• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Lingkungan Iklim Mikro Daerah Penelitian

Hasil pengamatan selama penelitian berlangsung dari pukul 05.00 hinggga pukul 20.00, kondisi lingkungan iklim mikro di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut memiliki rataan kisaran suhu udara antara 22.79-32 0C dan 23.96- 33.11 0C, kelembaban udara antara 60.14-86.64 % dan 56.57-88.00 %, nilai THI antara 72.23-82.32 dan 73.26-84.05, dan kecepatan angin antara 0.01-0.53 m/detik dan 0-0.4 m/detik (Gambar 5). Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Kisaran zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara 13-18 0C (McDowell 1972), 5-25 0C (Jones dan Stallings 1999), suhu udara antara 13-25 0C dan kelembaban udara antara 50-60 % (McNeilly 2001).

Pada Gambar 5 menunjukkan pola perubahan kondisi lingkungan iklim yang berfluktuasi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta. Pada Gambar tersebut, nilai rataan suhu udara (Ta) dan THI dalam kandang di lokasi Bogor dan Jakarta mengilustrasikan pola perubahan yang baku yaitu pola parabolik, dengan mengikuti pola suhu lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang diamati dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). Sementara itu, nilai rataan kelembaban udara (Rh) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola baku dari BMG, tetapi di lokasi Jakarta masih ada nilai rataan Rh tidak mengikuti pola kelembaban udara lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang baku dari BMG, karena pada saat pengamatan berlangsung terjadi hujan terus menerus dari pukul 13.00 hingga pukul 15.00 sehingga Rh meningkat pula.

Nilai Ta (0C) dan THI yang tertera pada Gambar 5, mencapai puncak di lokasi Bogor pada pukul 12.00-13.00 WIB dan di lokasi Jakarta pada pukul 12.00 WIB, serta menurun setelah menjelang sore hari. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak.

Kondisi iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal (McNeilly 2001; Pennington dan VanDevender 2004).

Kecepatan angin berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Selain itu, angin dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Pada Gambar 5 tersebut, nilai rataan kecepatan angin (m/detik) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola yang baku, tetapi di lokasi Jakarta tidak mengikuti pola yang baku, karena kecepatan angin yang masuk dalam kandang sewaktu waktu terjadi perubahan kecepatan angin mendadak, terhalang rumah, dan tumpukan rumput. Pada saat Nilai Ta (0C) dan THI yang tinggi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta, angin berada pada kecepatan yang rendah. Nilai kecepatan angin mencapai puncak di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut pada pukul 11.00-12.00 dan pukul 16.00. Yani dan Purwanto (2006) mengatakan bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas.

Gambar 5 Rataan Fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu kelembaban (THI) dan Kecepatan angin (Va) selama Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta

Konsumsi Pakan

Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Pakan diberikan harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), proein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN) (Sudono et al. 2003). Selama pengamatan berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi tersebut muncul diakibatkan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan baik di lokasi Bogor maupun Jakarta.

Tabel 7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama penelitian

Peubah Bogor Jakarta

Bahan kering (kg): Hijauan 4.2±1.07 4.0±0.88 Konsentrat 3.2±1.07 3.3±0.88 TDN (kg): Hijauan 2.4±0.41 2.3±0.41 Konsentrat 1.8±0.54 1.9±0.53 Protein kasar (kg): Hijauan Konsentrat 0.33±0.06 0.37±0.07 0.34±0.09 0.37±0.08 Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar daerah (P>0.05)

Pada Tabel 7 menunjukkan rataan tingkat konsumsi BK pakan sapi dara di Bogor dan Jakarta, berturut-turut sebesar 7.4 kg dan sebesar 7.3 kg. Besarnya konsumsi BK di Bogor dan Jakarta tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001), bahwa sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg dan 300 kg dengan PBB 0,6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9 kg dan 7.4 kg per hari. Kondisi cekaman panas, efisiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi.

