• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Hasil percobaan penggunaan tepung bungkil kelapa sawit (PKM) dalam pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan lele (Clarias sp). Data perubahan bobot rata-rata ikan per ekor dapat dilihat pada Gambar 1. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

0 20 40 60 80 100 120 140 A(0) B(8) C(12) D(16) E(18) Perlakuan Bobot rata-rata (g) Awal Akhir

Gambar 1. Bobot rata-rata ikan lele (Clarias sp) pada awal dan akhir percobaan Penggunaan PKM dalam pakan dapat mempengaruhi (p<0,05) tingkat konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan retensi protein, sedangkan untuk retensi lemak tidak dipengaruhi (p>0,05) oleh perlakuan (Lampiran 9,10,11,12 dan 13). Data mengenai tingkat konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan retensi lemak untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 9 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3,4 dan 5.

Tabel 9. Rata-rata Konsumsi Pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi Pakan (EP), Retensi Protein (RP) dan Retensi Lemak (RL).

Perlakuan (% PKM) Para-

meter A(0) B(8) C(12) D(16) E(18)

KP (g) 113,71 + 11,54a 1 05,40 + 7,09a 85,00 + 6,63b 62,66 + 2,00c 62,39 + 5,38c

LPH (%) 3,11 + 0,22a 3,01 + 0,13a 2,56 + 0,13b 2,09 + 0,06c 2,00 + 0,19c

EP (%) 79,01 + 4,19ab 82,05 + 2,83a 73,38 + 2,47b 68,39 + 1,50bc 63,34 + 6,81c

RP (%) 34,22 + 2,26a 36,13 + 2,29a 30,59 + 2,23b 31,23 + 1,51b 27,52 + 1,57c

RL (%) 55,42 + 9,49a 58,72 + 6,50a 55,32 + 4,03a 53,42 + 1,01a 50,77 + 16,22a Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris

menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05)

Tingkat konsumsi pakan paling tinggi terjadi pada perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05). Kemudian menurun seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan PKM yaitu pada perlakuan C(12) kemudian D(16)=E(18) (p>0,05) (Lampiran 9).

Laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05). Laju pertumbuhan semakin menurun seiring dengan semakin tingginya penggunaan PKM. Laju pertumbuhan ikan yang terendah terjadi pada perlakuan D(16) dan E(18) (p>0,05) (Lampiran 10). Perlakuan A(0) dan B(8) memiliki tingkat efisiensi paling tinggi (p>0,05) dan semakin menurun pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18) (p<0,05) (Lampiran 11).

Retensi protein tertinggi terjadi pada perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05). Retensi protein selanjutnya akan semakin menurun pada perlakuan C(12) dan D(16) (p>0,05) dan paling rendah pada perlakuan E(18) (Lampiran 12), sedangkan retensi lemak tidak dipengaruhi (p>0,05) oleh penggunaan PKM dalam pakan (Lampiran 13).

Hasil analisa proksimat tubuh ikan pada awal dan akhir penelitian menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan kandungan protein dan lemak tubuh selama pemberian pakan perlakuan. Pengaruh pakan percobaan terhadap komposisi proksimat tubuh ikan pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 10 dan untuk proksimat selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6.

Tabel 10. Komposisi proksimat tubuh (% bobot kering) dan hati (% bobot basah) ikan lele (Clarias sp).

Perlakuan (% PKM)

Para-meter Awal A(0) B(8) C(12) D(16) E(18)

Tubuh : Protein Lemak Abu Air 51,45 14,93 17,11 74,50 55,15+1,94a 25,28+2,44a 15,23+0,22a 76,00+0,50a 56,16+1,13a 24,87+2,38a 15,05+0,56a 75,01+0,38a 54,01+2,25a 26,94+2,23a 15,41+1,33a 76,15+0,48a 53,96+0,64a 27,52+0,44a 15,59+0,41a 74,78+0,38a 52,66+4,46a 27,82+5,25a 16,17+1,06a 74,83+1,01a Hati : Protein Lemak Air 13,58 4,97 67,62 13,38+4,25a 17,03+5,50a 69,10+10,33a 14,81+5,60a 15,77+6,81a 67,36+11,94a 11,99+0,42a 7,69+0,85b 78,85+1,40a 12,18+1,19a 8,60+0,59b 77,17+0,46a 11,65+0,99a 10,06+0,56b 73,78+3,07a Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris

menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05)

