• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Curah Hujan di DAS Ciliwung

Secara geografis, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak pada 6º 5’51”-6º 6’1 ”LS dan 106º 7’ 9”-1 7º ’ ”BT. Secara administratif, DAS Ciliwung berbatasan dengan DAS Cisadane di sebelah barat dan sebelah timur berbatasan dengan DAS Citarum. DAS Ciliwung terbagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, tengah dan hilir dengan masing-masing stasiun pengamatan di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan.

Tipe iklim DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah menurut sistem klasifikasi Koppen adalah Af dengan kondisi selalu basah (curah hujan tiap bulan > 60 mm). Gambar 4 menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah tahun 1998-2011 menurut hasil pengukuran BPSDA Ciliwung Cisadane dan analisis citra TRMM.

(a) (b)

Gambar 4 Curah hujan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah tahun 1998-2011 (a) Sumber: BPSDA Ciliwung- Cisadane; (b) Sumber: Analisis citra TRMM.

Analisis curah hujan bulanan di DAS Ciliwung menurut hasil pengukuran BPSDA Ciliwung Cisadane menunjukkan pola hujan di wilayah tersebut tergolong tipe monsunal (Gambar 4a). Pola hujan dengan tipe monsunal memiliki satu puncak musim hujan yaitu bulan Februari. Adapun curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1998-2011 pada stasiun pengamat bagian hulu DAS Ciliwung yang diwakili oleh Bendung Katulampa dan Gunung Mas adalah 4043 mm dan 3918 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan di Depok (bagian tengah DAS Ciliwung) yaitu 2054 mm.

Analisis citra satelit TRMM tahun 1998-2011 di tiga stasiun pengamatan DAS Ciliwung juga menunjukkan pola curah hujan yang tergolong dalam tipe monsunal (Gambar 4b). Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1998-2011 pada stasiun pengamat Gunung Mas, Bendung Katulampa dan Depok secara berurutan yaitu 2538 mm, 2428 mm, dan 2036 mm.

Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan estimasi satelit TRMM berada di bawah curah hujan observasi atau mengalami underestimate. Hal ini

12

berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sasmito (2011) dimana terjadi overestimate antara data curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi yang diperoleh dari analisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari satelit MTSAT-1R dan laju hujan dari satelit TRMM. Mamenun (2013) berpendapat, wilayah dengan pola hujan monsunal dan equatorial memiliki intensitas hujan overestimate pada musim hujan dan mendekati data observasi pada musim kemarau. Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate. Namun, Gunawan (2008) menyebutkan bahwa pengukuran curah hujan melalui satelit tidak dapat mencapai kondisi ekstrim seperti yang terukur di permukaan. Hal ini disebabkan pengukuran curah hujan secara remote sensing dilakukan tidak secara langsung terhadap air hujan yang terukur oleh penakar curah hujan seperti di permukaan, tetapi menggunakan suatu gelombang yang dikonversi ke dalam satuan curah hujan.

Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) menyebabkan terjadi keragaman penerimaan curah hujan di Indonesia. ENSO sangat berpengaruh besar di wilayah dengan tipe hujan monsunal, kecil di wilayah equatorial dan tidak jelas di wilayah lokal.

Kondisi ENSO baik pada fase hangat (El Nino) maupun dingin (La Nina) dapat ditentukan berdasarkan kondisi ONI (Oceanic Nino Index). Fase hangat terjadi apabila anomali suhu permukaan laut (ASPL) selama lima bulan berturut-turut sebesar +0.5, sedangkan fase dingin terjadi jika ASPL sebesar -0.5. Lebih lanjut, GGWeather (2013) membagi fase hangat dan dingin ke dalam 3 kelas yaitu lemah (ASPL 0.5-0.9), moderat (ASPL 1-1.4) dan kuat (ASPL lebih dari 1.5). Tanda positif (+) menunjukkan fase hangat/ El Nino dan negatif (-) menunjukkan fase dingin/ La Nina.

Pada penelitian ini, analisis curah hujan dilakukan pada tahun 2002, 2007 dan 2012. Berdasarkan kondisi ONI, tahun 2002 tergolong ke dalam kategori El Nino. Sedangkan tahun 2007 dan 2012 tergolong dalam tahun La Nina. Jumlah curah hujan rata-rata di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 secara berurutan yaitu 2349 mm, 2589 mm, dan 2664 mm.

