• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Nutrisi Pakan

Pakan yang diberikan pada ayam harus memiliki kandungan nutrisi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan. Kandungan nutrisi pakan tergantung pada bahan pakan yang digunakan dan menyesuaikan dengan standar kebutuhan ayam. Standar kebutuhan ayam broiler dapat mengacu pada SNI (2006a) dan SNI (2006b) mengenai pakan starter dan finisher. Kandungan nutrisi bahan penyusun pakan penelitian dapat diketahui dari hasil analisis proksimat. Kandungan nutrisi pakan penelitian dihitung berdasarkan hasil analisis proksimat bahan-bahan penyusun tersebut. Hasil perhitungan tersebut disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Kandungan Nutrisi Pakan Perlakuan

Kandungan Nutrisi P1 P2 P3 P4

Protein Kasar (%) 19,40 21,18 20,93 22,8

Lemak Kasar (%) 4,34 4,23 4,48 4,32

Serat Kasar (%) 4,56 4,42 4,70 4,56

Energi Bruto (kkal/kg) 4051,80 3971,18 3976,00 3935,47

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar pakan perlakuan berkisar antara 19,4%-22,8%. Nilai protein kasar tersebut telah sesuai dengan SNI (2006) yaitu minimal 19% untuk starter dan 18% untuk finisher. Protein kasar perlakuan pakan yang ditambah DSP (P2 dan P4) lebih besar daripada perlakuan pakan tanpa DSP (P1 dan P3). Tingginya protein tersebut disebabkan karena DSP yang ditambahkan mengandung protein yang tinggi, yaitu sebesar 47,66%. Sumber protein pakan komersial berasal dari tepung ikan, tepung daging, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan bungkil kacang tanah. Sumber protein pada pakan nabati berasal dari DSP yang merupakan ekstrak protein kedelai.

Lemak kasar pakan perlakuan hampir sama yaitu berkisar antara 4,23%-4,48%. Hasil tersebut tidak melebihi SNI (2006) pada starter maksimal 7,4% dan finisher maksimal 8,0%. Lemak pada pakan nabati berasal dari CPO, sedangkan

21 pada pakan komersial bersumber dari tepung daging. Serat kasar pada pakan perlakuan yang didapat sudah sesuai dengan SNI (2006) pada starter dan finisher yaitu maksimal 6%. Serat kasar pakan perlakuan hampir sama, yaitu berkisar antara 4,42%-4,7%.

Energi bruto pakan perlakuan berkisar antara 3935,47-4051,8 kkal/kg pakan.

Penambahan DSP terlihat dapat menurunkan energi bruto pakan, karena DSP memiliki kandungan energi bruto yang rendah sebesar 2850,22 kkal/kg pakan.

Sumber energi pakan komersial berasal dari jagung, dedak dan pecahan gandum, sedangkan pada pakan nabati bersumber dari bekatul, jagung, DSP dan CPO.

Konsumsi Pakan

Rataan konsumsi pakan ayam broiler yang dipelihara selama lima minggu disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Konsumsi Pakan selama Pemeliharaan

Perlakuan Konsumsi (g/ekor)

P1 2985,38

P2 2836,46

P3 2082,35

P4 1940,87

Konsumsi pakan ayam broiler selama lima minggu penelitian pada ayam yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) relatif sama, yaitu sebesar 2985,38 dan 2836,46 g/ekor, sementara pada pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) sebesar 2082,35 dan 1940,87 g/ekor, dan keduanya juga tidak jauh berbeda. Wahju (2004) menyatakan bahwa besar dan bangsa ayam, temperatur lingkungan, tahap produksi, dan energi dalam pakan dapat mempengaruhi konsumsi. Pond et al. (2005) menambahkan bahwa konsumsi juga dipengaruhi oleh palatabilitas. Energi bruto pada penelitian ini relatif sama, yaitu sekitar 3935,47-4051,80 kkal/kg pakan. Temperatur tiap perlakuan juga relatif sama.

Rendahnya konsumsi ayam pada perlakuan pakan nabati kemungkinan disebabkan oleh rendahnya palatabilitas pakan. Pond et al. (2005) menyatakan bahwa palatabilitas pakan merupakan daya tarik pakan atau bahan pakan yang dapat

22 menimbulkan selera makan pada ayam. Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu rasa, bau, dan warna pakan. Pakan komersial dan nabati pada penelitian ini memiliki warna yang hampir sama, tetapi pakan nabati memiliki bau yang kurang sedap daripada pakan komersial.

