• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Data

Peta sebaran persentase kemiskinan di kab/kota di Pulau Jawa tahun 2012, terlihat pada Gambar 3. Kab/kota dengan persentase kemiskinan yang rendah sebagian besar terdapat di provinsi DKI Jakarta dan Banten. Selain itu, juga menyebar di kota besar terutama ibu kota provinsi. Sementara kab/kota dengan persentase kemiskinan yang tinggi menyebar di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Persentase kemiskinan terbesar tahun 2012 adalah Kab.Sampang dan tetangganya Kab.Bangkalan, yaitu masing-masing sebesar 27.87% dan 24.61%. Hal yang sama ditemukan jika dirunut dari tahun 2008, kedua kabupaten yang ada di Jawa Timur ini memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dibandingkan kab/kota lainnya di Pulau Jawa. Sementara Kota Tangerang Selatan, dan tetangganya Kota Depok adalah kota yang memiliki persentase kemiskinan terrendah di Pulau Jawa, yaitu masing-masing sebesar 1.33% dan 2.46%.

Gambar 3 Peta sebaran persentase kemiskinan kab/kota di Pulau Jawa tahun 2012 Peubah yaitu IPM, memiliki korelasi negatif sebesar -0.6719 terhadap persentase kemiskinan di suatu kab/kota di Pulau Jawa. Persebaran IPM kab/kota di Pulau Jawa pada tahun 2012 seperti terlihat pada Gambar 4. Kab/kota dengan IPM tertinggi adalah Kota Yogyakarta dan Jakarta Selatan. Sementara kab/kota dengan IPM yang rendah mengelompok di provinsi Jawa Timur. Kabupaten dengan IPM terrendah adalah Kabupaten Sampang dan Probolinggo di Jawa Timur.

Gambar 4 Peta sebaran IPM kab/kota di Pulau Jawa tahun 2012 Seperti halnya IPM, penyebaran peubah yaitu TPT juga menggambarkan pola mengelompok seperti terlihat pada Gambar 5. Kab/kota dengan TPT yang tinggi sebagian besar mengelompok di Provinsi DKI Jakarta, Banten dan sebagian Jawa Barat. Sementara kab/kota dengan TPT yang rendah mengelompok di provinsi Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. TPT tertinggi tahun 2012 adalah

12

Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kepulauan Seribu, sedangkan TPT terrendah adalah Kabupaten Sumenep dan Pacitan di Jawa Timur. Korelasi antara peubah dan adalah negatif, yaitu sebesar -0.4729.

Gambar 5 Peta sebaran TPT kab/kota di Pulau Jawa tahun 2012

Peubah terakhir adalah peubah yaitu pertumbuhan ekonomi, yang penyebarannya terlihat pada Gambar 6. Pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi negatif terhadap persentase kemiskinan yaitu sebesar -0.2791. Sebaran pertumbuhan ekonomi menunjukkan pola mengelompok dengan pertumbuhan ekonomi tinggi terdapat di provinsi Jawa Timur, sementara pertumbuhan ekonomi yang kecil, sebagian besar tersebar di provinsi Banten dan Jawa Barat.

Gambar 6 Peta sebaran pertumbuhan ekonomi di kab/kota di Pulau Jawa 2012 Berdasarkan uraian dekripsi di atas, terlihat bahwa peubah pada kab/kota yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan nilai. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai pengamatan di suatu kab/kota tidak saling bebas, melainkan ada ketergantungan spasial. Ketergantungan spasial terdapat pada peubah respon, dan pada peubah-peubah penjelasnya. Nilai peubah yang tidak salijg bebas ini, melanggar salah satu asumsi yang digunakan pada regresi biasa yang menggunakan metode kuadrat terkecil. Pada data dengan ketergantungan spasial, nilai penduga yang dihasilkan dengan metode kuadrat terkecil akan menjadi bias dan inkonsisten (LeSage 2008).

Selain itu, sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, perlu diketahui hubungan antara peubah-peubah yang digunakan pada penelitian ini. Matriks korelasi antar peubah seperti yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan tidak ada hubungan yang erat antara peubah penjelas, atau tidak ada multikolinieritas.

