• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suhu

Hasil penelitian pemanfaatan tenaga surya sebagai penggerak pompa air DC pada tanaman hidroponik dengan pengukuran secara langsung pada bulan Mei sampai Agustus 2018 yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Suhu rata-rata pada bulan Mei - Agustus 2018 Pukul

Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan intensitas cahaya matahari adalah temperaturudara. Tingkat suhu dapat mempengaruhi kinerja dari fotovoltaik. Idealnya fotovoltaik bekerja pada temperatur standar 250C. Seiring dengan meningkatnya suhu maka efisiensi kerja juga akan menurun, di Tabel 1 dapat dilihat suhu rata-rata pada waktu penelitian berkisar 280 – 330C, yang pada umumnya suhu rata-rata Indonesia menurut Prima (2015) berkisar 250 – 350C.

Suhu tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan rata-rata 31,70C dan selama pengukuran pada pukul 09.00 – 15.00 WIB diperoleh suhu berkisar 300 – 330C yang di mana suhu tertinggi terjadi pukul 12.00 – 13.00 WIB dengan hasil pengukuran 330C dan kondisi lingkungan yang cerah. Kota Medan memiliki suhu minimum berkisar 23,0 – 24,1 0C dan maksimum 30,6 – 33,1 0C (Utomo, 2009).

29 Intensitas cahaya matahari

Intensitas cahaya matahari pada pukul 09.00 – 15.00 WIB mengalami perubahan setiap jam. Pengambilan data secara langsung dimulai pada bulan Mei sampai Agustus 2018,untuk intensitas cahaya matahari rata-rata dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Intensitas cahaya matahari rata-rata pada bulan Mei - Agustus 2018 Pukul

Intensitas Cahaya Matahari

Rataan

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa intensitas cahaya matahari yang tertinggi dimulai dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Intensitas cahaya matahari tertinggi diperoleh pada bulan Juni dengan total intensitas cahaya matahari sebesar 3241,02W/m2 dimana pada pukul 13.00 WIB merupakan intensitas tertinggi yaitu 541,28W/m2 dengan suhu 330C yang dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan intensitas cahaya matahari terendah diperoleh pada bulan Mei sebesar 184,94W/m2 pada pukul 09.00 WIB dengan suhu 270C.

Intensitas cahaya matahari pada bulan Mei – Juni 2018 cukup berbeda dengan tahun 2017, di mana pada Tabel 2 di bulan Juni tahun 2018 intensitas sebesar 3241,02W/m2 dengan suhu rata-rata 31,70C, dan di tahun 2017 sebesar 2471,4 W/m2 dengan suhu rata-rata 28,3 0C, untuk data rata-rata intensitas cahaya

30 bulan Mei-Juni 2017 dapat dilihat padaLampiran 7, maka dapat diketahui bahwa intensitas cahaya matahari dan suhu semakin meningkat setiap tahun.

Menurut Prima (2015) perbedaan intensitas cahaya matahari setiap bulandisebabkan posisi matahari yang tidak berada di atas garis katulistiwa dan kondisi lingkungan yang memiliki banyak polusi dan asap sehingga dapat menghalangi cahaya matahari. Efek rumah kacaatau naiknya suhu bumi karena meningkatnya kandungan karbon dioksida di atas atmosferyang bersifat lokal merupakan penyebab berkurangnya pancaran intensitas cahaya matahari serta saat posisi matahari berada di atas garis katulistiwa yang terjadi di bulan Juni.

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 intensitas cahaya matahari semakin tinggi apabila suhu tinggi. Rata-rata intensitascahaya matahari dan suhu selama 7 jam pada bulan Mei - Agustus 2018 disajikan pada Gambar 1, yang menunjukkan bahwa perubahansuhuhingga 330C dengan peningkatan intensitas cahaya matahari hingga541,28 W/m2. Intensitas cahaya matahari tertinggi di bulan Juni, dan terendah di bulan Mei berkisar 184,94 - 541,28 W/m2 pada suhu 270 – 330C.

