• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Lahan Pengamatan Leuwikopo

Lahan Leuwikopo terletak pada ketinggian tempat lebih kurang 229 m dpl (di atas permukaan laut). Jumlah tanaman jarak pagar di Leuwikopo adalah 950 pohon dengan jarak tanam 2 m x 2 m (Gambar 2). Tanaman jarak pagar yang ditanam di lahan ini berasal dari berbagai macam aksesi (asal daerah), di antaranya berasal dari Riau (Kab. Kampar dan Kab. Dumai), Medan, Jawa Barat, Bali, Sulawesi, Thailand, Filipina dan India. Pada saat awal penanaman dilakukan pemupukan dengan pupuk kandang 5 kg per tanaman, urea 200 g per tanaman, P 100 g per tanaman, dan K 100 g per tanaman. Pemupukan ke-dua dilakukan pada tanaman umur 6 bulan dengan menggunakan pupuk kandang 2 kg per tanaman. Pada saat pengamatan, tanaman di lahan ini berumur antara 6 – 9 bulan. Pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan bubur California dan Considor yang dicampur soda kue. Pengendalian OPT dilakukan setiap 2 minggu sekali, tetapi bila serangan OPT meningkat maka pengendalian yang dilakukan pun ditingkatkan sesuai dengan keadaan. Di sekitar pertanaman terdapat berbagai jenis tanaman seperti kelapa sawit, bambu dan berbagai jenis gulma.

Citeureup

Lahan jarak pagar di Citeureup berlokasi di PT. Indocement Tunggal Prakarsa (Gambar 3). Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 200 m dpl. Seluruh luas lahan jarak pagar di lokasi ini 3 ha. Kondisi lahan pertanaman jarak pagar di Citeureup tanahnya berkapur dan berbatu. Lahan pertanaman terletak di dekat jalan tempat melintas kendaraan pengangkut material pabrik, sehingga pertanaman jarak berdebu. Tanaman jarak pagar yang ditanam di Citeureup memiliki nama lokal Dompu, yang berasal dari NTB. Pada saat pengamatan umur tanaman 2 tahun 2 bulan.

Pada saat penanaman, tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 3 kg per lubang dan carbofuran sebanyak 2 g per lubang. Pada umur sekitar 8 mst (minggu setelah tanam) dilakukan pemangkasan sekitar 40 cm dari pangkal batang. Pada umur tanaman 16 mst di lapangan, buah tanaman ini sudah dapat dipanen. Penyiraman tanaman dilakukan 1 kali sehari, dan dilakukan juga penyiangan gulma. Pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan bubur California 20 – 30 ml per l air. Pemupukan dilakukan 3 bulan sekali, dengan dosis 2 kg pupuk kandang per pohon. Di sekitar pertanaman terdapat tanaman pisang dan berbagai jenis gulma yang tumbuh di antara tanaman jarak pagar.

Ciawi

Lahan jarak pagar di Ciawi berada pada ketinggian lebih kurang 400 m dpl dan memiliki luas 2,5 ha dan jarak tanam 2 m x 2 m (Gambar 4). Tanaman jarak pagar yang ditanam di Ciawi berasal dari Lampung dengan nama lokal Asem Bagus. Pembersihan gulma biasanya dilakukan 4 bulan sekali. Pengendalian OPT dilakukan dengan cara penyemprotan pestisida setiap satu minggu sekali. Pada saat pengamatan, tanaman berumur ± 2 tahun. Di sekitar pertanaman terdapat tanaman pisang, bibit berbagai tanaman, dan permukiman penduduk.

