Identifikasi Virus pada Pertanaman Mentimun
Bogor dikenal sebagai salah satu daerah sentra pertanian khususnya tanaman hortikultura seperti buah-buahan, cabai, tomat, kacang panjang, dan mentimun. Desa Situgede merupakan salah satu kawasan pertanian di Bogor dengan komoditas yang beraneka ragam diantaranya padi, jagung, singkong, cabai, bengkuang, paria, pepaya, pisang, kacang panjang, talas, dan mentimun.
Mentimun yang dibudidayakan di daerah Situgede adalah jenis timun lalapan yang langsung dijual ke pasar. Varietas yang ditanam petani adalah mentimun hibrida Vario F1. Penggunaan varietas ini dianggap lebih menguntungkan oleh petani karena hasil yang banyak dan usia panen yang relatif cepat.
Survei dilakukan pada lahan seluas 1600 m2 dengan jumlah total tanaman sebanyak 6000 tanaman. Tanaman contoh yang diamati berjumlah 180 tanaman dengan usia 5 MST. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 112 tanaman atau sebanyak 62.22% tanaman mentimun yang menunjukkan gejala infeksi virus. Gejala yang terlihat di lapangan beraneka ragam tetapi gejala yang umum muncul dapat dikelompokan menjadi bintik kuning (A), mosaik kuning (B), mosaik hijau (C), mosaik hijau keriting (D), mosaik hijau kuning (E), mosaik kuning-hijau-keriting (F), dan kuning-hijau-keriting (G) (Tabel 1). Tanaman yang menunjukkan gejala tersebut selanjutnya diuji terhadap beberapa antiserum yaitu SqMV, CMV, ZYMV, WMV, dan TRSV dengan metode ELISA.
Dari tujuh sampel daun mentimun yang diuji, terdapat tiga sampel yang memberikan reaksi positif terhadap SqMV yaitu sampel B, D, dan E dengan nilai absorbansi ELISA berturut-turut 0.7660, 0.7825, dan 0.8155. Ketiga sampel tersebut menunjukkan reaksi yang negatif terhadap virus lain yang diuji yaitu CMV, WMV, ZYMV, dan TRSV. Empat sampel lainya (A, C, F, dan G) bereaksi negatif terhadap semua antiserum yang diuji. Dengan demikian, keempat sampel tanaman tersebut bebas dari infeksi SqMV, CMV, WMV, ZYMV, dan TRSV. Gejala yang muncul kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus lain atau organisme lain. Menurut Pracaya (2010) gejala menguning pada daun dapat
disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Gejala mosaik ataupun keriting juga dapat muncul pada tanaman yang kekurangan unsur hara. Daun tanaman yang kekurangan kalium akan berkerut dan mengalami klorosis. Gejala mosaik vein banding juga dapat disebabkan oleh virus lain seperti Potato Virus Y (PVY).
Tabel 1 Jenis virus yang menginfeksi tanaman mentimun di Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor berdasarkan hasil ELISA
Jenis sampel Reaksi sampel terhadap antiserum
CMV SqMV TRSV WMV ZYMV
A (bintik kuning) B (mosaik kuning) C (mosaik hijau)
D (mosaik hijau keriting) E (mosaik hijau kuning)
F (mosaik hijau kuning keriting) G (keriting) - - - - - - - - + - + + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Keterangan: - = sampel memberikan reaksi negatif terhadap antiserum
+ = sampel memberikan reaksi positif terhadap antiserum
CMV= Cucumber mosaic comovirus; SqMV= Squash mosaic comovirus; TRSV= Tobacco ring spot potyvirus; WMV= Watermelon mosaic potyvirus; ZYMV= Zuchini mosaic potyvirus
Gejala khas dari tanaman terinfeksi SqMV adalah mosaik kuning dan hijau. Pada gejala lanjut pembuluh daun akan berwarna pucat sedangkan bagian daun yang lain berwarna hijau normal (Babadoost 1999). Mosaik merupakan gejala yang paling umum muncul pada tanaman yang terinfeksi virus. Hijau daun terlihat tidak normal dan seolah terdapat batasan antara warna hijau normal, hijau pucat ataupun kuning. Gejala mosaik yang diekspresikan tanaman bergantung pada virus yang menginfeksi. Setiap virus memiliki gejala yang khas pada masing-masing tanaman inangnya. Gejala mosaik yang semakin luas merupakan tanda bahwa virus mampu bereplikasi dan virus dapat menyebar hingga menyerang titik tumbuh tanaman (Bos 1964).
