• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bobot badan standarisasi

Hasil koreksi bobot badan dengan nilai koefisien keragaman kambing Boerka F2 disajikan pada tabel berikut.

Tabel 8. Perbandingan bobot badan nyata dan terkoreksi

Variabel x ± sb (kg) KK (%)

Bobot lahir 2,77 ± 0,52 20

Bobot lahir terkoreksi 3,32 ± 0,46 14

Bobot sapih 8,05 ± 1,4 18

Bobot sapih terkoreksi 8,99 ± 1,56 17

Bobot 6 bulan 10,53 ± 2,30 22

Bobot 6 bulan terkoreksi 10,83 ± 2,21 20 KK = koefisien keragaman

Gambar 3.Perbandingan nilai rataan bobot kambing Boerka (F2)

Koreksi terhadap jenis kelamin, tipe kelahiran dan umur induk menunjukkan bahwa bobot badan terkoreksi lebih besar dibandingkan bobot badan nyata (Tabel 8). Hal ini menunjukkan keragaman data setelah dikoreksi lebih tinggi dibandingkan tidak dikoreksi. Menurut Davendra dan Burn (1994) tujuan koreksi data adalah untuk mengurangi pengaruh keragaman data yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Variasi yang tinggi akan berpengaruh

0 2 4 6 8 10 12

Bobot lahir Bobot sapih Bobot 6 bulan

B ob ot b ad an ( k g) Umur Nyata Terkoreksi

terhadap nilai parameter genetik. Sehingga proses seleksi bersifat fair yang bebas dari pengaruh (Kurnianto et al., 2011).

Hasil analisis statistik pada koefisien keragaman (KK) sebagaimana disajikan pada Tabel 8, dapat dikemukakan bahwa nilai keragaman dari masing-masing sifat bervariasi. Keragaman pada sifat terkoreksi bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan masing-masing adalah 14%, 17% dan 20%. Keragaman bobot 6 bulan lebih besar dibandingkan bobot lainnya. Menurut Noor (1995) keragaman fenotip yang timbul dapat disebabkan oleh adanya keragaman genetik dan keragaman lingkungan.

Bobot lahir

Tabel 9. Rataan bobot lahir Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran.

Uraian Bobot lahir (kg)

Jenis kelamin - Jantan 2,88 ± 0,48 - Betina 2,66 ± 0,53 Tipe Kelahiran - Tunggal 2,83 ± 0,58 - Kembar dua 2,63 ± 0,37

Hasil analisis terhadap bobot lahir sebagaimana pada Tabel 9, yaitu pada anak jantan (2,88 ± 0,48 kg) dan betina (2,66 ± 0,53 kg) lebih besar dibandingkan penelitian Mahmilia et al. (2014) yaitu sebesar (2,21 ± 0,51 kg) pada jantan dan (2,01 ± 0,52 kg) untuk betina dan penelitian Elieser et al. (2006) masing-masing pada jantan dan betina yaitu : (2,49 ± 0,69 kg) dan (2,24 ± 0,53 kg).

Berdasarkan jenis kelamin bobot lahir kambing jantan lebih besar dibandingkan betina. Hal ini berkaitan dengan sifat fetus jantan yang lebih baik dalam menyerap nutrisi induk dibandingkan betina (Davendra and Burns, 1994). Hal ini didukung oleh pernyataan Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa

selama pertumbuhan prenatal, plasenta jantan lebih besar jika dibandingkan dengan betina. Dengan demikian kesempatan fetus jantan untuk memperoleh zat makanan cukup banyak jika dibandingkan dengan yang betina.

Pada Tabel 9, anak kambing dengan kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang tinggi dibandingkan dengan kelahiran kembar dengan nilai masing-masing adalah (2,83 ± 0,58) dan (2,63± 0,37) kg. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Elieser et al.(2006) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing Boerka F1 berdasarkan kelahiran tunggal dan kembar masing masing adalah (2,43±0,07) dan (2,12±0,11) kg. Menurut Lindsay (1982), anak kambing yang dilahirkan dengan tipe kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih besar, hal ini disebabkan zat makanan yang diperoleh fetus dari induk yang memiliki anak tunggal lebih banyak dibandingkan anak kembar. Ramsey et al (1994) menambahkan bahwa semakin banyak anak yang dihasilkan per kelahiran maka semakin ringan rataan bobot lahir anak yang dicapai.

