• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Minyak Ikan Sardinella sp. dan Jenis Adsorben

Minyak ikan yang dimurnikan adalah minyak ikan hasil samping yang diperoleh dari industri pengalengan Sardinella sp. di Pekalongan, Jawa Tengah. Pada proses pengalengan ikan, dilakukan proses pemasakan ikan dengan uap air (steaming). Pada proses ini, dari daging ikan (ikan yang telah dibersihkan dan kepala juga isi perut telah dibuang), keluar cairan yang masih mengandung minyak. Fase cair hasil samping pengolahan ikan terdiri dari minyak, air, bahan bahan padatan yang larut dan tersuspensi dalam air (Estiasih dan Ahmadi 2012). Pemurnian dengan alkali hampir secara sempurna menghilangkan asam lemak bebas yang diubah menjadi sabun yang tidak larut dalam minyak. Pada perusahaan pengalengan ikan sardin ini, minyak ikan hasil samping telah dilakukan proses pemurnian dengan alkali, sehingga dapat menghilangkan beberapa jenis kotoran dalam minyak.

Minyak ikan hasil samping pengalengan ikan ini dikarakterisasi terlebih dahulu sebelum dimurnikan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi awal minyak ikan, meliputi: profil asam lemak, kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida dan tingkat kejernihan minyak. Profil asam lemak minyak ikan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Profil asam lemak minyak ikan hasil samping pengalengan Sardinella sp.

Asam lemak Hasil (%b/b)

Asam Laurat, C12:0 0,12 Asam Miristat, C14:0 5,80 Asam Pentadekanoat, C15:0 0,90 Asam Palmitat, C16:0 16,81 Asam Heptadekanoat, C17:0 1,01 Asam Stearat, C18:0 5,42 Asam Arasidat, C20:0 0,65 Asam Heneikkosanoat, C21:0 0,12 Asam Behenat, C22:0 0,25 Asam Trikosanoat, C23:0 0,08

Total SFA (Saturated Fatty Acid) 31,16

Asam Miristoleat, C14:1 0,02 Asam Palmitoleat, C16:1 6,53 Asam Elaidat, C18:1n9t 0,15 Asam Oleat, C18:1n9c 8,61 Asam cis-11-eikosanoat, C20:1 0,37 Asam Erucic, C22:1n9 0,07 Asam Nervonat, C24:1 0,21

Total MUFA(Monounsaturated Fatty Acid) 15,96

Asam Linolelaidat, C18:2n9t 0,05 Asam Linoleat, C18:2n6c 1,10 Asam -Linoleat, C18:3n6 0,18 Asam Linolenat, C18:3n3 0,72 Asam cis-11,14-eikosadienoat C20:2 0,23 Asam cis-8,11,14-eikosetrienoat, C20:3n6 0,18 Asam cis-11,14,17-eikosetrienoat, C20:3n3 0,07 Asam Arakidonat, C20:4n6 2,06 Asam cis-5,8,11,14,17-eikosapentanoat,C20:5n3 8,21 Asam cis-4,7,10,13,16,19-dokosaheksanoat, C22:6n3 11,41

Total PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid) 24,21

Tabel di atas menunjukkan kandungan asam lemak pada minyak ikan hasil samping pengalengan. Asam lemak kelompok SFA (Saturated Fatty Acid) yang paling dominan terdapat pada minyak ikan tersebut adalah asam lemak palmitat sebesar 16,81 %. Crexi et al. (2010) dalam Tambunan (2014) menyatakan bahwa asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang dominan pada tubuh ikan. Selanjutnya, Asam Oleat merupakan asam lemak kelompok MUFA (Monounsaturated Fatty Acid) yang paling dominan pada minyak ikan tersebut, yaitu sebesar 8,61 %. Asam Oleat merupakan asam lemak yang penting karena menjadi prekursor asam lemak omega-3 pada hewan (Tambunan 2014). Selanjutnya terdapat Asam cis-4,7,10,13,16,19-dokosaheksanoat, C22:6n3 (DHA) dari jenis asam lemak tak jenuh ganda atau PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid) yang dominan pada minyak ikan tersebut yaitu sebesar 11,41 %. Asam lemak ini merupakan asam lemak omega-3 yang dibutuhkan dalam perkembangan otak, mata, pertumbuhan janin selama kehamilan dan untuk pemeliharaan kesehatan. EPA dan DHA yang termasuk dalam kelompok PUFA memiliki fungsi yang penting. EPA banyak berperan dalam penurunan risiko serangan jantung, sedangkan DHA memberikan peranan penting untuk menjaga keseimbangan eikosanoid. EPA dan DHA merupakan komponen utama dari fosfolipid membran sel dan merupakan high unsaturatedfatty acid (HUFA) yang berguna untuk sistem saraf pusat (Wu et al. 2010 dalam Tambunan 2014). Karakterisasi awal pada minyak ikan Sardinella sp. disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik awal sampel minyak ikan hasil samping