Gambar 4 Lahan jarak pagar di Ciawi

Imago, Telur, dan Nimfa Chrysocoris javanus

Tubuh C. javanus berbentuk perisai dengan skutelum besar, warna tubuh imago sangat mencolok yaitu berwarna merah dengan garis hitam melintang pada bagian atas tubuh (Gambar 5). Ukuran tubuh imago betina relatif lebih besar dari pada imago jantan, yaitu panjang 17,65 ± 0,87 mm dan lebar 9,55 ± 0,76 mm (n = 20 individu), sedangkan ukuran tubuh jantan panjang 15,95 ± 0,76 mm dan lebar 8,1 ± 0,64 mm (n = 20 individu). Hambali et al. 2006 menyatakan bahwa panjang tubuh C. javanus dapat mencapai 20 mm. Selain dari ukuran tubuh, perbedaan antara imago betina dan jantan juga terletak pada bagian ventral ruas

terakhir abdomen. Pada imago betina, ujung abdomen melebar dan pada ruas terakhir terdapat bentukan seperti garis vertikal yang membagi ujung abdomen menjadi dua bagian (Gambar 6a). Pada imago jantan, ujung abdomen agak melancip dan pada ruas terakhir abdomen tidak terdapat garis pembagi (Gambar 6b).

Gambar 5 Imago Chrysocoris javanus jantan (a) dan betina (b)

Gambar 6 Perbedaan ujung abdomen Chrysocoris javanus betina (a) dan jantan C. javanus menyerang tanaman jarak pagar dengan cara menghisap buah jarak pagar, sehingga buah menjadi kering. Gejala yang ditimbulkan pada buah jarak pagar yaitu adanya bekas tusukan pada buah dan buah berwarna coklat kehitaman kemudian membusuk dan mengering sehingga buah tidak dapat dipanen (Gambar 7). 1 mm garis vertikal a (b) 1 cm a b 1 mm b

Gambar 7 Gejala serangan Chrysocoris javanus pada buah jarak pagar Imago C. javanus umumnya meletakkan telur pada pagi hingga menjelang siang. Telur diletakkan secara berkelompok. Imago yang dipelihara di dalam kurungan pemeliharaan meletakkan telur pada kain kasa penutup kurungan dan dinding kurungan (Gambar 8a); sedangkan peletakkan telur di lapang terjadi pada permukaan bawah daun, pada batang atau ranting, dan pada permukaan buah jarak pagar (Gambar 8b).

Gambar 8 Peletakkan telur oleh imago Chrysocoris javanus di dalam kurungan pemeliharaan (a) dan di lapang (b)

Telur berbentuk silinder seperti drum, bagian bawah datar sedangkan bagian atas cembung (Gambar 9). Telur berdiameter rata-rata 1,24 mm ± 0,03 mm dan tinggi 1,34 mm ± 0,03 mm (Tabel 2). Telur yang baru diletakkan berwarna krem terang dan kadang-kadang ada yang berwarna agak kehijauan. Hari ke-2 telur menjadi krem pekat, hari ke- 3 dan ke-4 berubah menjadi orange terang dengan titik hitam di bagian atas telur yang merupakan bagian kepala nimfa.

a

Hari ke-5 atau ke-6 telur berwarna orange pekat dan hari ke-6 atau ke-7 telur menetas (Lampiran 1).

Gambar 9 Telur Chrysocoris javanus Tabel 2 Ukuran telur Chrysocoris javanus

N = jumlah telur yang diamati

Stadia telur C. javanus berkisar antara 5 – 7 hari (Tabel 3). Telur yang akan menetas dicirikan dengan warna telur, yaitu berwarna orange pekat. Nimfa instar satu keluar dari telur dengan cara mendorong cangkang telur bagian atas menggunakan kepalanya. Hal ini terjadi karena pada cangkang telur bagian atas terdapat bentukan seperti garis-garis terputus tipis, sehingga dapat memudahkan nimfa instar satu untuk keluar dari telur. Oleh karena itulah, telur yang menetas

Kelompok telur ke- Rata-rata diameter telur (mm) N Rata-rata tinggi telur (mm) N 1 1,25 26 1,37 35 2 1,26 50 1,35 34 3 1,27 65 1,36 18 4 1,17 85 1,37 45 5 1,24 27 1,27 19 6 1,26 46 1,34 43 7 1,23 50 1,33 11 Rata-rata ± SD 1,24 ± 0,03 1,34 ± 0,03 1 mm

menjadi nimfa cangkang telurnya berwarna putih bersih dengan pinggiran pecahan yang teratur sesuai dengan garis yang terdapat pada telur bagian atas.