Bobot sapih

Tabel 10. Rataan bobot sapih Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran.

Uraian Bobot Sapih (kg)

Jenis kelamin - Jantan 8,18 ± 1,29 - Betina 7,83 ± 1,52 Tipe Kelahiran - Tunggal 7,96 ± 1,36 - Kembar dua 7,93 ± 2,93

Rataan bobot sapih kambing Boerka berdasarkan jenis kelamin yaitu (8,18 ± 1,kg ) pada jantan dan (7,83 ± 1,52 kg) pada betina, lebih rendah dibandingkan penelitian Elieser et al. (2006) masing-masing anak jantan dan betina yaitu (9,89 ±0,95 kg) dan (9,57 ± 0,56 kg) dan penelitian Doloksaribu et al.

(2005) dengan kisaran (9-15 kg) untuk jantan dan (8-12 kg) pada betina. Hal ini dapat disebabkan pengaruh nutrisi induk sehingga mengurangi kemampuan anak untuk pertumbuhan. Bobot sapih banyak dipengaruhi oleh bobot lahir, banyaknya

susu induk, jenis kelamin, dan banyaknya anak dalam satu kelahiran (Lasley, 1978).

Anak dengan tipe kelahiran tunggal memiliki berat sapih yang lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar. Pada penelitian ini masing-masing rataan berat tersebut adalah (7,96 ± 1,36 kg) pada kelahiran tunggal dan (7,93 ± 2,93 kg) untuk kelahiran kembar. Hal ini disebabkan persaingan nutrisi (air susu induk) pada anak kembar lebih tinggi dibanding anak tunggal. Disisi lain umur induk juga berpengaruh terhadap sifat asuh anak dan kuantitas air susu induk. produksi susu pada induk-induk yang lebih muda 30 % lebih rendah dibandingkan dengan induk yang lebih dewasa (Hardjosubroto, 1994) dan induk muda umumnya memiliki sifat keindukan yang relatif lemah (Inounu et al., 1995).

Bobot umur 6 bulan

Tabel 11. Rataan bobot 6 bulan Boerka berdasarkan jenis kelamin.

Uraian Bobot 6 bulan (kg)

- Jantan 10,7 ± 2,15

- Betina 10,2 ± 2,53

Hasil analisis terhadap bobot 6 bulan kambing Boerka F2 yaitu berkisar (8,55-12,85 kg) untuk jantan dan (7,67-12,73 kg) pada betina. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Mahmilia et al. (2006) yaitu untuk jantan dan betina masing-masing berkisar (9,10 - 11,92 kg) dan (7,23 - 11,83 kg). Namun lebih rendah dari penelitian Ginting dan Mahmilia (2010) dimana bobot 6 bulan Boerka jantan dan betina masing-masing berkisar (16-22 kg) dan (14-18 kg).

Perbedaan ini dapat disebabkan jumlah data dan waktu penelitian yang berbeda serta kesempatan tumbuh pra sapih yang kurang baik. Faktor bobot lahir serta laju pertumbuhan pra sapih merupakan variabel yang menentukan tingginya bobot pasca sapih (Mcgregor, 1985).

Efek heterosis

Tabel 12. Rataan nilai efek heterosis masing-masing bobot Boerka (F2) Sifat Individual heterosis (%)

Bobot lahir 33

Bobot sapih 4 Bobot 6 bulan 2

Nilai koefisien heterosis semua sifat bernilai positif dengan nilai bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan masing-masing disajikan pada Tabel 12. Rataan heterosis semua sifat bernilai positif, artinya anak kambing Boerka (F2) memiliki bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan yang lebih besar dibandingkan kedua tetuanya yaitu sebesar 33%, 4% dan 2%. Efek heterosis positif yaitu rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya (Cassady et al., 2002).