Secara umum penggunaan PKM tidak mempengaruhi kandungan protein, lemak, abu dan air tubuh ikan lele (p>0,05) (Lampiran 14, 15, 16 dan 17). Kandungan lemak tubuh mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan peningkatan kandungan protein. Hasil proksimat hati ikan lele menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) perlakuan terhadap kandungan lemak hati namun tidak berpengaruh terhadap kandungan protein dan air hati ikan lele (p<0,05). Kandungan lemak hati tertinggi terjadi pada perlakuan A(0) kemudian diikuti oleh perlakuan B(8) (p>0,05) sedangkan perlakuan C(12), D(16) dan E(18) memiliki kandungan lemak yang lebih rendah (p>0,05) (Lampiran 18, 19 dan 20).

Hasil pengukuran eskresi total amonia nitrogen (NH3-N), kecernaan protein serta kecernaan pakan disajikan pada Tabel 11. Data untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8.

Tabel 11.Kecernaan Pakan (KP), Kecernaan Protein Pakan (KPP) dan eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN)

% Protein SBM:% Protein PKM: % Protein MBM

Para-

meter A(0) B(8) C(12) D(16) E(18)

KP (%) 69,09 + 1,10a 68,93 + 1,80a 66,55 + 0,67a 59,01 + 1,81b 60,37 + 3,39b KPP (%) 87,64 + 0,48a 86,76 + 1,10a 83,78 + 0,26b 80,99 + 0,47c 80,05 + 2,16c TAN (mg/g tubuh/ jam) 0,017 + 0,002a 0,018 + 0,003a 0,021 + 0,003a 0,020 + 0,010a 0,021 + 0,001a

Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05).

Penggunaan PKM dalam pakan dapat mempengaruhi (p<0,05) tingkat kecernaan total pakan dan protein pakan. Semakin tinggi tingkat penggunaan PKM dalam pakan maka tingkat kecernaan pakan dan kecernaan protein pakan akan semakin menurun. Kecernaan pakan tertinggi terjadi pada perlakuan A(0),B(8) dan C(12) (p>0,05) kemudian menur un pada perlakuan D(16) dan E(18) (p>0,05). Perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05) memiliki kecernaan protein paling tinggi dan kemudian menurun pada perlakuan C(12) dan paling rendah pada perlakuan D(16) dan E(18) (p>0,05) (Lampiran 21 dan 22).

Total ekskresi NH3-N yang diukur selama lima jam menunjukkan tidak adanya pengaruh (p>0,05) perlakuan terhadap total eskresi amonia (Lampiran 23). Pengaruh penggunaan PKM dalam pakan terhadap hati ikan lele dilakukan dengan mengamati preparat histologi hati ikan pada pembesaran 1000 kali seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 sampai Gambar 6. Preparat hati ikan lele yang diberi perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal jumlah sel persatuan luas dan ukuran vakuola yang berbeda.

Gambar 2. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan A(0) (pembesaran 1000 x).

Gambar 3. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan B(8) (pembesaran 1000 x).

Gambar 4. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan C(12) (pembesaran 1000 x).

Gambar 5. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan D(16) (pembesaran 1000 x).

Gambar 6. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan E(18) (pembesaran 1000 x).

Berdasarkan ga mbar histologi hati di atas dapat diketahui bahwa, hepatosit ikan pada perlakuan A(0) dan B(8) memiliki vakuola dengan ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan C(12), D(16) dan E(18) hampir tidak memiliki vakuola dan memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan A(0) dan B(8).

Pembahasan

Parameter uji yang digunakan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan tepung bungkil kelapa sawit (PKM) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan PKM yang optimal dalam pakan adalah sebesar 8%. Terjadinya pertumbuhan pada semua perlakuan merupakan indikator bahwa energi yang dikonsumsi sudah melebihi energi yang dibutuhkan untuk maintenance dan voluntary (NRC 1983; Steffens 1989).

Laju pertumbuhan harian menunjukkan tingkat pertumbuhan ikan setiap harinya. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada pakan A(0) dan B(8). Penggunaan PKM pada pakan B(8) memberikan efisiensi pakan yang setara dengan perlakuan A(0). Yamamoto et al. (1995) mengatakan bahwa penggabungan beberapa sumber protein dapat meningkatkan tingkat penggantian tepung ikan.

Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan dapat menekan pertumbuhan ikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh komposisi asam amino pakan yang tidak seimbang, penurunan tingkat kecernaan nutrisi pakan dan

palatabilitas. Selain itu PKM banyak mengandung non-starch polysaccharida

(NSP) yang berpotensi untuk menjadi anti nutrisi jika berada dalam pakan ikan karena NSP akan terikat dalam air dan membentuk semacam gum di dalam intestine, meningkatkan viskositas bahan-bahan yang ada dalam usus dan menghalangi aktifitas enzim pencernaan sehingga akan menekan pertumbuhan (Francis et al. 2001). Di daerah tropis yang mempunyai kelembaban dan suhu yang tinggi serta penyimpanan yang kurang baik dapat menyebabkan tumbuhnya jamur khususnya dari genus Aspergillus yang menghasilkan senyawa kimia yang sangat toksik yakni aflatoksin. Aflatoksin akan menyebabkan pertumbuhan yang lambat, mengurangi tingkat konsumsi pakan, pathologis pada hati serta mempengaruhi pankreas dan ginjal (Lim et al. 2001). Kandungan aflatoksin dalam PKM bisa diminimalisir bahkan tidak teridentifikasi jika PKM ditangani dengan baik selama masa penyimpanan (Sue 2001).

Indeks asam amino esensial pakan dan asam amino esensial tubuh dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan asam amino esensial ikan. Pola asam amino esensial pakan dapat dihitung berdasarkan kandungan asam amino esensial bahan baku penyumbang protein (Tabel 12).

Tabel 12. Komposisi asam amino esensial pakan percobaan dan tubuh ikan (% protein). Perlakuan (% PKM) Asam amino esensial Tubuh Ikan* A(0) B(8) C(12). D(16) E(18) Arginin 2,54 5,50 5,46 5,43 5,40 5,36 Histidin 4,24 2,23 2,18 2,12 2,06 2,01 Isoleusin 2,01 3,67 3,45 3,19 2,94 2,69 Leusin 3,78 6,62 6,29 5,91 5,54 5,17 Lisin 3,59 5,81 5,61 5,39 5,18 4,96 Metionin 1,84 1,79 1,78 1,77 1,76 1,75 Phenilalanin 2,27 3,92 3,67 3,39 3,11 2,82 Threonin 2,22 3,76 3,63 3,49 3,35 3,21 Tryptophan 0,42 0,63 0,73 0,88 1,02 1,16 Valin 2,42 3,97 3,87 3,77 3,67 3,57 * Hasil analisa (2006).

Berdasarkan data dari Tabel 12, kebutuhan asam amino esensial ikan lele

(Clarias sp) dan ketersediaan asam amino esensial dalam pakan dapat

digambarkan dengan menghitung rasio asam amino esensial pakan/tubuh ikan (Gambar 7). 0 50 100 150 200 250 300

Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin

Phenilalanin Threonin Tryptophan

Valin

Rasio AAE pakan/tubuh ikan (%)

A(0) B(8) C(12) D(16) E(18) Tubuh

Gambar 7. Perbandingan (%) asam amino esensial pakan dan asam amino esensial tubuh ikan lele (Clarias sp).

Gambar 7 menunjukkan bahwa dari keseluruhan asam amino esensial, hanya asam amino triptopan yang mengalami peningkatan jumlah sedangkan yang lainnya mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya tingkat penggunaan PKM dan MBM. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa semua pakan uji mengalami kekurangan asam amino histidin dan metionin.

Penggunaan PKM 8% memberikan komposisi asam amino pakan yang lebih rendah dari pakan kontrol namun belum mempengaruhi tingkat pertumbuhan pada perlakuan B(8). Penggunaan PKM yang melebihi 8% akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai nutrien pakan yang ditandai dengan semakin menurunnya tingkat pertumbuhan seperti pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18) yang disebabkan oleh semakin rendahnya ketersediaan asam amino esensial dalam pakan yang menekan potensi pertumbuhan harian ikan.

