• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Perairan Pulau Panggang

Perairan P. Panggang secara administrasi merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Kep. Seribu DKI Jakarta yang masuk dalam zona Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Lokasinya berdekatan dengan P. Karya di sebelah utara yang hanya dipisahkan alur laut selebar kurang dari 150 m. Sebelah barat terdapat P. Pramuka, pusat ibu kota kabupaten Kep. Seribu sekaligus lokasi tujuan pariwisata. yang hanya terpisah jarak 1 km.

Secara geomorfologi, perairan pulau Panggang pada umumnya berbentuk rataan dengan gobah di tengahnya. Rataan tersebut meluas sampai batas tepi dangkalan menuju laut. Pada bagian tepi dangkalan yang berbatasan dengan laut (fore reef) umumnya mempunyai kelerengan yang curam.

Pulau yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi di Kep. Seribu ini, mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan baik tangkap maupun budidaya. Bagan ikan atau karamba jaring apung (KJA) banyak tersebar di lokasi gobah. Karamba tersebut umumnya digunakan untuk budidaya ikan kerapu.

Kondisi fisik perairan di dalam gobah dan di luar gobah berbeda. Kenampakan fisik perairan di luar gobah terlihat jernih sedangkan di dalam gobah terlihat kehijauan. Pengukuran dengan secchi disk terlihat bahwa di luar gobah kecerahan antara 9 - 12 m sedangkan di dalam gobah berkisar antara 4 - 7 m. Hal tersebut mengindikasikan bahwa material tersuspensi pada perairan gobah lebih tinggi dari pada perairan di luar gobah. Limbah domestik dari penduduk dan sisa pakan budidaya dapat menyumbang penurunan kualitas perairan. Terlebih lagi gobah menjadi semacam jebakan air sehingga sirkulasi air laut tidak lancar.

Koreksi Citra Satelit Terhadap Efek Kilatan (Sunglint)

Seiring kemajuan teknologi resolusi spasial citra satelit semakin meningkat. Hasil perekaman citra dengan resolusi spasial tinggi seperti Ikonos, Quickbird, dan Wordview sangat membantu dalam identifikasi obyek di permukaan bumi. Citra satelit dengan resolusi spasial tinggi seringkali dipengaruhi gangguan dari kilatan matahari (sunglint). Terlebih pada wilayah perairan dimana potensi terjadinya kilatan sangat besar ketika terjadi gelombang atau riak gelombang.

Citra yang digunakan untuk penelitian secara visual terlihat adanya efek kilatan matahari. Efek kilatan yang terdapat pada citra dapat dikenali berdasarkan warnanya yang mencolok berwarna putih dibanding obyek sekitarnya, bentuknya memanjang, dan umumnya terjadi pada punggung gelombang. Adanya kilatan matahari akan menyebabkan nilai reflektansi citra tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu obyek sehingga perlu dilakukan perbaikan. Koreksi kilatan dilakukan sesuai dengan algoritma yang dikembangkan oleh Horchberg. Algoritma yang dikembangkan berdasarkan pada hubungan linear antara kanal inframerah dekat (NIR) dengan kanal visible. Gelombang NIR diasumsikan

17 diserap habis oleh perairan dan memiliki pantulan (water leaving radiance) yang minimal pada perairan yang jernih (Hochberg et al., 2003).

Sebelum dilakukan langkah untuk koreksi maka perlu dilakukan masking untuk daratan dan obyek-obyek lain yang diatas kepermukaan air. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan yang dilakukan karena nantinya masing-masing kanal akan dikurangkan dengan nilai kilatan yang diperoleh. Masking dilakukan dengan metode digitasi manual.

