• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL

Penelitian pengaruh penambahan kapur ke dalam media pada lama waktu pergantian dan laju peningkatan kadar kalsium kulit serta konsekuensinya bagi pertumbuhan udang galah, terdiri atas 3 tahapan penelitian, yaitu tahap (1) Mengkaji penggunaan kapur pada laju peningkatan kadar kalsium kulit dan lama waktu molting udang galah (2) Mengkaji penggunaan kapur pada kadar kalsium kulit, tingkat konsumsi pakan, dan pertumbuhan udang galah (3) Mengkaji penggunaan kapur pada pertumbuhan biomas udang galah

Hasil penelitian untuk masing-msing tahapan penelitian diuraikan sebagai berikut :

PENELITIAN TAHAP I : Pengaruh Penggunaan Kapur pada Laju Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan Lama Waktu Postmolt Udang Galah

Kualitas Air

Penelitian mengenai pengaruh penambahan kalsium pada lama waktu molting dan laju peningkatan kadar kalsium kulit terdiri atas 5 perlakuan pemberian kalsium hidroksida Ca(OH)2, yaitu 0 mg/L, 15 mg/L, 30 mg/L, 45 mg/L, dan 60 mg/L dan masing-masing memiliki 3 ulangan.

Kualitas air media percobaan diupayakan layak bagi kehidupan dan dapat menjadi faktor penentu lama waktu molting udang, khususnya berkenaan dengan keberadaan kadar kalsium yang terkait dengan pembentukan kulit. Hasil analisis parameter fisika-kimia air disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai rataan parameter fisik - kimia air selama percobaan Dosis penambahan kalsium (mg/l) Parameter

0 15 30 45 60

Suhu ( oC) 24.02 ± 0.11 24.01 ± 0.10 23.99 ± 0.09 24.00 ± 0.09 24.02 ± 0.12 Ca Terlarut (mg/l) 18.53 ± 1.96 25.51 ± 2.38 29.03 ± 2.30 32.07 ± 2.15 35.32 ± 1.93 Alkalinitas (mg/l CaCO3.eq) 7.85 ± 2.38 23.39 ± 2.38 28.21 ± 4.08 31.89 ± 4.84 35.23 ± 4.07

pH 5.84 ± 0.31 6.12 ± 0.44 6.31 ± 0.33 6.44 ± 0.27 6.59 ± 0.20

DO (mg/l) 6.71 ± 0.39 6.68 ± 0.41 6.57 ± 0.45 6.59 ± 0.42 6.60 ± 0.36

TOM (mg/l) 20.17 ± 5.08 22.09 ± 6.81 20.52 ± 10.02 22.20 ± 9.19 23.33 ± 11.35

Rataan suhu air pagi, siang, dan sore hari untuk perlakuan penambahan kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L adalah24.02, 24.01, 23.99, 24.09 dan 24.02 oC. Fluktuasi suhu air yang relatif kecil terjadi karena penelitian dilakukan di dalam ruangan. Rataan kadar kalsium terlarut pada media yang memperoleh tambahan Ca(OH)2 berkisar antara 25.51 dan 35.32 mg/L sehingga menjadi lebih tinggi dari media (1) yang tidak memperoleh tambahan Ca(OH)2, yaitu 18.53 mg/L. Hubungan (R2) antara kadar kalsium terlarut dan tingkat dosis penambahan Ca(OH)2 adalah 0.96. Peningkatan penambahan Ca(OH)2 dari 15 menjadi 45 ppm mampu meningkatkan kadar kalsium terlarut dari 25.51 mg/L menjadi 32.07 mg/L. Peningkatan penambahan Ca(OH)2 sebesar 60 mg/L ternyata tidak meningkatkan kadar kalsium media.

Peningkatan kalsium terlarut media akibat penambahan Ca(OH)2 tersebut mengakibatkan peningkatan nilai pH dan alkalinitas. Rataan pH media percobaan perlakuan penambahan kapur 15, 30, 45, dan 60 mg/L berkisar antara 6.12 dan 6.59, lebih tinggi sedikit dibanding perlakuan penambahan kapur 0 mg/L (5.84). Rataan alkalinitas perlakuan penambahan kapur 15, 30, 45, dan 60 mg/L berkisar antara 23.39 dan 35.23 mg/L lebih tinggi dibanding perlakuan penambahan kapur 0 mg/L (7.85 mg/L). Rentang kisaran pH dan alkalinitas tersebut layak bagi kehidupan udang (Boyd, 1979).