Hati, Proventrikulus, Gizzard

Hasil pengamatan mengenai rataan persentase bobot relatif hati, proventrikulus, dan gizzard pada ayam broiler umur lima minggu yang diberi perlakuan pakan yang berbeda disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Persentase Bobot Relatif Hati, Proventrikulus, dan Gizzard Ayam Tabel 9. Broiler

Peubah P1 P2 P3 P4

Hati (%) 2,73±0,51 2,47±,0,53 2,64±0,20 2,62±0,86

Proventrikulus (%) 0,44±0,05A 0,45±0,10A 0,78±0,09B 0,71±0,19B Gizzard (%) 1,17±0,51A 1,17±0,09A 2,88±0,43B 2,38±0,52B

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata Keterangan : (P<0,01)

Hati

Hati unggas memiliki proporsi yang besar terhadap bobot hidupnya (Grist, 2006). Rataan persentase bobot relatif hati ayam broiler hasil penelitian pada keempat perlakuan berkisar antara 2,47%-2,73% dari bobot hidup. Hasil tersebut tidak berbeda dengan apa yang dinyatakan dalam Suprijatna et al. (2008) bahwa bobot hati mencapai 3% bobot hidup. Hal senada juga dilaporkan oleh Walad (2007) bahwa persentase bobot relatif hati ayam broiler yang berumur lima minggu sekitar 2,69% dari bobot hidupnya.

Rataan persentase bobot relatif hati ayam broiler yang diberi keempat perlakuan pada penelitian ini tidak berbeda secara statistik. Ensminger (1992) menyatakan bahwa salah satu fungsi hati adalah sebagai detoksifikasi komponen berbahaya. Pakan pada perlakuan penelitian ini tidak mengandung komponen yang berbahaya, sehingga kerja hati menjadi lebih ringan yang menyebabkan bobot hati ayam broiler pada tiap perlakuan tidak berbeda. Darmawan (2008) menambahkan bahwa saponin yang terkandung dalam pakan membantu kerja hati dalam detoksifikasi racun dengan menghambat dan membunuh bakteri di saluran

23 pencernaan sehingga darah yang membawa zat makanan dari saluran pencernaan menuju hati sudah tidak mengandung racun. Saponin merupakan salah satu zat anti nutrisi yang biasa ditemukan pada tanaman dan biji-bijian. Sumber saponin dalam pakan penelitian baik dari pakan komersial ataupun pakan nabati ini bisa berasal dari bekatul, dedak padi, dan DSP. Selain hal tersebut, besarnya relatif hati tergantung pada termoregulasi tubuh (Grist, 2006). Suhu tubuh ayam broiler tergantung dengan suhu lingkungan mikro dan suhu lingkungan tiap perlakuan relatif sama, sehingga bobot hati ayam broiler tidak berbeda tiap perlakuan.

Proventrikulus

Proventrikulus merupakan salah satu organ pencernaan utama dan merupakan perluasan esofagus (Bell dan Weaver, 2002). Rataan persentase bobot relatif proventrikulus ayam broiler hasil penelitian dengan perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) tidak berbeda secara statistik. Rataan persentase bobot relatif keduanya berturut-turut sebesar 0,44% dan 0,45% dari bobot hidup. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Elfiandra (2007) bahwa bobot relatif proventrikulus ayam broiler umur lima minggu yang diberi pakan komersial sekitar 0,45% dari bobot hidup. Rataan persentase bobot relatif proventrikulus ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) berturut-turut sebesar 0,78% dan 0,71% dari bobot hidup, dan keduanya saling tidak berbeda secara statistik. Hasil analisis statistik persentase bobot relatif proventrikulus ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) sangat nyata lebih besar dari perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2).

Persentase bobot yang lebih besar tersebut disebabkan karena sumber protein pada pakan nabati (P3 dan P4) berasal dari DSP yang masih mengandung anti tripsin.