Pemilihan wilayah sampel pada citra satelit Region of Interest (RoI) dilakukan pada perairan dalam yang mengalami efek kilatan. Terdapat 348 sampel RoI yang dipilih. Piksel yang diperoleh dari setiap kanal selanjutnya diregresikan dengan kanal NIR1 (770 - 895 nm) dan NIR2 (860 - 1040 nm) sehingga diperoleh nilai kemiringan (bi) dan koefisien determinasi (R2). Kemiringan (bi) merupakan besarnya intensitas sunglint pada masing-masing kanal. Kombinasi kanal terhadap NIR1 (kanal7) atau NIR2 (kanal 8) dipilih berdasarkan nilai R2 tertinggi. Harapannya akan diperoleh kombinasi terbaik untuk memperoleh nilai bi. Regresi masing-masing kanal terhadap NIR dapat dilihat pada Gambar 11.

Besarnya nilai bi dan koefisien determinasinya pada masing-masing kanal (kanal sinar tampak) dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai R2 yang diperoleh mempunyai angka terkecil 0,706 dan terbesar 0,980. Nilai yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keenam kanal dengan NIR pada Gambar 11 Grafik regresi intensitas efek kilatan pada kanal sinar tampak terhadap

NIR (kanal 1 terhadap kanal 8, kanal 2 terhadap kanal 7, kanal 3 terhadap kanal 7, kanal 4 terhadap kanal 8, kanal 5 terhadap kanal 7, kanal 6 terhadap kanal 8) dengan jumlah RoI 348 sampel

y = 0.3255x + 477.92 R² = 0.9724 0 500 1000 0 500 1000 1500 K an al 1 Kanal 8 y = 0.9007x + 160.33 R² = 0.9653 0 500 1000 1500 0 500 1000 1500 K an al 4 Kanal 8 y = 0.5159x + 274.14 R² = 0.9428 0 200 400 600 800 0 500 1000 K an al 2 Kanal 7 y = 0.7894x + 49.183 R² = 0.9808 0 500 1000 0 500 1000 kan al 5 kanal 7 y = 0.9878x + 241 R² = 0.9647 0 500 1000 1500 0 500 1000 K an al 3 Kanal 7 y = 0.9185x + 58.047 R² = 0.9614 0 500 1000 1500 0 500 1000 1500 K an al 6 Kanal 8

18

sampel RoI. Intensitas sunglint (bi) dipilih berdasarkan nilai R2 terbesar dari enam kanal sinar tampak terhadap NIR1 (kanal 7) atau NIR2 (kanal 8). Nilai bi yang diperoleh digunakan sebagai faktor pengurang untuk koreksi efek sunglint pada masing-masing kanal.

Algoritma untuk koreksi efek kilatan disusun menggunakan band math yang mengacu pada persamaan 1. Algoritma yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6. Setelah dilakukan proses koreksi pada masing-masing kanal terlihat secara nyata perbedaan penampakan visual citra (Gambar 12). Pada citra awal, efek kilatan (ditunjukkan dengan tanda panah) mengganggu dalam identifikasi dan klasifikasi obyek. Jika gangguan tidak dikoreksi maka efek kilatan tersebut akan terkelaskan menjadi obyek tersendiri. Obyek tersebut terkelaskan dengan bentuk memanjang garis-garis sesuai punggung gelombang yang membentuk efek cermin. Efek kilatan pada tubuh perairan menyebabkan distorsi pada nilai reflektansi dan sangat mengganggu dalam identifikasi obyek dibawahnya sehingga perlu untuk dikoreksi.

Penampakan citra setelah koreksi terlihat perbaikan secara visual. Obyek dan habitat bentik terlihat lebih jelas. Selain itu, citra satelit menjadi lebih tajam sehingga variasi dari masing-masing habitat bentik terlihat lebih jelas. Semakin tajamnya kualitas citra diharapkan semakin memudahkan dalam proses identifikasi dan klasifikasi habitat. Pada beberapa penelitian terhadap koreksi

sunglint citra satelit berhasil memberikan perbaikan penampakan seperti yang dilakukan Hochbergh et al. (2003); dan Hedley et al. (2005). Penelitian Wicaksono (2012) menggunakan citra satelit Quickbird menunjukkan bahwa koreksi yang dilakukan mampu memperbaiki penampakan citra dan peningkatan akurasi identifikasi obyek perairan dangkal.

