• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Buah bakau Rhizophora stylosa termasuk salah satu famili Rhizophoraceae. Famili Rhizophoraceae merupakan salah satu famili tumbuhan yang sebagian besar tumbuh di daerah pesisir pulau-pulau di Indonesia. Famili Rhizoporaceae terdiri dari 11 spesies yang semua anggotanya terdiri dari atas pohon meliputi,

Bruguiera cylindrica, B.exaristata, B. gymnorrhiza, B.sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia candel, R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa. Tumbuhan Rhizophora stylosa merupakan salah satu jenis tumbuhan yang keberadaannya melimpah di Indonesia. Buah bakau yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Pulau Untung Jawa, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta. Sampel diidentifikasi untuk dilihat spesiesnya agar sampel yang digunakan pada penelitian ini benar yaitu buah Rhizophora stylosa. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengukuran morfometrik buah bakau disajikan pada Gambar 2.

Lebar

Panjang hipokotil

Panjang total

Gambar 2 Gambar pengukuran morfometrik buah bakau merah (Rhizophora stylosa)

Sebanyak 30 buah bakau digunakan untuk pengukuran morfometrik. Hasil pengukuran morfometrik buah bakau merah (Rhizophora stylosa Griff.) disajikan dalam Tabel 1

Tabel 1 Hasil pengukuran morfometrik buah bakau merah (Rhizophora stylosa)

No Parameter Nilai Nilai (*) 1 Panjang hipokotil 30,51 ± 1,96 (cm) 28,75 cm 2 Panjang total 33,23 ± 1,96 (cm) 30,00 cm 3 Berat hipokotil 24,14 ± 3,67 (gram) - 4 Berat total 31,53 ± 4,07 (gram) - 5 Diameter (lebar) 0,93 ± 0,17 (cm) 0,50 cm Keterangan: data diperoleh dari 30 sampel buah bakau

*Setyawan et al. (2014)

Buah bakau yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah bakau Rhizophora stylosa yang telah matang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Setyawan et al. (2014) yang menyatakan buah bakau merah (R. stylosa) yang sudah matang memiliki panjang hipokotil 28,75 cm dan panjang total 30 cm.

8

Menurut FAO (2007), buah bakau merah (R. stylosa) yang sudah matang memiliki hipokotil lurus dengan panjang sekitar 20-35 cm dan bisa juga mencapai 54 cm. Perbedaan ukuran morfometrik ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Sukardjo (1984) menyatakan setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai dan aktivitas manusia.

Toksisitas Filtrat Fermentasi Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa) Buah bakau merah (Rhizopohora stylosa) difermentasi menggunakan ragi dan larutan garam. Filtrat fermentasi buah bakau merah (Rhizopohora stylosa) selanjutnya dilakukan analisis uji toksisitas, uji antioksidan, dan uji fitokimia. Filtrat fermentasi ini diambil pada minggu ke 0, 2, 4, 6, dan 8. Terjadi perubahan kenampakan warna pada minggu ke- 0 hingga minggu ke- 8. Warna filtrat fermentasi buah bakau merah pada minggu ke- 0 terlihat sangat keruh dan berwarna keputihan yang disebabkan oleh ragi yang ditambahkan pada filtrat fermentasian, namun dengan semakin bertambahnya waktu fermentasi warna filtrat fermentasi buah bakau merah ini semakin bening atau tidak keruh hingga minggu ke- 8. Kenampakan filtrat fermentasi buah bakau merah dapat dilihat pada Lampiran 2.