Satu kelompok telur yang diletakkan imago betina di dalam kurungan pemeliharaan berkisar dari 27 – 85 butir atau rata-rata 68,71 ± 19,87 butir, persen penetasan telur berkisar antara 50,6 – 100% atau rata-rata 83,49 ± 19,46% (Tabel 3). Jumlah telur dalam satu kelompok yang diletakkan di lapang terdiri dari 28 – 126 butir atau rata-rata 84,8 ± 20,9 butir (n = 114 kelompok telur).

Tabel 3 Stadia dan persen penetasan telur Chrysocoris javanus Kelompok

telur ke-

Jumlah telur dalam kelompok (butir) Rata-rata stadia Telur (hari) Persen penetasan telur (%) 1 77 5 83,12 2 83 6 95,2 3 68 5 92,65 4 85 5 100 5 27 5 100 6 77 7 50,6 7 64 6 62,9 Rata-rata ± SD 68,71 ± 19,87 5,57 ± 0,78 83,49 ± 19,46 Nimfa instar 1 bentuk tubuhnya bulat telur berwarna merah (Gambar 10a). Panjang tubuh nimfa instar 1 yaitu 2,01 ± 0,23 mm dan lebar 1,50 ± 0,08 mm (n = 31 individu). Nimfa yang baru keluar dari telur tidak aktif bergerak dan berkumpul di atas permukaan cangkang telurnya. Satu hari kemudian, nimfa bergerak aktif dan berjalan agak menjauh dari cangkang telur. Walaupun demikian, nimfa instar 1 tetap bersifat gregarius dan membentuk kelompok- kelompok kecil saat nimfa tidak bergerak, nimfa bergerak jika ada gangguan. Perilaku gregarius ini tidak hanya terjadi pada fase perkembangan nimfa saja, akan tetapi serangga imago juga memiliki perilaku yang sama (Lampiran 2). Pada fase perkembangan selanjutnya (instar 2), terjadi perubahan warna tubuh nimfa

yaitu berwarna dasar merah dengan garis melintang hijau metalik, skutelum dan toraks berwarna hijau metalik (Gambar 10b).

Gambar 10 Chrysocoris javanus instar 1 (a) dan instar 2 (b)

Parasitoid Telur yang Ditemukan Selama Penelitian

Di lapang tidak semua telur C. javanus dapat menetas menjadi instar 1 dan berkembang hingga menjadi imago. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap penetasan telur C. javanus, salah satunya adalah keberadaan musuh alami seperti parasitoid telur. Telur C. javanus yang terserang parasitoid dapat dibedakan dari telur yang sehat. Telur yang tidak terparasit pada awalnya berwarna krem, kemudian berwarna orange (Gambar 11a). Telur yang terparasit pada awalnya berwarna putih susu kemudian beberapa hari kemudian menjadi hitam (Gambar 11b).

Cangkang telur juga dapat dibedakan antara telur yang terparasit dan telur yang menetas menjadi nimfa (Lampiran 3). Telur yang terparasit, cangkangnya berwarna coklat dengan pinggiran pecahan tidak teratur karena pemotongan cangkang dengan mandibel imago parasitoid saat keluar dari telur. Telur yang menetas normal, cangkangnya putih bersih dengan pinggiran pecahan teratur. Selama penelitian, ditemukan tiga jenis parasitoid yang berasal dari ordo Hymenoptera, yaitu Anastatus sp. (Eupelmidae), parasitoid dari Famili Pteromalidae dan Famili Scelionidae.