Tabel 2. Nilai korelasi antar peubah Peubah Y

Y 1.00

-0.67 1.00

-0.47 0.32 1.00

13

Uji Ketergantungan Spasial

Sebelum melakukan analisis regresi spasial, diperlukan uji secara statistik untuk mengetahui adanya ketergantungan spasial pada data panel. Untuk menguji ketergantungan spasial pada peubah respon, ketika > uji yang biasanya digunakan adalah Uji Lagrange Multiplier (LM Test) yang dikembangkan oleh Breusch dan Pagan tahun 1980. Menurut Hoyos et.al (2006), uji LM tepat untuk yang tetap dan → ∞. Namun ketika > dengan ukuran besar, maka uji LM akan bias. Pesaran (2004) memberikan alternatif jika ukuran besar, atau > dan data menyebar normal, yaitu dengan statistik Cross-sectional Dependency

(CD). Pada penelitian ini, sebaran dari peubah respon yaitu persentase kemiskinan kab/kota ditunjukkan oleh diagram kotak garis seperti tertera pada Gambar 7. Diagram menunjukkan bahwa data menyebar normal dengan beberapa pencilan, sehingga pengujian ketergantungan spasial dengan uji CD Pesaran sesuai untuk data panel ini.

Gambar 7 Diagram kotak garis peubah berdasarkan tahun Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0: = = korelasi (� , � = 0 untuk ≠ H1: = ≠ untuk beberapa ≠

Berdasarkan statistik uji pada persamaan (26), didapatkan nilai statistik CD=29.624 dan nilai- = 0.00 < =0.05. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, artinya pada data panel kemiskinan ini terdapat ketergantungan spasial pada peubah responnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan di suatu kab/kota, selain dipengaruhi oleh peubah penjelas yang dimilikinya, juga dipengaruhi oleh kemiskinan di kab/kota lain.

Sementara, untuk mengetahui ketergantungan spasial pada peubah-peubah penjelas, digunakan Indeks Moran untuk setiap peubah pada setiap tahunnya dengan menggunakan matriks pembobot invers jarak. Berdasarkan Tabel 4 didapatkan semua nilai- pada Uji Moran bernilai 0.000 kecuali peubah pada tahun 2009 yang bernilai 0.091. Hal ini mengindikasikan peubah-peubah penjelas pada penelitian ini juga memiliki ketergantungan spasial. Selain itu, semua nilai indeks bernilai positif yang berarti bahwa lokasi yang berdekatan cenderung memiliki kemiripan nilai.

14

Tabel 3 Nilai Indeks Moran dan nilai- pada peubah penjelas

Peubah 2008 2012

0.137* 0.134* 0.131* 0.127* 0.122*

0.365* 0.312* 0.530* 0.530* 0.420*

0.088* 0.024 0.194* 0.176* 0.217*

*) : Tolak H0 pada = 0.05

Pendugaan Data yang Tidak Tersedia

Pendugaan parameter pada regresi spasial panel, mensyaratkan data seimbang. Sementara pemekaran di Provinsi Banten yang menghasilkan dua kota baru yaitu Kota Serang dan Tangerang Selatan, mengakibatkan adanya data yang tidak tersedia pada kedua kota tersebut. Struktur data pada Kota Serang dan Tangerang Selatan, seperti terdapat pada Tabel 2.

Tabel 4 Struktur data pada Kota Serang (3673) dan Tangerang Selatan (3674)

Thn Id 2008 3673 69.43 - - - 2009 3673 69.99 17.55 5.74 6.19 2010 3673 70.61 17.11 7.68 7.03 2011 3673 71.45 13.84 7.85 6.25 2012 3673 72.3 10.8 7.06 5.69 2008 3674 - - - - 2009 3674 75.01 - - - 2010 3674 75.38 8.22 8.46 1.67 2011 3674 76.01 11.98 8.52 1.5 2012 3674 76.61 8.1 8.24 1.33

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melakukan pendugaan data yang tidak tersedia pada data panel. Metode yang biasa digunakan diantaranya adalah dengan Estimasi Maksimasi (EM Algorithm), Multiple Imputation (MI), dan lainnya. Namun seperti terlihat pada Tabel 2, data Kota Tangerang Selatan tahun 2008 tidak tersedia untuk semua peubah. Pada umumnya metode imputasi yang ada akan valid jika ada satu peubah yang hilang, dan yang lain tersedia. Sementara pada MI, mensyaratkan data yang hilang haruslah bersifat acak.