Analisis Korelasi Curah Hujan Observasi dengan Curah Hujan TRMM

Analisis korelasi antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan data observasi di tiga stasiun pengamatan DAS Ciliwung untuk melihat keeratan hubungan diantara kedua variabel tersebut. Adapun stasiun pengamat curah hujan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari sub-DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah yaitu Gunung Mas, Bendung Katulampa dan Depok dengan panjang data curah hujan bulanan dari tahun 1998 hingga 2011. Hasil korelasi di tiga stasiun pengamatan menunjukkan rata-rata korelasi yang baik yaitu 0.77 dengan besar korelasi tiap stasiun pengamatan berada diatas 0.70.

13 Tabel 2 Nilai korelasi di 3 stasiun pengamatan DAS Ciliwung

Stasiun Pengamatan Lokasi Koordinat Korelasi

Lintang Bujur

Gunung Mas 06° 42 ' 34 " 106° 58 ' 03 " 0.80 Bendung Katulampa 06° 38 ' 00 " 106° 50 ' 07 " 0.79 Depok 06° 24 ' 19 '' 106° 45 ' 32 '' 0.71

Rata-rata 0.77

Jika dilihat dari hasil regresi linier sederhana antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan curah hujan observasi di tiga stasiun pengamatan tersebut, nilai koefisien determinasi atau R-squared pada masing-masing stasiun diatas 0.5 (Gambar 5). Angka ini menginterpretasikan bahwa lebih dari 50% keragaman curah hujan TRMM merepresentasikan keragaman curah hujan observasi.

(a) (b)

(c)

Gambar 5 Hubungan curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c).

Analisis pola time series antara data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi di 3 stasiun pengamatan (Gambar 6) menunjukkan bahwa curah hujan TRMM mengikuti pola curah hujan observasi di 3 stasiun pengamatan tersebut. Berdasarkan tiga pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa curah hujan estimasi satelit TRMM dapat mewakili curah hujan observasi dan dapat

14

digunakan sebagai pelengkap database curah hujan dari suatu wilayah apabila wilayah tersebut tidak terdapat pos pengukuran hujan.

(a)

(b)

(c)

Gambar 6 Pola time series curah hujan observasi dan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c).

15

Analisis Penggunaan dan Perubahan Lahan di DAS Ciliwung

Jenis penggunaan lahan di DAS Ciliwung mengacu pada penggolongan penggunaan lahan yang dilakukan oleh BPDAS Ciliwung Cisadane. Hasil penggolongan penggunaan lahan di DAS Ciliwung berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat terdiri dari badan air, semak/ belukar, hutan, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, rumput/ tanah kosong, sawah, dan ladang/ tegalan. Pada tahap klasifikasi, kelas perkebunan dan kebun campuran dipisahkan. Kebun campuran merupakan lahan pertanian yang umumnya ditanami tanaman tahunan (sayuran dan pangan) dan yang diselingi oleh bambu atau pohon-pohon dimana lokasi kebun ini tidak jauh dari halaman rumah. Sedangkan perkebunan merupa-kan lahan yang ditanami oleh tanaman monokultur seperti teh dan kelapa sawit.

Tabel 3 Penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012

Penggunaan Lahan 1994 2002 2007 2012

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

Badan Air 76.8 0.2 77.6 0.2 125.9 0.3 93.6 0.2 Semak/Belukar 453.2 1.2 186.8 0.5 872.9 2.3 1008.9 2.6 Hutan 5265.5 13.7 4888.3 12.8 4451.9 11.6 4251.6 11.1 Kebun Campuran 3810.2 9.9 3604.1 9.4 5370.9 14.0 6751.5 17.6 Perkebunan 2638.4 6.9 2049.8 5.3 2606.2 6.8 2874.6 7.5 Pemukiman 8168.4 21.3 11886.1 31.0 12946.7 33.8 14947.2 39.0 Rumput/Tanah Kosong 128.0 0.3 123.2 0.3 299.1 0.8 258.8 0.7 Sawah 16271.4 42.4 13381.5 34.9 10620.1 27.7 7147.5 18.6 Ladang/Tegalan 1526.4 4.0 2140.7 5.6 1044.5 2.7 1004.5 2.6 Total 38338.2 100 38338.2 100 38338.2 100 38338.2 100