Gambar 11 Telur Chrysocoris javanus tidak terparasit (a) dan terparasit (b)

Ketiga jenis parasitoid ini ditemukan memarasit telur C. javanus pada semua lahan pengamatan. Gejala pada telur C. javanus yang terparasit oleh ketiga jenis parasitoid ini memperlihatkan gejala yang sama, yaitu warna telur menjadi hitam. Dengan demikian jenis parasitoid apa yang menyerang hanya dapat diketahui setelah imago parasitoid tersebut keluar dari telur.

Anastatus sp.

Panjang tubuh imago jantan Anastatus sp. adalah 1,39 ± 0,12 mm dan lebar tubuhnya 0,42 ± 0,05 mm (n = 72 individu), sedangkan panjang tubuh imago betina 2,11 ± 0,16 mm dan lebar tubuhnya 0,58 ± 0,05 mm (n = 100 individu) (Gambar 12). Tubuh berwarna hitam metalik, antena menggada, dengan 8 ruas flagelum. Bagian mesopleuron cembung. Tungkai mempunyai taji yang besar dan jelas pada tibia, tarsi dengan 5 ruas tarsomer. Sayap depan dengan venasi marginal yang relatif panjang. Sayap jantan dan betina memiliki venasi yang sama, tetapi sayap betina mempunyai corak kehitaman pada sayap, sedangkan sayap jantan tidak. Selain dari perbedaan ukuran tubuh dan corak pada sayap, imago jantan dan betina juga dapat dibedakan berdasarkan bentuk antena. Antena imago jantan berukuran lebih kecil dari pada antena imago betina, dengan skapus lebih pendek dibandingkan antena betina (Gambar 13). Selain itu, pada antena imago betina terdapat garis-garis sensor dan rambut-rambut halus pada permukaan antena.

Menurut Clausen (1940) dan Boucek (1988), Anastatus sp. merupakan parasitoid primer, dan dapat memarasit telur dari jenis serangga Ordo

Lepidoptera, Orthoptera dan Hemiptera. Beberapa spesies Anastatus sp. dapat juga berperan sebagai hiperparasitoid, seperti yang pernah dilaporkan dapat memarasit larva Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae). Parasitoid ini dalam memarasit telur bersifat soliter. Hal ini terlihat dari pemunculan imago parasitoid dari telur inang, yaitu hanya satu ekor imago parasitoid yang keluar dari satu telur inang.

Gambar 12 Imago Anastatus sp. jantan (a) dan betina (b)

Gambar 13 Antena imago Anastatus sp. jantan (a) dan betina (b)

Famili Pteromalidae

Panjang tubuh parasitoid Famili Pteromalidae jantan adalah 1,49 ± 0,09 mm dan lebar tubuhnya 0,58 ± 0,05 mm (n = 50 individu). Panjang tubuh imago parasitoid betina adalah 1,57 ± 0,08 mm dan lebar tubuhnya 0,62 ± 0,05 mm (n = 50 individu) (Gambar 14). Tubuh berwarna biru metalik kehitaman. Front kepala berwarna hijau metalik dan ditutupi rambut-rambut

b

a 0,5 mm

0,5 mm

halus, mata majemuk relatif besar. Antena terdiri dari 7 ruas flagelum dengan rambut-rambut halus di seluruh bagian ruas antena. Tarsus dengan 5 ruas tarsomer. Sayap dengan venasi submarginal yang relatif panjang. Imago jantan dan betina dapat dibedakan selain dari ukuran tubuh, juga dapat dibedakan dari antena. Ruas flagelum antena betina berwarna gelap, sedangkan pada antena jantan ruas flagelumnya berwarna coklat terang dengan ruas terakhir berwarna gelap (Gambar 15). Ruas terakhir antena betina terdapat garis-garis sensor.