Kerja proventrikulus dalam mensekresikan enzim pepsin untuk memecah protein pada perlakuan pakan nabati lebih berat karena mengandung anti tripsin, sehingga bobot proventrikulus membesar. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilaporkan Elfiandra (2007) bahwa kerja proventrikulus mensekresikan enzim pepsin akan berdampak pada bobotnya. Proventrikulus mensekresikan enzim pepsin dan merupakan awal dari pencernaan protein agar dapat dipecah menjadi komponen sederhana, disamping itu juga dihasilkan asam hidroklorida (Grist, 2006). Pepsin

24 dalam pencernaan protein berfungsi menghidrolisis ikatan-ikatan peptida protein menjadi peptide yang lebih kecil, sedangkan asam hidroklorida juga menyebabkan protein globular mengalami denaturasi sehingga ikatan peptide lebih terbuka terhadap hidrolisis enzimatik (Lehninger, 1982).

Gizzard

Gizzard atau biasa dikenal dengan rempela merupakan organ pencernaan pada unggas yang biasa disebut perut otot (Bell dan Weaver, 2002), karena di dalamnya tersusun otot-otot yang kuat (Grist, 2006). Rataan persentase bobot relatif gizzard ayam broiler hasil penelitian yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) sebesar 1,17% dari bobot hidup. Hasil tersebut tidak berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh Elfiandra (2007) bahwa persentase bobot relatif gizzard ayam broiler umur lima minggu sekitar 1,39% bobot hidup.

Rataan persentase bobot relatif gizzard ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) sangat nyata lebih besar dari perlakuan pakan komersial, yaitu masing-masing sebesar 2,88% dan 2,38% dari bobot hidup, dan saling tidak berbeda secara statistik.

Persentase bobot relatif gizzard ayam broiler yang lebih besar pada perlakuan pakan nabati tersebut disebabkan karena bobot hidup ayam broiler pada perlakuan pakan nabati lebih kecil. Bobot gizzard ayam broiler hasil penelitian pada keempat perlakuan berkisar antara 16,9-19,67 g/ekor. Rataan bobot gizzard ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial (P1), komersial ditambah DSP (P2), nabati (P3), dan nabati ditambah DSP (P4) masing-masing sebesar 18,3; 19,67; 17,9; dan 16,9 g/ekor, dan secara statistik tidak berbeda. Bobot yang tidak berbeda tersebut disebabkan karena kandungan serat kasar pakan perlakuan relatif sama, sehingga kerja gizzard dalam menggerus pakan relatif sama tiap perlakuannya. Ensminger (1992) menyatakan bahwa gizzard berfungsi untuk menggerus pakan. Sumiati et al.

(2002) melaporkan bahwa bobot gizzard dipengaruhi oleh kadar serat kasar dalam pakan. Kerja gizzard untuk memperkecil ukuran partikel makanan lebih berat pada pakan yang berserat tinggi. Makin tinggi kadar serat, makin keras gizzard bekerja, sehingga bobot gizzard meningkat.

Usus Halus dan Usus Besar

Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan (Bell dan Weaver, 2002). Lehninger (1982) menambahkan bahwa proses pencernaan pakan disempurnakan di usus halus. Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, duodenum yang melingkari pankreas serta jejunum dan ileum yang bersatu dan dibatasi oleh divertikulum. Usus besar memanjang dari persimpangan seka hingga kloaka dan merupakan bagian akhir dari pencernaan. Usus besar lebih pendek dan lebih tebal daripada usus halus (Grist, 2006).

Hasil pengamatan mengenai panjang relatif dan persentase bobot relatif usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) serta panjang relatif usus besar ayam broiler umur lima minggu yang diberi perlakuan pakan berbeda disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Panjang Relatif dan Persentase Bobot Relatif Usus Halus serta Tabel 10. Panjang Relatif Usus Besar Ayam Broiler

Peubah P1 P2 P3 P4

Panjang Duodenum (cm/kg) 18,7±0,7A 19,2±0,9A 48,8±6,1B 38,9±6,5C Bobot Duodenum (%) 0,67±0,17A 0,53±0,12A 1,23±0,21B 1,08±0,24B Panjang Jejunum (cm/kg) 46,6±3,1A 44,8±4,0A 119,9±13,1B 97,1±4,3C Bobot jejunum (%) 1,18±0,13A 0,97±0,12A 1,78±0,09B 1,77±0,45B Panjang Ileum (cm/kg) 43,5±5,5A 44,7±6,6A 123,8±16,9B 92,7±14,8C Bobot Ileum(%) 0,88±0,12A 0,83±0,21A 1,26±0,06B 1,26±0,27B Panjang Usus Besar (cm/kg) 7,1±1,3AD 4,4±1,3B 19,4±0,23C 15,8±1,6D