Hasil analisis terhadap efek heterosis sebagaimana pada Tabel 12, nilai heterosis bobot 6 bulan sebesar 2%, lebih rendah dibandingkan bobot lahir dan bobot sapih. Rendahnya nilai heterosis tersebut diduga akibat keragaman bobot 6 bulan lebih besar dibanding bobot lahir dan sapih.

Estimasi Nilai Heritabilitas

Tabel 13. Nilai heritabilitas dan simpangan baku kambing Boerka (F2) Sifat produksi Jumlah pejantan

(ekor) Jumlah anak (ekor) Nilai heritabilitas (h2) Bobot lahir 3 27 0,68 Bobot sapih 3 27 0,57 Bobot 6 bulan 3 27 0,53

Hasil analisis statistik sebagaimana disajikan pada Tabel 13, nilai pewarisan sifat tetua terhadap keturunannya untuk bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan berturut-turut adalah 68%, 57% dan 53%. Nilai heritabilitas ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Sumadi et al. (2009) sebesar 32,7% pada bobot sapih dan 42,5% untuk bobot 6 bulan. Kurnianto (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan nilai heritabilitas suatu sifat diantaranya: pada periode waktu yang berbeda, sifat suatu bangsa, metode yang digunakan dalam pendugaan, jumlah dan asal data yang berbeda.

Angka pewarisan ketiga sifat tersebut tergolong tinggi sehingga layak untuk dijadikan acuan program seleksi. Nilai heritabilitas dikatakan tinggi jika lebih dari 0,3 (Dalton, 1984). Suatu sifat jika memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, apabila digunakan untuk seleksi maka akan menunjukkan respon seleksi yang tinggi. Tetapi pada angka pewarisan rendah, belum tentu keturunan akan mempunyai keunggulan dalam sifat tersebut karena keunggulan dari ternak tersebut sebagian besar disebabkan oleh faktor lingkungan (Hardjosubroto, 1994).

Nilai heritabilitas yang tinggi pada semua sifat bobot (Tabel 13) memberi pengertian bahwa kontribusi keragaman gen aditif lebih besar dibandingkan gen non-aditif terhadap fenotipe ternak. Pengaruh gen aditif yang lebih besar menyebabkan nilai heritabilitas yang dihasilkan lebih tinggi. Harapan untuk mendapatkan kemajuan atau perbaikan mutu genetik relatif cepat (Takaendengan,

1998), oleh karena gen aditif inilah yang tanggap terhadap seleksi Minkema

(1987) karena gen non aditif tidak diwariskan secara utuh dan keunggulan dari gen-gen tersebut akan hilang pada saat pembentukan gamet (meiosis) dan pada saat terjadi pembuahan (Grosman, 1975).

Korelasi genetik

Tabel 14. Estimasi korelasi genetik sifat kuantitatif

Sifat N Nilai korelasi genetik

Bobot lahir-Bobot Sapih 27 0,12 Bobot lahir-Bobot 6 bulan 27 -0,18 Bobot sapih-Bobot 6 bulan 27 0,29

Berdasarkan Tabel 14, nilai korelasi antara bobot sapih-bobot 6 bulan yaitu sebesar 0,29%; lebih tinggi dibandingkan korelasi bobot lahir-bobot sapih dan bobot lahir-bobot 6 bulan masing-masing adalah 0,12% dan -0,18%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bobot lahir-bobot sapih yaitu sebesar 12%. Hubungan tersebut masih tergolong sangat lemah. Menurut Dalton (1981) jika dilakukan seleksi terhadap nilai korelasi yang rendah berarti akan memberikan respon peningkatan yang lemah Kriteria hubungan dari suatu korelasi apabila (0<K<0,25) maka terdapat hubungan yang sangat lemah (Fujiatin, 2010).

Korelasi genetik antara bobot lahir-bobot 6 bulan memiliki hubungan negatif sebesar -0,18%. Artinya, setiap peningkatan 1 satuan bobot lahir akan menurunkan bobot badan 6 bulan sebesar 0,18% . Menurut Lasley (1978) nilai korelasi rendah menunjukkan bahwa gen yang mempengaruhi kedua sifat tersebut masih sangat sedikit sekali dan tidak dapat dipakai sebagai tolok ukur program seleksi (Hakim, 1983).