Penambahan Ca(OH)2 ke dalam media sebesar 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L tidak mempengaruhi nilai oksigen terlarut dan bahan organik terlarut (TOM). Rataan oksigen terlarut dari media percobaan berkisar antara 6.57 dan 6.71 mg/L. Rataan TOM media percobaan berkisar antara 20.12 dan 23.33 mg/L. Keberadaan TOM belum mencapai pencemaran ringan. Keberadaan TOM masih

dapat dioksidasi oleh keberadaan oksigen terlarut sehingga pembentukan gas-gas beracun menjadi minimal.

Berdasarkan data parameter fisika-kimia air selama percobaan dapat dinyatakan bahwa (1) oksigen dan bahan organik terlarut pada media yang diberi kapur masih dalam rentang layak untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang, (2) ketersedian kalsium terlarut, alkalinitas, dan pH pada media yang diberi kapur meningkat sehingga akan mempengaruhi lama waktu postmolt dan kekerasan kulit.

Molting Udang

Ganti kulit (molting) udang galah merupakan pergantian kulit lama oleh kulit baru melalui tahapan proses berikut (1) premolt (2) molting (3) postmolt dan (4) intermolt. Keberhasilan proses ganti kulit tersebut tencermin dari kadar kalsium yang dicapai secara berurutan pada tahap ganti kulit mulai dari siap molting, molting, postmolt, intermolt, dan siap molting berikutnya. Keberhasilan percepatan proses ganti kulit tersebut dapat dievaluasi dari keberadaan kalsium dan kecepatan perubahan kadar kalsium selama proses ganti kulit.

Keberadaan rataan kalsium kulit pada tahap premolt, molting, dan postmolt selama percobaan tersajikan pada Tabel 10. Pada tahap molting, kadar kalsium kulit di setiap perlakuan penambahan Ca(OH)2 mencapai tingkat terendah, yaitu 2.859 mg/g. Keberadaan kadar kalsium kulit pada tahap molting yang tidak berbeda nyata tersebut (α = 0.05) diperkirakan terkendali oleh hormon molting. Setelah tahap molting, kadar kalsium kulit dari setiap perlakuan penambahan Ca(OH)2 meningkat dengan laju peningkatan yang berbeda sehingga pada tahap postmolt 20 hari berturut turut dari perlakuan penambahan Ca(OH)2 0, 15,30, 45, dan 60 mg/L, yakni 7.941, 9.091, 9.425, 10.094, dan 10.095 mg/g. Kadar kalsium kulit pada postmolt 20 hari cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis pemberian Ca(OH)2. Proses transfer kalsium media ke dalam tubuh/hemolimf melalui insang dengan mekanisme transport pasif, sedangkan dari hemolimf ke kulit udang dengan trasnport aktif yang memerlukan energi (Gambar 5). Peningkatan kadar kalsium kulit dari molting ke postmolt 20 hari tersebut mengindikasikan bahwa selama tahap postmolt terjadi peningkatan kadar kalsium

kulit. Peningkatan kadar kalsium kulit selama postmolt didukung hasil penelitian Cameron (1985b) yang menunjukkan bahwa sesaat setelah molting, kadar kalsium kulit kepiting adalah sebesar 3 mg/g dan pada postmolt 8 hari kadar kalsium kulit meningkat menjadi 30 mg/g.

Tabel 10. Rataan kadar kalsium kulit setiap tahap ganti kulit (mg/g) Dosis penambahan kalsium (mg/l)

Tahap 0 15 30 45 60 Analisis Statistik Premolt 7.934 8.903 8.308 9.518 8.951 NS Molting 1.875 2.514 3.648 2.963 3.295 NS Postmolt4 hr 6.109 (C) 8.032 (B) 7.574 (B) 9.309 (A) 5.436 (C) S Postmolt8 hr 6.353 (C) 8.128 (B) 7.837 (B) 9.432 (A) 6.715 (C) S

Postmolt 10 hr 6.786 (C) 8.801(AB) 8.302 (B) 9.515 (A) 8.022 (B) S

Intermolt (Postmolt

20 hari) 7.941 (C) 9.091 (B) 9.425(AB) 10.094 (A) 10.095 (A) S

Gambar 5. Transfer kalsium antara media, tubuh, dan kulit

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kadar kalsium kulit mengalami penurunan pada tahap premolt, selanjutnya meningkat pada tahap postmolt. Pada postmolt 20 hari, penggunaan Ca(OH)2 ternyata mampu meningkatkan kadar kalsium kulit sejalan dengan dosis penambahan kalsium.

