• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selulosa Mikrobial

Selulosa mikrobial merupakan selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme dengan mempolimerisasikan gula yang terkandung di dalam media tumbuh mikroorganisme tersebut. Selulosa mikrobial memiliki rumus kimia yang sama dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan yaitu (C6H10O5)n, namun memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda. Selulosa mikrobial memiliki kemurnian yang relatif tinggi dibandingkan dengan selulosa dari tanaman serta memiliki derajat polimerisasi dan indeks kristalitas yang tinggi. Selain itu selulosa bakteri juga memiliki kekuatan tarik dan kapasitas serap air yang lebih tinggi dibanding selulosa tanaman. Derajat polimerisasi selulosa bakteri berkisar antara 2000 dan 6000 (Bielecki et al. 2003). Selulosa tanaman yang telah melalui proses pemurnian memiliki derajat polimerisasi antara 500-2100 (Klug 1964). Derajat polimerisasi yang tinggi menghasilkan derivat selulosa (dalam penelitian ini ialah CMC) dengan viskositas larutan yang tinggi. Selulosa mikrobial dihasilkan dalam bentuk lembaran yang disebut dengan nata.

Selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini merupakan selulosa yang berasal dari nata de cassava. Nata de cassava dihasilkan dari air limbah pengolahan singkong menjadi tepung tapioka. Air limbah tepung tapioka mengandung karbon dalam bentuk pati sebesar 0.29%, karbohidrat 2.5% dan glukosa sebesar 0.185 mg/l serta nitrogen sebagai nutrisi untuk bakteri

12

Acetobacter xylinum (Misgiyarta 2011). Proses perebusan air limbah berfungsi untuk menghidrolisis karbohidrat dan pati menjadi gula-gula sederhana untuk memudahkan pengkonversian gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Substrat cair ditambahkan gula pasir sebagai karbon tambahan serta urea sebagai sumber nitrogen tambahan bagi bakteri. pH merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik pada media asam berkisar 4.4-5.5. Penambahan asam asetat pada substrat cair dimaksudkan untuk mencapai kondisi tersebut. Proses inkubasi dilakukan di dalam wadah yang steril dengan diberi penutup kertas koran atau kain kasa steril. Inkubasi terjadi dalam kondisi aerob dimana oksigen dapat masuk melalui pori-pori kertas koran yang digunakan. Setelah proses inkubasi selama delapan hari nata de cassava siap untuk dipanen.

Nata de cassava yang digunakan memiliki ketebalan 0.9-1.2 cm dengan tingkat keasaman air dari nata de cassava sebesar 5.8. Kadar air yang dimiliki

nata de cassava adalah sebesar 98.122 % dengan standar deviasi sebesar 0.534 sehingga selulosa kering yang didapat hanya sekitar 1.878% dari berat basah nata. Selulosa kering didapatkan melalui dua tahap proses, yaitu proses pengepresan dan proses pengeringan. Sebelum dilakukan proses pembuatan selulosa kering, bahan baku nata terlebih dahulu dibersihkan dari zat-zat pengotor seperti gula dan protein yang dihasilkan oleh bakteri dengan direndam dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) 1% sehingga tidak terjadi browning setelah dilakukan pengeringan. Setelah dilakukan perendaman dengan NaOH perlu dilakukan penetralan menggunakan larutan asam asetat 1%. Hal ini dimaksudkan agar selulosa mikrobial yang digunakan dalam kondisi netral sehingga tidak mengganggu proses kimia selanjutnya. Menurut Boisset et al. (1999) perendaman dengan konsentrasi NaOH ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur selulosa. Penghilangan NaOH dan asam asetat yang masih tersisa dilakukan dengan cara pencucian menggunakan air berulang kali.