Karakteristik yang diamati Nilai Standar*

Tingkat Kejernihan 450 nm : 14,6% 550 nm μ 65,8% 6β0 nm μ 8γ% 665 nm μ 84% 700 nm μ 8λ% -

Kadar Asam Lemak Bebas 3,61 %± 0,03 ≤1,5 Bilangan Peroksida 17,5 meq/kg± 0,00 ≤3,75 *IFOS (2011)

Tabel 2 menunjukkan karakteristik awal minyak hasil samping pengalengan ikan Sardinella sp.. Tingkat kejernihan minyak ikan yang diukur dengan lima panjang gelombang berbeda memiliki rentang antara 14,6-89 %, kadar asam lemak bebas sebesar 3,61 %, dan bilangan peroksida sebesar 17,5 meq/kg. Beberapa parameter yang diamati pada karakterisasi awal seperti kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida masih belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh IFOS. Minyak ikan tersebut memiliki warna hitam kecoklatan, kental dan mempunyai bau menyengat. Penampakan dari minyak ikan Sardinella sp. yang diamati dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2 Minyak ikan Sardinella sp.

Pemurnian yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua jenis adsorben yaitu bentonit dan atapulgit. Bentonit adalah istilah yang digunakan dalam dunia perdagangan untuk sejenis tanah liat yang mengandung mineral montmorillonit (MMT) lebih dari 85 %. Fragmen sisanya sebagai mineral pengotor umumnya terdiri dari campuran mineral berupa kwarsa, feldspar, kalsit, gypsum, kaolinit, plagioklas, ilit dan sebagainya (Nurdani 2009). Adsorben bentonit memiliki warna kuning kecoklatan, bentuknya berupa serbuk, serta memiliki ukuran partikel yang berkisar antara 100-180 mesh (Saraswati 2013). Penampakan fisik dari bentonit yang digunakan sebagai adsorben dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Bentonit Sumber : Saraswati 2013

Penyerapan dari adsorben sangat dipengaruhi oleh luas permukaan sehingga adsorben harus mempunyai pori yang maksimum. Hal ini disebabkan karena pori adsorben akan mempengaruhi kontak antara reaktan dengan adsorben atau akan mempengaruhi kecepatan difusi reaktan ke dalam pori adsorben. Penggunaan bentonit sebagai bahan adsorben adalah dimungkinkan karena memiliki luas permukaan yang besar (Nurdani 2009). Sifat daya serap yang dimiliki bentonit terjadi karena adanya ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung, serta ketidak seimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya serap tersebut pada umumnya berada pada ujung permukaan kristal, serta diameter ikatan mineral lempung. Bentonit dapat digunakan sebagai bahan penyerap dalam berbagai keperluan, baik dalam keadaan basah maupun kering (Larosa 2007).