TUBUH UDANG Ca2+ Ca2+ Ca2+ Ca2+ Ca2+ Ca2+ MEDIA Ca2+ Ca2+ Ca2+ Ca2+ INSANG KULIT

Periode Postmolt

Periode postmolt adalah waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan kadar kalsium kulit dari kadar kalsium minimal pada waktu molting, meningkat kembali sama seperti ketika premolt. Kadar kulit perlakuan penambahan kapur 0, 15, 30, dan 45 mg/L meningkat tajam pada postmolt 4 hari, selanjutnya dari tahap postmolt 4 hari sampai postmolt 8 hari, kadar kalsium kulit meningkat lambat. Sebaliknya, kadar kalsium kulit dari perlakuan penambahan Ca(OH)2 60 mg/L peningkatan kadar kalsium kulit sangat nyata pada penambahan kapur tahap molting sampai postmolt 8 hari meningkat lambat, selanjutnya postmolt 8 hari sampai postmolt 20 hari meningkat tajam. Dari pola perubahan kadar kalsium kulit pada postmolt 8 hari dari perlakuan penambahan kapur 15, 30, dan 45 mg/L telah mencapai 90%, sedangkan perlakuan penambahan kapur 60 mg/L baru mencapai 75.36%. Peningkatan kadar kalsium kulit selama postmolt didukung oleh hasil penelitian (Cameron, 1985b), yang mendapatkan bahwa laju peningkatan kadar kalsium kulit telah mencapi 89% setelah postmolt 8 hari. Adegboye (1974) menemukan bahwa lama waktu postmolt Crayfish ternyata ditentukan oleh banyaknya kalsium yang diambil dari lingkungan untuk pengerasan kulitnya.

Hubungan antara kadar kalsium kulit dari setiap perlakuan penambahan kapur dengan waktu ternyata memenuhi persamaan regresi linear yaitu Y1 = 3.479 + 0.270X, Y2 = 4.1031 + 0.33X, Y3 = 5.1165 + 0.2595X, Y4 = 4.789 + 0.3541X, Y5 = 4.1223 + 0.315X, dengan R2 berturut-turut adalah 0.76, 0.67, 0.75, 0.65, dan 0.93. Berdasarkan persamaan regresi tersebut, lama waktu postmolt pada perlakuan penambahan kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L masing-masing adalah 17, 15, 12, 13, dan 15 hari untuk mencapai kadar seperti pada waktu siap molting .

Tabel 11. Perkiraan lama waktu postmolt dan intermolt (hari) Dosis penambahan kalsium (mg/l) Proses

0 15 30 45 60

Siklus molting 30 25 25 23 21

Postmolt 17 15 12 13 15

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa penambahan kapur sampai 45 mg/L mampu mempercepat lama waktu postmolt, sedangkan lebih dari 45 mg/L menghambat. Lama waktu postmolt tercepat diperoleh dalam penggunaan kapur 30 mg/L, yaitu 12 hari.

.

Konsumsi Pakan Harian

Rataan konsumsi pakan harian (RKPH) mencerminkan intensitas makan selama periode perkembangan dari proses molting. Rataan konsumsi pakan harian dari premolt sampai molting, dari molting sampai postmolt 4 hari, dan dari postmolt 4 hari sampai postmolt 8 hari antarperlakuan penambahan kapur tidak berbeda nyata. Selanjutnya, konsumsi pakan harian antara postmolt 8 hari sampai akhir postmolt dan dari akhir postmolt sampai molting berikutnya berbeda nyata antarperlakuan penambahan kapur (α = 0.05). Pada periode postmolt 8 sampai postmolt 10, RKPH mulai meningkat pada penambahan kapur 15 mg/L, selanjutnya mencapai maksimum pada penambahan kapur 30, 45, dan 60 mg/L. Pada periode posrmolt 10 hari sampai akhir postmolt, RKPH meningkat pada penambahan kapur 30 dan 45 mg/L, kemudian menurun pada penambahan kapur 60 mg/L dan tertinggi pada penambahan kapur 45 mg/L. Pada periode akhir postmolt sampai molting berikutnya, RKPH berbeda nyata hanya pada perlakuan penambahan kapur 45 mg/L.

Tabel 12. Rataan konsumsi pakan harian (g/g)

Dosis penambahan kalsium (mg/l) No Proses Ganti Kulit Parameter

0 15 30 45 60 Uji Statistik Rataan 0.008 0.006 0.004 0.005 0.004 NS 1 Premolt –Molting 1 Waktu 1 1 1 1 Rataan 0.041 0.044 0.051 0.042 0.045 NS 2 Molting1 – postmolt 4 hr Waktu 4 4 4 4 4 Rataan 0.039 0.032 0.038 0.034 0.032 NS 3 Postmolt 4 hr – postmolt 8 hr Waktu 4 4 4 4 4

Rataan 0.029 (B) 0.038 (AB) 0.040 (A) 0.042 (A) 0.048 (A) S 4 Postmolt 8 hr – postmolt 10 hr