Proses pengepresan dilakukan dengan tujuan agar proses pengeringan yang akan dilakukan dapat lebih efektif. Pengeringan dilakukan menggunakan dua cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan menggunakan green house. Pengeringan menggunakan green house dilakukan untuk menghindari resiko akibat faktor cuaca. Lembaran selulosa kering yang dihasilkan berwarna putih kecoklatan. Setelah kering, lembaran selulosa tersebut diperkecil ukurannya hingga berbentuk bubuk dengan ukuran kurang lebih 60 mesh menggunakan

hammer mill. Pengecilan ukuran ini bertujuan agar proses karboksimetilasi yang dilakukan dapat terjadi secara merata. Hasil uji proksimat selulosa mikrobial bubuk dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Kadar serat sebesar 59.429 % menunjukkan jumlah serat berupa selulosa yang dapat dikonversi menjadi produk turunan selulosa seperti karboksimetil

Tabel 2 Analisis proksimat selulosa mikrobial bubuk nata de cassava

Parameter Nilai % (berat kering) Kadar air 9.6015 ± 0.1214 Kadar lemak 4.0597 ± 1.1767 Serat kasar 59.429 ± 1.316

13 selulosa. Nilai tersebut sesuai dengan hasil Collado (1987) dan Moat (1988) yang mengatakan kandungan selulosa yang dihasilkan Acetobacter xylinum sebesar 35-62 % bobot kering. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan lain dalam selulosa mikrobial kering sebagai zat pengotor seperti lemak, protein, dan lainnya. Berdasarkan perhitungan bobot basah, kadar serat dari nata de cassava yang digunakan adalah sebesar 1.116 %. Menurut Balai Penelitian Tanaman Palma (2010) nata de coco memiliki kadar lemak sebesar 0.2% dan kadar serat kasar 1.05%. Kadar serat nata de cassava yang didapat sesuai dengan kadar serat yang dimiliki oleh nata de coco.

Proses Karboksimetilasi

Eter selulosa merupakan salah satu produk turunan dari selulosa. Eter selulosa dihasilkan dengan mereaksikan alkyl halogenides atau allyl halogenides

atau alkene oxides dengan alkali selulosa. Salah satu produk eter selulosa adalah karboksimetil selulosa. Karboksimetil selulosa dihasilkan dari proses eterifikasi alkali selulosa dengan asam monokloroasetat. Tahap awal pembuatan karboksimetil selulosa adalah proses alkalisasi yang akan menghasilkan alkali selulosa. Sebelum selulosa direaksikan dengan larutan natrium hidroksida, terlebih dahulu selulosa direndam dengan pelarut isopropanol untuk meningkatkan efisiensi reaksi yang diinginkan. Proses karboksimetilasi dapat dilakukan dalam aqueos system ataupun alcohol system. Terdapat beberapa alasan penggunaan alkohol sebagai pelarut dalam proses antara lain selulosa lebih terdispersi, adanya pertukaran panas, mengurangi reaksi kinetik dan meningkatkan recovery produk. Penggunaan alkohol mengakibatkan adanya kompetisi gugus hidroksil selulosa dengan alkohol. Untuk meminimalisir gugus hidroksil alkohol bereaksi dengan asam monokloroasetat digunakan isopropanol sebagai pelarut (Bergh 2011). Isopropanol memiliki polaritas yang lebih rendah dibanding air, hal tersebut membuat polaritas dari larutan menjadi menurun. dan efisiensi reaksi metilasi meningkat (Heydarzadeh et al. 2009). Proses alkalisasi pada penelitian ini menggunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 30%, 35%, dan 40% (b/v). Dalam larutan natrium hidroksida, polimer selulosa akan mengalami proses pembengkakan yang menjadikan polimer selulosa lebih mudah terdifusi oleh bahan kimia. Proses pembengkakan pada selulosa terjadi karena putusnya ikatan hidrogen intramolekul maupun intermolekul sehingga struktur kristal dari selulosa berubah dimana komposisi bagian kristalin dan amorf dari selulosa berubah. Selain itu, gugus hidroksil pada selulosa juga lebih reaktif karena terionisasi oleh ion alkali yaitu Na+ membentuk ion alkoksida RO-. Selama tahap alkalisasi terlihat selulosa membengkak dan kemudian membentuk suatu larutan kental berwarna coklat muda. Proses selanjutnya adalah eterifikasi antara alkali selulosa dengan asam monokloroasetat atau sodium monokloroasetat. Berikut ini reaksi kimia sintesis karboksimetil selulosa atau dikenal dengan

14

Reaksi pembentukan alkali selulosa merupakan reaksi endotermik, sedangkan reaksi eterifikasi di atas merupakan rekasi eksotermik yang menghasilkan energi 41.5 kkal/mol (Heydarzadeh et al. 2009).