Tabel 1 Analisis regresi antara kanal sinar tampak dengan NIR untuk menentukan nilai sunglint (kombinasi terpilih yang tercetak merah tebal)

Kanal NIR1 (kanal 7) NIR2 (kanal 8)

bi R2 bi R2 1 biru pesisir 0,399 0,706 0,325 0,972 2 biru 0.515 0,942 0,328 0,791 3 hijau 0,987 0,964 0,609 0,761 4 kuning 1,122 0,722 0,900 0,965 5 merah 0,789 0,980 0,481 0,756 6 merah tepi 1,157 0,736 0,918 0,961

19

Model Batimetri Model Batimetri Berdasarkan Pemeruman

Secara umum perairan P. Panggang merupakan perairan dangkal yang terbentuk dari gugus terumbu. Dasar perairannya tersusun atas terumbu karang, pasir, dan lamun. Berdasarkan model batimetri daerah penelitian menunjukkan secara geomorfologi terbagi menjadi dua kelompok yaitu berupa dangkalan dan gobah. Sebagaian besar area penelitian berupa dangkalan berbentuk datar dengan kedalaman kurang dari 4 m. Hasil ini sesuai dengan penelitian Agus et al. (2012) yang menyatakan bahwa perairan P. Panggang berupa rataan terumbu dangkal dengan permukaan cenderung rata. Daerah dangkalan sebelah timur pulau

1 2 3

Gambar 12Hasil koreksi terhadap efek kilatan Keterangan :

20

kedalamannya cenderung seragam sampai daerah tepi terumbu luar sedangkan sebelah barat lebih beragam.

Daerah gobah terdapat di sebelah barat daya daratan Panggang dengan kedalaman lebih dari 4 m. Kedalaman maksimam gobah berdasarkan pemeruman adalah 13,6 m. Hal ini sesuai dengan penelitian Agus et al. (2012) yang menyatakan kedalamannya mencapai 13 m.

Dasar perairan berbentuk datar dikelilingi tepi lereng yang curam dimana kedalaman yang pada awalnya kurang dari 4 m berubah menjadi lebih dari 20 m. Kenampakan morfologi dasar perairan secara tiga dimensi dapat dilihat pada Gambar 13.

Model Batimetri Berdasarkan Citra Satelit

Informasi kedalaman suatu perairan atau batimetri sangat penting untuk menunjang berbagai kegiatan bidang kelautan. Data batimetri biasanya dikumpulkan dari survei lapangan menggunakan perangkat hidroakustik yang berdampak pada besarnya tenaga dan biaya. Teknologi penginderaan jauh memberikan alternatif penyediaan data batimetri secara umum. Citra satelit optik mempunyai kemampuan secara terbatas untuk menggambarkan batimetri umum di wilayah perairan dangkal (Hengel dan Spitzer 1991; Stumpf et al. 2003; Lyzenga 2006; Siregar dan Selamat 2010; Alsubaie 2012). Pada perairan yang jernih selama energi matahari mampu menjangkau dasar perairan maka citra satelit masih bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi batimetri. Penggunaan citra satelit optik merupakan salah satu cara cepat dan hemat untuk menggambarkan batimetri kawasan perairan dangkal.

Banyak metode yang dikembangkan untuk mengekstrak nilai piksel citra satelit menjadi informasi kedalaman diantaranya adalah metode linear dan metode rasio linear yang dikembangkan Stumpf dan Holderied (2003). Metode ini

21 dilakukan dengan merasiokan reflektansi dua kanal yang berbeda untuk mendapatkan nilai kedalaman.