Sutomo dan Waluyo (2012) menyatakan bahwa pada umumnya Indonesia tergolong sedang untuk penerimaan intensitas cahaya matahari yaitu berkisar 10%

- 51% dari 1000W/m2 energi matahari.

Intensitas cahaya matahari (W/m2)

Suhu (0C)

Bulan Mei Bulan Juni Bulan Juli Bulan Agustus

Gambar 1. Hubungan suhu dengan intensitas cahaya matahari pada bulan Mei

31 Daya listrik

Daya listrik fotovoltaik dengan pengukuran secara langsung (aktual) dan perhitungan secara teori (teoritis) dari bulan Mei sampai denganAgustus 2018 untuk daya listrik rata-rata yang dihasilkan oleh fotovoltaik polycrystaline(F1) dan fotovoltaik monocrystaline(F2)dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Daya rata-ratafotovoltaik(F1) bulan Mei – Agustus 2018 Pukul

Daya Aktual F1 Daya Teoritis F1

Mei Tabel 4. Daya rata-ratafotovoltaik(F2)bulan Mei – Agustus 2018

Pukul

Daya Aktual F2 Daya Teoritis F2

Mei dengan pemakaian fotovoltaik polycrystalline(F1) diperoleh daya aktual28,17 W dan daya teoritis 70,63 W, untuk fotovoltaik monocrystalline(F2) daya aktual sebesar 32,82 W dengan daya teoritis 71,40 W. Daya keluaran fotovoltaik dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, di mana pada Tabel 2 intensitas

32 cahaya matahari tertinggi terjadi pada bulan Juni sebesar 2672,07 W/m2. Daya teoritis yang dihasilkan lebih besar daripada daya aktual dari setiap perlakuan (F1) dan (F2)karena dalam perhitungan daya secara teoritis hanya menghitung daya keluaran berdasarkan tegangan dan kuat arus yang terdapat pada spesifikasi fotovoltaik.

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa daya listrik aktual tertinggi yang dihasilkan oleh fotovoltaik polycrystalline (F1) sebesar 5,42 Wattdi bulan Agustuspukul 13.00 WIB, untuk contoh perhitungan daya dapat dilihat pada Lampiran 8. Intensitas cahaya matahari pada pukul 13.00 WIB berdasarkan Tabel 2di bulan Juni merupakan intensitas tertinggi dengan suhu 330C, akan tetapi daya yang dihasilkan lebih rendah daripada di bulan Agustus yang disebabkan pengaruh suhu dan intensitas yang semakin tinggi akan menyebabkan permukaan fotovoltaik menjadi panas sehingga akan mengurangi kemampuan sel-sel surya untuk mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik di mana fotovoltaik dapat berfungsi secara optimal pada kondisi standar yaitu intensitas cahaya matahari 1000 W/m2 dan suhu 250C(Pebriningtyas dkk., 2013).

Daya listrik aktual tertinggi pada Tabel 4 yang dihasilkan oleh fotovoltaik monocrystalline (F2) terjadi di bulan Agustus pukul 13.00 WIB yaitu 6,66 Watt, di mana daya yang dihasilkan oleh (F1) dan (F2) berdasarkan Tabel 3 dan 4 memiliki perbedaan daya yang disebabkan karena proses pembuatan tiap fotovoltaik,untuk pembuatan fotovoltaik polycrystalline (F1) dengan cara pengecoran silikon, sehingga struktur kristal di dalamnya menjadi acak dan tidak berikatan. Fotovoltaik monocrystalline (F2) dibuat dengan pengirisan silkon sehingga kondisi struktural silikon yang seragam sangat ideal untuk pergerakan

33 elektron sehingga daya keluaran relatif lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur

Khair dan Rosma (2018) yang menyatakan bahwa (F2) lebih baik daripada (F1) karena efek proses pembuatanyang berbeda dan kemurnian material, serta faktor luar meliputi intensitas matahari dan temperatur sel.