Pada penelitian ini, pendugaan dilakukan dengan rataan terboboti secara spasial, karena diketahui bahwa peubah-peubah yang digunakan memiliki ketergantungan spasial, yaitu terboboti luas tetangganya. Oleh karena itu, tetangga dengan luas yang lebih besar akan memiliki bobot yang lebih besar untuk memengaruhi nilai suatu peubah di kab/kota yang bersangkutan. Rumus yang digunakan tertera pada persamaan (25).

Kota Serang, hanya memiliki satu tetangga yang berbatasan yaitu Kabupaten Serang. Oleh karena itu, nilai dugaan peubah yang sama pada tahun sama di Kota Serang, sama dengan nilai peubah tersebut di Kabupaten Serang.

15

Sementara Kota Tangerang Selatan memiliki lima tetangga yang berbatasan yaitu: (1)Kabupaten Tangerang dengan bobot atau =0.232; (2)Kabupaten Bogor dengan bobot =0.645; (3)Kota Depok dengan bobot =0.049; (4)Kota Jakarta Selatan dengan =0.034; dan (5)Kota Tangerang dengan bobot =0.040. Berdasarkan persamaan (25), didapatkan hasil dugaan untuk data yang tidak tersedia di Kota Serang dan Tangerang Selatan seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pendugaan data yang tak tersedia

Thn Id

2008 3673 69.43 16.50 4.41 6.48

2008 3674 71.59 15.39 5.81 10.05

2009 3674 75.01 12.43 4.61 9.01

Pendugaan Parameter

Pendugaan parameter dilakukan dengan metode SAR dan SDM dengan pengaruh tetap, dengan matriks langkah ratu dan invers jarak. Pada model SDM, dimungkinkan untuk menerapkan matriks pembobot yang berbeda pada peubah respon dan peubah penjelasnya. Oleh karena itu, dilakukan pula pendugaan parameter dengan SDM dengan kombinasi matriks pembobot yang berbeda. Hasil pendugaan parameter model-model ini tertera pada Tabel 5.

Tabel 6 Penduga parameter model spasial dengan pengaruh tetap

Parameter Peubah SAR SAR SDM SDM SDM SDM langkah ratu invers jarak langkah ratu invers jarak :langkah ratu �:invers jarak : invers jarak �: langkah ratu (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) -1.40* -1.29* -1.55* -1.77* -1.60* -1.31* -0.09* -0.12* -0.09* -0.10* -0.09* -0.11* 0.07 0.07 0.06 0.02 0.03 0.06 0.35* 0.44* 0.39* 0.71* 0.36* 0.45* 0.31* 1.16* 0.41 0.00 0.02 0.12 0.25* -0.02 0.04 0.18 0.46* -0.01 73.81 72.36 73.96 74.84 75.60 72.27 AIC 1296.03 1336.90 1296.91 1307.74 1280.95 1342.21 * : nyata pada = 0.05

Berdasarkan AIC dan keenam model yang dihasilkan, didapatkan model terbaik adalah model SDM panel pengaruh tetap dengan untuk adalah langkah ratu dan untuk � adalah invers jarak. Model ini menghasilkan AIC

sebesar 1280.95, dengan sebesar 75.60%.

Sesuai dengan LeSage dan Pace (2006), untuk mengetahui pengaruh perubahan peubah penjelas pada peubah respon pada regresi spasial diukur dengan efek langsung, efek tidak langsung dan efek total. Hasil setiap efek pada keenam model yang terbentuk tertera pada Tabel 6. Hasil pendugaan parameter setiap model secara lengkap tertera pada Lampiran 3.