Berdasarkan Tabel 7 tersebut, konsumsi BK pakan pada sapi dara antara di lokasi Bogor dengan lokasi Jakarta menunjukkan jumlah relatif sama. Begitu juga konsumsi TDN dan PK di lokasi Bogor dan Jakarta menunjukkan relatif sama pula, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara di lokasi Bogor dan Jakarta terhadap konsumsi BK, TDN, dan PK. Pemberian konsentrat TDN di lokasi Bogor menunjukkan konsumsi BK lebih tinggi dibanding di lokasi Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari pakan.

Respon Fisiologis Ternak

Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang umum digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah pengukuran di lapangan. Hasil pengukuran suhu rektal harian ternak di

lokasi Bogor dan Jakarta sebagian besar masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 38.59-39.05 0C dan 38.84-39.22 0C. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara 38.2-39.1 0C (Schutz et al. 2009). Pada penelitian ini, untuk lokasi Bogor dan Jakarta, suhu rektal terendah terjadi pada pukul 05.00 (pagi) dan meningkat setelah ternak mengkonsumsi pakan dan seiring meningkatnya suhu udara (Gambar 6).

Gambar 6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta

Berdasarkan Gambar 6, suhu rektal ternak mulai mengalami stress panas pada siang hari pukul 12.00 saat suhu udara tertinggi, suhu rektal di bogor (39.04 0

C) dan Jakarta (39.22 0C). Pada pukul 13.00 menunjukkan perbedaan antara suhu rektal di Bogor (39.03 0C) dengan Jakarta (38.83 0C). Perbedaan suhu rektal tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan terjadi hujan terus menerus. Suhu rektal di Bogor dan Jakarta terjadi perbedaan pada sore hari pukul 16.00 (38.98 0C) dan (39.13 0C), begitu pula terjadi perbedaan antara suhu rektal pada pukul 17.00 di Bogor (39.05 0C) dengan di Jakarta (38.90 0C). Terjadinya perbedaan suhu rektal tersebut diakibatkan adanya peningkatan panas metabolisme tubuh, karena ternak baru mengkonsumsi pakan di Bogor pada pukul 16.00 dan di Jakarta pada pukul 15.00, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan pelepasan panas. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendal et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 0C serta 32.2 0C, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39.8 0C serta 40 0C.

Permukaan kulit hewan dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat pembuangan panas yang utama melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi (Berman 2003). Pada penelitian ini, suhu kulit harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 29.22-34.31 0

C dan 30.36-33.78 0C. Suhu kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 33.5-37.1 0C (Tucker et al. 2008). Suhu kulit terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul 05.00 pagi (29.22 0C) dan (30.360C). Suhu kulit pada pukul 12.00 siang (34.310C) dan (33.78 0C) masing-

masing untuk Bogor dan Jakarta. Suhu permukaan kulit pada pukul 13.00 menunjukkan perbedaan di Bogor (33.47 0C) dengan Jakarta (32.23 0C). Perbedaan suhu kulit tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan selama penelitian terjadi hujan terus menerus.

Suhu kulit pada pukul 16.00 sore (31.77 0C) dan (33.40 0C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 7). Perbedaan suhu permukaan kulit tesebut diakibatkan adanya penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara di lokasi Bogor, dan terjadi penurunan suhu dan kelembaban udara di lokasi Jakarta, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh. Kulit sangat berkorelasi dengan fluktuasi unsur cuaca karena mengalami kontak langsung dengan cuaca. Suhu permukaan kulit bervariasi berdasarkan kadar uap air lingkungan, lokasi kandang (naungan), dan ventilasi (Marcilae et al. 2009).

Gambar 7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta. Proses pelepasan panas melalui kulit terjadi melalui mekanisme vasodilatasi. Mekanisme vasodilatasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar. Bulu kulit ditegakkan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara adalah konduktor panas yang baik. Ganong (1983) mengemukakan jumlah panas yang hilang dari tubuh dalam batas-batas yang luas di atur oleh perubahan jumlah darah yang mengalir melului kulit. Kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas

yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni 2006).

Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh dan organ-organ di luar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Peningkatan beban panas yang disebabkan oleh kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh (Hahn 1999; Ominski

et al. 2002; West 2003). Hasil perhitungan suhu tubuh harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta sebagian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 37.29-38.37 0C dan 37.65-38.45 0C. Suhu tubuh sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 38.3-38.6 oC (Schutz et al. 2008). Suhu tubuh terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul 05.00 pagi (37.29 0C) dan (37.65 0C) serta meningkat seiring meningkatnya beban panas dari lingkungan dan dari hasil metabolisme. Respon suhu tubuh terhadap stress panas berbeda-beda tiap individu dan respon tersebut disebabkan oleh produksi dan pelepasan panas tubuh. Suhu tubuh tertinggi pada pukul 12.00 siang (38.37 0C) dan (38.45 0C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 8). Sementara itu suhu tubuh tertinggi di Bogor dan Jakarta terjadi pada sore hari pukul 17.00 (38.10 0C) dan pukul 16.00 (38.33 0C).

Gambar 8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta

Suhu tubuh dapat dijadikan indikator dalam menentukan dimulai cekaman panas pada ternak yang disebabkan lingkungan mikro dan pakan. Pengaturan suhu tubuh dilakukan melalui mekanisme umpan balik oleh saraf eferen, hipotalamus, dan efektor saraf eferen. Bagian-bagian tersebut berfungsi sebagai termostat dengan hipotalamus sebagai pusat kontrolnya. Tubuh akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan pembentukan dan pelepasan panas. Suhu dan kelembaban udara dalam kandang yang termasuk iklim mikro merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez dan Bouissou 1975).

Denyut jantung harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara 67-84 kali/menit dan denyut jantung ternak di lokasi Jakarta berkisar antara 72-88 kali/menit. Kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara 50-80 kali/menit (Kelly 1984). Pada pagi hari, peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak makan untuk daerah Bogor, tetapi denyut jantung ternak di daerah Jakarta relatif konstan, karena peningkatan suhu udara, kelembaban udara, dan THI di daerah Jakarta lebih rendah dibanding Bogor. Mekanisme peningkatan denyut jantung, yaitu terjadi peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung dan juga adanya pengaruh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral (Nikkah et al. 2008).

Gambar 9 Rataan fluktuasi denyut jantung (Hr) sapi dara FH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta.

Denyut jantung ternak pada puncak cekaman cuaca panas pukul 12.00 di lokasi Bogor sebesar 82 kali/menit dan denyut jantung ternak di daerah Jakarta sebesar 83 kali/menit (Gambar 9). Terjadinya perbedaan rataan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta pada pukul 12.00 tersebut, karena puncak cekaman cuaca panas di daerah Bogor terjadi pukul 13.00 dengan denyut jantung ternak sebesar 83 kali/menit. Puncak cekaman cuaca panas pada pukul 13.00 di daerah Bogor, yaitu suhu udara sebesar 32 0C, kelembaban udara 60.14 %, dan THI sebesar 81.88, sedangkan puncak cuaca panas di daerah Jakarta pada pukul 12.00, yaitu suhu udara 33.11 0C, kelembaban udara 56.57 %, dan THI sebesar 84.05 (Gambar 5). Pada saat ada cekaman, suhu udara sebesar 32 0C dengan denyut jantung mencapai 79 kali/menit (Schutz et al. 2009). Tekanan darah dan denyut jantung berfluktuasi secara kontinyu setiap saat di bawah beberapa mekanisme pengaturan, seperti aktivitas syaraf otonom dan respirasi untuk menjaga homeostasis kardivaskuler (Yoshimoto 2011).