Kanal yang digunakan dalam pembangunan algoritma dipilih berdasarkan panjang gelombang yang mampu menembus kolom air dengan baik. Terdapat 5 kanal dalam penelitian ini yang dicoba untuk pemilihan algoritma Stumpf dan Holderied yaitu kanal biru pesisir (kanal 1), biru (kanal 2), hijau (kanal 3), kuning (kanal 4), dan merah (kanal 5). Kombinasi dua kanal dalam bentuk logaritma natural (ln) dicoba satu persatu sehingga diperoleh 10 buah kombinasi. Rasio dari setiap kombinasi diregresikan dengan nilai kedalaman pengukuran sehingga akan diperoleh nilai persamaan linear dan koefisien korelasinya (Tabel 2).

Algoritma diperoleh dari persamaan linear hasil regresi rasio 2 kanal terhadap kedalaman. Persamaan linear yang digunakan untuk memperoleh nilai batimetri citra satelit dipilih berdasarkan nilai koefisien korelasi terbesar (r). Berdasarkan regresi terhadap rasio reflektansi citra maka diperoleh nilai koefisien korelasi (r) terbesar dari rasio kanal biru pesisir dengan hijau (ln B1/B3) sebesar 0,831 dan r terkecil dari rasio kanal kuning dengan merah (ln B4/B5) sebesar 0,224 (Tabel 2). Kanal biru pesisir (400-450 nm) merupakan salah satu kanal baru yang tingkat absorbsi di kolom airnya paling kecil dan baik untuk penelitian batimetri (Digitalglobe 2009). Sesuai dengan penelitian Doxani et al. (2012) menyatakan bahwa Penggunaan kanal hijau pada citra satelit WV-2 paling efektif untuk aplikasi batimetri.

Algoritma Stumpf dan Holderied untuk mengekstrak nilai batimetri berdasarkan citra satelit diperoleh dengan meregresikan kanal terpilih yaitu antara rasio ln kanal biru pesisir dengan kanal hijau (ln B1/B3) terhadap data kedalaman dari pemeruman (Gambar 14). Regresi yang dihasilkan digunakan untuk menentukan persamaan linearnya.

Tabel 2 Hasil kombinasi kanal terhadap kedalaman echosounder Rasio kanal Persamaan linear R2 r

B1/B2 y = 330.3x-349 0.607 0.779 B1/B3 y = 148.9x-150.2 0.690 0.831 B1/B4 y = 90.23x-94.04 0.551 0.742 B1/B5 y = 61.07x-69.44 0.336 0.580 B2/B3 y = 256.7x-244.5 0.679 0.824 B2/B4 y = 73.37x-69.11 0.335 0.579 B2/B5 y = 47.88x-55.36 0.109 0.330 B3/B4 y = 65.29x-63.15 0.165 0.406 B3/B5 y = 47.88x-55.36 0.109 0.330 B4/B5 y = 59.62x-66.41 0.050 0.224 Keterangan : R2 = Koefisien determinasi r = Koefisien korelasi

22

Berdasarkan persamaan 2 maka diperoleh algoritma persamaan linear : 148. – 150.2

y: kedalaman atau Jaring x: ln n 1))/ ln(nRw ( 2)

Nilai m1 adalah 148,9 dan m0 adalah 150,2 (mengacu pada persamaan 2). Grafik pada Gambar 15 menunjukkan bahwa rasio antara kanal biru pesisir dan hijau terhadap kedalaman dari pemeruman meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Kanal hijau lebih cepat mengalami pelemahan energi dibandingkan kanal biru pesisir sehingga rasio ln kedua kanal semakin besar. Kemampuan penetrasi suatu energi dikolom air dipengaruhi oleh besarnya panjang gelombang (Green et al. 2000).

Berdasarkan algoritma diatas citra satelit diekstrak untuk menghasilkan nilai batimetri. Hasil ekstrak berbentuk raster yang masing-masing piksel mempunyai nilai (z). Raster yang dihasilkan dikalikan dengan nilai negatif (-) sehingga merepresentasikan kedalaman dasar perairan (Gambar 15).