Waktu 2 2 2 2 2

Rataan 0.027 (B) 0.028 (B) 0.034 (AB) 0.038 (A) 0.033 (AB) S 5 Postmolt 10 hr – akhir

postrmolt Waktu 7 5 2 3 5

Rataan 0.028 (B) 0.027 (B) 0.028 (B) 0.042 (A) 0.027 (B) S 6 Akhir postrmolt – Molting 2

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa penggunaan kapur berpengaruh pada RKPH, meningkat mulai penggunaan kapur 15 dan mencapai maksimum pada penambahan kapur 45 mg/L, selanjutnya menurun pada penambahan kapur 60 mg/L. Perbedaan RKPH berimplikasi pada ketersediaan jumlah energi bagi pertumbuhan udang, yang mulai meningkat pada penambahan kapur 15 dan 30 mg/L dan mencapai maksimum pada penambahan kapur 45 mg/L dan selanjutnya menurun pada penambahan kapur 60 mg/L.

Dari hasil analisis data penelitian tahap 1 dapat dinyatakan bahwa (1) pengggunaan kapur sebanyak 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L mampu meningkatkan kadar kalsium kulit pada tahap postmolt 20 hari (2) Penggunaan kapur sebanyak 30 dan 45 mg/L mampu mempercepat lama waktu postmolt, selanjutnya lebih dari 45 mg/L menghambat lama waktu postmolt dan (3) penggunaan kapur 15, 30, 45 mg/L mampu meningkatkan RKPH, mencapai maksimum pada 45 mg/L selanjutnya menurun pada 60 mg/L.

PENELITIAN TAHAP II : Konsekuensi Penggunaan Kapur pada Lama Siklus Molting, Tingkat Konsumsi Pakan, dan Pertumbuhan Udang Galah

Kualitas Air

Penelitian penambahan kapur ke dalam media menyebabkan perubahan beberapa parameter fisika-kimia air terutama adalah kalsium terlarut, alkalinitas, dan pH air. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air selama percobaan tersajikan pada Tabel 13.

Kalsium yang ditambahkan ke dalam media apakah akan larut atau mengendap dipengaruhi oleh pH air. Pada pH lebih besar dari 7.8, tambahan kapur ke dalam air akan mengendap kalsium dalam bentuk CaCO3, sedangkan pada pH di bawah 7.8 akan terlarut dalam bentuk kalsium bikarbonat Ca(HCO3). Penambahan kapur ke dalam air akan meningkatkan alkalinitas dan meningkatkan daya penyangga perairan.

Rataan kadar kalsium terlarut pada perlakuan penambahan kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L adalah 21.56 – 21.78 mg/l, 27.33 – 27.62 mg/l, 28.19 – 30.57

mg/l, 30.47 – 31.49 mg/l, dan 32.99 – 33.73 mg/l. Sementara itu, pH air antarperlakuan penambahan kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L perbedaanya relatif kecil, yaitu 5.97 – 6.13, 6.29 – 6.44, 6.35 - 6.59, 6.45 – 6.66, dan 6.52 – 6.72.