Tabel 3 menunjukkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1994 dan 2002 masih didominasi oleh lahan sawah yaitu sebesar 42.4 dan 34.9%. Sedangkan tahun 2007 dan 2012, penggunaan lahan di DAS Ciliwung telah didominasi oleh lahan pemukiman yaitu sebesar 33.8 dan 39.0%. Adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan kebutuhan lahan seperti pemukiman, perkebunan dan kebun campuran terus meningkat. Hal ini menyebabkan penurunan luas penggunaan lahan baik lahan sawah, hutan, maupun ladang/tegalan. Namun, luas lahan badan air di tahun 2007 mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar terjadi kesalahan dalam proses klasifikasi citra dimana sebagian dari lahan sawah teridentifikasi sebagai badan air.

Analisis citra Landsat dari tahun 1994 hingga 2012 menunjukkan bahwa lahan sawah mengalami penurunan luas lahan terbesar yaitu 9123.8 ha, sedangkan pemukiman mengalami peningkatan luas lahan terbesar selama periode tahun tersebut yaitu 6778.8 ha (Tabel 4). Peningkatan luas lahan pemukiman sangat besar terjadi di DAS Ciliwung bagian tengah dan hilir (terlampir). Hal ini dikarenakan wilayah DAS bagian tengah dan hilir seperti Depok dan Jakarta merupakan wilayah pusat pemerintahan di Indonesia sehingga kebutuhan penggunaan lahan di wilayah tersebut sangat tinggi.

16

Tabel 4 Perubahan luas penggunaan lahan di DAS Ciliwung

Penggunaan Lahan Perubahan Luas Lahan (ha)

1994-2002 2002-2007 2007-2012 1994-2012 Badan Air 0.8 48.3 -32.3 16.8 Semak/Belukar -266.4 686.1 136.0 555.7 Hutan -377.2 -436.4 -200.3 -1013.9 Kebun Campuran -206.0 1766.8 1380.6 2941.4 Perkebunan -588.6 556.4 268.4 236.2 Pemukiman 3717.7 1060.6 2000.5 6778.8 Rumput/Tanah Kosong -4.8 175.9 -40.3 130.8 Sawah -2889.9 -2761.4 -3472.6 -9123.8 Ladang/Tegalan 614.3 -1096.2 -40.1 -521.9

Ket : (-) menunjukkan penurunan luas penggunaan lahan (ha)

Analisis Pengaruh Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Pemukaan di DAS Ciliwung

Kelompok Hidrologi Tanah (KHT)

Berdasarkan tingkat infiltrasi minimum, kelompok hidrologi tanah DAS Ciliwung didominasi oleh KHT D dimana potensi aliran permukaan tinggi dan permeabilitas rendah di wilayah ini. Sedangkan KHT di DAS Ciliwung bagian hulu terutama wilayah pegunungan dengan kemiringan lereng yang tinggi (41-60%) tergolong ke dalam KHT C. Berdasarkan tingkat infiltrasi minimum, KHT C mampu menginfiltrasikan air 1-4 mm/jam. Sedangkan KHT D hanya mampu menginfiltrasikan air 0-1 mm/jam. Rendahnya kemampuan tanah dalam menyerap air pada KHT D menyebabkan perlunya kewaspadaan yang dapat menimbulkan terjadinya genangan/banjir di wilayah tersebut saat hujan dengan intensitas tinggi.

17

Aliran Permukaan dan Koefisien Aliran Permukaan

Analisis aliran permukaan di DAS Ciliwung dilakukan menggunakan metode SCS (Soil Conservation Services) dengan mempertimbangkan faktor perubahan kondisi lahan serta curah hujan terhadap perubahan aliran permukaan. Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan multitemporal satelit Tropical Rainfall Meassuring Mission (TRMM) tahun 2002, 2007, dan 2012. Peta penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra Landsat pada tahun yang sama.