16

Pendugaan pengaruh tetap untuk setiap kab/kota (� ) dilakukan pada model terbaik, yaitu model SDM panel pengaruh tetap dengan untuk adalah langkah ratu dan untuk � adalah invers jarak. Hasil pendugaan seperti tertera pada Lampiran 4. Setelah pengaruh tetap setiap kab/kota dimasukkan ke dalam model, didapatkan ukuran kebaikan model �� berdasarkan persamaan (24) adalah sebesar 95.77%. Selisih nilai dengan nilai �� menggambarkan keragaman yang dapat dijelaskan oleh pengaruh tetap setiap kab/kota, terhadap persentase kemiskinan di suatu kab/kota , yaitu sebesar 20.17%. Model yang terbentuk adalah sebagai berikut:

= � − , − , + , + , ∑ = +

, ∑ = + , ∑ = + , ∑ = (31)

Tabel 7 Pengaruh langsung, tidak langsung, dan total peubah penjelas terhadap persentase kemiskinan Pengaruh Peubah SAR SAR SDM SDM SDM SDM langkah ratu invers jarak langkah ratu invers jarak :langkah ratu �:invers jarak : invers jarak �: langkah ratu Langsung -1.45* -1.30* -1.59* -1.78* -1.65* -1.33* -0.09* -0.12* -0.09* -0.10* -0.09* -0.11* 0.08 0.07 0.07 0.03 0.04 0.07 Tdk langsung -0.67* -1.01* -0.46* -0.33 -0.18 -1.06* -0.04* -0.09* 0.01 0.16 0.33* -0.14* 0.04 0.06 0.09 0.68 0.72* 0.07 Total -2.13* -2.32* -2.06* -2.12* -1.83* -2.39* -0.14* -0.21* -0.10* 0.06 0.24 -0.25* 0.12 0.13 0.16 0.71 0.76* 0.14 * : nyata pada = 0.05

Pada model terbaik, dilakukan pemeriksaan asumsi, yaitu kenormalan sisaan, kehomogenan ragam, dan tidak ada otokorelasi antara sisaan, yang masing-masing dijabarkan sebagai berikut:

1. Kenormalan sisaan.

Kenormalan sisaan dapat didekati dengan diagram kotak garis dari sisaan seperti yang tertera pada Gambar 8. Diagram menunjukkan sebaran sisaan simetris. Oleh karena itu, dapat disimpulkan sisaan dapat didekati dengan sebaran Normal, sehingga asumsi kenormalan sisaan terpenuhi.

17

Gambar 8 Diagram kotak garis sisaan 2. Kehomogenan ragam sisaan.

Salah satu cara memeriksa kehomogenan ragam sisaan adalah dengan plot antara sisaan dengan nilai ̂. Plot sisaan berdasarkan tahun menggambarkan sisaan terhadap pengaruh objek spasial yaitu kab/kota, seperti tertera pada Gambar 9. Berdasarkan gambar, terlihat plot tidak membentuk pola tertentu. Meskipun terlihat ada satu pencilan, dapat disimpulkan asumsi kehomogenan ragam terhadap pengaruh spasial terpenuhi. Pencilan merupakan nilai sisaan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008, yang merupakan hasil pendugaan, karena data tidak tersedia.

Gambar 9 Plot sisaan dan ̂ berdasarkan tahun

Plot sisaan berdasarkan kab/kota menggambarkan sisaan terhadap pengaruh waktu, seperti tertera pada Gambar 10. Berdasarkan gambar, terlihat plot membentuk pola, dan tidak acak. Sehingga, ada indikasi waktu berpengaruh terhadap model.