Berdasarkan Tabel 3 pompa air DC dengan daya 3,6 Watt per jam dapat bergerak secara optimal untuk pemakaian fotovoltaik polycrystalline (F1) dimulai pada pukul 11.00 – 14.00 WIB, sedangkan fotovoltaik monocrystalline (F2) pada pukul 11.00 – 15.00 WIB. Daya yang diperoleh berbeda setiap jam seiring dengan perubahan intensitas matahari yang semakin tinggi seperti pada Tabel 2.

Pebriningtyas dkk. (2013) menyatakan bahwa daya maksimum keluaran dari fotovoltaik mengikuti keadaan yang berubah-ubah dan daya listrik juga mengalami penurunan sampai 0,5%/0C.

Energi listrik

Berdasarkan hasil penelitian mengenai energilistrik yang yang dihasilkan oleh fotovoltaikpolycrystalline(F1) dan fotovoltaik monocrystalline (F2)pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus 2018 dengan rata-rata energi listrik per hari (Wh) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata energi listrik harianfotovoltaik pada bulan Mei – Agustus 2018 Bulan

Energi listrik F1 Energi listrik F2 Aktual dari fotovoltaik polycrystalline (F1) adalah 194,81 Whdengan energi teoritis

34 401,04 Wh. Energi listrik aktual terbesar diperoleh di bulan Juni yaitu 196,7 Whdengan energi teoritis 229,74 Wh, di mana intensitas cahaya matahari yang tertinggi pada Tabel 2 adalah bulan Juni yaitu 2672,07 W/m2. Semakin besar intensitas cahaya matahari yang diterima oleh fotovoltaik maka energi yang dihasilkan juga tinggi karena silikon berperan sebagai isolator pada temperatur rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan panas.

Rata-rata energi listrik aktual yang dihasilkan dari fotovoltaik monocrystalline (F2) pada Tabel 5 adalah 224,75 Whdengan energi teoritis 401,04 Wh. Energi listrik aktual terbesar dihasilkan di bulan Juni yaitu 229,74 Whdengan energi listrik teoritis sebesar 457,17 Wh. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa energi yang dihasilkan oleh (F1) lebih rendah daripada (F2). Hal ini disebabkan daya yang dihasilkan oleh (F1) juga rendah seperti pada Tabel 3, maka untuk pemakaian fotovoltaik jenis monocrystalline lebih unggul daripada jenis polycrystalline.

Pemakaian setiap pompa air DC dengan kebutuhan energi listrik 25,2 Watt per hari pada Lampiran 2, untuk fotovoltaik jenis polycrystalline (F1)pada Tabel 5 dapat menghasilkan energi listrik rata-rata setiap hari yaitu194,81 Wh per hari, dan untuk fotovoltaikjenis monocrystaline(F2) menghasilkan energi listrik rata-rata sebesar 224,75 Whper hari. Energi listrik yang dibutuhkan setiap pompa air DCselama 7 jam operasi maka sudah tercapai dengan demikian energi listrik yang tidak terpakai sebesar 169,61 Whdari F1 dan 199,55 Wh untuk F2.

Debit air

Hasil data debit awal dan debit akhir pada pemberian air tanaman sistem hidroponik dengan pompa air DC yang dapat dilihatpada Tabel 6 dan 7.

35 Tabel 6. Debit pada bulan Mei - Juni 2018

Jenis Tabel 7. Debit pada bulan Juli - Agustus 2018

Jenis

Dari Tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa debit awal rata-rata yang diberikan sama untuk setiap perlakuanselama 20 hari tetapi nilai debit tertinggi di bulan Juli – Agustus dengan debit rata-rata 4,16 x 10-7m3/dtk untuk (F1) dan3,97 x 10

-7m3/dtk (F2). Debit terendah terjadi pada bulan Mei – Juni 2018di mana pompa air DC dapat mengangkat air rata-rata sebesar 3,73 x 10-7m3/dtk(F1)dan(F2) yaitu 3,68 x 10-7m3/dtk dengan total head0,30m.Head rata-rata yang diperlukan untuk mengangkat air adalah 0,30 m, ketinggian maksimal pompa air DCpadaLampiran 4 yaitu 3 m maka sudah mencukupi kebutuhan head.