Selain adsorben bentonit, ditambahkan pula adsorben atapulgit dalam pemurnian minyak ikan. Atapulgit merupakan kristal hidrat magnesium-aluminium-silikat yang memiliki struktur rantai berlapis khusus dengan kisi-kisi kristal yang mudah berganti-ganti. Hal tersebut membuat kristal atapulgit memiliki atom Na+, Ca+, Fe3+ dan Al3+ dengan jumlah yang tidak jelas. Kristal atapulgit terdiri atas bentuk jarum, serat dan kumpulan serat. Atapulgit memiliki sifat koloidal yang sangat bagus, seperti mudah terdispersi, tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap garam dan basa serta memiliki daya adsorpsi tinggi dan mampu menghilangkan warna. Atapulgit biasa digunakan dalam dekolorisasi, deodorisasi, dehidrasi, dan netralisasi minyak, baik minyak nabati, minyak mineral maupun lilin (Fitriyantini 2009). Adsorben atapulgit memiliki warna putih agak kekuningan, bentuknya berupa serbuk. Kenampakan fisik dari atapulgit yang digunakan sebagai adsorben dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Atapulgit

Keunikan struktur atapulgit dengan rongga dalam dan besarnya luas permukaan memungkinkan terjadinya penetrasi ion organik dan anorganik ke dalam struktur atapulgit. Kemampuan atapulgit untuk melakukan bleaching terutama diakibatkan oleh luas permukaan atapulgit yang besar serta rendahnya kapasitas perpindahan kation (Huang et al. 2007).

Pengaruh Kecepatan Sentrifugasi terhadap Kualitas Minyak Ikan

Minyak ikan hasil samping pengalengan ikan Sardinellla sp. ini terlebih dahulu disentrifugasi sebelum dilakukan pemurnian dengan menggunakan kombinasi adsorben. Sentrifugasi ini bertujuan untuk memisahkan soap stock hasil netralisasi sebelumnya yang masih terkandung dalam minyak ikan.

Rendemen Minyak Ikan Hasil Sentrifugasi

Minyak ikan hasil samping industri pengalengan ikan Sardinella sp. yang berupa minyak ikan kasar diberi perlakuan sentrifugasi pada berbagai kecepatan yaitu 3000 rpm, 5500 rpm, 8000 rpm, dan 10500 rpm. Rendemen minyak ikan yang dihasilkan setelah sentrifugasi dengan kecepatan yang berbeda menunjukkan persentase rendemen yang berbeda (Gambar 5).

Gambar 5 Rendemen minyak ikan hasil sentrifugasi

Peningkatan nilai rendemen terjadi dari perlakuan 3000 rpm menuju 8000 rpm, setelah itu rendemen minyak ikan mengalami penurunan pada kecepatan 10500 rpm. Hasil ini serupa dengan penelitian Suseno et al. (2011) semakin tinggi kecepatan sentrifugasi, maka nilai rendemen minyak ikan yang dihasilkan pun akan semakin tinggi. Namun pada kecepatan 10500 rpm terjadi sedikit penurunan, hal ini dapat disebabkan kurang nya homogenitas sampel yang akan dipisahkan dan suhu yang digunakan >10°C pada kecepatan 10500 rpm. Hasil analisis menunjukkan perbedaan kecepatan sentrifugasi secara signifikan (P<0,05) mempengaruhi rendemen minyak ikan yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan sampel minyak ikan dengan kecepatan 3000 rpm berbeda nyata terhadap sampel minyak ikan dengan kecepatan 8000 rpm dan 10500 rpm, namun tidak berbeda nyata dengan sampel minyak ikan dengan kecepatan 5500 rpm. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya pemisahan hanya pada partikel halus pada kecepatan 8000 rpm dan 10500 rpm, sehingga rendemen yang diperoleh berbeda nyata dengan rendemen hasil kecepatan 3000 rpm. Rendemen terendah terdapat pada hasil sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm yaitu 61,17 %. Abdillah (2008) menyatakan bahwa rendemen yang rendah yang dihasilkan dapat disebabkan oleh tingginya fraksi non minyak dalam minyak ikan yang ikut pada fraksi tersabunkan setelah minyak mengalami netralisasi. Sampel minyak ikan dengan empat kecepatan sentrifugasi yang berbeda kemudian dilakukan uji meliputi kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, dan tingkat kejernihan minyak.