Frekuensi respirasi harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara 27-38 kali/menit dan di lokasi Jakarta berkisar antara 26-46 kali/menit. Frekuensi respirasi sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman berkisar antara 20-30 kali/menit (Houpt 2005). Pada pukul 12.00 siang hari, rataan frekuensi

respirasi sapi dara FH tertinggi di lokasi Bogor sebesar 38 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 46 kali/menit (Gambar 10). Rataan frekuensi respirasi ternak pada pukul 12.00 siang hari tersebut, baik di lokasi Bogor maupun Jakarta telah mengalami stres panas yang diakibatkan suhu dan kelembaban udara dalam kandang. Peningkatan frekuensi respirasi seiring dengan peningkatan suhu udara dan nilai THI dalam kandang. Panas cuaca lingkungan dapat meningkatkan rataan suhu tubuh dan frekuensi respirasi (Schutz et al. 2010). Peningkatan beban panas yang disebabkan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi serta mengurangi konsumsi pakan (Ominski et al. 2002; West 2003). Peningkatan frekuensi respirasi dapat terjadi pada ternak untuk menjaga keseimbangan panas tubuh saat mengalami cekaman panas tubuh dari hasil metabolisme pakan dan cuaca lingkungan. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik melalui upaya cara peningkatan laju respirasi (McNeilly 2001). Sistem respirasi pada alveolus dapat mengatur suhu udara dan kelembaban udara yang masuk agar sesuai dengan suhu tubuh.

Rataan frekuensi respirasi sapi dara FH, sore hari pukul 17.00 pada suhu udara rendah di lokasi Bogor sebesar 32 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 34 kali/menit. Terjadinya peningkatan frekuensi respirasi ternak pada pukul 17.00 sore hari tersebut, baik di daerah Bogor maupun Jakarta, karena ternak diberi pakan sore hari pukul 16.00. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi setelah ternak mulai mengkonsumsi pakan hingga empat jam berikutnya, karena tekanan darah memiliki kekuatan atau irama yang sama dengan respirasi (Yang dan Kuo 2000).

Gambar 10 Rataan fluktuasi frekuensi respirasi (Rr) sapi dara FH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara lokasi Bogor dengan Jakarta.

Pendugaan Suhu Kritis Berdasarkan Indikator Respon Fisiologis Pada Berbeda Daerah Melalui Simulasi Artificial Neural Network (ANN) Penerapan ANN merupakan langkah metode pelatihan propagasi balik yang dilakukan terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil.

Setelah dilakukan iterasi berulang-ulang dihasilkan nilai kesalahan yang fruktuasi serta nilai kesalahan yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan terkecil pada output prediksi terhadap output target, baik di daerah Bogor maupun Jakarta pada Yp1 (suhu rektal), Yp2 (suhu kulit), Yp3 (frekuensi respirasi), dan Yp4 (denyut jantung) yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak 2.100.000/100 (21.000 kali). Masing-masing di daerah Bogor dan Jakarta diperoleh nilai error pada suhu rektal sebesar 0.199510 dan 0.693969, suhu kulit sebesar 0.392903 dan 0.828096, frekuensi respirasi sebesar 1.177737 dan 1.667858, dan denyut jantung sebesar 1.500040 dan 1.393270. Penurunan nilai error pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung untuk daerah Bogor dan Jakarta selama iterasi dapat ditunjukkan pada Tabel 8 dan 9.

Validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) berdasarkan suhu dan kelembaban udara, dengan cara membandingkan data suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung hasil perhitungan ANN dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapang. Pelaksanaan validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang sama antara data hasil perhitungan ANN dan hasil pengukuran di lapang. Selanjutnya validasi dimulai setelah didapatkan nilai error

terendah, kemudian dilakukan proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x1, x2), data target (yt1, yt2, yt3, yt4 ) dan hasil prediksi perhitungan ANN (yp1, yp2,yp3, yp4).