Gambar 14 Parasitoid Famili Pteromalidae jantan (a) dan betina (b)

Gambar 15 Antena imago parasitoid Famili Pteromalidae jantan (a) dan betina (b) Parasitoid ini bersifat soliter. Borror et al. (1996) menyatakan bahwa Famili Pteromalidae selain bersifat soliter, ada juga yang bersifat gregarius dan hiperparasitoid. Famili Pteromalidae merupakan parasitoid yang dapat memarasit

1 mm a b

a b

telur, larva, nimfa dan pupa. Serangga inangnya mencakup Ordo Hemiptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, Coleoptera, dan laba-laba (Borror et al. 1996; Van Driesche etal. 2008).

Famili Scelionidae

Panjang tubuh imago jantan Famili Scelionidae yaitu 1,30 ± 0,05 mm dan lebar tubuhnya 0,68 ± 0,05 mm (n = 50 individu), sedangkan panjang tubuh imago betina 1,34 ± 0,04 mm dan lebar tubuhnya 0,69 ± 0,06 mm (n = 50 individu) (Gambar 16). Tubuh berwarna hitam, kepala ditutupi rambut-rambut halus. Mata majemuk relatif besar, tetapi tidak menutupi seluruh bagian kepala. Antena terdiri dari 10 ruas flagelum. Metasoma berbentuk elips dengan bagian ventral berambut halus dan terdapat garis longitudinal sepanjang metasoma.

Gambar 16 Parasitoid Famili Scelionidae jantan (a) dan betina (b)

Sayap dengan rambut-rambut halus, sayap depan dengan venasi submarginal mencapai sisi anterior. Koksa dan trokhanter berwarna hitam berbentuk segitiga. Femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Di seluruh bagian tungkai terdapat rambut-rambut halus. Tibia mempunyai taji, tarsus terdiri dari 5 ruas dengan 1 kuku tarsus. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antenanya, ruas flagelomer antena jantan membulat, sedangkan antena betina tidak (Gambar 17). Van Driesche et al. (2008) menyatakan bahwa semua anggota famili ini merupakan parasitoid telur dan hidup pada berbagai habitat. Parasitoid famili ini termasuk ke dalam kelompok endoparasitoid soliter pada telur serangga dan laba-laba.

Gambar 17 Antena imago parasitoid Famili Scelionidae jantan (a) dan betina (b)

Perilaku Parasitoid

Perilaku imago parasitoid untuk ketiga jenis parasitoid hampir sama, di antaranya yaitu perilaku imago parasitoid yang keluar dari telur inang. Pada saat parasitoid keluar dari telur, imago jantan keluar lebih dahulu dari imago betina. Imago jantan setelah keluar akan menunggu imago betina keluar dan kemudian berkopulasi (Gambar 18a). Beberapa saat setelah kopulasi, imago betina akan mencari telur inang. Imago betina menggerak-gerakkan dan menyentuhkan antenanya pada telur inang, hal tersebut dilakukan sambil mengelilingi telur inang (Gambar 18b). Setelah itu imago akan meletakkan telurnya ke dalam telur inang.

Gambar 18 Imago parasitoid Famili Pteromalidae sedang kopulasi (a) dan imago betina sedang memarasit telur Chrysocoris javanus (b)

Menurut Doutt et al. (1989), perilaku seperti ini dimaksudkan untuk membedakan telur inang yang sudah terparasit dan belum terparasit. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kepunahan keturunan akibat kompetisi untuk mendapat individu inang dengan spesies dari parasitoid yang sama atau spesies

1 mm 1 mm

0,5 mm a 0,5 mm b

dari parasitoid yang berbeda. Beberapa parasitoid betina dapat mengembangkan kemampuan dengan baik untuk membedakan antara inang yang belum terparasit dengan inang yang sudah terparasit, perbedaan tersebut diketahui melalui sensor- sensor yang berada pada antena, tarsi dan ovipositornya.