Asam Lemak Bebas

Jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak dapat menunjukkan kualitas minyak, semakin tinggi nilai asam lemak bebas maka semakin turun kualitas minyak tersebut. Adanya asam lemak bebas pada minyak disebabkan karena minyak mengalami hidrolisis. Konstituen yang dapat mempercepat reaki hidrolisis minyak yaitu air. Semakin tinggi keberadaan konstituen penghidrolisis maka semakin tinggi pula tingkat hidrolisis minyak. Sehingga dapat dikatakan jika tingkat hidrolisis minyak tinggi akan menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas pada minyak dan sebaliknya (Astutik 2012). Kandungan asam lemak bebas pada minyak ikan hasil sentrifugasi meliputi setiap kecepatan sentrifugasi menunjukkan kadar asam lemak bebas yang berbeda (Gambar 6).

b ab a a 0 20 40 60 80 100 120 3000 rpm 5500 rpm 8000 rpm 10500 rpm R en de m en (%) Kecepatan Sentrifugasi (rpm)

Gambar 6 Kandungan asam lemak bebas minyak ikan hasil sentrifugasi Minyak ikan yang tidak diberikan perlakuan sentrifugasi (kontrol) memiliki kadar asam lemak bebas sebesar 3,61 %, sedangkan kandungan asam lemak bebas terendah terdapat pada perlakuan kecepatan sentrifugasi 3000 rpm yaitu sebesar 3,41 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan sentrifugasi yang digunakan tidak memberikan pengaruh (P>0,05) terhadap kadar asam lemak bebas yang dihasilkan. Hasil kadar asam lemak bebas yang diperoleh cenderung mengalami kenaikan kecuali pada kecepatan 3000 rpm dan 8000 rpm. Peningkatan kadar asam lemak bebas ini sesuai dengan Saraswati (2013) yang menyatakan bahwa perlakuan sentrifugasi juga dapat menyebabkan konstituen minor berupa tokoferol atau jenis antioksidan alami lainnya yang terkandung dalam minyak dapat tereduksi, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi penurunan stabilitas oksidatif serta peningkatan kandungan asam lemak bebas.

Pada umumnya perlakuan sentrifugasi hanya mampu memisahkan partikel dengan ukuran lebih dari 5 mikron, sedangkan komponen polar yang menjadi pengotor minyak ikan biasanya berukuran kurang dari 1 mikron, sehingga sentrifugasi ini tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar asam lemak bebas (Cooke 2004 dalam

Saraswati 2013). Asam lemak bebas dapat mengalami penurunan dengan adanya proses pemurnian menggunakan adsorben.

Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida merupakan pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui mutu suatu minyak, semakin tinggi bilangan peroksida suatu minyak, maka dapat dikatakan mutu minyak tersebut semakin rendah (Astutik 2012). Peroksida merupakan senyawa yang diakibatkan karena adanya oksidasi minyak oleh udara bebas. Bilangan peroksida minyak ikan hasil sentrifugasi meliputi setiap kecepatan sentrifugasi menunjukkan bilangan peroksida yang berbeda (Gambar 7). a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 kontrol 3000 rpm 5500 rpm 8000 rpm 10500 rpm A sa m l em ak b eb as (% ) Kecepatan Sentrifugasi (rpm)

Gambar 7 Bilangan peroksida minyak ikan hasil sentrifugasi

Minyak ikan hasil sentrifugasi cenderung mengalami peningkatan bilangan peroksida kecuali pada perlakuan kecepatan 3000 rpm yang mengalami sedikit penurunan dari minyak ikan yang tidak dilakukan sentrifugasi (kontrol). Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kecepatan sentrifugasi dapat memisahkan antioksidan alami pada sampel, sehingga mempengaruhi stabilitas pada minyak dan meningkatkan bilangan peroksida minyak. Bilangan peroksida terendah terdapat pada perlakuan 3000 rpm yaitu 17,085 meq/kg. Hasil analisis menunjukkan perbedaan kecepatan sentrifugasi tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bilangan peroksida yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan setiap sampel memiliki bilangan peroksida yang tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan suhu sentrifugasi yang digunakan dipertahankan yaitu 10°C, sehingga menekan terjadinya peningkatan suhu yang dapat menyebabkan tingkat oksidatif minyak meningkat. Komponen peroksida biasanya akan efektif mengalami penurunan setelah adanya perlakuan pemurnian (Saraswati 2013). Sehingga perlu dilakukannya pemurnian dengan menggunakan adsorben untuk menurunkan bilangan peroksida.