Analisis trend aliran permukaan pada puncak musim hujan (Februari) di DAS Ciliwung selama tiga tahun pengamatan menunjukkan nilai yang berfluktuatif. Gambar 8 merupakan distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 pada bulan Februari. Analisis SCS yang dilakukan di tahun 2002 menunjukkan bahwa wilayah hulu DAS Ciliwung yang mendapat curah hujan kisaran 401-500 mm menghasilkan aliran permukaan sebesar 301-400 mm. Sedangkan wilayah hilir DAS dengan besar curah hujan kisaran 451- >500 mm menghasilkan aliran permukaan 401-500 mm. Jika dibandingkan tahun 2002, tahun 2007 memperoleh curah hujan yang hampir merata di seluruh bagian DAS yaitu kisaran 451- >500 mm. Namun aliran permukaan yang dihasilkan di hulu DAS lebih besar dibandingkan di hilir DAS. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2012 dimana wilayah hulu DAS dengan curah hujan tinggi menghasilkan aliran permukaan yang tinggi pula.

Tingginya aliran permukaan tidak tergambar karena adanya pengaruh distribusi curah hujan yang tidak merata di setiap sub-DAS. Curah hujan yang tinggi akan menghasilkan aliran permukaan tinggi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu untuk menstandarisasi besarnya curah hujan yang terjadi, maka dilakukan analisis koefisien aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan (C) merupakan nisbah antara besarnya aliran permukaan terhadap besarnya curah hujan (Asdak 2002). Nilai C berkisar antara 0-1 dan menunjukkan kondisi fisik suatu DAS. Semakin besar nilai C maka kondisi fisik DAS tersebut semakin terganggu sehingga semakin banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan.

Analisis koefisien aliran permukaan yang dilakukan pada bulan Februari di tiga tahun pengamatan tersebut menunjukkan bahwa nilai C terendah terdapat di wilayah hulu DAS dengan tipe kelompok hidrologi tanah (KHT) C. Wilayah hulu DAS Ciliwung terdiri dari 2 tipe KHT, yaitu KHT C dan KHT D. Tipe KHT C memiliki laju infiltrasi minimum yang lebih besar dibandingkan KHT D yaitu 1-4 mm/jam. Oleh sebab itu curah hujan yang jatuh akan lebih banyak diserap tanah dengan tipe KHT C. Analisis citra yang dilakukan menunjukkan wilayah hulu DAS Ciliwung pada tipe KHT C merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sehingga didominasi oleh tegakan hutan yang akan memperkecil aliran permukaan. Adapun besar nilai C pada wilayah hulu DAS dengan tipe KHT C pada tahun 2002, 2007 dan 2012 secara berurutan adalah 0.71-0.80; 0.81-0.90; dan 0.71-0.80. Wilayah tengah dan hilir DAS pada tiga tahun pengamatan memiliki nilai C tertinggi yaitu kisaran 0.81- >0.9. Angka C yang tinggi dikarenakan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut didominasi oleh lahan pemukiman dan tanaman pertanian kering sehingga potensi terjadinya aliran permukaan tinggi akibat kapasitas resapan air yang rendah.

18

Koefisien aliran permukaan yang tinggi pada puncak musim hujan tahun 2002, 2007 dan 2012 menunjukkan potensi terjadinya banjir di wilayah hilir DAS Ciliwung sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan kondisi sesungguhnya dimana terjadi banjir besar pada bulan Februari tahun 2002 dan 2007 di wilayah Jakarta dan sekitarnya akibat tingginya curah hujan dan meluapnya debit air di DAS Ciliwung.

(a) (b) (c)

(a) (b) (c)

(a) (b) (c)

Gambar 8 Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran per-mukaan DAS Ciliwung di puncak musim hujan (Februari) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c).

19 Analisis aliran permukaan di DAS Ciliwung pada puncak musim kemarau tidak terlihat jelas dari layout yang dihasilkan karena besar aliran permukaan dan curah hujan di DAS tersebut di bawah 50 mm (Gambar 9). Namun jika dilihat dari distribusi koefisien aliran permukaan pada tiga tahun pengamatan menunjukkan nilai yang lebih berfluktuatif. Rendahnya aliran permukaan yang dilihat dari koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung pada puncak musim kemarau menyebabkan potensi terjadinya kekeringan sangat tinggi, pada bulan Agustus.