Rata-Rata Populasi Parasitoid di Lahan Pengamatan

Selama pengamatan parasitoid di ketiga lahan pengamatan, ketiga jenis parasitoid yang ditemukan selalu ditemukan untuk setiap waktu pengamatan, kecuali Famili Eupelmidae (Anastatus sp.) tidak ditemukan di Leuwikopo pada pengamatan ke-2 (Gambar 19). Tingkat populasi parasitoid bervariasi menurut lokasi dan waktu pengamatan. Bila dilihat dari keberadaan parasitoid di lahan pengamatan, parasitoid Famili Pteromalidae hampir selalu mendominasi tingkat populasi dibandingkan dengan parasitoid famili lainnya. Hal ini terjadi khususnya di lahan Citeureup dan Ciawi. Populasi tertinggi terjadi di Ciawi pada pengamatan ke-1 yang mencapai rata-rata 173 individu.

Populasi Pteromalidae terendah terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke- 3 yaitu 9 individu. Populasi parasitoid Famili Pteromalidae ini selalu lebih tinggi dari pada famili lainnya kecuali pada pengamatan ke-2 dan ke-3 di Leuwikopo dan pengamatan ke-2 di Ciawi. Famili Pteromalidae secara umum memiliki kisaran ordo serangga inang yang lebih luas dan kisaran fase perkembangan serangga inang yang lebih bervariasi (Borror et al. 1996; Van Driesche et al. 2008). Dengan demikian, walaupun populasi inang utama rendah, parasitoid Famili Pteromalidae masih dapat mempertahankan hidupnya pada inang lain.

Parasitoid Famili Scelionidae walaupun populasinya tidak setinggi Famili Pteromalidae, parasitoid ini selalu ditemukan di setiap pengamatan dan selalu berperan dalam memarasit telur C. javanus. Pada pengamatan ke-2 di Leuwikopo dan Ciawi, parasitoid Famili Scelionidae ini mendominasi populasi, yaitu di Leuwikopo mencapai 102 individu dan di Ciawi rata-rata 118 individu.

Gambar 19 Rata-rata tingkat populasi parasitoid pada telur Chrysocoris javanus di Leuwikopo (a), Citeureup (b), dan Ciawi (c)

Keterangan: tingkat populasi di Leuwikopo adalah jumlah sesungguhnya (bukan rata-rata)

Populasi terendah Famili Scelionidae terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke-1 dan ke-3, yaitu masing-masing 8 individu. Famili ini merupakan famili yang khusus memarasit telur serangga maupun laba-laba

a

b

(Masner 1993). Keberadaanya di lapang dapat meningkatkan tingkat parasitisasi telur C. javanus bersama-sama dengan parasitoid famili lainnya.

Anastatus sp. ditemukan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan dua jenis parasitoid lainnya. Bila diperhatikan, populasi Anastatus sp. akan sangat rendah bila populasi parasitoid famili lain tinggi, seperti yang terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke-2 dan di Ciawi pada pengamatan ke-1, 2 dan 3. Namun Anastatus sp. akan cukup berperan di lapang bila populasi parasitoid famili lain relatif rendah seperti yang terjadi di Leuwikopo dan Citeureup.

Secara umum tingkat populasi parasitoid dari ketiga lahan pengamatan cukup bervariasi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan lahan pengamatan yang berbeda. Keadaan lingkungan akan mempengaruhi kelimpahan inang, kehidupan parasitoid, ketersediaan makanan imago parasitoid, keberadaan tempat berlindung parasitoid dan lain-lain. Menurut Doutt et al. (1989), distribusi dan keberadaan parasitoid sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber air bebas dan tanaman sebagai sumber madu dan keberadaan inangnya. Selain itu, hubungan antara parasitoid dan inangnya dapat dipengaruhi oleh penggunaan pestisida, khususnya imago betina parasitoid. Imago betina parasitoid juga sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim mikro, bau-bauan, serta aspek-aspek fisik dari lingkungan.