Tingkat Kejernihan

Pengukuran kejernihan minyak dilakukan pada lima panjang gelombang visible (sinar tampak), yaitu 450 nm, 550 nm, 620 nm, 665 nm, serta 700 nm. Tingkat kejernihan minyak ditunjukkan dengan nilai persen transmisi yang terbaca pada spektrofotometer. Persen transmisi cahaya terhadap sampel minyak ikan hasil sentrifugasi dapat dilihat pada Gambar 8.

a a a a a 0 10 20 30 40 50 kontrol 3000 rpm 5500 rpm 8000 rpm 10500 rpm B il an ga n P er o ks ida (m eq/ kg) Kecepatan Sentrifugasi (rpm)

Gambar 8 Persen transmisi cahaya terhadap minyak ikan hasil sentrifugasi Peningkatan persen transmisi cahaya spektro terhadap minyak ikan hasil sentrifugasi seiring dengan meningkatnya panjang gelombang yang digunakan, yaitu 450 nm, 550 nm, 620 nm, 665 nm, dan 700 nm. Terjadi peningkatan persen transmisi pada minyak ikan kontrol, minyak ikan dengan kecepatan sentrifugasi 3000 rpm, minyak ikan dengan kecepatan sentrifugasi 5500 rpm dan minyak ikan dengan kecepatan 8000 rpm seiring dengan meningkatnya panjang gelombang yang digunakan. Peningkatan kecepatan sentrifugasi menyebabkan peningkatan nilai persen transmisi cahaya spektro terhadap sampel minyak. Hal tersebut disebabkan karena perlakuan sentrifugasi dapat memisahkan stok sabun sebagai zat yang dapat meningkatkan kekeruhan dari minyak ikan. Penurunan persen transmisi pada sampel minyak ikan dengan kecepatan sentrifugasi 10500 rpm dikarenakan kurang homogenitas sampel minyak ikan. Hasil uji menunjukkan bahwa sampel minyak ikan dengan kecepatan sentrifugasi 8000 rpm memiliki tingkat kejernihan tertinggi pada panjang gelombang 700 nm dibandingkan dengan sampel minyak ikan kontrol yaitu sebesar 89 %.

Penentuan Pengaruh Kombinasi Adsorben Secara Bertahap terhadap Kualitas Minyak Ikan

Minyak ikan hasil sentrifugasi yang memiliki kualitas terbaik yaitu pada kecepatan 3000 rpm dimurnikan secara bertahap dengan menggunakan adsorben berupa atapulgit dan bentonit. Minyak ikan dibagi untuk lima perlakuan pemurnian dan kemudian dibandingkan dengan minyak ikan 3000 rpm yang tidak diberikan perlakuan pemurnian (kontrol). Minyak ikan hasil pemurnian diuji kembali dengan berbagai parameter kualitas minyak ikan, antara lain : kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, bilangan p-anisidin, nilai total oksidasi dan tingkat kejernihan minyak ikan.

Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas dihasilkan bila terjadi hidrolisis terhadap trigliserida minyak sehingga asam lemak terlepas dari ikatan dengan gliserol. Peningkatan hidrolisis terhadap minyak akan meningkatkan jumlah asam lemak bebas yang dihasilkan. Peningkatan jumlah asam lemak bebas menurunkan mutu minyak dan

0 20 40 60 80 100 450 nm 550 nm 620 nm 665 nm 700 nm P er se n T ra n sm is i (%) Panjang Gelombang (nm) Kontrol 3000 rpm 5500 rpm 8000 rpm 10500 rpm

meningkatkan potensi terjadinya kerusakan minyak. Kerusakan minyak dapat mempengaruhi aroma sehingga minyak berbau tengik (Ahmadi dan Mushollaeni 2007). Menurut Raharjo (2004) trigliserida pada daging atau ikan (produk hewani) akan terhidolisis menjadi digliserida, monogliserida, dan akan membentuk asam lemak bebas. Kandungan asam lemak bebas pada minyak ikan setelah dilakukan pemurnian meliputi setiap perlakuan kombinasi adsorben menunjukkan kadar asam lemak bebas yang berbeda-beda (Gambar 9).