(a) (b) (c)

(a) (b) (c)

(a) (b) (c)

Gambar 9 Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung di puncak musim kemarau (Agustus) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c).

20

Tabel 5 menunjukkan besar aliran permukaan terhadap curah hujan dan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung dari tahun 2002, 2007 dan 2012 yaitu 0.58; 0.66; dan 0.72. Peningkatan nilai C menggambarkan kondisi fisik di DAS Ciliwung semakin terganggu. Salah satu faktor penyebab semakin meningkatnya nilai C yaitu adanya aktivitas perubahan penggunaan lahan sehingga mengurangi kapasitas resapan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan aliran permukaan sehingga potensi terjadinya banjir akan lebih besar.

Tabel 5 Koefisien aliran permukaan rata-rata (C) di DAS Ciliwung

Bulan Q (mm) P (mm) C 2002 2007 2012 2002 2007 2012 2002 2007 2012 Jan 635 210 357 689 259 408 0.92 0.81 0.88 Feb 421 552 278 474 606 328 0.89 0.91 0.85 Mar 241 201 153 291 251 199 0.83 0.80 0.77 Apr 156 210 214 204 259 262 0.76 0.81 0.82 May 73 87 74 115 130 114 0.63 0.67 0.65 Jun 19 76 27 49 118 59 0.39 0.64 0.46 Jul 110 9 2 155 31 4 0.71 0.29 0.50 Aug 2 10 2 17 36 5 0.12 0.28 0.40 Sep 3 15 357 17 43 408 0.18 0.35 0.88 Oct 1 118 87 11 164 129 0.09 0.72 0.67 Nov 129 148 267 175 195 316 0.74 0.76 0.84 Dec 107 444 381 152 497 432 0.70 0.89 0.88 Mean 0.58 0.66 0.72

Ket: Q = aliran permukaan; P = curah hujan; C= koefisien aliran permukaan Adanya penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS sebesar 1.7% disertai dengan peningkatan luas pemukiman dan kebun/perkebunan di wilayah tengah dan hilir DAS sebesar 17.7% dan 10.4% dari tahun 2002-2012 menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan dengan besar peningkatan koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan dari tahun 2002-2012 sebesar 24%. Penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS menyebabkan kemampuan tanah dan vegetasi dalam menyerap (infiltrasi dan intersepsi) hujan yang jatuh di wilayah tersebut menjadi berkurang sehingga banyak hujan yang menjadi aliran permukaan. Begitu juga dengan peningkatan luas pemukiman di wilayah tengah dan hilir DAS dan peningkatan luas kebun/perkebunan menyebabkan semakin besar potensi aliran permukaan di DAS Ciliwung. Suwargana (2010) menyebutkan bahwa banjir yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung disebabkan oleh kondisi run-off yang cukup tinggi terutama di daerah tutupan lahan pemukiman dan perkebunan. Perkebunan memiliki laju aliran permukaan tinggi karena tanaman teh meskipun memiliki daun yang rindang namun dibawahnya tidak ditumbuhi semak sehingga akar-akar tanaman tersebut tidak dapat menahan air dalam tanah saat terjadi hujan.

Tabel 6 menunjukkan potensi aliran permukaan tertinggi terdapat di wilayah pemukiman/ non vegetasi dan terendah di wilayah hutan. Wilayah hulu DAS Ciliwung yang didominasi oleh tegakan hutan memiliki kapasitas infiltrasi yang

21 tinggi sehingga air hujan akan sedikit mengalami aliran permukaan. Sedangkan wilayah hilir yang didominasi oleh pemukiman/lahan terbangun memiliki kapasitas infiltrasi yang rendah karena tanah tertutup semen/ bahan bangunan sehingga wilayah tersebut menjadi wilayah kedap air dan ketika hujan jatuh akan menyebabkan air hujan banyak menjadi aliran permukaan. Adanya penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran permukaan sebesar 0.16 dari tahun 2002 hingga 2012. Begitu juga dengan peningkatan luas pemukiman dari tahun 2002-2012 menyebabkan peningkatan nilai C sebesar 0.17. Hasil perhitungan nilai koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 2002 masih berada dalam kisaran nilai C hasil perhitungan Suwargana (2010), kecuali untuk lahan pemukiman yang berada diatas kisaran nilai C perhitungan sebelumnya. Peningkatan luas pemukiman dan perkebunan memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung, hal ini ditunjukkan oleh angka C untuk perkebunan dan pemukiman tahun 2012 yaitu 0.70 dan 0.74.