Berdasarkan pengukuran nilai absorbans hasil ELISA, sampel E memiliki titer virus yang paling tinggi (0.8155). Sampel E selanjutnya digunakan sebagai sumber inokulum untuk penelitian berikutnya. Perbanyakan sumber inokulum SqMV dilakukan pada mentimun varietas Yupiter. Gejala mosaik hijau rata-rata muncul setelah 6 hari dari waktu inokulasi. Gejala mosaik hijau semakin jelas
seiring dengan pertumbuhan tanaman (Gambar 4). Konfirmasi infeksi SqMV pada tanaman sumber inokulum tersebut dilakukan dengan ELISA dan diperoleh rata-rata nilai absorbans 0.6953.
Gambar 4 Gejala mosaik hijau pada tanaman mentimun varietas Yupiter yang terinfeksi SqMV
Pengaruh Infeksi SqMV pada Lima Varietas Mentimun
Varietas yang digunakan dalam pengujian adalah varietas hibrida Vario dan Calista, varietas lokal yaitu Venus dan Yupiter , serta varietas impor Japan File. Varietas-varietas ini merupakan varietas yang telah terdaftar dan banyak digunakan oleh petani khususnya di daerah Bogor. Perbedaan antar varietas terletak pada morfologi tanaman khususnya buah dan waktu panen (Lampiran 1). Gejala infeksi SqMV umumnya muncul tujuh hari setelah inokulasi, yaitu berupa mosaik hijau ringan. Perkembangan gejala SqMV pada masa pertumbuhan vegetatif, masa berbunga, dan berbuah cukup bervariasi antar varietas (Tabel 2 dan Gambar 5).
Perbedaan gejala infeksi SqMV pada lima varietas mentimun disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti diuraikan dalam Bos (1964), gejala infeksi virus ditentukan oleh spesies tanaman, kondisi fisiologi tanaman, varietas, umur tanaman, iklim, dan nutrisi. Respon tanaman terhadap infeksi virus dapat dilihat dari gejala yang muncul. Gejala yang relatif sama ditunjukkan oleh mentimun varietas Venus, Yupiter, Calista, dan Vario. Gejala infeksi SqMV pada tanaman fase vegetatif tidak berbeda jauh dengan gejala pada fase berbunga. Ada kecenderungan terjadi fenomena recovery karena gejala infeksi pada fase
berbunga lebih ringan dibandingkan pada fase vegetatif. Pada fase berbuah, gejala yang muncul menjadi semakin parah.
Tabel 2 Perkembangan gejala infeksi SqMV pada lima varietas mentimun sejak masa pertumbuhan vegetatif sampai berbuah
Varietas Masa pertumbuhan
Vegetatif Berbunga Berbuah
Venus Yupiter Vario Calista Japan File Mosaik hijau Mosaik hijau Mosaik hijau Warna daun pucat Mosaik ringan Mosaik hijau kuning Mosaik kuning Mosaik kuning dan hijau Belang berwarna kuning dan hijau Pemucatan tulang daun
Pemucatan tulang daun dan buah normal
Mosaik kuning hijau dan buah normal
Mosaik kuning hijau yang jelas dan terdapat benjolan pada buah Mosaik kuning dan hijau yang jelas pada daun dan buah
Mosaik hijau pada daun dan warna buah pucat
Gambar 5 Gejala infeksi SqMV pada lima varietas mentimun: Calista (1), Venus (2), Vario (3), Yupiter (4), dan Japan File (5). Gejala pada daun ketika masa pembuahan (A) dan gejala pada buah (B). Keterangan gejala dijelaskan pada Tabel 2.
1 5 3 4 2
A
1 2 3 4 5B
Recovery adalah peristiwa pemulihan pada tanaman terinfeksi virus. Pada peristiwa ini, daun yang baru tumbuh memiliki gejala yang lebih sedikit bahkan tidak ada walaupun virus mungkin masih berada di dalam sel tanaman. Recovery pada umumnya dipengaruhi oleh faktor tanaman inang, varietas, dan strain virus (Hull 2002). Fenomena recovery yang paling jelas ditunjukkan oleh tanaman mentimun varietas Japan File. Gejala yang muncul semakin menurun setelah masa berbunga. Hal tersebut diduga berkaitan dengan mekanisme pertahanan tanaman terhadap infeksi virus.
Mekanisme pertahanan tanaman terhadap virus dapat berupa pertahanan struktural, pertahanan kimia, dan pertahanan genetik. Pertahanan struktural adalah pertahanan tanaman dengan memanfaatkan bagian-bagian struktural tanaman untuk mencegah patogen dapat masuk ke dalam sel tanaman. Hal tersebut dapat berupa trikoma pada permukaan daun tanaman. Pertahanan kimia adalah pertahanan tanaman dengan menghasilkan senyawa-senyawa metabolit maupun toksik untuk menghambat penyebaran maupun replikasi patogen dalam sel tanaman. Pertahanan genetik adalah ketahanan tanaman terhadap patogen karena adanya gen yang mampu menghambat patogen (Robinson 1987).