Gambar 9 Kandungan asam lemak bebas minyak ikan sesudah dimurnikan Kadar asam lemak bebas yang dihasilkan cenderung meningkat setelah dilakukan pemurnian. Batas maksimum kadar asam lemak bebas pada minyak ikan menurut International Fish Oil Standard/IFOS (2011) adalah ≤1,5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan tahap pemberian adsorben dalam proses pemurnian memberikan pengaruh (P<0,05) terhadap kadar asam lemak bebas yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel minyak ikan dengan perlakuan A3+B3 memiliki kadar asam lemak bebas yang paling tinggi dan berbeda nyata terhadap semua sampel minyak ikan pada perlakuan yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan tahapan yang diberikan adalah kombinasi adsorben atapulgit dan bentonit yang telah dicampur terlebih dahulu (A3+B3) dan konsentrasi adsorben yang digunakan juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan selanjutnya yaitu A1,5+B1,5. Konsentrasi adsorben yang terlalu tinggi memungkinkan penyerapan komponen pengotor terjadi secara maksimal, namun hal tersebut memungkinkan antioksidan alami yang terkandung dalam pigmen terserap sehingga dapat mempengaruhi stabilitas dari minyak ikan. Kadar asam lemak bebas pada sampel dengan perlakuan B1,5→A1,5 memiliki kadar asam lemak bebas terendah yaitu 4,43 %..

Kadar asam lemak bebas yang meningkat ini dapat disebabkan oleh adanya hidrolisis. Hidrolisis terhadap minyak ikan (trigliserida) menyebabkan asam lemak terlepas dari ikatan dengan gliserol sehingga jumlah asam bebas akan meningkat. Hal ini juga dapat terjadi karena adanya pengaruh lama penyimpanan minyak sehingga meningkatkan reaksi hidrolisis pada minyak. Proses pemurnian (bleaching) pada pemurnian ini dilakukan dengan menggunakan adsorben yang akan menyerap zat warna dalam minyak. Pada proses ini sabun yang tertinggal, komponen logam dan peroksida dapat dipisahkan dengan baik, sedangkan kandungan asam lemak bebas akan bertambah secara lambat (Fauziah 2013).

b b b b a b 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Kontrol Aγ→Bγ Bγ→Aγ B1,5→A1,5 A3+B3 A1,5+B1,5

A sa m L em ak B eb as (%)

Selain itu, suhu yang digunakan dalam pencampuran adsorben dengan minyak menjadi salah satu faktor kenaikan asam lemak bebas pada minyak. Semakin tinggi suhu, asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak menurun. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu, kandungan air berkurang sehingga proses hidrolisis menurun, akibatnya asam lemak bebas juga semakin menurun (Fauziah 2013). Pada proses pemurnian yang dilakukan, suhu yang digunakan merupakan suhu ruang yaitu ±25 °C sehingga asam lemak bebas tidak mengalami penurunan.

Bilangan Peroksida

Peroksida terbentuk pada reaksi autooksidasi yang merupakan hasil oksidasi primer. Peroksida ini tidak stabil dan selanjutnya dapat diuraikan menjadi produk oksidasi sekunder. Oksidasi lemak merupakan reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen yang dipercepat oleh panas, cahaya, dan logam. Oksidasi lemak menghasilkan produk oksidasi primer seperti hidroperoksida (Ahmadi 2009). Beberapa faktor seperti keberadaan oksigen, enzim peroksidase, panas, radiasi (cahaya), dan ion monovalen dapat mempercepat terjadinya oksidasi pada minyak (Kusnandar 2010). Bilangan peroksida pada minyak ikan setelah dilakukan pemurnian meliputi setiap perlakuan kombinasi adsorben menunjukkan bilangan peroksida yang berbeda-beda (Gambar 10).