Tabel 6 Koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan di DAS Ciliwung

Penggunaan Lahan C perhitungan C*

2002 2007 2012 2002 Hutan 0.46 0.53 0.64 0.40-0.50 Semak 0.54 0.58 0.67 Perkebunan 0.52 0.63 0.70 0.50-0.60 Sawah 0.58 0.67 0.69 0.40-0.60 Kb Campur 0.57 0.64 0.68 Tegalan 0.58 0.67 0.69 0.40-0.60 Rumput 0.54 0.57 0.66 Pemukiman 0.67 0.74 0.74 0.50-0.65

Ket: * merupakan hasil perhitungan Suwargana (2010)

Aliran permukaan yang dilihat dari koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung di 3 tahun pengamatan selain disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan, namun juga disebabkan adanya peningkatan dan penurunan curah hujan akibat fenomena ENSO. Berdasarkan Oceanic Nino Index (ONI), tahun 2002 termasuk ke dalam fase El Nino, sedangkan tahun 2007 dan 2012 termasuk ke dalam fase La Nina. Curah hujan yang tinggi tahun 2002 karena adanya gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Maden-Julian Oscillation (MJO). Tahun 2002 tergolong ke dalam fase aktif MJO dimana fenomena ini terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudera Hindia bagian timur dan Samudera Pasifik di bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan ini yang menyebabkan tingginya intensitas hujan di Indonesia sehingga menyebabkan banjir di Jakarta tahun 2002 (Lestari 2009).

Tingginya aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 menyebabkan potensi terjadinya banjir di wilayah hilir DAS sangat tinggi. Banjir merupakan suatu kondisi dimana sungai tidak dapat menampung kelebihan debit akibat tingginya curah hujan yang menjadi aliran permukaan. Berikut ini adalah

22

grafik hubungan antara total volume aliran permukaan dengan debit total di stasiun pengamatan Bendung Katulampa pada tahun 2002 dan 2007.

(a) (b)

Gambar 10 Hubungan antara aliran permukaan dengan debit total di stasiun Bendung Katulampa tahun 2002 (a) dan 2007 (b).

Gambar 10 menunjukkan adanya hubungan/korelasi yang baik antara volume aliran permukaan dengan total debit aliran di stasiun pengamatan Bendung Katulampa pada tahun 2002 dan 2007. Hal ini dilihat dari nilai koefisien determinasi (R-squared) antara dua variabel di kedua tahun tersebut yaitu 66.7 dan 88.7%. Semakin tinggi volume aliran permukaan maka semakin besar total debit aliran yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan BPSDA Ciliwung-Cisadane, total debit aliran tertinggi pada tahun 2002 dan 2007 terjadi pada bulan Februari yaitu 124 juta m3 dan 142 juta m3. Sedangkan hasil perhitungan volume aliran permukaan menggunakan metode SCS di stasiun Bendung Katulampa menunjukkan volume aliran permukaan tertinggi tahun 2002 dan 2007 juga terjadi pada kisaran bulan Januari dan Februari yaitu sebesar 87 juta m3 dan 91 juta m3. Volume aliran permukaan dihasilkan dari perhitungan besar aliran permukaan di Bendung Katulampa dengan menggunakan metode SCS dan dikalikan dengan luas DAS Ciliwung hulu yaitu sebesar 146 km2. Tingginya volume aliran permukaan dan total debit aliran di stasiun Bendung Katulampa pada bulan Januari dan Februari di kedua tahun pengamatan menunjukkan potensi terjadinya banjir juga tinggi di wilayah hilir DAS. Hal ini sesuai dengan kondisi sebenarnya bahwa terjadi banjir di Jakarta pada Januari dan Februari tahun 2002 dan 2007 dimana peristiwa ini tergolong ke dalam peristiwa banjir besar di Jakarta dan merupakan banjir siklus lima tahunan.

23

Dokumen terkait