18

Gambar 10 Plot sisaan dan ̂ berdasarkan kab/kota 3. Tidak ada otokorelasi antara sisaan

Pemeriksaan dilakukan dengan pengujian korelasi Pearson antara � dengan � . Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: korelasi (� , � = 0 H1: korelasi (� , �

Hasil menunjukkan korelasi bernilai 0.93 dengan nilai- = 0.00 < =0.05, yang menunjukkan ada korelasi yang cukup kuat antara sisaan dengan sisaan pada tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan asumsi di atas, maka diperlukan penanganan terhadap pelanggaran asumsi yang diakibatkan oleh adanya pengaruh waktu terhadap model. Penanganan dilakukan dengan memodelkan sisaan terhadap sisaan tahun sebelumnya dengan menggunakan analisis regresi, sehingga sisaan adalah suatu fungsi dari sisaan tahun sebelumnya. Model yang terbentuk adalah sebagai berikut:

� = + � + (32)

dengan adalah konstanta, dan adalah koefisien parameter dari � yaitu sisaan tahun sebelumnya, dan adalah sisaan lokasi ke- dan deret waktu ke- � dari model. Hasil regresi menunjukkan koefisien seperti tertera pada Tabel 8.

Tabel 8 Koefisien hasil regresi antara � dengan �

Peubah Koefisien Galat baku Nilai hitung Nilai-

Konstanta -0.85 0.02 -46.41 0.00

Sisaan 0.88 0.01 53.79 0.00

Dari model didapatkan nilai sebesar 86.05% yang artinya keragaman sisaan dapat dijelaskan oleh sisaan tahun sebelumnya sebesar 86.05%, sedangkan 13.95% sisanya dijelaskan oleh peubah di luar model. Model sisaan yang terbentuk adalah sebegai berikut:

�̂ = − . + . (33)

Pada model sisaan pada persamaan (33), dilakukan pemeriksaan asumsi sebagai berikut:

19

�̂��

1. Kehomogenan ragam dengan plot antara dengan �̂ .

Untuk mengetahui adanya pengaruh waktu, plot dilakukan berdasarkan kab/kota, seperti tertera pada Gambar 11.

Gambar 11 Plot dan �̂ berdasarkan kab/kota

Berdasarkan plot diketahui bahwa sudah menyebar acak dan tidak membentuk pola tertentu, meski ada satu pencilan, yaitu milik Kota Tangerang Selatan pada tahun 2009 yang merupakan hasil dugaan. Secara umum, dapat disimpullkan bahwa asumsi kehomogenan ragam telah terpenuhi.

2. Tidak ada otokorelasi antara dengan

Pemeriksaan dilakukan dengan dengan pengujian korelasi Pearson antara dengan yaitu . Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: korelasi ( , = 0 H1: korelasi ( ,

Hasil menunjukkan korelasi bernilai 0.062 dengan nilai- = 0.247 > =0.05, yang menunjukkan tidak ada korelasi yang berarti antara dengan .

Oleh karena itu dapat disimpulkan, asumsi tidak ada otokorelasi antara telah terpenuhi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan asumsi, maka persamaan (31) menjadi sebagai berikut:

̂ = � − , − , + , + , ∑ = +

, ∑ = + , ∑ = + , ∑ = +

�̂ = − . + .

Dengan menyertakan pengaruh waktu pada sisaan, didapatkan sebesar 99.66%. Analisis Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan

Model terbaik yang didapatkan adalah dengan SDM pengaruh tetap, tetapi dengan matriks pembobot yang berbeda pada peubah penjelas dan peubah respon. Untuk peubah respon, matriks pembobot yang digunakan adalah langkah ratu. Hal ini dapat diartikan bahwa persentase kemiskinan di suatu kab/kota dipengaruhi

20

oleh tetangga yang berbatasan. Sementara matriks invers jarak yang digunakan pada peubah-peubah penjelas berarti, peubah-peubah penjelas di kab/kota lainnya berpengaruh terhadap persentase kemiskinan di suatu kab/kota, yang pengaruhnya tergantung pada jarak antar kedua kab/kota tersebut.

Pengaruh IPM Terhadap Kemiskinan

Pengaruh peubah Indeks Pembangunan Manusia yang dimiliki suatu kab/kota terhadap kemiskinan di kab/kota yang bersangkutan, tergambar dari pengaruh langsung . Dihasilkan koefisien yang negatif dan nyata terhadap kemiskinan, yaitu sebesar -1.65. Dibandingkan peubah lainnya, pengaruh langsung IPM adalah yang paling besar memengaruhi kemiskinan di kab/kota yang bersangkutan. Pengaruh IPM di kab/kota lain, tidak nyata memengaruhi kemiskinan di suatu kab/kota, dengan koefisien yang juga negatif yaitu sebesar -0.18.

