadar lemak yang diperoleh pada beberapa tingkat waktu autoklafing dan frekuensi perebusan berkisar 1,70 – 4,13 (% bb). Nilai ini berada di bawah kisaran standar kadar lemak yang ditetapkan SNI, begitu juga dengan kadar lemak yang diperoleh tepung tulang produksi ISA 2002, Elfauziah (2003) dan Mulia (2004). Standar Nasional Indonesia kadar lemak untuk tepung tulang ikan ditetapkan sebesar 3 – 6 (% bb) masing-masing untuk mutu I dan II, sedangkan kadar lemak tepung tulang ikan produksi ISA sebesar 5,6 %, Elfauziah sebesar 9,78 % dan Mulia sebesar 1,4 %.

Rata-rata kadar lemak tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada tepung A1P1 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 1 jam dan perebusan 1 kali, sedangkan kadar lemak terendah diperoleh pada tepung A3P3 dengan perlakuan lama waktu autoklafing 3 jam dan perebusan 3 kali.

Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat adanya kecenderungan penurunan kadar lemak seiring dengan bertambahnya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan. Selama proses pembuatan tepung terjadi beberapa tahap pemanasan dimulai dari pemasakan pendahuluan, pemasakan dengan autoklaf dan perebusan tulang setelah proses autoklafing. Pemanasan dan perebusan akan mempengaruhi kandungan lemak dalam bahan dan mengurangi lemak yang berlebihan. Dogerskog (1977) diacu dalam Nurhayati (1994) menyatakan bahwa selama proses perebusan atau pengolahan, bahan makanan terpengaruh dalam banyak hal termasuk perubahan protein, lemak dan karbohidrat yang dapat menyebabkan perubahan baik positif maupun negatif terhadap kualitas dan status gizinya.

Gambar 10. Histogram hubungan lamanya waktu autoklafing dan frekuensi perebusan terhadap kadar lemak

Keterangan: Simbol-simbol A1P1, A1P2, A1P3, A2P1, A2P2, A2P3, A3P1, A3P2, A3P3 pada sumbu x merujuk keterangan pada Gambar 6

Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap kadar lemak (Lampiran 16) menunjukkan bahwa perlakuan lama waktu autoklafing dan frekuensi perebusan memberikan pengaruh yang nyata dalam menurunkan kadar lemak tepung tulang ikan, sedangkan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Penggunaan suhu dan tekanan tinggi dalam proses pemasakan dengan autoklafing dan perebusan diduga merupakan penyebab terjadinya penurunan kadar lemak pada tepung tulang ikan. Sebagaimana yang dinyatakan Winarno (1986) bahwa pemanasan pada suhu tinggi akan mempercepat gerakan-gerakan molekul lemak sehingga jarak antara molekul menjadi besar, dengan demikian akan memudahkan pengeluaran lemak dari bahan.

4 ,1 3 4 ,1 2 3 ,8 7 3 ,8 4 3 ,1 1 3 ,0 5 2 ,9 9 3 ,2 2 1 ,7 0 0 ,5 1 1 ,5 2 2 ,5 3 3 ,5 4 4 ,5 A 1 P 1 A 1 P 2 A 1 P 3 A 2 P 1 A 2 P 2 A 2 P 3 A 3 P 1 A 3 P 2 A 3 P 3 K o m b ina si P e rla k ua n K a d a r L e m a k ( %

Perubahan kimia yang terjadi dalam molekul lemak akibat pemanasan tergantung dari empat faktor, yaitu: (1) lamanya pemanasan, (2) suhu, (3) adanya akselerator, misalnya oksigen atau hasil-hasil proses oksidasi, dan (4) komposisi campuran asam lemak serta posisi asam lemak yang terikat dalam molekul trigliserida. Waktu pemanasan merupakan salah satu parameter penting dalam mempengaruhi penurunan kadar lemak. Semakin lama waktu autoklafing yang digunakan maka nilai kadar lemak semakin menurun. Hal ini disebabkan karena molekul lemak yang terhidrolisis dan keluar dari tulang ikan akan semakin banyak, sehingga kandungan lemak dalam bahan semakin rendah (Ketaren 1986).

Uji lanjut BNJ lamanya waktu autoklafing terhadap kadar lemak (Lampiran 17) menunjukkan bahwa waktu autoklafing 3 jam menurunkan kadar lemak secara nyata dibandingkan kadar lemak perlakuan waktu autoklafing 1 jam, sedangkan perlakuan waktu autoklafing 2 jam memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap penurunan kadar lemak dengan perlakuan waktu autoklafing 1 dan 3 jam. Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat dilihat bahwa waktu autoklafing 1 jam lebih baik daripada dua perlakuan waktu autoklafing yang lain dalam menurunkan kadar lemak, karena dalam waktu yang lebih singkat (1 jam) menghasilkan nilai kadar lemak yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan waktu autoklafing 2 jam, sedangkan antara waktu autoklafing 2 jam dan 3 jam memiliki nilai penurunan lemak yang tidak berbeda nyata. Pemanasan dengan autoklafing disamping berperan dalam proses pengeluaran lemak dari tulang ikan juga bertujuan untuk mengempukkan tekstur tulang.

Uji lanjut BNJ frekuensi perebusan terhadap kadar lemak (Lampiran 18) menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 3 kali menghasilkan penurunan kadar lemak yang berbeda nyata dengan perlakuan perebusan 1 dan 2 kali, sedangkan perebusan 1 kali tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 kali dalam menurunkan kadar lemak. Menurut Tanikawa 1971 diacu dalam Murtiningrum 1997, perebusan bertujuan untuk menghentikan kegiatan enzim dan mengurangi kadar lemak dari suatu bahan.

Proses perebusan dalam pembuatan tepung tulang ikan tuna menyebabkan terjadinya pembebasan lemak dan air dari tulang ikan. Besarnya lemak yang

dibebaskan berbanding lurus dengan temperatur dan lamanya perebusan yang digunakan (Zaitsev et al. 1969).

Disamping lemak sederhana berupa trigliserida dari asam lemak, daging ikan juga mengandung lemak kompleks berupa fosfatid (fosfolipid) dan sterol. Lemak jenis ini dapat terhidrolisis apabila dipanaskan dalam larutan alkali (Merindol 1969). Larutan NaOH yang digunakan dalam penelitian ini juga berperan dalam menurunkan kadar lemak pada tepung tulang ikan. Reaksi antara NaOH dengan lemak terjadi karena dalam larutan alkali gliserida akan mengalami hidrolisis menghasilkan gliserol dan garam logam alkali dari asam lemak berantai

Dokumen terkait