Titer virus pada tiap varietas mentimun yang diuji diestimasi berdasarkan pengukuran nilai absorbans ELISA (Tabel 3). Secara umum terlihat bahwa nilai absorbans pada fase vegetatif relatif tinggi kemudian menurun pada fase berbunga dan meningkat kembali pada fase berbuah. Pada varietas Venus, Yupiter, Vario, dan Calista nilai titer virus menurun ketika fase vegetatif menuju fase berbunga dan meningkat ketika fase pengisian buah. Penurunan nilai titer virus mencapai setengah kali dari nilai titer virus awal.
Tabel 3 Rata-rata nilai absorbans ELISA pada lima varietas mentimun yang diinokulasi SqMV
Fase Pertumbuhan Varietas
Venus Yupiter Japan File Vario Calista Vegetatif Berbunga Berbuah 1.5603a 0.8999a 1.4420a 1.4948a 1.1465a 1.3008a 1.5152a 1.2780a 0.8849a 1.3845a 0.9146a 1.4326a 1.4748a 0.8966a 1.3669a Keterangan: * nilai yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
Hasil pengukuran pada varietas Japan File agak berbeda karena nilai titer virus pada varietas ini tetap menurun hingga fase berbuah. Berdasarkan analisis statistika nilai titer virus pada setiap fase pertumbuhan untuk setiap varietas tidak berbeda nyata. Menurunnya titer virus dapat dikaitkan dengan kemampuan virus melakukan replikasi di dalam jaringan tanaman. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelima varietas mampu mengurangi replikasi virus di jaringan tanaman terutama hingga fase berbunga. Pada fase berbuah titer meningkat kembali kemungkinan disebabkan oleh menurunnya ketahanan tanaman pada saat berbuah. Proses metabolisme tanaman lebih banyak diarahkan untuk pengisian buah.
Berdasarkan pengukuran nilai absorbans hasil ELISA pada masing-masing sampel tanaman dapat ditentukan persentase kejadian penyakit untuk tiap varietas. (Tabel 4). Kejadian penyakit yang paling tinggi ketika tanaman mengalami fase vegetatif terjadi pada varietas Yupiter dan Calista yaitu 66% diikuti varietas Venus dan Japan File masing-masing sebesar 33%, sedangkan untuk varietas Vario adalah 0% yang berarti seluruh tanaman masih bebas SqMV. Hal tersebut menunjukkan bahwa mentimun varietas Vario memiliki kemampuan menahan infeksi SqMV ketika tanaman ini berada pada fase vegetatif, sebaliknya varietas Yupiter dan Calista merupakan varietas yang paling rentan pada fase ini.
Tabel 4 Persentase kejadian penyakit mosaik (SqMV) pada tiga fase pertumbuhan tanaman
Varietas Fase Pertumbuhan
Vegetatif Berbunga Berbuah
Venus Yupiter Japan File Vario Calista 33 66 33 0 66 25 75 100 25 25 100 100 25 100 100 Keterangan: Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan nilai absorbansi ELISA
Pertumbuhan tanaman menuju fase berbunga disertai dengan perubahan kejadian penyakit. Pada fase ini kejadian penyakit tanaman varietas Japan File meningkat menjadi 100% yang berarti bahwa seluruh tanaman yang diuji terinfeksi SqMV. Peningkatan kejadian penyakit juga terjadi pada tanaman varietas Yupiter (75%) dan Vario (25%). Kejadian penyakit menurun pada
mentimun varietas Venus dan Calista yaitu masing-masing 25% sementara pada varietas Vario yang terinfeksi menjadi 25%. Seperti dijelaskan sebelumnya peningkatan dan penurunan kejadian penyakit tersebut berkaitan dengan proses replikasi virus dalam jaringan tanaman.
Pada fase generatif akhir yaitu ketika tanaman berbuah juga terdapat perubahan status kejadian penyakit. Kejadian penyakit pada varietas Venus, Yupiter, Calista, dan Vario mencapai 100%, sementara kejadian penyakit varietas Japan File hanya mencapai 25%. Persentase kejadian penyakit pada varietas Japan File menurun dari fase sebelumnya.
Secara umum perkembangan kejadian penyakit akibat SqMV pada lima varietas sama seperti perkembangan titer virus. Penurunan terjadi ketika tanaman mengalami fase berbunga kemudian naik ketika fase berbuah. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan proses fisiologis tanaman. Pada fase berbunga menuju berbuah tanaman mengarahkan seluruh energinya untuk proses reproduksi dan pengisian buah sehingga ketahanan tanaman terhadap patogen menurun. Selain itu, pada tanaman tertentu terdapat komponen yang disebut dengan AVF (antiviral factor).