Perbedaandebit pada bulan Mei –Junidengan bulan Juli – Agustus 2018 karena pengaruh intensitas cahaya mataharidi Tabel 2, dan daya keluaran fotovoltaik pada Tabel 3 dan 4 tertinggi jatuh di bulan Juni, sehingga menyebabkan pompa air DC mengalami pemanasan yang mengakibatkan kerja alat berkurang, di manapompa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengangkat air. Ariawan dkk. (2013) menyatakan bahwa debit mengalami penurunan karena dipengaruhi pompa air yang mengalami penurunan kinerja diakibatkan pemanasan pada pompa.

36 Berdasarkan Tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa daya aktual pada pukul 09.00-10.00 WIB sangat rendah, sehingga pompa air DC tidak dapat beroperasi secara optimal,di manaair yang didorong oleh pompa tidak dapat mencapai pada ketinggian pipa yaitu 1 m. Pemakaian fotovoltaik polycrystalline (F1) pompa air DC dapat berfungsi dimulai pada pukul 11.00 – 14.00 WIB. Sedangkan dengan fotovoltaik monocrystalline (F2) pada pukul 11.00 – 15.00 WIB. Melihat dari daya yang dihasilkan fotovoltaik untuk menggerakkan pompa air DC dan debit rata-rata dari setiap bulan, maka lebih baik menggunakan fotovoltaik monocrystalline (F2), hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan tanaman kangkung pada setiap bulan.

Berdasarkan hasil pengukuran debit, untuk debit akhir yang semakin kecil seperti pada Tabel 6 dan 7,disebabkan karena tanaman hidroponik kangkung mengalami perkembangan perakaranhingga dapat memenuhi talang hidroponik sampaipada fase akhir (20 hari). Nawarisa (2017) dalam penelitian mengenai pengairan hidroponik menyatakan bahwa debit aliran air pada talang yang melewati setiap intlet akan terhalang oleh perakaran tanaman sehingga debit akhir akan lebih kecil daripada debit awal, dan dipengaruhi juga oleh kebutuhan air tanaman yang semakin meningkat setiap waktu.

Pertumbuhan tanaman

Hasil penelitian mengenai pertumbuhan tanaman hidroponik kangkungpada pemanfaatan tenaga surya sebagai penggerak pompa air DC yang terdiri dari pengamatan jumlah daun, lebar daun dan tinggi tanaman kangkung selama 20 hari stelah tanam (HST) dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4 di bawah ini:

37

Gambar 3. Grafik pertumbuhan lebar daun tanaman kangkungselama 20 hari setelah tanam (HST)

Gambar4.Grafik pertumbuhan tinggi tanaman kangkung selama 20 hari setelah tanam (HST) Gambar 2. Grafik pertumbuhan jumlah daun tanaman kangkung selama 20 hari

setelah tanam (HST)

38

Berdasarkan Gambar 2pola grafik menunjukan perbedaan pertambahan jumlah daun pada tanaman kangkung pada fotovoltaik polycrystaline(F1) dan fotovoltaik monocrystaline (F2) pada bulan Mei memiliki helai daun lebih banyak daripada bulan Juli. Hasil perhitungan rata-rata jumlah daun dapat dilihat pada Lampiran 14.Pada Gambar 3pola grafik menunjukan perbedaan antara lebar daun tanaman kangkung pada setiap perlakuan. Lebar daun tertinggisebesar 1,6 cm pada bulan Mei jenis fotovoltaik monocrystaline(F2). Berdasarkan Gambar 4 pola grafik dari setiap perlakuan menunjukan perbedaan antara tanaman kangkung dengan perlakuan (F1) dan (F2). Data pertumbuhan tanaman kangkung dapat dilihat pada Lampiran 14.

Dari Gambar 2, 3 dan 4 dapat dilihat bahwa untuk setiap perlakuan(F1) dan (F2) dengan volume larutan 13130 ml yang terdiri dari 13 liter air dan larutan nutrisi ABmix sebanyak 130 ml pada bulan yang sama memiliki rata-rata jumlah daun, lebar daun, dan tinggi tanaman yang sama, hal ini dikarenakan tiap perlakuan diberikan larutan yang sama, meskipun perbedaan yang terjadi pada bulan Mei yang cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan Juli, karena intensitas cahaya matahari tertinggi berdasarkan Tabel 2 adalah bulan Juni.