Gambar 15 Model 3-D batimetri berdasarkan ekstrak citra satelit Gambar 14 Hubungan antara rasio 2 kanal (rasio ln

B1/B3) citra satelit terhadap kedalaman

y = 148.9x - 150.2 R² = 0.690 0 5 10 15 20 25 0.98 1 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1 1.12 K ed al am an (m ) Rasio Ln B1/B3

23 Hasil batimetri secara 3-D berdasarkan ekstrak citra terlihat halus dan mampu menggambarkan perbedaan kedalaman secara detil. Raster batimetri yang dihasilkan dibangun berdasarkan nilai kedalaman setiap jarak 1,84 - 2,08 m (mengacu piksel multispektral Worldview-2) sedangkan batimetri yang dibangun berdasarkan survei hidroakustik (Gambar 13) merupakan hasil interpolasi data lapangan.

Perbandingan Profil Transek Model Batimetri

Profil transek pada masing-masing model batimetri memperlihatkan hasil yang berbeda. Secara umum, profil batimetri dari model pemeruman mampu menjangkau kedalaman yang lebih jauh. Sedangkan pada model batimetri citra satelit hanya mampu menampilkan batimetri pada kedalaman kurang dari 7 m namun dengan hasil yang lebih halus. Profil batimetri yang dibandingkan mengacu pada transek penampang melintang (Gambar 7).

Pada Gambar 16 ditampilkan profil melintang batimetri dari arah barat ke timur P. Pangang (transek 1-2). Sebelah barat relief dasar perairan terlihat bervariasi. Pada awalnya tepi terumbu mempunyai kelerengan yang terjal kemudian berubah menjadi dangkalan gosong pasir. Selanjutnya terbentuk cekungan dasar laut sehingga membentuk semacam ceruk. Dasar perairan selanjutnya berupa dangkalan sampai dengan tepi gobah.

Pada jarak 300 m – 600 m terlihat bentuk profil batimetri yang berbeda antara hasil pemeruman (16a) dengan ektrak citra satelit (16b). Pada Gambar 16a dasar perairan digambarkan dengan nilai kedalaman 8 m – 9 m sedangkan gambar 16b nilai kedalaman antara 1 m – 2 m. Analisis berdasarkan data lapangan memperlihatkan bahwa pemeruman pada area tersebut tidak diperoleh data (blank

data). Perangkat lunak memaksakan membuat interpolasi dari titik terdekat sehingga menghasilkan data yang kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Kondisi tidak diperolehnya data disebabkan perairan yang terlalu dangkal sehingga kapal tidak mampu berlayar.

Pada profil Gambar 16b estimasi nilai kedalaman memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi lapangan. Meskipun secara pemeruman tidak diperoleh data namun citra satelit mampu memberikan estimasi nilai kedalaman pada setiap piksel.

Selanjutnya semakin ke timur terlihat adanya gobah. Kedalaman gobah terbesar berada disebelah barat. Pada Gambar 16a kedalaman gobah maksimal sebesar 13,6 m sedangkan pada Gambar 16b kedalaman maksimalnhya 7 m. Perbedaan kedalaman maksimal yang ditunjukkan pada masing-masing profil batimetri menunjukkan bahwa model batimetri dari citra satelit terbatas pada kemampuan penentrasi gelombang dikolom air sedangkan peralatan pemeruman mampu menjangkau lebih dalam.

Semakin ke timur terlihat relief dasarnya semakin dangkal sampai daratan P. Panggang. Pada jarak 1700 m – 1800 m (sumbu x) terlihat profil dengan kedalaman 0 m. Hal tersebut menunjukkan daratan P. Panggang. Relief dasar perairan di sisi timur pulau cenderung seragam berbentuk dataran yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 4 m. Selanjutnya pada tepi terumbu bagian luar terbentuk lereng yang curam.