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata Keterangan : (P<0,01)

Duodenum

Duodenum merupakan organ pencernaan setelah gizzard. Rataan panjang relatif duodenum ayam broiler hasil penelitian dengan perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) tidak berbeda secara statistik, yaitu sebesar sebesar 18,7 dan 19,2 cm/kg bobot hidup. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Widianingsih (2008) bahwa panjang duodenum ayam broiler yang diberi pakan komersial sekitar 19,4 cm/kg bobot hidup. Rataan panjang relatif duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) berturut-turut sebesar 48,8 dan 38,9 cm/kg bobot hidup.

26 Panjang relatif duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) secara statistik sangat nyata lebih besar daripada perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2). Hal tersebut disebabkan karena bobot hidup ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati lebih kecil. Panjang duodenum ayam broiler hasil penelitian pada keempat perlakuan berkisar antara 27,6-32,2 cm/ekor. Rataan panjang duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial, komersial ditambah DSP, nabati dan nabati ditambah DSP masing-masing sebesar 29,4; 32,2; 30,2; dan 27,6 cm/ekor, dan tidak berbeda secara statistik. Hal tersebut menunjukkan bahwa duodenum ayam broiler pada penelitian ini tumbuh dengan normal, dengan demikian organ ini dapat berfungsi dengan baik.

Duodenum ayam broiler pada keempat perlakuan sama-sama bekerja untuk mencerna pakan yang masuk. Hal tersebut sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa di dalam duodenum terjadi proses pencernaan. Pankreas mengalirkan pancreatic juice ke dalam duodenum yang mengandung enzim amilase, lipase, dan tripsin. Ensminger (1992) menambahkan bahwa amilase berfungsi memecah pati, lipase berfungsi memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol, dan tripsin berfungsi memecah protein. Cairan empedu yang dihasilkan hati juga dialirkan ke duodenum untuk mengemulsi lemak. Selama proses pencernaan di duodenum karbohidrat, protein dan lemak mengalami penguraian secara enzimatik menjadi senyawa pembangunnya (Lehninger, 1982).

Rataan persentase bobot relatif duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) masing-masing 0,67%

dan 0,53% dari bobot hidup, dan keduanya saling tidak berbeda. Hasil tersebut relatif tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Darmawan (2008) yang melaporkan bahwa bobot duodenum ayam broiler umur lima minggu sekitar 0,61% dari bobot hidup. Rataan persentase bobot relatif duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) tidak berbeda, yaitu masing-masing sebesar 1,23% dan 1,08% bobot hidup.

Bobot relatif duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) secara statistik sangat nyata lebih besar daripada perlakuan pemberian pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2). Hal

27 tersebut disebabkan karena duodenum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati bekerja lebih keras mencerna pakan yang masuk. Hal tersebut sesuai dengan fungsi duodenum untuk mencerna makanan (Bell dan Weaver, 2002). Sumber protein pakan nabati berasal dari DSP yang merupakan olahan kacang kedelai yang masih mengandung anti tripsin sehingga menghambat pencernaan protein di dalam duodenum, akibatnya duodenum bekerja lebih keras untuk mencerna protein agar dapat dipecah menjadi komponen sederhana. Hal tersebut sesuai dengan Ensminger (1992) bahwa tripsin yang dialirkan dari pankreas ke dalam duodenum membantu memecah protein menjadi asam amino yang selanjutnya siap untuk diserap.

Jejunum dan Ileum

Jejunum memanjang dari duodenum hingga ileum, sedangkan ileum memanjang hingga persimpangan seka. Jejunum dan ileum dibatasi divertikulum (Grist, 2006). Rataan panjang relatif jejunum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) tidak berbeda secara statistik, yaitu sebesar 46,6 dan 44,8 cm/kg bobot hidup. Rataan panjang relatif ileumnya sebesar 43,5 dan 44,7 cm/kg bobot hidup, dan juga tidak berbeda secara statistik. Panjang relatif jejunum dan ileum tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Widianingsih (2008) yang melaporkan bahwa jejunum dan ileum ayam broiler yang diberi pakan komersial masing-masing sebesar 40,2 dan 42,1 cm/kg bobot hidup. Rataan panjang relatif jejunum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) masing-masing sebesar 119,9 dan 9,71 cm/kg bobot hidup. Rataan panjang relatif ileumnya masing-masing sebesar 123,8 dan 92,7 cm/kg bobot hidup.