Tabel 8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3), dan denyut jantung (Yp4) pada daerah Bogor

Tahap iterasi ke Error Yp1 Error Yp2 Error Yp3 Error Yp4

100 0.838862 2.454982 2.809714 2.544321 100.000 0.224526 0.412802 1.190661 1.673544 200.000 0.227568 0.406260 1.189469 1.651128 400.000 0.224922 0.395626 1.185524 1.633988 600.000 0.205504 0.392124 1.179785 1.603280 800.000 0.201277 0.391655 1.177126 1.577698 1.000.000 0.200332 0.391882 1.177008 1.556823 1.200.000 0.200014 0.392195 1.177385 1.540282 1.400.000 0.199846 0.392462 1.177685 1.527407 1.500.000 0.199780 0.392571 1.177772 1.522079 1.600.000 0.199721 0.392663 1.177820 1.517351 1.700.000 0.199665 0.392741 1.177820 1.513136 1.800.000 0.199612 0.392806 1.177835 1.509355 1.900.000 0.199560 0.392859 1.177822 1.505946 2.000.000 0.199510 0.392902 1.177788 1.502855 2.100.000 0.199510 0.392903 1.177737 1.500040

Nilai validasi menunjukkan kecenderungan hasil perhitungan ANN mendekati hasil pengukuran penelitian lapang dengan rataan nilai persentase error yang rendah, masing-masing untuk daerah Bogor dan Jakarta yaitu yp1 = 0.65 %

dan 0.80 %, yp2 = 1.34 % dan 1.40 %, yp3 = 0.82 % dan 0.95 %, dan yp4 = 1.50 % dan 1.80 %. Pada beberapa titik validasi terjadi perbedaan persentase error yang cukup besar, tetapi masih relatif dalam batasan yang rendah (% error < 5 %). Hasil nilai tersebut dapat diartikan bahwa nilai prediksi sudah mendekati nilai aktualnya. Nilai persentase error rendah menunjukkan bahwa hasil perhitungan ANN memiliki akuarasi tinggi, sehingga dapat dijadikan acuan untuk suhu dan kelembaban udara dalam penentuan suhu kritis sapi dara di daerah Bogor dan Jakarta.

Tabel 9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp1), suhu kulit (Yp2), frekuensi respirasi (Yp3), dan denyut jantung (Yp4) pada daerah Jakarta

Tahap iterasi ke Error Yp1 Error Yp2 Error Yp3 Error Yp4

100 0.838862 2.454982 3.232707 2.099220 100.000 0.823883 0.784663 1.668305 1.465998 200.000 0.773552 0.797834 1.651557 1.410462 400.000 0.728715 0.812579 1.617578 1.395631 600.000 0.713167 0.818506 1.621372 1.393471 800.000 0.705930 0.821531 1.631273 1.393027 1.000.000 0.701824 0.823201 1.640253 1.392966 1.200.000 0.699201 0.824122 1.650627 1.393027 1.400.000 0.697390 0.824663 1.655875 1.393084 1.500.000 0.696683 0.824958 1.658115 1.393113 1.600.000 0.696073 0.825371 1.660141 1.393141 1.700.000 0.695541 0.825902 1.661980 1.393168 1.800.000 0.695075 0.826487 1.663653 1.393195 1.900.000 0.694663 0.827065 1.665180 1.393221 2.000.000 0.694297 0.824604 1.666076 1.393246 2.100.000 0.693969 0.828096 1.667858 1.393270

Simulasi merupakan teknik penyusunan dari kondisi nyata dan kemudian melakukan penelitian pada model yang dibuat dari sistem. Pada simulasi ini dilakukan dengan memperhatikan parameter suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis dengan respon fisiologis ternak untuk setiap kondisi, mulai dari nilai minimum sampai nilai maksimum yang terukur pada penelitian. Pada simulasi dengan mengkombinasi nilai input suhu dan kelembaban udara, maka didapatkan variasi nilai output suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta. Berdasarkan hasil simulasi suhu dan kelembaban udara, maka dapat mengetahui berapa respon fisiologis sapi perah pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung, tanpa perlu mengukur langsung kepada ternaknya, tetapi cukup melihat suhu dan kelembaban udara yang terukur saat itu, kemudian disimulasikan dengan ANN. Hasil simulasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat respon fisiologis sapi perah (Tr, Ts, Rr, dan Hr) terhadap perubahan suhu dan kelembaban udara yang berbeda. Hasil simulasi menggunakan ANN tertera pada Tabel 10 dan 11.