24

Potongan melintang relief dasar laut di sisi barat (Gambar 17) perairan P. Panggang memperlihatkan kenampakan yang seragam berbentuk dataran dengan kedalaman umumnya kurang dari 2,5 m. Transek 3-4 membentang dari arah utara ke selatan. Pada bagian selatan terlihat adanya ceruk. Selanjutnya terlihat gosong karang dengan kedalaman kurang dari 3 m.

Profil transek 3–4 pada rentang antara 500 – 750 m (Gambar 17a) digambarkan kedalaman menurun dari 1 m sampai 15 m. Pada kenyataannya lokasi tersebut terlalu dangkal untuk dilalui kapal sehingga data akustik tidak diperoleh. Hasil interpolasi kedalaman terjadi over estimate. Pada Gambar 17b terlihat pada rentang 500 – 750 m profil kedalaman cenderung landai dengan kedalaman 1 m. Gambaran ini lebih merepresentasikan kondisi sebenarnya.

(a)

(b)

Gambar 17 Penampang melintang profil kedalaman transek 3-4 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra

(a)

(b)

Gambar 16 Penampang melintang profil kedalaman transek 1-2 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra

25 Potongan melintang transek 5-6 (Gambar 18) yang terletak di tengah lokasi penelitian memperlihatkan kenampakan dangkalan yang seragam. Dangkalan dengan relief datar terlihat baik di sisi utara (nomor 5) maupun sisi selatan (nomor 6) dengan kedalaman umumnya kurang dari 2,5 m. Pada bagian tengah terdapat gobah.

Pada area gobah (jarak 300 m sampai 1000 m) terdapat perbedaan gambar dua profil batimetri. Gambar 18a lebih merepresentasikan kenyataan aslinya. Gambar 18b memperlihatkan pada jarak 350 m – 600 m dan 800 m – 900 m terjadi kelebihan estimasi (over estimate) nilai batimetri. Hal ini diduga karena kondisi perairan didalam gobah yang keruh kehijauan dengan tingkat kecerahan antara 4 m sampai 7 m. Perairan yang keruh menyebabkan secara visual perairan terlihat lebih gelap. Akibatnya perangkat lunak untuk mengekstrak nilai piksel citra menjadi batimetri mengenalinya sebagai area yang lebih dalam dari yang seharusnya.

Pada profile transek 7-8 (Gambar 19) kondisi relief dasar perairan berbentuk datar dengan nilai kedalaman umumnya kurang dari 3 m. Profil yang terbentuk antara Gambar 19a dan 19b hampir seragam. Bagian tepi sebelah utara (nomor 7) mempunyai kelerengan yang lebih landai dibanding tepi sebelah selatan (nomor 8). Sebelah utara berdekatan dengan P. Karya dan hanya berjarak sekitar 100 m. Sedangkan bagian selatan langsung berhadapan dengan laut Jawa. Berdasarkan data echosounder di sisi selatan nilai kedalaman terbesar menunjukkan angka 36 m. Sedangkan berdasarkan ekstrak citra satelit kedalaman maksimal yang diperoleh adalah kurang dari 8 m. Hal ini disebabkan ketidakmampuan citra satelit mengekstrak nilai batimetri.

(a)

(b)

Gambar 18 Penampang melintang profil kedalaman transek 5-6 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra

26

Berdasarkan perbandingan hasil profil batimetri terlihat bahwa model batimetri berdasarkan pemeruman lebih unggul pada jangkauan kedalaman yang lebih tinggi. Profil kedalaman yang dihasilkan dari citra satelit terlihat lebih detil dan halus (smooth) dibandingkan profil batimetri yang dihasilkan dari interpolasi data pemeruman. Pada citra, batimetri dibangun pada setiap piksel sehingga setiap perbedaan kecil yang dapat terwakili satu piksel akan mampu tergambarkan. Batimetri berdasarkan citra bahkan tetap mampu menggambarkan dengan baik lokasi yang tidak terdapat data (blank data).