Secara total, pengaruh IPM bernilai negatif terhadap kemiskinan, dengan koefisien sebesar -1.83. Ssehingga diketahui bahwa nilai IPM di semua lokasi berpengaruh nyata terhadap persentase kemiskinan di suatu kab/kota, yang didominasi oleh pengaruh IPM yang ada di kab/kota yang bersangkutan. Seperti halnya pada pengaruh langsung, koefisien pengaruh total IPM adalah yang paling besar dibandingkan peubah penjelas lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka meningkatkan IPM seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah dan instansi yang terkait, untuk menurunkan persentase kemiskinan di suatu kab/kota di Pulau Jawa. Hal ini penting mengingat IPM merupakan ukuran yang menggambarkan kondisi kelayakan hidup masyarakat di suatu kab/kota, yang mencakup kemampuan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pengaruh TPT Terhadap Kemiskinan

Peubah penjelas kedua adalah Tingkap Pengangguran Terbuka (TPT). Konsep pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS pada Sakernas mengacu pada “ILO Manual on Concepts and Methods” yaitu: (1)Orang yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan; (2)Orang yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha; (3)Orang yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; (4)Orang yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Data dikumpulkan berdasarkan kondisi dua minggu sebelum waktu pencacahan. TPT sendiri, adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.

Pengaruh TPT yang dimiliki suatu kab/kota terhadap kemiskinan di kab/kota tersebut tergambar dari pengaruh langsung . Model menghasilkan koefisien yang bernilai negatif dan nyata memengaruhi kemiskinan, yaitu sebesar -0.09. Didapatkan ada hubungan yang tidak searah antara TPT dengan kemiskinan suatu kab/kota di Pulau Jawa. TPT kab/kota yang lebih tinggi, ternyata memiliki persentase kemiskinan yang rendah.

Secara teoritis, jumlah pengangguran akan meningkatkan kemiskinan karena anggapan bahwa seseorang yang menganggur tidak mempunyai penghasilan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun menurut data kab/kota di Pulau Jawa, hubungan pengangguran tidak searah

21

dengan kemiskinan. Menurut Ratnasari (2014) fenomena tesebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dalam konteks rumah tangga, seseorang yang menganggur tidak secara otomatis menjadi miskin, karena kehidupannya dapat dipenuhi oleh anggota keluarga lain yang memiliki tingkat pendapatan tinggi. Sehingga, dapat mempertahankan kehidupan rumah tangganya tetap di atas garis kemiskinan.

2. Kab/kota dengan TPT yang tinggi dan kemiskinan yang rendah, banyak dijumpai di wilayah perkotaan, yaitu pada saat kelompok pelajar dan mahasiswa yang bukan angkatan kerja menamatkan pendidikan dan masuk dalam angkatan kerja, tetapi tidak langsung bekerja. Hal ini disebabkan karena ada jangka waktu hingga mereka mendapatkan pekerjaan. Selain itu, ada juga angkatan kerja yang sengaja berhenti bekerja, demi mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Kondisi ini menciptakan banyak pengangguran terdidik. Kelompok ini, meskipun tidak bekerja, kehidupannya masih di atas garis kemiskinan karena dapat ditopang oleh anggota rumah tangga yang lain.

3. Sebaliknya, kab/kota dengan TPT yang rendah dan kemiskinan yang tinggi, disebabkan tingkat pengangguran tersembunyi yang tinggi. Pengangguran tersembunyi yaitu orang yang bekerja dengan jam kerja yang rendah. Pada kelompok ini, mereka dicatat sebagai orang yang bekerja, namun dengan jam kerja yang rendah dan berimplikasi pada tingkat produktivitas yang rendah. Akibatnya, meskipun bekerja, kelompok ini tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan layak, sehingga berada di bawah garis kemiskinan.