Tingkat Parasitisasi Telur Chrysocoris javanus

Rata-rata tingkat parasitisasi telur tertinggi di lahan Leuwikopo terjadi pada pengamatan ke-1 yaitu mencapai 97,04%; di Citeureup terjadi pada pengamatan ke-2 yaitu 79,15%; di Ciawi parasitisasi tertinggi terjadi pada pengamatan ke-2 yaitu mencapai 92,68% (Gambar 20). Tingkat parasitisasi telur dari seluruh lahan pengamatan relatif tinggi yaitu berkisar antara 60,10 – 97,04%.

Tingginya tingkat parasitisasi telur yang terjadi di setiap lahan pengamatan mengakibatkan persentase telur yang menetas menjadi nimfa relatif rendah yaitu paling tinggi hanya mencapai 21,77% di lahan Citeureup (Tabel 4). Begitu pula dengan persentase telur yang tidak menetas menjadi nimfa relatif rendah, dengan nilai tertinggi terjadi di lahan Leuwikopo yaitu 6,47%, sedangkan di Citeureup

4,83% dan di lahan Ciawi 2,40%. Telur C. javanus yang tidak menetas ini berwarna krem seperti warna telur yang baru diletakkan, sedangkan telur yang menetas berwarna orange.

Gambar 20 Tingkat parasitisasi telur Chrysocoris javanus

Keterangan: angka di atas bar merupakan jumlah telur yang diamati

Tabel 4 Jumlah telur Chrysocoris javanus yang terparasit dan tidak menetas

Keterangan: nilai di dalam kurung menunjukkan persen (%)

Tingkat parasitisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya kelimpahan parasitoid di lapang, kelimpahan serangga inang yaitu C. javanus, kondisi lingkungan pertanaman dan kemampuan parasitoid untuk menemukan inang. Menurut Ullyett (1953 dalam Doutt et al. 1989), imago betina parasitoid

Lahan pengamatan Jumlah telur dalam kelompok telur (butir)

Jumlah telur yang menetas menjadi nimfa (butir) Jumlah telur terparsit (butir) Jumlah telur tidak menetas (butir) Leuwikopo 1051 104 879 68 (100) (9,89) (83,64) (6,47) Citeureup 3376 735 2478 163 (100) (21,77) (73,40) (4,83) Ciawi 5209 413 4671 125 (100) (7,93) (89,67) (2,40) 372 294 827 385 1158 1391 2166 1074 1969

cenderung mencari inang di lingkungan dengan kemungkinan paling besar mengandung inang. Selain itu, faktor sinkronisasi antara parasitoid dan inang dalam hal waktu dan ruang sangat erat hubungannya sehingga tahapan inang yang sesuai untuk terjadinya proses parasitisme tersedia bagi parasitoid yang siap untuk melakukan oviposisi.

Bila dilihat dari tingkat parasitisasi per kelompok telur, hampir setiap kelompok telur selalu terparasit. Bahkan di Leuwikopo tingkat parasitisasi kelompok telur mencapai 100%, artinya setiap kelompok telur selalu mengandung telur yang terparasit (Tabel 5). Tingkat parasitisasi kelompok telur di Citeureup mencapai 88,73% dan di Ciawi 96,0%. Tingginya persentase kelompok telur yang terparasit hingga mencapai atau mendekati 100% ini menandakan bahwa perananan parasitoid untuk mengendalikan C. javanus di setiap lahan sangat besar, oleh karena itu pemeliharaan lingkungan untuk mendukung keberadaan imago parasitoid harus dijaga. Tingkat parasitisasi yang tinggi ini juga menunjukkan bahwa ketiga jenis parasitoid yang ditemukan selama pengamatan memberikan kontribusi yang cukup baik dalam menekan populasi C. javanus di lapang.

Tabel 5 Tingkat parasitisasi kelompok telur Chrysocoris javanus

Lahan Tingkat parasitisasi (%) N

Leuwikopo 100 11

Citeureup 88,73 39

Ciawi 96,00 60

Dokumen terkait