Kelemahan profil batimetri yang dihasilkan melalui citra satelit terdapat pada terbatasnya kemampuan penetrasi gelombang di kolom air. Pada perairan yang dalam gelombang elektromagnetik tidak mampu mencapai dasar perairan. Fakta di lapangan menunjukkan kondisi fisika perairan gobah terlihat keruh kehijauan. Ketika cahaya masuk melalui kolom air maka intensitasnya akan berkurang secara eksponensial seiring dengan peningkatan kedalaman (atenuasi). Berkurangnya intensitas cahaya disebabkan adanya proses absorbsi dan penghamburan oleh adanya partikel organik dan anorganik (Guntur et al. 2012).

Klasifikasi Habitat Dasar Perairan

Berdasarkan pengamatan lapangan ditemukan 15 kelas habitat perairan dangkal. Namun, pada pemrosesan citra satelit dihasilkan 7 kelas habitat. Hal ini disebabkan sedikitnya jumlah sampel yang mewakili suatu kelas dan adanya kemiripan nilai digital citra satu kelas dengan kelas lain sehingga perlu digabungkan (reklas). Klasifikasi habitat dasar perairan dilakukan berdasarkan kemampuan citra dalam memilah dan mengelompokkan informasi dasar perairan yang mampu ditangkap oleh citra satelit. Pada Gambar 20 terlihat bahwa kelas habitat pasir bercampur lamun paling banyak dijumpai, kemudian kelas pasir, lamun kerapatan sedang, lamun kerapatan tinggi, pasir dengan pecahan karang (rubble), karang bercampur karang mati (Karang DCA), dan yang paling kecil kelas karang.

(a)

(b)

Gambar 19 Penampang melintang profil kedalaman transek 7-8 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra

27

Hasil klasifikasi Habitat dasar perairan P. Panggang dan persebarannya dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 21). Pasir bercampur lamun tersebar merata diseluruh daerah penelitian. Lamun yang tumbuhpun beragam jenisnya. Sebelah barat pulau didominasi kelas pasir yang dari hasil survei lapangan terlihat bahwa pasir tersebut berbentuk gumuk-gumuk kecil. Hal ini menandakan energi gelombang berperan dalam pembentukannya. Selain itu, kelas pasir juga banyak terdapat pada daerah gobah.

Pasir bercampur pecahan karang (pasir-rubble) merupakan kelas campuran antara pecahan karang dan pasir. Kelas tersebut tersebar merata di belakang tepi lereng. Biasanya rubble banyak terdapat dibelakang terumbu karang. Patahan karang atau karang mati terangkut oleh energi gelombang sehingga terkumpul pada suatu lokasi.

Habitat karang dan karang yang tercampur dengan karang mati death coral

algae (DCA) banyak dijumpai di tepi lereng. Sebagian terdapat didalam gobah. Karang yang dijumpai dari beragam bentuk dan tipe seperti massive, sub massive, foliose, branching, dan sebagainya.

Padang lamun dengan kerapatan tinggi banyak ditemukan disekitar daratan. Seringkali dalam satu habitat ditemukan beberapa jenis lamun dengan dominasi jenis tertentu. Sedikitnya ditemukan 5 jenis lamun selama survei lapangan antara lain Enhalus accoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Syringodium isotifolium, dan Halodule uninervis. Mereka membentuk satu habitat lamun campuran yang didominasi jenis tertentu.

Beragamnya bentuk suatu obyek, habitat campuran, dan variasi kedalaman lokasi habitat berpengaruh terhadap variasi nilai reflektansi. Beragamnya jenis lamun yang menyusun satu habitat lamun (mixed species meadows) menyebabkan salah satu kesulitan dalam klasifikasi dari citra satelit. Perbedaan mencolok bentuk daun lamun (misalnya E. accoroides dan S. Isoetifolium) menyebabkan bervariasinya nilai spektral citra sehingga menghasilkan bias dalam klasifikasi.