Tabel 13. Parameter fisika-kimia air selama percobaan

Perlakuan Periode Parameter 1 2 3 4 5 Suhu (o C) 24.00 ± 0.00 24.09 ± 0.03 24.12 ± 0.26 24.00 ± 00 23.94 ± 0.05 Ca Terlarut (ppm) 21.56 ± 1.44 27.33 ± 1.04 28.19 ± 0.92 30.47 ± 2.11 32.99 ± 1.51 Alkalinitas (CaCO3 eq) 6.96 ± 1.56 24.26 ± 1.94 26.53 ± 1.01 29.24 ± 2.13 31.39 ± 1.91 pH 6.00 ± 0.41 6.44 ± 0.14 6.55 ± 0.14 6.64 ± 0.16 6.70 ± 0.11 DO (ppm) 6.27 ± 0.64 6.53 ± 0.26 6.39 ± 0.31 6.41 ± 0.19 6.58 ± 0.27 1-20 hari TOM (ppm) 43.29 ± 18.12 43.22 ± 13.29 49.93 ± 17.71 50.51 ± 18.65 46.77 ± 14.92 Suhu (o C) 24.05 ± 0.08 24.05 ± 0.08 23.97 ± 0.05 24.00 ± 0.00 24.05 ± 0.12 Ca Terlarut (ppm) 21.76 ± 1.02 27.54 ± 1.34 29.31 ± 1.66 30.98 ± 2.15 33.12 ± 2.11 Alkalinitas (CaCO3 eq) 8.94 ± 4.81 18.96 ± 4.21 20.26 ± 5.19 25.87 ± 3.72 27.59 ± 3.19 pH 6.13 ± 0.14 6.43 ± 0.24 6.59 ± 0.15 6.66 ± 0.16 6.72 ± 0.13 DO (ppm) 6.27 ± 0.47 6.45 ± 0.13 6.19 ± 0.22 6.27 ± 0.19 6.41 ± 0.23 20-40 hari TOM (ppm) 36.42 ± 17.73 34.64 ± 16.65 41.29 ± 19.1 39.7 ± 20.3 39.18 ± 16.42 Suhu (o C) 24.00 ± 0.00 24.05 ± 0.08 23.99 ± 0.08 24.00 ± 0.00 24.07 ± 0.10 Ca Terlarut (ppm) 21.78 ± 1.69 27.62 ± 1.22 30.57 ± 1.42 31.49 ± 1.75 33.73 ± 1.37 Alkalinitas (CaCO3 eq) 11.63 ± 4.24 19.56 ± 5.83 20.21 ± 5.69 27.70 ± 3.81 28.95 ± 4.53 pH 5.97 ± 0.31 6.29 ± 0.37 6.35 ± 0.37 6.45 ± 0.29 6.52 ± 0.19 DO (ppm) 6.33 ± 0.13 6.34 ± 0.15 6.21 ± 0.18 6.14 ± 0.33 5.93 ± 0.53 40-60 hari TOM (ppm) 40.08 ± 20.97 40.35 ± 16.4 41.61 ± 25.31 43.16 ± 22.46 43.19 ± 18.82

Penambahan Ca(OH)2 ke dalam air sebanyak 15, 30, 45 dan 60 mg/L menyebabkan alkalinitas media meningkat menjadi 18.96 – 31.39 eq CaCO3 dibandingkan media yang tidak ditambah kapur yang hanya 6.96 - 11.63 eq CaCO3. Alkalinitas yang meningkat tersebut akibat dari peningkatan kadar kalsium terlarut.

Penambahan Ca(OH)2 ke dalam air dengan pH air awal percobaan yang rata-rata 5.9, menyebabkan Ca(OH)2 terurai mejadi ion Ca2+ dan H2O sehingga ion Ca2+ yang terlarut dalam air meningkat. Keberadaan Ca(OH)2 dalam air akan bereaksi dengan H+, mengakibatkan pH meningkat, walaupun peningkatan nilai pH relatif kecil. Perubahan pH media yang tidak terlalu nyata tersebut disebabkan adanya sistem penyangga (buffer) perairan.

Kandungan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dalam mendukung kehidupan organisme. Rataan kandungan oksigen terlarut terendah selama penelitian perlakuan 1–5 adalah 6.27, 6.34, 6.21, 6.14, dan 5.93 mg/L. Kadar oksigen tersebut masih dalam rentang yang layak untuk mendukung kehidupan udang dan mampu menjaga suasana oksidatif pada habitat udang.

Rataan kadar bahan organik tertinggi pada penambahan Ca(OH)2 0, 15, 30, 45 dan 60 mg/L adalah 43.29, 43.22, 49.53, 50.51, dan 46.77 mg/L. Kadar bahan organik terlarut masih relatif rendah sehingga potensi terbentuknya zat-zat racun bagi kehidupan udang relatif kecil.

Dari Data fisika-kimia air selama percobaan penelitian tahap 2 dapat dinyatakan bahwa (1) oksigen dan bahan organik terlarut dari media yang diberi kapur masih dalam rentang yang layak untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang, (2) Ketersedian kalsium terlarut, alkalinitas, dan pH media yang diberi kapur meningkat dan akan berperan dalam menentukan lama waktu siklus molting dan kemantapan kalsium kulit.

Kemantapan Kalsium

Kemantapan kalsium adalah keberadaan tingkat dan perubahan kadar kalsium pada setiap satu tahap molting tertentu dari beberapa siklus molting relatif sama dan atau meningkat. Kemantapan kalsium diukur selama 3 siklus molting. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar kalsium kulit postmolt 2 hari di setiap siklus 1, 2, dan 3 antarperlakuan penambahan kapur tidak berbeda nyata, namun kadar kalsium pada postmolt 2 hari antarsiklus 1, 2, dan 3 menunjukkan indikasi meningkat, yaitu mulai dari 3.753 mg/g menjadi 4.355 mg/g kemudian menjadi 4.559 mg/g (Tabel 14). Kadar kalsium postmolt 2 hari yang tidak beda nyata di setiap siklus molting memberikan indikasi bahwa perlakuan penambahan kapur belum berpengaruh pada peningkatan kadar kalsium kulit dan mulai berbeda nyata pada postmolt 4 hari seperti pada penelitian 1.