Secara teoritis terdapat tiga gugus hidroksil dalam setiap unit molekul anhidroglukosa yang dapat ditukarkan dengan gugus karboksil. Perbandingan mol selulosa : mol NaOH : mol asam monokloroasetat (MCA) berdasarkan perhitungan stokiometri adalah 1 : 3 : 3. Berdasarkan perhitungan stokiometri diperlukan natrium hidroksida sebanyak 4.074 g dan asam monokloroasetat sebanyak 9.625 g untuk bahan baku selulosa sebesar 5.5 g. Dalam pembuatan karboksimetil selulosa menurut Geyer et al. (1994) digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) 30% sebanyak 40 ml atau sama dengan NaOH sebesar 12 g dan asam monokloroasetat (MCA) sebanyak 18 g untuk 5.5 g selulosa. Perbandingan mol selulosa : mol NaOH : mol MCA untuk formulasi tersebut adalah 1 : 8.84 : 5.61. Salmi (2010) melakukan sintesis karboksimetil selulosa menggunakan selulosa yang berasal dari birch hardwood dengan perbandingan mol selulosa : mol NaOH : mol MCA sebesar 1 : 8 : 4. Perbandingan mol berdasarkan formulasi Geyer et al. (1994) dan Salmi (2010) lebih besar dari perbandingan mol berdasarkan perhitungan stokiometri. Hal ini dimaksudkan agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal karena adanya reaksi yang menghasilkan produk yang tidak diinginkan. Produk yang tidak diinginkan berupa sodium klorida dan sodium glikolat. Sodium glikolat dihasilkan dari proses hidrolisis sodium monokloroasetat oleh natrium hidroksida. Proses tersebut dapat berlangsung hingga mengkonsumsi sodium monokloroasetat sebesar 30% dari penggunaan (Klemm et al. 1998) seperti disitasi oleh (Bergh 2011). Berikut ini adalah reaksi pembentukan sodium glikolat sebagai hasil samping pembentukan

karboksimetil selulosa.

Berdasarkan nilai viskositas, CMC yang dibuat dengan formulasi berdasarkan Geyer et al. (1994) belum cukup maksimal, karena nilai viskositas yang dihasilkan masih rendah dan terdapat endapan dalam larutan. Penggunaan NaOH 30% belum cukup optimal untuk membuat alkali selulosa yang reaktif dengan asam monokloroasetat. Menurut Kentjana (1998) seperti disitasi oleh Wijayani (2005) bertambahnya jumlah alkali yang digunakan akan mengakibatkan naiknya jumlah garam monokloroasetat yang terlarut, sehingga mempermudah dan mempercepat difusi garam monokloroasetat ke dalam pusat reaksi yaitu gugus hidroksi. Konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan dalam reaksi alkalisasi ditingkatkan sebesar 35% dan 40% untuk melihat konsentrasi optimal yang diperlukan bagi pembentukan karboksimetil selulosa. Alkalisasi :

[C6H7O2(OH)3]n + 3 NaOH  [C6H7O2(ONa)3]n + 3 H2O (1) Selulosa Alkali selulosa

Eterifikasi :

[C6H7O2(ONa)3]n + 3 ClCH2COONa  [C6H7O2(OCH2COONa)3]n + 3 NaCl (2) Alkali selulosa MCA Karboksimetil selulosa

ClCH2COONa + NaOH  HOCH2COONa + NaCl Sodium glikolat Sodium klorida

15

Gambar di atas ini merupakan karboksimetil selulosa yang disintesis menggunakan selulosa mikrobial nata de cassava yang dihasilkan melalui tahap alkalisasi dan eterifikasi.