Tingkat penggunaan PKM dalam pakan ikan lele yang dapat memberikan pertumbuhan yang optimal pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan PKM dalam pakan ikan tilapia (Oreocromis sp) yang dapat mencapai 20% (Ng et al. 2002), pada juvenile Labeo

senegalensis sebesar 10% (Omoregie 2000), ikan nila tilapia Oreochromis

mosambicus dapat mencapai 30% (Lim et al. 2001) dan pada juvenil patin jambal siam (Pangasius djambal) dapat menggunakan PKM sebanyak 27% dalam pakan (Afifah 2006).

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan adalah tingkat kecernaan total pakan dan kecernaan protein. Penggunaan PKM dapat mempengaruhi tingkat kecernaan total dan protein pakan. Tingkat kecernaan menunjukkan perbedaan jumlah antara nutrien yang diambil dan nutrien yang diekskresikan dalam feses yang diekspresikan dalam persentase dari jumlah pakan yang dimakan (Steffens 1989). Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan maka tingkat kecernaan pakan cenderung semakin menurun. Gejala yang sama ditemukan pada Oreochromis mossambicus (Lim et al. 2001 ), Oreochromis sp (Ng WK et al. 2002) dan Labeo senegalensis (Omoregie 2001) yang diberi pakan dengan kandungan PKM yang berbeda. Penggunaan MBM yang semakin tinggi juga menunjukkan tingkat kecernaan pakan yang semakin rendah seperti pada ikan gilthead seabream (Sparus aurata) (Robaina et al. 1997). Secara umum pada

beberapa spesies ikan, kecernaan protein PKM dan MBM lebih rendah dari kecernaan SBM (Hertramft dan Felicitas 2000) sehingga semakin tinggi penggunaan PKM dan MBM dalam pakan yang menekan jumlah SBM menyebabkan tingkat kecernaan protein akan semakin menurun.

Tingkat kecernaan pakan yang semakin rendah pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18) menyebabkan rendahnya asupan energi yang dapat diambil ole h ikan. Perbedaaan asupan energi ini dapat dilihat dari histologis hati yang memiliki ukuran vakuola yang berbeda. Vakuola pada sel hati menggambarkan bekas simpanan lemak yang terlarut oleh alkohol pada saat proses preparasi histologi sehingga menyebabkan terbentuknya vakuola pada hepatosit. Semakin banyak energi yang dapat dicerna maka simpanan energi dalam bentuk lemak di hati semakin tinggi seperti pada perlakuan A(0) dan B(8) yang memilki vakuola yang paling besar. Perlakuan C(12), D(16) dan E(18) memiliki vakuola yang lebih kecil bahkan pada perlakuan tersebut banyak sel yang tidak memiliki vakuola. Data yang diperoleh dari kandungan lemak hati juga menunjukkan bahwa ikan yang memiliki asupan energi yang rendah karena kecernaan pakan yang rendah pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18) memiliki kandungan lemak hati yang lebih rendah dari perlakuan A(0) dan B(8) yang memiliki kecernaan pakan yang lebih tinggi.

Perbedaan tingkat konsumsi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pertumbuhan ikan. Ukuran ikan yang lebih besar pada perlakuan A(0) dan B(8) memiliki konsumsi pakan yang tinggi sedangkan untuk ikan yang berukuran lebih kecil memiliki tingkat konsumsi pakan yang rendah seperti pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18). Faktor lain yang menyebabkan perbedaan konsumsi pakan adalah palatabilitas pakan. Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada perlakuan C(12), D(16) dan E(18) kemungkinan juga disebabkan karena semakin tingginya kandungan MBM dalam pakan sehingga menurunkan palatabilitas pakan. Penelitian yang dilakukan oleh Xue dan Cui (2000) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat penggunaan MBM dalam pakan akan menurunkan tingkat palatabilitas pakan yang dibuktikan dengan rendahnya tingkat pemilihan/preferensi pakan oleh ikan gibel carp pada pakan yang mengandung MBM, namun tingkat preferensi ini akan meningkat jika diberi stimulant pada

pakan tersebut. Penurunan tingkat konsumsi pakan kemungkinan juga dapat disebabkan oleh keberadaan NSP yang banyak terkandung dalam PKM. NSP pada juvenil turbot (Psetta maxima) bersama dengan faktor anti nutrisi lainnya diduga memperlambat retensi pakan dalam lambung sehingga mempengaruhi tingkat pengambilan pakan (Fournier 2004).