Tabel 14. Rataan kadar kalsium kulit postmolt 2 dan 8 hari (mg/g) Dosis penambahan kalsium (mg/l)

No Tahap Molting 0 15 30 45 60 Uji statistik Tahap molting (M+2) Siklus molting 1 3.127 3.907 3.647 4.130 3.957 NS Siklus molting 2 3.760 4.457 4.327 4.750 4.483 NS 1 Siklus molting 3 4.230 4.673 4.480 4.767 4.770 NS Tahap postmolt (M+8) Siklus molting 1 6.790 6.577 6.703 7.673 7.790 NS

Siklus molting 2 6.916 (B) 7.260 (B) 7.106 (B) 7.960(AB) 8.816 (A) S 2

Siklus molting 3 7.403 (B) 7.420 (B) 8.343(AB) 8.107 (B) 9.210 (A) S

Pada tahap postmolt 8 hari, kadar kalsium kulit siklus 2 dan 3 berbeda nyata antarperlakuan penambahan kapur, kecuali pada siklus molting 1. Kadar kalsium kulit dari urutan terendah berturut-turut adalah pada perlakuan penambahan kapur 0 dan 15 mg/L, 30 dan 45 mg/L, serta 60 mg/L. Kadar kalsium kulit yang mendapat perlakuan kapur sama atau lebih besar dari yang tidak ditambah kapur, mengindikasikan bahwa kadar kapur kulit siklus 1, 2, dan 3 ternyata mantap meningkat.

Berdasarkan keberadaan dan perubahan kadar kapur kulit antarperlakuan pada setiap siklus molting, meningkat dan mantap untuk siklus molting 1, 2 dan 3.

Konsumsi Pakan Harian

Rataan konsumsi pakan harian mengalami perubahan sesuai dengan aktivitas makan dari udang sewaktu periode premolt, molting, postmolt, dan intermolt. Pada periode premolt, RKPH menurun bahkan pada tahap molting RKPH sangat minimal. Selanjutnya pada periode postmolt, RKPH kembali meningkat dan berlanjut pada periode intermolt. Rataan konsumsi pakan dari molting sampai postmolt 8 hari antarperlakuan pada siklus molting 1 tidak berbeda nyata, sedangan pada siklus molting 2 dan 3 berbeda nyata (Tabel 15)

Tabel 15. Rataan tingkat konsumsi pakan harian (g/g) pada postmolt dan intermolt

Dosis penambahan kalsium (mg/l) No Proses molting 0 15 30 45 60 Uji statistik Postmolt (M - M+8) Siklus molting1 0.029 0.032 0.035 0.038 0.034 NS (8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari) Siklus molting2 0.023 (B) 0.036 (AB) 0.037 (A) 0.044 (A) 0.039 (A) S

(8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari) Siklus molting3 0.018 (B) 0.029 (A) 0.032 (A) 0.037 (A) 0.031 (A) S 1

(8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari) (8 hari)

Intermolt (M+8 - Mni)

Siklus molting1 0.018 (B) 0.030 (AB) 0.036 (A) 0.042 (A) 0.040 (A) S (12 hari) (4 hari) (6 hari) (4 hari) (6 hari) Siklus molting2 0.017 (C) 0.023 (BC) 0.029 (AB) 0.038 (A) 0.031 (AB) S

(19 hari) (14 hari) (7 hari) (11 hari) (13 hari) Siklus molting3 0.018 (C) 0.017 (C) 0.027 (AB) 0.031 (A) 0.025 (B) S 2

(19 hari) (14 hari) (15hari) (16 hari) (13 hari)

Tingkat konsumsi pakan pada intermolt pada setiap siklus molting antarperlakuan penambahan kapur berbeda nyata (α = 0.05). Pada siklus molting 1, RKPH meningkat mulai penambahan kapur 15 mg/L dan mencapai maksimum pada penambahan kapur 30, 45, dan 60 mg/L. Pada siklus molting 2 dan 3, RKPH mulai meningkat pada penambahan kapur 15 mg/L dan mencapai maksimum pada penambahan kapur 45 dan selanjutnya menurun pada penambahan kapur 60 mg/L.

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa penggunaan kapur berimplikasi lanjut pada RKPH, mulai meningkat pada penambahan kapur 15 mg/L, mencapai maksimum pada penambahan kapur 45 mg/L dan selanjutnya menurun pada penambahan kapur 60 mg/L.