Toksisitas adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia dalam menimbulkan kerusakan pada bagian yang peka di dalam maupun di bagian luar tubuh makhluk hidup. Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Uji toksisitas menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT) terhadap larva Artemia salina dilakukan untuk mengamati tingkat kematian larva Artemia salina yang disebabkan oleh ekstrak kasar sampel. Aktivitas sitotoksik yang ditemukan dalam uji BSLT menunjukkan senyawa tersebut memiliki potensi sebagai senyawa antikanker dan antitumor baru (Peteros & Mylene 2010). Meyer et al. (1982) menyatakan bahwa tingkat kematian atau mortalitas dari larva udang selanjutnya dianalisis probit untuk menentukan LC50 (lethal concentration 50%), yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian populasi larva Artemia salina sebesar 50% dari populasi total. Metode BSLT dipilih karena metode ini sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak karena sederhana, cepat, mudah, murah, dapat dipercaya, dan hasilnya representatif. Hasil uji toksisitas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji toksisitas filtrat fermentasi buah bakau merah (Rhizophora stylosa)

Perlakuan Mortalitas % LC50

(ppm) Kategori

50 100 500 1000

Minggu ke- 0 20 46,7 53,3 83,3 211,33 Toksik rendah Minggu ke- 2 6,67 23,33 36,67 73,33 502,86 Toksik rendah Minggu ke- 4 0 10 30 73,33 603,38 Toksik rendah Minggu ke- 6 0 6,67 26,67 73,33 625,68 Toksik rendah Minggu ke- 8 13,33 20 43,33 56,67 700,49 Toksik rendah

9

Hasil uji toksisitas menunjukan bahwa LC50 filtrat hasil fermentasi buah bakau paling rendah terdapat pada minggu ke- 0 yaitu sebesar 211,33 ppm. Semakin lama waktu fermentasi maka nilai LC50 semakin tidak toksik. Perlakuan pada minggu ke- 0 hingga minggu ke- 8 terjadi peningkatan nilai LC50. LC50 pada minggu ke- 8 memiliki nilai tertinggi yaitu 700,49 ppm. Kategori toksik pada fermentasi buah bakau merah disemua perlakuan ini tergolong toksik rendah. Hal ini sesuai menurut McLaughlin et al. (1998) yang mengatakan, senyawa dengan LC50 ≤ 30 ppm dinyatakan sangat toksik, LC50 antara 31-200 ppm dinyatakan toksik, LC50 antara 201-1000 ppm dinyatakan toksik rendah, dan nilai LC50 >1000 ppm dinyatakan tidak toksik. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Diastuti dan Suwandri (2009) yang menunjukan bahwa nilai LC50 dari ekstrak kloroform buah bakau Rhizophora sebesar 744,31 ppm dan dikategorikan sebagai golongan toksik rendah.

Tamat et al. (2007) menyatakan bahwa ekstrak tersebut termasuk golongan tidak toksik maka kemungkinan dapat dikembangkan untuk tujuan yang luas, misalnya sebagai suplemen atau bahan baku kosmetika, sedangkan apabila termasuk golongan senyawa toksik maka kemungkinan dapat dikembangkan sebagai bahan baku obat.

Aktivitas Antioksidan Filtrat Fermentasi Buah Bakau Merah (Rhizophora.stylosa)

Pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksigen sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil dan tidak memiliki pasangan elektron pada orbit terluarnya. Ketidakstabilan ini disebabkan atom tersebut hanya memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Pembentukan senyawa radikal bebas tidak hanya terjadi dari proses kimia dalam tubuh, akan tetapi bisa terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal namun sifatnya dapat berubah menjadi radikal. Antioksidan bekerja berdasarkan mekanisme menyumbangkan satu atau lebih elektron untuk meredam radikal bebas (Handayani & Sulistyo 2008). Astuti (2008) menambahkan radikal bebas yang berikatan dengan molekul protein maupun lemak di dalam sel akan menyebabkan kerusakan pada sel.

Antioksidan dapat diketahui aktivitasnya dengan menggunakan uji DPPH. Zhang & Zhou (2013) menyatakan, aktivitas antioksidan dinyatakan dengan presentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sampel. Persen inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan serapan ekstrak yang diukur dengan spektrofotometer. Sebagian besar senyawa antioksidan diketahui memiliki gugus fenolat yang mudah mendonorkan radikal hidrogen kepada radikal DPPH.