Palatabilitas pakan juga berhubungan erat dengan atraktabilitas yang diberikan oleh asam amino yang selanjutnya akan mempengaruhi searching respon, pengambilan serta penelanan pakan dari ikan sehingga asam amino dapat berperan sebagai feeding stimulant dalam pakan. Rangsangan sensor kimia oleh asam amino tertentu akan menyebabkan repleks cephalic untuk meningkatkan sekresi cairan gastrik dan meningkatkan kecernaan protein dan karbohidrat. Adanya feeding stimulant yang berasal dari asam amino glicogenic seperti L- alanin, L-proline dan glycine juga mempengaruhi preferensi penggunaan energi dalam tubuh ikan sehingga akan meningkatkan penggunaan karbohidrat sebagai sumber energi (Hara 1993), yang akhirnya akan meningkatkan efisiensi protein pakan. Kecenderungan semakin rendahnya asam amino esensial pakan (Tabel 12) dengan semakin meningkatnya penggunaan PKM kemungkinan juga menunjukkan semakin rendahnya asamamino non esensial (L- alanin, L-proline dan glycine) pakan yang dapat menjadi feeding stimulant dalam pakan yang mengakibatkan tingkat konsumsi pakan menjadi lebih rendah.

Retensi nutrisi tertentu pada tubuh ikan selama periode tertentu biasanya digunakan untuk mengevaluasi ketersediaan dan keseimbangan asam amino dan ketersediaan beberapa elemen esensial nutrient lainnya. Retensi protein/lemak merupakan persentase protein/lemak yang dimakan oleh ikan selama masa percobaan yang dapat disimpan dalam tubuh ikan (Halver dan Hardy 2002). Tingkat retensi protein yang semakin turun seiring dengan meningkatnya penggunaan PKM dan MBM dalam pakan menunjukkan bahwa nilai nutrisi protein pakan semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari semakin rendahnya tingkat kecernaan protein pakan dan komposisi asam amino esensial pakan yang secara umum semakin menurun seiring dengan semakin tingginya tingkat penggantian SBM. Retensi lemak yang berada di bawah 100% menunjukkan bahwa tidak ada biosintesis lemak dari unsur nutrisi lainnya, artinya lemak yang

diretensi sebagian besar merupakan lemak yang berasal dari lemak pakan. Semakin tinggi tingkat penggunaan PKM dan MBM dalam pakan tidak mempengaruhi retensi lemak.

Hasil ana lisa proksimat tubuh menunjukkan bahwa penggunaan PKM dan MBM tidak menyebabkan perbedaan kandungan lemak dan protein tubuh. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lim et al. (2001) dan Ng et al. (2002) penggunaan PKM dalam pakan ikan tilapia yang isoenergi dan isolipid tidak mempengaruhi kandungan protein tubuh tetapi mempengaruhi kandungan lemak tubuh, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Omoregie (2001) mendapatkan tidak adanya perbedaan kandungan protein otot daging pada juvenile Labeo senegalensis yang diberi pakan yang mengandung PKM.

Total eskresi amoniak (TAN) ikan yang mengkonsumsi pakan perlakuan menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap eskresi nitrogen ikan. Eskresi amoniak sangat berhubungan dengan katabolisme asam amino yang digunakan sebagai energi. Ikan akan mengeluarkan nitrogen yang dihasilkan dari katabolisme asam amino dan metabolisme senyawa nitrogen lainnya ke dalam air sebagai amonia dari insang (Halver dan Hardy 2002). Semakin tinggi nilai TAN menunjukkan semakin banyaknya protein yang dideaminasi karena komposisi asam amino yang tidak seimbang sehingga cenderung menurunkan retensi protein. Menurut Lovell (1987) jika protein mempunyai komposisi asam amino yang tidak seimbang maka hanya sebagian kecil asam amino yang akan disintesis dan asam amino yang tidak digunakan akan dideaminasi dan diekskresikan sebagai nitrogen. Pada penelitian ini, nilai TAN yang tidak berbeda menunjukkan bahwa tingkat deaminasi asam amino esensial pakan sebagai akibat dari ketidakseimbangan asam amino esensial masih relatif sama.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat penggunaan PKM sebanyak 8% dalam pakan dapat menghasilkan kinerja pertumbuhan yang optimal pada ikan lele (Clarias sp).

Saran

PKM sebanyak 8% dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pakan ikan lele (Clarias sp).

Dokumen terkait