Hasil prediksi dari simulasi ANN menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara, maka semakin meningkat pula suhu rektal dan suhu kulit sapi perah baik daerah Bogor maupun Jakarta (Tabel 10). Begitu juga, semakin meningkat

kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu udara yang meningkat mengakibatkan peningkatan suhu rektal dan suhu kulit. Berdasarkan hasil simulasi ANN dapat diperoleh korelasi anatara suhu dan kelembaban udara dengan tingkat cekaman panas (suhu kritis) sapi berdasarkan suhu rektal dan suhu kulit. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara 38.2 – 39.1 0C (Schutz et al. 2009). Tucker et al. (2008) mengemukakan bahwa suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro nyaman berkisar antara 33.5-37.1 oC. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sapi perah mengalamami cekaman panas apabila suhu rektal lebih dari 39.1 oC dan suhu kulit lebih dari 37.1 oC.

Tabel 10 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta

Bogor Jakarta Suhu udara (oC) Kelembaban udara (%) Suhu rektal (oC) Suhu kulit (oC) Suhu udara (oC) Kelembaban udara (%) Suhu rektal (oC) Suhu kulit (oC) 24 86 38.89 31.52 24 88 38.85 30.10 24 84 38.88 31.14 24 86 38.80 30.73 24 82 38.86 30.74 24 84 38.75 30.86 26 86 39.11 32.23 26 88 39.13 31.13 26 84 38.83 32.12 26 86 38.98 31.67 26 82 38.83 31.86 26 84 38.94 31.08 28 86 39.23 35.35 27.50 88 39.11 32.00 28 84 39.15 33.71 27.50 86 38.93 31.85 28 82 39.01 32.61 27.50 84 38.84 31.81 30 86 39.14 35.15 29 88 39.11 31.88 30 84 39,.11 33.02 29 86 38.96 31.80 30 82 38.87 32.89 29 84 38.93 31.76 32 86 39.26 37.26 33 66 39.13 32.32 32 84 39.17 34.76 33 64 39.20 32.32 32 82 38.89 31.76 33 62 39.27 32.33

Nilai hasil prediksi dari simulasi ANN yang tertera pada Tabel 11 menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara dalam kandang, maka semakin meningkat pula frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi perah. Semakin meningkat kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat pula akan diperoleh hasil prediksi pada frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi semakin meningkat. Pada Tabel 11 juga dapat diperoleh korelasi antara suhu dan kelembaban udara dalam kandang dengan tingkat stress sapi berdasarkan frekuensi respirasi dan denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi pada kondisi normal dapat berlangsung 20-30 kali/menit dan pada kondisi stress dapat mencapai 10 atau 60 kali/menit (Houpt 2005). Denyut jantung sapi pada kondisi normal berkisar 50-80 kali/menit serta pada kondisi stress berat mencapai 40 atau 120 kali/menit (Radostits et al. 2005).

Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan suhu dan kelembaban udara sangat sensitif mempengaruhi suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada sapi perah. Tingkat suhu kritis (cekaman panas)

berdasarkan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda baik di daerah Bogor maupun Jakarta dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13.

Peningkatan kelembaban udara dan suhu udara yang sama dan suhu udara berbeda sangat mempengaruhi terhadap suhu kritis pada sapi perah. Pada saat udara 22.5-25.5 oC baik di daerah Bogor maupun Jakarta belum terjadi suhu kritis(cekaman panas) meskipun terjadi perubahan kelembaban udara. Suhu udara dan kelembaban udara tersebut, suhu rektal dan suhu kulit masih pada kisaran

Dokumen terkait