Antioksidan pembanding yang digunakan adalah vitamin C sebagai antioksidan standar yang merupakan senyawa murni sehingga penghambatan radikal DPPH lebih efektif dengan konsentrasi yang rendah. Pengujian aktivitas

10

antioksidan dari filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) dilakukan dengan lima perlakuan yaitu fermentasi pada minggu ke- 0, minggu ke- 2, minggu ke- 4, minggu ke- 6, dan minggu ke- 8 dengan menggunakan konsentrasi 0,5 ppm, 2,5.ppm, 12,5 ppm, 62,5 ppm, dan 312,5 ppm. Intensitas perubahan warna yang

terjadi diukur absorbansinya dengan menggunakan EpochTM Microplate Spectrophotometer dengan panjang gelombang 517 nm yang

merupakan panjang gelombang maksimum DPPH. Hasil uji aktivitas antioksidan fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji aktivitas antioksidan filtrat fermentasi buah bakau merah (Rhizophora stylosa) Perlakuan % Inhibisi 0,5 ppm 2,5 ppm 12,5 ppm 62,5 ppm 312,5 ppm Minggu ke-0 0,47 1,54 2,23 3,24 6,78 Minggu ke-2 1,93 2,08 3,08 4,62 7,94 Minggu ke-4 2,32 2,46 3,31 7,17 10,41 Minggu ke-6 2,54 3,31 3,78 7,32 11,41 Minggu ke-8 3,93 4,09 4,85 7,79 13,81 Vit C 1,25 ppm 2,5 ppm 5 ppm 10 ppm 20 ppm 15,76 24,63 50,24 77,83 86,69

Aktivitas antioksidan ekstrak buah bakau (R. stylosa) dinyatakan dalam persentase inhibisi radikal bebas DPPH. Filtrat fermentasi buah bakau merah (R..stylosa) pada semua perlakuan dan semua konsentrasi ini memiliki nilai persentase inhibisi kecil, sehingga nilai IC50 dari filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) ini > 312,5 ppm. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Priyanto (2012), bahwa ekstrak buah bakau Rhizophora segar tanpa proses fermentasi memiliki nilai persentase inhibisi yang tinggi. Sebagai contoh pada konsentrasi 62,5 ppm buah bakau memiliki persen inhibisi sebesar 42,44% berbeda dengan filtrat fermentasi buah bakau pada penelitian ini yang hanya mempunyai nilai persen inhibisi tertinggi sebesar 7,79% pada konsentrasi 62,5.ppm. Proses fermentasi dilakukan dalam kisaran suhu 20-30 °C menggunakan ragi tape yang mengandung Saccharomyce cerevisiae. Kumalasari (2011) menyatakan bahwa S.cerevisiae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 30-35 °C. Jika suhu terlalu rendah, maka fermentasi akan berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung. Hal ini yang menyebabkan dalam waktu 8 minggu filtrat fermentasi mempunyai persen inhibisi yang masih kecil.

Fermentasi pada buah bakau merah (Rhizophora stylosa) ini termasuk fermentasi tidak spontan, karena pada proses fermentasi ditambahkan mikrorganisme dalam bentuk starter atau ragi, dimana mikroorganisme tersebut akan tumbuh dan berkembang biak secara aktif merubah bahan yang difermentasi. Berdasarkan sumber mikroorganisme, proses fermentasi dibagi 2 yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan, adalah fermentasi bahan pangan dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroorganisme dalam bentuk starter atau ragi, tetapi mikroorganisme yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang baik secara spontan karena lingkungan hidupnya

11

dibuat sesuai untuk pertumbuhannya, dimana aktivitas dan pertumbuhan bakteri asam laktat dirangsang karena adanya garam, contohnya pada pembuatan sayur asin. Fermentasi tidak spontan adalah fermentasi yang terjadi dalam bahan pangan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikrorganisme dalam bentuk starter atau ragi, dimana mikroorganisme tersebut akan tumbuh dan berkembangbiak secara aktif merubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan, contohnya pada pembuatan tempe dan oncom (Suprihatin 2010).