Karakterisasi Karboksimetil Selulosa Derajat Substitusi

Derajat substitusi (ds) merupakan nilai rata rata dari gugus karboksil yang bertukar dengan gugus hidroksil yang ada di setiap unit monomer anhidroglukosa. Uji derajat substitusi dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa karboksil yang ada dalam setiap monomer selulosa. Derajat substitusi menggambarkan kualitas CMC yang dihasilkan. Gugus karboksimetil berperan sebagai gugus hidrofilik yang dapat meningkatkan kemampuan karboksimetil selulosa untuk imobilisasi air di dalam sistem larutan. Secara teoritis ds maksimum adalah sebesar 3. Nilai derajat substitusi dari CMC maksimal mencapai 1.5 yang diperbolehkan EU legislation. Biasanya nilai ds yang diaplikasikan untuk bahan pangan berkisar 0.6-0.95. Derajat substitusi yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 4 Karboksimetil selulosa nata de cassava

Gambar 5 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap derajat substitusi 0.5448 0.9613 1.0848 0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 1.2000 30 35 40 De raj at S u b st it u si Konsentrasi NaOH (%) Derajat Substitusi

16

Grafik di atas sesuai dengan teori Ott and Spurlin (1995) seperti disitasi oleh Wijayani (2005) bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan maka derajat substitusi yang dimiliki CMC semakin besar. Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan membuat proses eterifikasi menjadi lebih baik karena alkali selulosa yang terbentuk memiliki reaktifitas yang semakin tinggi sebanding dengan tingginya konsentrasi NaOH yang digunakan. Hasil analisis keragaman derajat substitusi pada lampiran 10 dan uji post hoc menggunakan metode Bonferroni pada lampiran 12 menunjukkan bahwa konsentrasi natrium hidroksida berpengaruh terhadap derajat substitusi karboksimetil selulosa. Nilai derajat substitusi yang dimiliki CMC (NaOH 40%) bernilai lebih dari satu yaitu sebesar 1.0848. Menurut Kulicke et al. (1996) seperti disitasi oleh Awalludin (2004) larutan CMC dengan derajat substitusi 0.4-1 menunjukkan kekentalan larutan yang semakin meningkat dengan meningkatnya derajat substitusi. Akan tetapi derajat substitusi yang lebih besar dari satu memperlihatkan penurunan nilai kekentalan dengan naiknya derajat substitusi. Hasil dari pengukuran viskositas menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap CMC (NaOH 40%). Penurunan nilai viskositas dipengaruhi oleh kemurnian CMC. Penurunan tingkat kemurnian karboksimetil selulosa dapat disebabkan oleh adanya zat-zat pengotor yang dihasilkan dari hasil samping proses karboksimetilasi. Karboksimetil selulosa yang dihasilkan dengan memiliki nilai derajat substitusi lebih dari satu akan memiliki kemurnian yang lebih rendah dibandingkan CMC yang derajat substitusinya kurang dari satu. Berdasarkan nilai derajat substitusi yang didapatkan, persentase asam monokloroasetat yang tersubstitusi dapat diketahui. Jumlah asam monokloroasetat yang tersubstitusi sebesar 18.16%, 32.043%, dan 36.16% dari jumlah yang digunakan yaitu sebesar 18 g pada masing-masing konsentrasi NaOH 30%, 35%, dan 40%. Hasil persentase ini menunjukkan adanya sejumlah asam monokloroasetat yang tidak bereaksi dengan alkali selulosa. Asam monokloroasetat yang tidak bereaksi dengan alkali selulosa akan membentuk hasil samping berupa sodium glikolat dan sodium klorida. Nilai persentase ini merupakan jumlah asam monokloroasetat dan natrium hidroksida yang ikut bereaksi selama proses sintesis karboksimetil selulosa. Jumlah asam monokloroasetat dan natrium hidroksida yang ikut bereaksi berdasarkan nilai persentase derajat substitusi adalah sebesar 3.2688 g, 5.7677g, dan 6.5088 g untuk penggunaan konsentrasi NaOH 30%, 35%, dan 40%. Natrium hidroksida yang tidak ikut bereaksi dengan selulosa sebesar 8.7312 g, 8.2323 g, dan 9.412 g untuk masing-masing konsentrasi NaOH 30%, 35%, dan 40%.

pH larutan CMC 1%

Karboksimetil selulosa (CMC) yang baik memiliki nilai pH netral. Berdasarkan SNI 06-3736-1995, nilai pH larutan CMC yang memenuhi syarat adalah 6-8.5. pH larutan berpengaruh pada viskositas larutan. Larutan yang memiliki pH asam akan menurunkan nilai viskositas, sedangkan pH larutan yang terlalu basa juga dapat menurunkan viskositas larutan. Berikut adalah grafik pH larutan karboksimetil selulosa pada penelitian ini.