Vidhyasekaran (1988) menjelaskan bahwa AVF merupakan salah satu faktor resistensi. AVF pertama kali diisolasi dari tanaman tembakau (Nicotiana glutinosa). AVF ini muncul hanya beberapa menit setelah inokulasi dan dapat diisolasi. AVF tidak terpengaruh suhu melainkan berkorelasi dengan perkembangan ketahanan tanaman terhadap virus pada daun yang diinokulasi. AVF juga mampu menekan replikasi virus pada tanaman inang.
Penurunan titer virus pada lima varietas mentimun yang diuji dapat diakibatkan adanya AVF. Tanaman fase vegetatif diduga menghasilkan AVF yang dapat menekan replikasi virus. Titer virus pada fase berbuah kembali mengalami peningkatan. Pada fase berbuah umumnya tanaman mengalami penurunan produksi zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti IAA, BAP (benzylaminopurine), dan 2,4 D. Zat pengatur tumbuh tersebut diperlukan untuk pembentukan AVF. Karena produksi AVF menurun, tanaman tidak mampu menghambat multiplikasi virus pada tanaman sehingga titer virus kembali meningkat.
Pengujian SqMV Terbawa Benih
Benih mentimun komersial yang diperoleh dari toko pertanian tumbuh dengan baik pada tahap growing-on test. Pada tahap DIBA terlihat bahwa seluruh sampel memberikan reaksi berwarna ungu yang jelas (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh benih (100%) dari tiap varietas positif membawa SqMV. 1 2 3 4 5 Bufer Tanaman sehat Tanaman terinfeksi SqMV
Gambar 6 Hasil pengujian benih F1 dari lima varietas mentimun dengan metode DIBA menggunakan antiserum SqMV. Kolom 1-5 beturut-turut varietas Vario, Yupiter, Venus, Calista, dan Japan File
Bufer Tanaman sehat
Tanaman terinfeksi SqMV
Gambar 7 Hasil pengujian benih F2 varietas Venus dengan teknik DIBA menggunakan antiserum SqMV
Pengujian benih yang diperoleh dari tanaman hasil pengujian (F2) hanya dapat dilakukan untuk varietas Venus karena varietas Vario, Calista, dan Japan File merupakan varietas hibrida sehingga benih F2 yang dihasilkan sulit tumbuh. Varietas Yupiter merupakan varietas lokal akan tetapi benih F2 tidak mampu
tumbuh. Hal ini dapat diakibatkan oleh infeksi virus pada tanaman sebelumnya yang mempengaruhi vigor benih. Berdasarkan hasil DIBA yang dilakukan untuk benih F2 varietas Venus didapatkan 14 benih dari 24 benih (60.87%) yang bereaksi positif terhadap SqMV (Gambar 7)
Pada Gambar 7 dapat dilihat beberapa sampel yang menghasilkan reaksi berwarna ungu. Hal tersebut mengindikasikan sampel benih membawa SqMV. Penularan virus pada benih dapat terjadi umumnya ketika tanaman inang terinfeksi secara sistemik sebelum masa berbunga. Pada saat ini, virus mampu menginfeksi serbuk sari ataupun sel telur, bertahan pada gamet, dan akan berkembang seiring dengan pertumbuhan benih (Agarwal & Sinclair 1996).
Benih komersial yang diperoleh dari toko pertanian terbukti terinfeksi SqMV sebanyak 100 %. Benih terinfeksi yang ditanam merupakan sumber inokulum virus yang penting di lapangan. Virus yang terbawa benih juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada tanaman yang tumbuh. Tanaman yang terinfeksi secara sistemik selanjutnya dapat menghasilkan benih yang membawa virus (SqMV). Menurut Neergaard (1977) terdapat hubungan antara waktu inokulasi dengan infeksi pada benih. Semakin cepat tanaman terinfeksi maka jumah benih yang membawa virus akan semakin tinggi. Tanaman yang terinfeksi virus setelah masa berbunga akan menghasilkan benih bebas virus. Pada penelitian dengan mentimun, tanaman diinokulasi SqMV sejak tujuh hari setelah tanam sehingga virus telah menginfeksi sejak awal pertumbuhan. Infeksi dini tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, buah yang dihasilkan, dan benih yang membawa virus.
Hasil pengujian SqMV terbawa benih sangat penting untuk diinformasikan kepada masyarakat luas terutama petani pengguna, produsen benih (lokal) dan importir benih, serta Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSB TPH). Program sertifikasi benih di Indonesia masih terfokus pada aspek agronomis yaitu kemurnian, kadar air, dan viabilitas benih (Anwar et al 2005). Pengujian kesehatan benih negara maju pada umumnya sudah rutin dilakukan. Menurut AOSA (Association of Official Seed Analysis) kriteria sertifikasi benih didasarkan pada kemurnian, daya kecambah, keseragaman bentuk, kadar air, dan tahan terhadap hama dan penyakit.