Korelasi genetik antara bobot sapih-bobot 6 bulan lebih rendah dibandingkan penelitian Sumadi et al. (2009) yaitu sebesar 68,9% pada kambing Boerka. Nilai pendugaan korelasi genetik hanya berlaku pada populasi di mana nilai tersebut diestimasi dan pada kurun waktu tertentu pula (Warwick et al., 1985).

Nilai pemuliaan (Estemated breeding value)

Gambar 3 dan 4 menunjukkan diagram batang nilai pemulian bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan dari 13 ekor anak jantan dan 14 ekor anak betina kambing Boerka (F2) yang dievaluasi. Nilai pemuliaan positif berada diatas rata-rata kelompok, sedangkan nilai pemuliaan negatif berada dibawah rata-rata-rata-rata kelompok.

Gambar 3. Nilai pemuliaan anak jantan Boerka (F2) berdasarkan bobot badan. Anak jantan yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir diatas rata-rata populasi sebanyak 38,4% atau 5 ekor yaitu : 94051, 94056, 94020, 84024 dan 84025. Pada bobot sapih sebanyak 5 ekor dengan nomor individu yaitu : 94056, 94059, 94020, 73015 dan 84024. Sedangkan pada bobot 6 bulan hanyak sebanyak 23% (3 ekor) dari populasi yaitu : 94059, 73015 dan 84024. Menurut Hardjosubroto (1994) apabila seekor ternak telah diketahui nilai pemuliaannya, apabila pejantan tersebut dikawinkan dengan induk secara acak pada populasi

-1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 51 52 56 59 2 20 15 11 13 18 24 27 25 N ilai p emu liaan Nomor individu bobot lahir bobot sapih bobot 6 bulan

normal maka rerata performans keturunannya kelak akan menunjukkan keunggulan terhadap performans populasinya.

Gambar 4. Nilai pemuliaan anak jantan Boerka (F2) berdasarkan bobot badan. Anak betina yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan yaitu sebanyak 35,7% (5 ekor) untuk setiap sifat dan memiliki nilai diatas rata-rata populasi dengan nomor individu berturut-turut adalah : (94012, 94039, 94043, 94061 dan 73010), (94012, 94043, 94058, 94061 dan 73016) dan (94012, 94058, 73008, 73013 dan 73016). Dengan membuat peringkat keunggulan nilai pemuliaan pada sekelompok ternak, seleksi dapat dilakukan dengan memilih ternak pada peringkat utama, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan (Martojo, 1992).

Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa hanya ada 2 individu yang memiliki nilai pemuliaan terbaik untuk semua sifat bobot badan yaitu : (84024) dan (94012). Pemberian nilai indeks terhadap masing-masing sifat bertujuan untuk

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 1 12 39 43 58 60 61 8 9 11 13 73016 10 84016 N ilai p emu liaan Nomor individu bobot lahir bobot sapih bobot 6 bulan

menentukan peringkat unggulan anak kambing (jantan dan betina) yang terbaik dari populasi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Tabel 15. Ranking anak jantan berdasarkan indeks terhadap semua sifat bobot No Individu Total nilai indeks Peringkat keunggulan

73015 880,8 1

94059 877,6 2

84024 772,8 3

94020 753,6 4

94056 693,2 5

Tabel 16. Ranking anak betina berdasarkan indeks terhadap semua sifat bobot No Individu Total nilai indeks Peringkat keunggulan

94058 830 1

73008 825,2 2

94012 747,2 3

73016 734,8 4

94043 731,2 5

Sebanyak 5 ekor anak jantan dan 5 ekor anak betina Boerka (F2) memiliki nilai indeks diatas rata-rata populasi, berturut-turut pada jantan dan betina adalah : (73015, 94059, 84024, 94020, 94056) dan ( 94058, 73008, 94012, 73016, 94043). Dengan demikian, individu dengan ranking tertinggi memiliki potensi genetik sebagai ternak seleksi untuk perbaikan mutu genetik dalam suatu populasi ternak.

Dokumen terkait