17

Analisis keragaman pH larutan pada lampiran 14 menunjukkan konsentrasi natrium hidroksida 30-40% tidak berpengaruh terhadap pH larutan. Nilai pH larutan sampel CMC pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan jumlah NaOH yang tidak ikut bereaksi dengan selulosa. Dari grafik di atas diketahui nilai pH rata-rata terbesar dimiliki oleh larutan CMC (NaOH 40%). Nilai pH tersebut dapat dipengaruhi oleh NaOH yang tidak bereaksi dengan selulosa. Penggunaan natrium hidroksida dengan konsentrasi 35% pada proses alkalisasi, menghasilkan jumlah NaOH yang tidak ikut bereaksi paling kecil dibandingkan penggunaan konsentrasi NaOH 30% dan 40%. Hal ini menunjukan bahwa proses alkalisasi yang baik terjadi pada konsentrasi 35% dimana NaOH yang tidak ikut bereaksi lebih sedikit dan menghasilkan derajat substitusi yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan konsentrasi NaOH 30%. Penggunaan NaOH yang lebih tinggi dari 35% akan menghasilkan jumlah NaOH yang tidak bereaksi dengan selulosa lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi kemurnian.

Kadar Karboksimetil Selulosa

Kemurnian dari karboksimetil selulosa memperlihatkan efisiensi dari proses yang dilakukan. Berdasarkan data yang didapat, kemurnian CMC (NaOH 30%) memiliki nilai yang paling tinggi. Nilai tersebut menggambarkan jumlah CMC yang terbentuk cukup besar. Berikut adalah grafik kadar kemurnian dari karboksimetil selulosa yang dihasilkan.

Gambar 6 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap pH larutan karboksimetil selulosa 1 % 8.23 7.97 8.33 7.40 7.60 7.80 8.00 8.20 8.40 8.60 8.80 30 35 40 pH Konsentrasi NaOH (%) pH

18

Hasil analisis keragaman kadar karboksimetil selulosa pada lampiran 28 menunjukkan bahwa konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) berpengaruh terhadap kadar karboksimetil selulosa atau kemurnian CMC. Berdasarkan uji pembanding Bonferroni (lampiran 30) kadar kemurnian CMC (NaOH 30%) tidak berbeda nyata dengan CMC (NaOH 35%). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, jumlah CMC yang dihasilkan cenderung menurun. Hal ini terjadi karena potensi terbentuknya produk samping yang lebih besar. Produk samping yang berpotensi mengurangi kemurnian CMC yang terbentuk adalah asam glikolat atau sodium glikolat dan sodium klorida. Selain adanya produk samping sebagai pengotor, terdapat natrium hidroksida yang tidak ikut bereaksi dengan selulosa pada proses alkalisasi sehingga dapat mengurangi kemurnian CMC. Asam glikolat atau sodium glikolat terbentuk dari hasil hidrolisis asam monokloroasetat yang bereaksi dengan NaOH yang ada di dalam larutan. Berdasarkan penampakan larutan yang dihasilkan, CMC (NaOH 30%) memiliki kualitas yang rendah walaupun memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini disebabkan karena CMC tersebut tidak terlarut di dalam air (gambar 11).

Kadar Sodium Klorida

Sodium klorida (NaCl) merupakan produk samping dari proses eterifikasi alkali selulosa dengan asam monokloroasetat serta hasil hidrolisis asam monokloroasetat oleh natrium hidroksida. Berikut ini diagram kadar sodium klorida dari sampel karboksimetil selulosa yang dihasilkan.