Panjang relatif jejunum dan ileum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) secara statistik sangat nyata lebih besar daripada perlakuan pakan komersial. Hal tersebut disebabkan karena bobot hidup ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati lebih kecil. Rataan panjang jejunum dan ileum ayam broiler hasil penelitian pada keempat perlakuan berkisar antara 70-75 dan 67,3-76 cm/ekor. Panjang jejunum ayam broiler yang diberi perlakuan P1, P2, P3, dan P4 masing-masing sebesar 73,5; 75; 74,2; dan 70 cm/ekor, sedangkan untuk rataan panjang ileumnya masing-masing sebesar 68,4; 74,6; 76; dan 67,3 cm/ekor.

Panjang jejunum dan ileum tersebut secara statistik tidak berbeda. Hal tersebut

28 membuktikan bahwa jejunum dan ileum ayam broiler dalam penelitian ini tumbuh dengan normal, dengan demikian diharapkan mampu berfungsi secara baik. Panjang yang sama pada jejunum dan ileum ayam broiler penelitian disebabkan karena kandungan serat kasar tiap perlakuan relatif sama, sehingga panjang jejunum dan ileum tiap perlakuan sama. Sumiati dan Sumirat (2002) menyatakan bahwa regangan usus ayam yang diberi serat kasar tinggi cenderung lebih kuat, dan menyebabkan jejunum dan ileum pada penelitian ini lebih panjang. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilaporkan Syamsuhaidi (1997) bahwa peningkatan kadar serat dalam pakan akan cenderung memperpanjang usus.

Rataan persentase bobot relatif jejunum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) masing-masing sebesar 1,18% dan 0,97% dari bobot hidup, dan keduanya tidak berbeda. Rataan persentase bobot relatif ileumnya sebesar 0,88% dan 0,83% dari bobot hidup, dan juga tidak berbeda. Persentase bobot relatif jejunum dan ileum tersebut relatif tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tresnandika (2009) yang melaporkan bahwa bobot relatif jejunum dan ileum ayam broiler masing-masing sekitar 1,10% dan 0,94% dari bobot hidup. Persamaan tersebut karena pakan yang diberikan adalah pakan komersial yang kandungan nutrisinya relatif sama.

Rataan persentase bobot relatif jejunum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) tidak berbeda, yaitu masing-masing sebesar 1,78% dan 1,77% bobot hidup. Rataan persentase bobot relatif ileumnya juga tidak berbeda, yaitu sebesar 1,26% bobot hidup. Bobot jejunum dan ileum tersebut secara statistik sangat nyata lebih besar daripada perlakuan pemberian pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2). Fungsi jejunum dan ileum pada ayam adalah menyerap zat makanan (Bell dan Weaver, 2002). Besarnya rataan persentase bobot relatif jejunum dan ileum ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati diduga disebabkan karena vili di dalam jejunum dan ileum jumlahnya lebih banyak agar dapat memaksimalkan penyerapan zat makanan. Pakan nabati pada penelitian ini menggunakan DSP sebagai sumber protein. Dysapro merupakan hasil olahan kacang kedelai yang masih mengandung anti tripsin, sehingga protein menjadi sulit diserap. Dampaknya adalah vili pada jejunum dan ileum lebih banyak untuk menyerap zat makanan tersebut. Selain hal tersebut, darah yang mengalir pada

29 vili diduga lebih banyak karena vili bekerja lebih keras menyerap protein, yang mengakibatkan bobotnya menjadi lebih besar. Colville dan Bassert (2008) menyatakan bahwa di dalam usus terdapat vili yang mengandung banyak mikrovili untuk menyerap zat makanan. Struktur dalam vili terdiri dari pembuluh darah, arteri dan saluran getah bening.

Usus Besar

Usus besar juga dikenal dengan kolon. Panjang usus besar lebih pendek daripada panjang usus halus (Grist, 2006). Rataan panjang relatif usus besar ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) masing-masing sebesar 7,1 dan 4,4 cm/kg bobot hidup. Hasil tersebut relatif tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tambunan (2007) yang melaporkan bahwa panjang relatif usus besar ayam broiler berkisar antara 5,0-8,7 cm/kg bobot hidup. Rataan persentase panjang relatif usus besar ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) masing-masing sebesar 19,4 dan 15,8 cm/kg bobot hidup.