Aruben (2010) menyatakan fermentasi menggunakan ragi dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Pada saat proses fermentasi dilakukan proses penambahan ragi tape yang mengandung Saccharomyces cerevisiae dengan kondisi anaerob. Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi fermentasi yang dilakukan oleh Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob. Menurut Kunaepah (2008), Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan baik pada kondisi aerob. Pada kondisi aerob Saccharomyces cerevisiae menghidrolisis gula menjadi air dan CO2, tetapi dalam keadaan anaerob gula akan diubah oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi alkohol dan CO2. Hal ini yang menyebabkan belum optimalnya proses fermentasi untuk meningkatkan aktivitas antioksidan pada buah bakau merah yang digunakan karena masih terdapat kesalahan pada metode fermentasi dengan membiarkan sampel yang diberi ragi disimpan pada kondisi anaerob.

Muhiddin et al. (2001) menyatakan Saccharomyces cerevisiae dapat mengkonversi gula menjadi etanol karena adanya enzim invertase dan zimase. Dengan adanya enzim-enzim ini Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk mengkonversi baik gula dari kelompok monosakarida maupun dari kelompok disakarida. Jika gula yang tersedia dalam substrat merupakan gula disakarida maka enzim invertase akan bekerja menghidrolisis disakarida menjadi monosakarida. Setelah itu, enzim zymase akan mengubah monosakarida tersebut menjadi alkohol dan CO2.

Filtrat hasil fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) pada minggu ke- 0 hingga minggu ke- 8 tidak berpotensi memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini juga disebabkan tidak terdapatnya senyawa-senyawa bioaktif dalam filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) ini seperti senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon dan flavonoid yang telah dilakukan melalui uji fitokimia. Senyawa – senyawa tersebut

memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Atta au rahman et al. (2001), bahwa senyawa yang berpotensi memiliki

antioksidan umumnya adalah senyawa flavonoid, alkaloid dan fenolat yang merupakan senyawa-senyawa polar.

Aktivitas antioksidan dari sampel ditunjukkan dengan perubahan warna pada larutan DPPH yang semula berwarna ungu pekat menjadi kuning cerah. Hasil uji aktivitas antioksidan pada penelitian ini tidak ada perubahan warna pada larutan DPPH dalam etanol yang semula berwarna ungu pekat menjadi kuning. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Andayani et al. (2008) bahwa adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam etanol yang semula berwarna ungu pekat menjadi kuning. Larutan DPPH pada penelitian ini tetap berwarna ungu dan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hal ini juga menunjukan bahwa kecilnya persen inhibisi pada filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) pada minggu ke- 0 hingga minggu ke- 8 karena besarnya nilai IC50 yang diperoleh. Suratmo (2009) menyatakan bahwa

12

IC50 adalah konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan persen inhibisi 50%. Nilai IC50 yang semakin kecil menandakan bahwa sampel yang digunakan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat dan penggunaan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas radikal bebas semakin sedikit. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Molyneux (2004) bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi.

Qusti et al. 2010 menyatakan aktivitas antioksidan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu varietas tanaman, kondisi tempat tumbuh, tingkat kematangan, musim, lokasi geografis yang berbeda, jenis tanah dan jumlah sinar matahari yang diterima. Senyawa aktif yang ada dalam tiap tanaman juga turut mempengaruhi hasil antioksidan. Menurut Yulianto & Widyaningsih (2013) kandungan kimia didalam tanaman dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, perbedaan varietas, keadaan iklim, tempat tumbuh, cara pemeliharaan tanaman, cara pemanenan, kematangan pada waktu panen, dan kondisi penyimpanan setelah panen.

Komponen Aktif Filtrat Fermentasi Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa) Uji fitokimia merupakan uji yang digunakan untuk memberikan informasi jenis senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan. Ekstraksi bahan alam adalah ekstraksi komponen aktif yang terdapat pada bahan alam yang didasari pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).

Filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) diuji fitokimia pada sampel yang memiliki nilai persentase inhibisi paling besar untuk membuktikan senyawa bioaktif yang terdapat pada filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa). Uji fitokimia ini meliputi uji alkaloid, flavonoid, steroid, fenol hidroquinon, saponin, dan uji tanin. Hasil uji fitokimia pada filtrat fermentasi minggu ke- 8 buah bakau merah (R. stylosa) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji fitokimia filtrat fermentasi minggu ke- 8 buah bakau merah (Rhizophora stylosa) Parameter Hasil Alkaloid Wagner Negatif (-) Mayer Negatif (-) Dragendorf Negatif (-) Flavonoid Negatif (-) Steroid Positif (+) Fenol Hidrokuinon Negatif (-) Saponin Positif (+) Tanin Positif (+) Keterangan: (+) = terdeteksi

(-) = tidak terdeteksi

Adanya senyawa alkaloid Wagner ditunjukan dengan endapan merah atau jingga, Mayer ditunjukkan dengan endapan putih kekuningan, Dragendorf

13

ditunjukkan dengan endapan coklat. Adanya senyawa flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan amil alkohol berwarna merah atau kuning atau jingga. Steroid ditunjukkan dengan perubahan dari merah menjadi biru atau hijau. Fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan warna hijau atau hijau biru. Saponin ditunjukkan dengan adanya busa yang stabil setelah didiamkan selama 30 menit pada pereaksi. Tanin ditunjukkan dengan warna hijau kebiruan/hijau kehitaman (Priyanto 2012)

Alkaloid merupakan golongan senyawa sekunder yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom hidrogen (Harborne 1987). Pengujian alkaloid dilakukan menggunakan pereaksi pengendapan untuk memisahkan jenis alkaloid. Pereaksi yang umum digunakan adalah pereaksi Meyer yang mengandung kalium iodida dan merkuri klorida. Pereaksi Dragendorf mengandung bismuth nitrat dan merkuri klorida dalam nitrit berair. Alkaloid dalam tanaman digunakan sebagai bentuk pertahanan diri tanaman terhadap pemangsa. Alkaloid sering dijumpai pada tumbuhan hijau pada biji, daun, ranting, buah dan kulit batang. Kadar alkaloid yang dihasilkan oleh tumbuhan hijau tidak sama pada semua jaringan dan pada setiap tahap pertumbuhan serta lokasi geografis yang mempengaruhinya (Robinson 1991).

Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan, misalnya kuinin, morfin dan stiknin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Alkaloid tidak mempunyai tata nama sistematik, oleh karena itu suatu alkaloid dinyatakan dengan nama trivial yang beakhiran –in atau – ina. Struktur kimia alkaloid dapat dilihat pada Gambar 3.

Nikotina Koniina

Gambar 3 Struktur kimia alkaloid (Sumber: Robinson 1991)

Filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) tidak mengandung alkaloid karena tidak memberi hasil positif pada pereaksi Wagner, Meyer, dan Dragendorf. Hal ini berbeda dengan penelitian Nurdiani et al. (2012) yang menyatakan bahwa pereaksi Wagner, Meyer, dan Dragendorf memberi hasil positif yang artinya ekstrak buah bakau memiliki kandungan alkaloid (R.mucronata) menggunakan pelarut metanol. Hasil yang berbeda ini disebabkan pelarut yang digunakan berbeda. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut air. Alkaloid mudah larut dalam pelarut organik dan sukar larut dalam air, sehingga komponen alkaloid pada filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) tidak terdeteksi. Hasil uji Wagner dan Meyer dapat dilihat pada Lampiran 4.

Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Flavonoid berperan terhadap warna dalam organ tumbuhan,

14

misalnya bunga, buah, dan daun. Flavonoid diketahui merupakan senyawa golongan polifenol yang dikelompokan menjadi 9 kelas yaitu, antosianin, proantosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone, dan aurone, isoflavon dan flavonon. Kegunaan flavonoid bagi tumbuhan berguna untuk menarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji. Bagi manusia, flavonoid dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulan pada jantung dan pembuluh darah kapiler. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang beragam pada berbagai jenis sereal, sayuran dan buah-buahan (Redha 2010).

Filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) tidak memiliki kandungan flavonoid karena tidak memberikan hasil positif dengan ciri tidak terbentuknya lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/jingga. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Priyanto (2012) bahwa ekstrak dari buah bakau (R.mucronata) memberikan hasil positif yang artinya memiliki kandungan flavonoid. Pelarut yang digunakan berbeda, pelarut air tidak dapat mengekstrak dengan baik sehingga kandungan flavonoid tidak terdeteksi. Senyawa flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987) Hasil uji flavonoid dapat dilihat pada Lampiran 4.

Flavonoid diketahui dapat digunakan sebagai penampung atau mencegah reaksi oksidasi enzimatis maupun oksidasi non-enzimatis hal ini berkaitan dengan aktivitas antioksidan yang tinggi pada senyawa flavonoid. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Atta-au-rahman et al. (2001) yang menyatakan bahwa senyawa yang berpotensi memiliki antioksidan umumnya adalah senyawa flavonoid, alkaloid dan fenolat yang merupakan senyawa-senyawa polar. Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia flavonoid (Sumber: Harborne 1987)

Flavonoid mampu dikatakan sebagai sumber antioksidan akibat kemampuannya dalam mendonorkan atom hidrogen atau kemampuannya dalam mengkelat logam (Redha 2010). Akhlghi dan Bandy (2009) menambahkan bahwa flavonoid mampu mengkelat logam sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi redoks yang menghasilkan senyawa radikal bebas Selain kemampuan dalam menangkal radikal bebas, senyawa aktif flavonoid juga mampu menginhibisi enzim tirosinase.

Secara umum senyawa steroid banyak terdapat dalam tumbuhan dan berasal dari senyawa yang sama yaitu molekul isoprene. Steroid atau triterpenoid pada

15

tumbuhan berbiji umumnya dalam bentuk triterpenoid nonglikosida dan pada tumbuhan primitif dalam bentuk triterpenoid pentasiklik (Robinson 1991). Steroid adalah molekul kompleks yang larut di dalam lemak dengan empat cincin yang saling bergabung. Steroid yang paling banyak adalah sterol yang merupakan steroid alkohol. Kolesterol merupakan sterol utama pada jaringan hewan. Kolesterol dan senyawa turunan esternya, dengan lemaknya yang berantai panjang merupakan komponen penting dari plasma lipoprotein dan dari membran sel sebelah luar. Membran sel tumbuhan mengandung jenis sterol lain terutama stigmasterol yang berbeda dari kolesterol hanya dalam ikatan ganda di antara karbon 22 dan 23. Rantai samping delapan-karbon yang terdapat dalam lanosterol juga terdapat dalam steroid terutama dari sumber hewan, namun kebanyakan steroid tumbuhan mempunyai satu atau dua atom karbon tambahan (Sirait 2007).

Filtrat fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) memiliki kandungan steroid dengan ciri berubahnya warna merah menjadi berwarna hijau biru. Hal ini sesuai dengan penelitian Priyanto (2012) bahwa ekstrak buah bakau (R.mucronata) memiliki kandungan steroid. Struktur kimia steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur kimia steroid (Sumber: Sirait 2007)

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon (kuinon yang kromofor terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon), naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987)

Filtrat hasil fermentasi buah bakau merah (R. stylosa) tidak memiliki kandungan fenol hidrokuinon dengan ciri tidak terbentuknya warna hijau atau hijau biru. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Nurdiani et al. (2012) bahwa ekstrak buah bakau (R. mucronata) memiliki kandungan fenol hidrokuinon. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstrak dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah

Dokumen terkait