Gambar 20 Persentase luasan klasifikasi habitat dasar perairan dangkal 2.21% 7.45% 14.32% 17.55% 18.57% 27.22% 12.67% Karang Karang-DCA Lamun Rapat Lamun Sedang Pasir Pasir-Lamun Pasir-Rubble

28

Klasifikasi habitat perairan dangkal menggunakan citra multispektral WV-2 menghasilkan 7 kelas habitat dengan akurasi total 65,35% (Tabel 3). Hasil akurasi total yang didapat lebih rendah dibandingkan penelitian Siregar (2010) di perairan Karang Lebar dan Karang Congkak menggunakan citra Quickbird dengan akurasi total 79% untuk 6 kelas habitat.

Green et al. (2000) menyatakan bahwa citra satelit (Landsat MSS dan Spot pankromatik) hanya mampu memberikan informasi ekologi perairan dangkal dengan akurasi berkisar 55-70%, bahkan dengan 4 kelas utama (habitat karang, pasir, alga dan seagras) mempunyai akurasi total tidak lebih dari 60 %.

Akurasi yang lebih rendah diduga karena citra WV-2 yang digunakan hanya saluran multispektral tanpa menggabungkan dengan pankromatiknya (tanpa pansharpen). Resolusi spasial saluran multispektral WV-2 sebesar 1,84 - 2,08 m sedangkan citra Quickbird yang dipansharpen mempunyai resolusi spasial 0,61 m. Besarnya resolusi spasial citra sangat berkaitan dengan tingkat kemampuannya dalam mengenali obyek terkecil yang tertangkap sensor. Penelitian Mellin et al. (2009) menunjukkan bahwa penggunaan citra resolusi tinggi akan meningkatkan deteksi terhadap habitat kelas karang.

Selain itu jumlah kelas yang lebih banyak menjadikan tingkat akurasi lebih kecil. Danoedoro (2012) menyatakan bahwa klasifikasi pada citra satelit dengan jumlah kelas yang lebih banyak cenderung menghasilkan tingkat akurasi yang lebih rendah. Semakin banyak kelas mengharuskan pengelompokkan suatu obyek secara homogen pada spektral citra juga semakin meningkat

29

Perhitungan Luas Area Model

Pada umumnya luasan hasil klasifikasi didapat dengan menghitung area

polygon. Hasilnya akan menggambarkan luas area suatu bidang datar saja. Padahal secara kenyataan wilayah suatu kajian tidak hanya berupa dataran bahkan seringkali mempunyai relief yang bervariasi. Beberapa lokasi membentuk kelerengan tertentu (slope). Akibatnya terdapat perbedaan antara hasil perhitungan luas dengan kenyataan di lapangan.

Penggabungan tumpang susun model batimetri dengan citra satelit dapat memberikan penampakan dasar perairan secara tiga dimensi (Gambar 22a). Dasar perairan menjadi lebih mudah dipahami dan secara geomorfologi lebih mudah dikenali. Adanya daratan, reef flat, gosong pasir, dan gobah dapat terlihat dengan jelas.

Hasil klasifikasi secara tiga dimensi (3-D) dari lokasi penelitian diperoleh dengan menggabungkan model batimetri dengan hasil klasifikasi (Gambar 22b). Pendekatan ini digunakan untuk menghadirkan kondisi nyata daerah penelitian sehingga diperoleh pengukuran luas yang lebih akurat. Penelitian yang dilakukan Jennes (2004) menghasilkan estimasi luas yang lebih baik pada pengukuran luas habitat hewan dengan pendekatan DEM daripada dihitung secara planimetri. Secara visual model baru yang diperoleh pun memudahkan dalam memahami karakteristik suatu dasar perairan dibandingkan jika disajikan dalam 2 dimensi

Dokumen terkait