Total Konsumsi Pakan

Total konsumsi pakan pada setiap siklus molting yang dipantau terdiri atas jumlah pakan yang dikonsumsi periode dari molting sampai postmolt 8 hari dan jumlah pakan periode dari postmolt 8 hari sampai molting berikutnya (Tabel 16). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa total konsumsi pakan postmolt pada setiap siklus molting antarperlakuan penambahan kapur berbeda nyata (α = 0.05). Total konsumsi pakan postmolt siklus molting 2 dan 3 cenderung meningkat sejalan dengan penambahan kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L

Tabel 16. Total konsumsi pakan (g/g) pada postmolt dan intermolt Dosis penambahan kalsium (mg/l)

No Proses molting 0 15 30 45 60 Uji statistik Proses postmolt (M – M+8) Siklus molting1 0.232 0.261 0.288 0.308 0.272 NS

Siklus molting 2 0.181 (B) 0.292 (A) 0.294 (A) 0.358 (A) 0.313 (A) S Siklus molting 3 0.147 (B) 0.237 (AB) 0.256 (A) 0.296 (A) 0.249 (A) S 1

Sub TKP postmolt 0.560 (B) 0.791 (A) 0.839 (A) 0.961 (A) 0.834 (A) S 2 Proses intermolt (M+8 - Mni)

Siklus molting 1 0.219 0.101 0.181 0.171 0.225 NS

Siklus molting 2 0.317 0.306 0.239 0.407 0.390 NS

Siklus molting 3 0.342 0.209 0.408 0.502 0.322 NS

Sub TKP intermolt 0.787 0.666 0.829 1.080 0.939 NS

Total konsumsi pakan pada fase intermolt di setiap siklus molting antara perlakuan penambahan kapur tidak berbeda nyata . Tingkat konsumsi pakan postmolt yang berbeda nyata , ternyata tidak berlanjut pada total konsumsi pakan pada intermolt, karena tingkat konsumsi pakan yang tinggi terjadi dengan waktu siklus molting yang cepat (52–56 hari), sedangkan konsumsi pakan yang rendah terjadi dengan lama waktu siklus molting yang panjang (74 hari).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa total konsumsi pakan postmolt siklus 1 tidak berbeda nyata antara perlakuan penambahan kapur, sedangkan pada siklus molting 2 dan 3 total konsumsi pakan berbeda sehingga perbedaan ini menjadi sumber pasokan pakan awal berbeda untuk potensi pertumbuhan. Total konsumsi pakan intermolt di setiap siklus molting tidak berbeda nyata meskipun lama waktu siklus molting berbeda sehingga pasokan pakan harian berbeda.

Pertumbuhan Udang

Pertumbuhan udang merupakan suatu proses perpaduan antara molting dan peningkatan biomas somatik. Pertumbuhan somatik ditentukan oleh tingkat konsumsi pakan, sedangkan lama waktu postmolt ditentukan oleh laju pengendapan kalsium di kulit. Pertumbuhan udang terjadi melalui beberapa kali proses molting.

Hasil pemantauan bobot individu udang pada tahap molting, postmolt 2, dan 8 hari selama 3 siklus molting, diperoleh persamaan regresi pertumbuhan

individu udang berbentuk logistik eksponensial dengan rumus Wt = Wo egt , dengan R2 berturut-turut sebesar 0.98, 0.96, 0.97, 0.94, dan 0.95 (Gambar 6). Urutan laju pertumbuhan dari yang terkecil adalah perlakuan penambahan kapur 0, 60, 15, 30, dan 45 mg/L berturut-turut adalah 0.006, 0.009, 0.010, 0.010, dan 0,012. Laju pertumbuhan tersebut merupkan bentuk respons stimulus dari RKPH. Selanjutnya, efisiensi pemanfaatan pakan mulai dari nilai terkecil adalah perlakuan penambahan kapur 60, 0, 45, 30 dan 15 mg/L berturut-turut adalah 26.90, 27.00, 28.20, 30.30, dan 40,45 %.

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pemberian kapur berimplikasi pada pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan. Laju pertumbuhan mulai perlakuaan penambahan kapur 15 mg/L meningkat mencapai maksimal pada perlakuan penambahan kapur 45 mg/L dan selanjutnya menurun pada perlakuan 60 mg/L. Dari aspek efisiensi pemanfaatan pakan, penggunaan kapur mulai perlakuan 15 mg/L mencapai maksimal selanjutnya menurun pada perlakuan 30, 45, dan 60 mg/L. 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 0 20 40 60 80 Waktu (hari) B obot ( g ) Expon. (P1) Expon. (P2) Expon. (P3) Expon. (P4) Expon. (P5)

Gambar 6. Pertumbuhan individu udang

Dari uraian penelitian tahap 2 dapat dinyatakan bahwa (1) penggunaan kapur mampu meningkatkan dan mempertahankan kekerasan kulit (2) penggunaan kapur mulai dari dosis 15 mg/L meningkatkan RKPH, mencapai maksimal pada perlakuan 45 mg/L selanjutnya menurun pada perlakuan 60 mg/L (3) . Konsumsi pakan mulai perlakuaan penambahan kapur 15 mg/L meningkat

mencapai maksimal pada perlakuan penambahan kapur 45 mg/L dan selanjutnya menurun pada perlakuan 60 mg/L, efisiensi pemanfaatan pakan, penggunaan kapur mulai perlakuan 15 mg/L mencapai maksimal selanjutnya menurun pada perlakuan 30, 45, dan 60 mg/L.