Tanaman hidroponik kangkung yang sudah dipanenpadabulan Mei hingga Juni 2018 dan bulan Juli hingga Agustus 2018 dengan hasil rata-rata untuk tinggi tanaman berkisar 25-30 cm, lebar daun berkisar 1,2-1,6 cm, dan jumlah daun 12-18 helai. Tanaman kangkung pada dasarnya dapat dipanen saat usia 20 HST, Margono (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk ketinggian batang tanaman kangkung untuk dipanen berkisar 20-25 cm, dan helai daun berkisar 5-20 helai dengan lebar daun 1-3 cm.

39 Efisiensi fotovoltaik

Dari hasil penelitian mengenai pemanfaatan tenaga surya sebagai penggerak pompa air DC pada tanaman hidroponikefisiensi yang dihasilkan oleh fotovoltaik jenis polycrystaline(F1) dan fotovoltaik monocrystaline(F2)rata-rata efisiensi di bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus 2018 dengan pengukuran secara langsung (aktual) dan perhitungan secara teori (teoritis)yang diperoleh untuk setiap bulan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata efisiensi aktual dan teoritis bulan Mei - Agustus 2018 Bulan

Efisiensi F1 Efisiensi F2

Aktual

Efisiensi tertinggi untuk pemakaian fotovoltaik polycrystaline(F1) berdasarkan Tabel 8 adalah 7,57% pada bulan Mei, dan efisiensi terendah pada bulan Agustus yaitu 5,77%, efisiensi teoritis F1tertinggi terjadi di bulan Juli yaitu 15,01%. Fotovoltaik monocrystaline(F2) berdasarkan Tabel 8, efisiensi tertinggi pada bulan Mei yaitu 8,14%, dan terendah di bulan Juli dengan efisiensi 6,30%

dengan efisiensi teoritis tertinggi 14,15% pada bulan Juni dan terendah 13,06%

pada bulan Agustus, perhitungan efisiensi dapat dilihat pada Lampiran 13.

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa efisiensi aktual tertinggi dengan menggunakan fotovoltaik monocrystaline(F2)dengan efisiensi8,14%, dan fotovoltaik polycrystalline (F1) adalah 7,57%, maka dapat disimpulkan bahwa (F2) lebih baik daripada (F1), menurut Khair dan Rosma (2018) penggunaan panel surya jenis monocrystaline lebih baik dibandingkan jenis

40 polycrystalline.Efisiensi untuk fotovoltaik polycrystalline pada umumnya berkisar 13-18% dan 15-20% untuk fotovoltaik monocrystalline.

Fotovoltaik polycrystalline (F1) memiliki efisiensi lebih rendah daripada fotovoltaik monocrystalline(F2) karena sangat rentan terhadap suhu yang tinggi, di mana berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa suhu rata-rata pada setiap bulan yaitu 280 – 330C, sehingga efisiensi fotovoltaik jenis polycrystalline(F1) akan menurun ketika suhu semakin tinggi. Efisiensi dari fotovoltaik dapat dicapai dengan cara metode pendinginan untuk fotovoltaik di mana penyemprotan air terusmenerus dilakukan pada permukaan panel dan sirkulasicairan di bagian belakang fotovoltaik (Pebriningtyas dkk., 2013).

Faktor lain yang mempengaruhi nilai efisiensi adalah penentuan sudut yang sesuai yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Panel surya yang di letakkan pada tiang penyangga statis dengan sudut pemasangan 150dan kurangnya serapan sinar matahari pada waktu pengujian, sehingga berdampak pada hasil keluaran daya sel surya sehingga efisiensi aktual lebih rendah daripada efisiensi teoritis, menurut Wijayanti (2012)perbedaan tempat dan pemasangan sudut dapat mempengaruhi penerimaan cahaya matahari.

41

Dokumen terkait