Panjang relatif usus besar ayam broiler yang diberi perlakuan pakan nabati dan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) sangat nyata lebih besar daripada perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2). Hal tersebut disebabkan karena bobot hidup pada perlakuan pakan nabati lebih kecil. Rataan panjang usus besar keempat perlakuan pada penelitian ini tidak berbeda secara statistik, yaitu berkisar antara 5,55-7,9 cm/ekor. Panjang usus besar ayam broiler yang diberi perlakuan P1, P2, P3, dan P4 masing-masing 7,9; 5,55; 7,45; dan 6,75 cm/ekor. Usus besar tidak mencerna pakan, sehingga kandungan anti tripsin tidak mempengaruhi panjang usus besar. Hal ini sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa usus besar tidak mensekresikan enzim, melainkan hanya terjadi proses penyerapan air untuk meningkatkan kadar air di dalam sel tubuh serta menjaga keseimbangan air pada unggas. Usus besar juga menyalurkan sisa makanan dari usus halus ke kloaka.

30 Bobot Akhir

Bobot akhir merupakan bobot ayam pada saat dipanen. Hasil pengamatan mengenai rataan bobot akhir ayam broiler umur lima minggu yang diberi perlakuan pakan berbeda disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Bobot Akhir Ayam Broiler

Perlakuan Rataan Bobot Akhir

P1 1577,9±111,40A

P2 1769,7±303,08A

P3 618,7±59,86B

P4 719,5±93,17B

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata Keterangan : (P<0,01)

Rataan bobot akhir ayam broiler yang diberi perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2) masing-masing 1577,9 dan 1767,7 g/ekor dan tidak berbeda secara statistik. Bobot tersebut tidak jauh berbeda dengan bobot akhir hasil penelitian Walad (2007) yang melaporkan bahwa bobot akhir ayam broiler yang diberi pakan komersial sekitar 1573,8 g/ekor. Rataan bobot akhir ayam broiler pada perlakuan pakan nabati dan pakan nabati ditambah DSP (P3 dan P4) secara statistik sangat nyata lebih rendah daripada perlakuan pakan komersial dan komersial ditambah DSP (P1 dan P2), yaitu masing-masing sebesar 618,7 dan 719,5 g/ekor.

Jun et al. (2000) melaporkan bahwa pertumbuhan ayam broiler dipengaruhi oleh lingkungan. Nova (2008) menambahkan bahwa lingkungan memberikan pengaruh yang besar dalam penampilan ternak yaitu 70 %, sedangkan faktor genetik sebesar 30%. Faktor lingkungan terdiri dari pakan yang diberikan, suhu dan tatalaksana pemeliharaan. Suhu dan tatalaksana pemeliharaan tiap perlakuan pada penelitian ini relatif sama, sehingga dapat dikatakan bahwa rendahnya bobot akhir karena perbedaan pakan yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa pakan yang diberikan dapat mempengaruhi bobot akhir. Pakan nabati mengandung anti tripsin yang menghambat pencernaan dan penyerapan protein. Protein yang diserap menjadi sedikit, sehingga tidak cukup untuk proses anabolisme untuk pembentukan otot pada ayam. Hal tersebut sesuai dengan Sumiati et al. (2002) bahwa penurunan bobot hidup diduga disebabkan

31 adanya anti nutrisi yang mengikat protein yang tidak dapat dicerna, sehingga menghambat pertumbuhan. Selain hal tersebut, asam amino yang terkandung tidak dalam proporsi yang seimbang. Hal tersebut sesuai dengan Sumiati dan Sumirat (2002) yang menyatakan bahwa asam amino yang terkandung dalam pakan mempengaruhi pembentukan otot.

Penambahan DSP pada perlakuan pakan komersial maupun nabati (P2 dan P4) secara statistik terlihat tidak dapat memperbaiki bobot akhir. Hal tersebut

Penambahan DSP pada perlakuan pakan komersial maupun nabati (P2 dan P4) secara statistik terlihat tidak dapat memperbaiki bobot akhir. Hal tersebut

Dokumen terkait