4. Pada kelompok rumah tangga yang sangat miskin, jumlah pengangguran justru rendah, karena sebagian besar anggota rumah tangga bekerja untuk semata-mata bertahan hidup. Bahkan anak-anak dilibatkan untuk mencari nafkah, karena penghasilan orang tua tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan pendidikan yang rendah, penghasilan yang diterima oleh kelompok ini sangat rendah, di bawah garis kemiskinan. Sehingga, meskipun sebagian besar bekerja, penghasilan masyarakat pada kelompok ini tetap di bawah garis kemiskinan.

Sementara, pengaruh TPT di kab/kota lain bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di suatu kab/kota, dengan koefisien sebesar 0.33. Berdasarkan besaran koefisien, TPT di kab/kota lain, lebih berpengaruh besar dibandingkan pengaruh TPT yang dimiliki oleh kab/kota yang bersangkutan. Hal tersebut berpengaruh pada besaran koefisien pengaruh total TPT yang menghasilkan koefisien yang positif, namun tidak nyata memengaruhi kemiskinan di suatu kab/kota.

Berdasarkan uraian di atas, untuk menekan persentase kemiskinan di suatu kab/kota, selain memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi penduduk miskin, pemerintah juga seharusnya memerhatikan bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia dapat meningkatkan penghasilan mereka. Selain itu, berdasarkan fakta bahwa pada kasus ini TPT mempunyai hubungan yang tidak searah dengan persentase kemiskinan di suatu kab/kota, maka pemerintah dan instansi terkait sebaiknya tidak menjadikan TPT sebagai ukuran keberhasilan dalam bidang ketenagakerjaan di kab/kotanya, atau sebaliknya.

22

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan

Pengaruh pertumbuhan ekonomi suatu kab/kota terhadap kemiskinan di kab/kota tersebut, digambarkan oleh pengaruh langsung . Didapatkan koefisien pengaruh langsung pertumbuhan ekonomi bernilai positif sebesar 0.04, namun tidak nyata memengaruhi kemiskinan.

Sementara pengaruh pertumbuhan ekonomi di kab/kota lain terhadap kemiskinan di suatu kab/kota tergambar dari pengaruh tidak langsung . Didapatkan koefisien yang positif dan nyata memengaruhi kemiskinan, yaitu sebesar 0.72. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di kab/kota lain mempunyai pengaruh yang searah dengan kemiskinan di suatu kab/kota.

Sementara pengaruh total pertumbuhan ekonomi pada model menghasilkan koefisien positif yang relatif besar yaitu sebesar 0.76 dan nyata memengaruhi kemiskinan. Sama halnya dengan pengaruh tidak langsung yang juga nyata memengaruhi kemiskinan, pengaruh total pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang searah dengan persentase kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi didapatkan dari perubahan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di kab/kota, berdasarkan harga konstan. PDRB menggambarkan nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu kab/kota, dengan satuan Rupiah. Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan data, meningkatnya pertumbuhan ekonomi di suatu kab/kota, akan meningkatkan persentase kemiskinan di kab/kota tersebut dan kab/kota lain di Pulau Jawa. Hal ini sesuai dengan teori “trade off between growth and equity” yang menyatakan tingginya pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan semakin besarnya ketimpangan, dan pendapatan yang tidak merata. Menurut Torado (2000) pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai di Indonesia tidak mampu pengurangi tingkat kemiskinan, karena hanya dirasakan oleh sebagian kecil kalangan yang berpenghasilan tinggi, dan tidak menjangkau masyarakat miskin. Oleh karena itu, usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus diserta dengan usaha pemerataan, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin.

5 SIMPULAN

Pemodelan data panel kemiskinan di Pulau Jawa tahun 2008-2012 menghasilkan model terbaik adalah dengan metode SDM panel pengaruh tetap, dengan matriks pembobot yang berbeda pada peubah penjelas dan peubah penjelas. Pada peubah penjelas digunakan matriks langkah ratu, sedangkan pada peubah penjelas digunakan matriks invers jarak. Model ini adalah merupakan model terbaik dibandingkan model SAR maupun model SDM dengan kombinasi

Dokumen terkait