Periode Siklus Molting

Periode siklus molting ditentukan oleh kecepatan pertumbuhan somatik yang berakibat pada ukuran kulitnya tidak mampu lagi mengimbangi peningkatan besar ukuran tubuh yang menyebabkan udang perlu ganti kulit. Percobaan ini dilakukan selama 3 kali siklus molting. Periode siklus molting sesuai dengan pertumbuhan dan perubahan kadar kalsium kulit disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Rataan lama waktu siklus molting 1, 2 dan 3 (hari) Dosis penambahan kalsium (mg/l) Siklus

0 15 30 45 60 Uji statistik

Molting 1 20 (B) 12 (A) 14 (A) 12 (A) 14 (A) S

Molting2 27 (C) 22 (BC) 15 (A) 19 (AB) 21 AB) S

Molting3 27 22 23 24 21 NS

Total (hari) 74 56 52 56 56

Hasil uji ragam periode antarsiklus molting 1 dan siklus molting 2 antarperlakuan penambahan dosis kapur berbeda nyata kecuali pada siklus molting 3 (α = 0.05). Periode siklus molting 1 lebih cepat pada media yang ditambah kapur 15 , 30, 45, dan 60 mg/L dibanding yang tidak ditambah kapur. Periode molting siklus 1 dan 2 yang berbeda tersebut disebabkan oleh laju pertumbuhan individu udang yang lebih tinggi pada media yang ditambah kalsium terutama pada kadar 30 dan 45 mg/L. Pada periode siklus molting 3 tidak berbeda antarperlakuan penambahan kapur. Pada siklus molting 3 dengan lama percobaan telah mencapai 56–74 hari, pertumbuhan parsial udang sama mendekati bobot maksimal sehingga lama waktu siklus molting 3 tidak berbeda nyata antarperlakuan penambahan kapur. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Adegboye (1983) yang menemukan semakin tinggi bobot krustase, periode siklus molting lebih lambat (R2 = 0.65).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa periode postmolt yang dipercepat dengan tingkat konsumsi pakan yang meningkat dan laju pertumbuhan individu yang lebih tinggi dapat mempercepat periode siklus molting 1 dan 2.

PENELITIAN TAHAP III : Pengaruh Penggunaan Kapur pada Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Biomas Udang Galah

Berdasarkan penelitian tahap 1 dan 2 ternyata penambahan kapur ke dalam media hingga sebasar 30 mg/L dapat mempercepat lama waktu postmolt, sedangkan penambahan lebih dari 45 mg/L akan memperlambat lama waktu postmolt. Tingkat konsumsi pakan dan laju pertumbuhan individu tertinggi ditemukan pada perlakuan penambahan kalsium 45 mg/L dan efisiensi perlakuan penambahan kalsium 15 mg/L. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap lama waktu molting, tingkat konsumsi pakan, laju pertumbuhan, dan efisiensi pemanfaatan tersebut maka pada tahap penelitian 3 ditetapkan 3 perlakuan penambahan kapur sebesar 0, 30, dan 60 mg/L, dengan harapan dapat menimbulkan hasil pertumbuhan biomas yang berbeda.

Kualitas Air

Hasil pantauan parameter fisika-kimia air selama percobaan tersajikan pada Tabel 18. Rata-rata kadar kalsium terlarut, pH, dan alkalinitas perlakuan penambahan kalsium 30 dan 60 mg/L lebih tinggi dibanding perlakuan penambahan kalsium 0 mg/L. Penambahan Ca (OH)2 ke dalam air pada pH air awal percobaan rata-rata 6.1, terurai mejadi ion Ca2+ dan H2O, sehingga ion Ca2+ terlarut dalam air meningkat. Keberadaan Ca(OH)2 dalam air bereaksi dengan H+, akibatnya pH akan meningkat (Tabel 18).

Peningkatan kadar kalsium di media percobaan akibat penambahan kalsium 30 mg/l dan 60 mg/l, mampu meningkatkan alkalinitas air media sebesar 3 kali

Dokumen terkait