Gambar 7 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap kadar karboksimetil selulosa 98.2631 93.5824 81.9162 0.0000 20.0000 40.0000 60.0000 80.0000 100.0000 120.0000 30 35 40 K em u rn ian ( % ) Konsentrasi NaOH (%) kadar CMC

19

Diagram di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan maka semakin banyak sodium klorida yang terbentuk dari hasil samping proses karboksimetilasi maupun hidrolisis asam monokloroasetat. Hasil uji keragaman kadar sodium klorida pada lampiran 23 menunjukkan bahwa kadar natrium hidroksida berpengaruh terhadap kadar sodium klorida yang dihasilkan. Hasil uji pembanding kadar sodium klorida dengan metode Bonferroni (lampiran 25) menunjukkan bahwa kadar sodium klorida CMC (NaOH 30%) tidak berbeda nyata dengan CMC (NaOH 35%), namun keduanya berbeda nyata dengan CMC (NaOH 40%). Kadar sodium klorida CMC (NaOH 40%) jauh lebih besar dibanding CMC yang lain. Peningkatan kadar sodium klorida disebabkan oleh jumlah natrium hidroksida yang lebih besar sehingga menghasilkan lebih banyak hasil samping dari proses eterifikasi alkali selulosa dengan asam monokloroasetat. Reaksi samping proses hidrolisis asam monokloroasetat atau sodium monokloroasetat oleh natrium hidroksida menghasilkan produk sodium klorida dan sodium glikolat. Jumlah sodium klorida yang tinggi mengindikasikan terbentuknya sodium glikolat dalam jumlah yang lebih besar. Meningkatnya jumlah sodium klorida mengakibatkan kemurnian dari CMC yang dihasilkan menurun.

Hasil ini memperlihatkan bahwa sintesis CMC dengan kadar NaOH lebih dari 35% akan menghasilkan produk samping yang lebih banyak. Berdasarkan hasil pengukuran kadar karboksimetil selulosa, kemurnian karboksimetil selulosa yang disintesis menggunakan NaOH 40% memiliki kadar yang paling rendah. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kadar sodium klorida CMC (NaOH 40%) yang memiliki nilai paling tinggi sehingga dapat digunakan sebagai indikator penyebab penurunan kemurnian CMC.

Gambar 8 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap kadar sodium klorida 0.0275 0.0291 0.0774 0.0000 0.0100 0.0200 0.0300 0.0400 0.0500 0.0600 0.0700 0.0800 0.0900 30 35 40 K adar N aC l (% ) Konsentrasi NaOH (%) Kadar NaCl

20

Viskositas larutan CMC 1%

Viskositas larutan merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas CMC. Larutan CMC yang digunakan adalah larutan CMC 1%. Berikut ini adalah grafik viskositas dari larutan CMC 1 %.

Hasil analisis keragaman viskositas larutan karboksimetil selulosa pada lampiran 5 dan uji post hoc menggunakan metode Bonferroni pada lampiran 7 menunjukkan bahwa konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) berpengaruh terhadap viskositas. CMC dengan menggunakan NaOH 30% memiliki nilai viskositas yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena CMC (NaOH 30%) tidak larut sempurna di dalam air sehingga CMC (NaOH 30%) tidak terlalu berpengaruh terhadap viskositas larutan CMC. Grafik ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan viskositas larutan CMC pada penggunaan NaOH dengan konsentrasi 30-35%, namun viskositas larutan CMC cenderung menurun jika konsentrasi NaOH yang digunakan lebih dari 35%. Hasil ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Manguiat et al. (2001), Ismail et al. (2010), Rachtanapun

et al. (2011), dan Hong (2013) dimana viskositas larutan CMC akan mengalami penurunan pada konsentrasi tertentu. Menurut Hong (2013) peningkatan nilai viskositas larutan CMC sebanding dengan peningkatan nilai derajat substitusinya. Namun pada CMC (NaOH 40%) nilai viskositas larutan CMC menurun meskipun nilai derajat substitusi lebih tinggi dibandingkan nilai derajat substitusi CMC (NaOH 35%). Konsentrasi NaOH dalam proses pembuatan karboksimetil selulosa berpengaruh terhadap nilai derajat substitusi dan tingkat kemurnian CMC yang dihasilkan.

Gambar 9 Hubungan konsentrasi natrium hidroksida terhadap viskositas larutan CMC 1% 23.12 148.52 81.21 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00 30 35 40 V is k os it as ( cP ) Konsentrasi NaOH (%) Viskositas

21

Berdasarkan grafik di atas semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida maka derajat substitusi yang didapatkan akan semakin tinggi, namun naiknya konsentrasi natrium hidroksida mengakibatkan kemurnian karboksimetil selulosa yang dihasilkan menurun. Penurunan nilai viskositas CMC (NaOH 40%) dapat disebabkan oleh kemurnian yang lebih rendah dibandingkan CMC (NaOH 35%). Alasan ilmiah yang memungkinkan terjadinya fenomena ini adalah reaksi pembentukan sodium glikolat yang lebih besar dibandingkan reaksi pembentukan karboksimetil selulosa ketika penggunaan konsentrasi NaOH di atas 35%. Penurunan nilai viskositas pada CMC (NaOH 40%) dapat disebabkan oleh pendegradasian polimer karena konsentrasi natrium hidroksida yang tinggi. Gambar grafik di atas menunjukkan suatu titik potong antara derajat substitusi dengan kemurnian CMC karena pengaruh NaOH yang digunakan. Titik potong tersebut merupakan titik optimum dimana pada konsentrasi NaOH tersebut yaitu konsentrasi 35%, CMC memiliki derajat substitusi yang cukup tinggi namun penurunan kemurniannya juga tidak terlalu besar serta jumlah natrium hidroksida yang tidak bereaksi dengan selulosa terletak pada titik minimumnya sehingga nilai viskositas larutan yang didapat paling tinggi.

Viskositas CMC (NaOH 30%) yang rendah dibandingkan CMC (NaOH 35%) dan CMC (NaOH 40%) disebabkan oleh nilai derajat substitusi (ds) yang paling kecil yaitu sebesar 0.5448. Derajat substitusi (ds) menentukan kelarutan CMC dalam air karena semakin besar nilai ds maka jumlah gugus karboksimetil yang terkandung juga lebih besar sehingga kemampuan dalam mengikat air juga lebih besar. Karboksimetil selulosa (NaOH 30%) memiliki nilai ds yang rendah sehingga kurang larut dalam air dan mengakibatkan rendahnya viskositas larutan. Hal tersebut terlihat dari penampakan larutan CMC (NaOH 30%) 1% berikut.

Gambar 10 Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida terhadap derajat substitusi dan kemurnian karboksimetil selulosa

0.5448 0.9613 1.0848 98.2631 93.5824 81.9162 70.0000 75.0000 80.0000 85.0000 90.0000 95.0000 100.0000 0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 1.2000 30 35 40 Derajat Substitusi kadar CMC Konsentrasi NaOH (%)

22

Menurut Waring and Parsons (2001) seperti disitasi oleh Heydarzadeh et al.

(2009) CMC dengan nilai ds dibawah 0.4 hanya membengkak dan tidak terlarut dalam air, sedangkan CMC dengan nilai ds lebih dari 0.4 akan terlarut dalam air karena kemampuan afinitas dalam menyerap air. Menurut Glicksman and Robert di dalam Furia (1972) CMC dapat terlarut di dalam air jika memiliki nilai derajat substitusi sebesar 0.45 atau lebih dari nilai tersebut. Hal ini menyatakan bahwa semakin tinggi nilai ds maka CMC akan semakin larut. Adanya endapan putih pada larutan CMC (NaOH 30%) menyatakan CMC yang dibuat kurang optimal walaupun memiliki nilai ds lebih besar dari 0.4. Endapan putih ini merupakan karboksimetil selulosa yang mengalami pembengkakan di dalam air. Nilai derajat substitusi yang didapatkan CMC menggunakan konsentrasi NaOH 30% belum cukup untuk dapat melarutkan CMC di dalam air. Penggunaan NaOH dengan konsentrasi 30% belum cukup optimal untuk membuat selulosa mudah bereaksi dengan asam monokloroasetat walaupun selama proses alkalisasi, selulosa sudah mengalami pengembangan.

Menurut Imeson (1992) seperti disitasi oleh Wijayani (2005) nilai pH larutan CMC 1% berkisar 7-8.5 dan pada kisaran 5-9 nilai pH tidak berpengaruh terhadap viskositas, namun ketika pH larutan lebih dari 10 mengakibatkan viskositas menurun. Glicksman and Robert di dalam Furia (1972) menyatakan kekentalan larutan CMC akan menurun pada pH dibawah 5 dan mengendap pada

Dokumen terkait