Gambar 10 Bilangan peroksida minyak ikan sesudah dimurnikan

Bilangan peroksida yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan dari minyak ikan kontrol. Penurunan ini terjadi karena hidrogen peroksida hasil oksidasi minyak ini bersifat labil yang selanjutnya terdegradasi lebih lanjut membentuk produk oksidasi sekunder. Perubahan ini menyebabkan peroksida yang terdeteksi menurun sehingga bilangan peroksida menurun. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan tahap pemberian adsorben dalam proses pemurnian memberikan pengaruh (P<0,05) terhadap bilangan peroksida yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa bilangan peroksida terendah terdapat pada perlakuan A3→B3 yaitu 6 meq/kg. Bilangan peroksida pada sampel ini berbeda nyata terhadap bilangan peroksida pada minyak ikan kontrol dan sampel B3→A3, sedangkan tidak berbeda nyata pada bilangan peroksida sampel B1,5→A1,5; A3+B3; A1,5+B1,5. Sampel minyak ikan B3→A3 menunjukkan bilangan peroksida yang berbeda nyata terhadap semua sampel minyak ikan.

a b c ab ab ab 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Kontrol Aγ→Bγ Bγ→Aγ B1,5→A1,5 A3+B3 A1,5+B1,5

B il an ga n P er o ks ida (m eq/ kg)

Konsentrasi adsorben yang terlalu tinggi memungkinkan penyerapan komponen pengotor terjadi secara maksimal, namun hal tersebut memungkinkan antioksidan alami yang terkandung dalam pigmen terserap sehingga dapat mempengaruhi stabilitas oksidasi dari minyak ikan.

Bilangan Anisidin

Bilangan anisidin adalah bilangan yang memperkirakan adanya senyawa-senyawa hasil dekomposisi hidroperoksida yang disebabkan oleh oksidasi lanjut (Faradiba 2013). Minyak yang telah mengalami oksidasi lanjut dapat memiliki bilangan peroksida yang rendah karena sebagian besar hidroperoksida telah teroksidasi menjadi produk atau senyawa-senyawa hasil pemecahan yang lebih kecil sehingga hasil analisisnya lebih akurat untuk menggambarkan tingkat kerusakan minyak ikan (Irianto dan Giyatmi 2009). Bilangan anisidin pada minyak ikan yang telah dimurnikan meliputi setiap perlakuan kombinasi adsorben menunjukkan bilangan p-anisidin yang berbeda-beda (Gambar 11).

Gambar 11 Bilangan p-anisidin minyak ikan sesudah dimurnikan

Bilangan p-anisidin yang dihasilkan cenderung meningkat dibandingkan dengan minyak ikan kontrol kecuali pada perlakuan A3→B3. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan tahap pemberian adsorben dalam proses pemurnian memberikan pengaruh (P<0,05) terhadap bilangan p-anisidin yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa bilangan p-anisidin terendah yaitu pada perlakuan pemberian adsorben A3→B3 sebesar 1,59 meq/kg, namun tidak berbeda nyata dengan sampel minyak ikan kontrol. Bilangan p-anisidin ini berbeda nyata terhadap bilangan p-anisidin pada sampel B3→A3 dan sampel A1,5+1,5. Bilangan anisidin yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan bilangan peroksida. Menurut Kusnandar (2010), pembentukan peroksida sebagai senyawa antara dalam oksidasi lemak akan meningkat sampai titik tertentu untuk kemudian menurun kembali dan penurunan ini terjadi karena peroksida yang terbentuk akan terdekomposisi menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih kecil, terutama golongan aldehid dan dinyatakan dengan bilangan anisidin. Bilangan anisidin yang didapat memenuhi standar bilangan anisidin yang ditetapkan oleh IFOS (2011) yaitu sbesar <15 meq/kg.

Bilangan p-anisidin tidak selalu seiring dengan tingginya bilangan peroksida (Guillen dan Cabo 2002), namun tingginya bilangan peroksida dapat

b b a ab ab a 0 2 4 6 8 10 12

Kontrol Aγ→Bγ Bγ→Aγ B1,5→A1,5 A3+B3 A1,5+B1,5

N il ai p -a n is idi n (m eq/ kg)

menyebabkan tingginya bilangan p-anisidin jika proses yang diberikan pada minyak ikan memungkinkan terjadinya degradasi lebih lanjut. Moreno et al. (2013) menyatakan bahwa kombinasi antara perlakuan suhu yang cukup tinggi dengan konsentrasi yang cukup tinggi dapat meningkatkan efisiensi penyerapan produk oksidasi sekunder.

Nilai Total Oksidasi

Total oksidasi (totoks) adalah hasil penjumlahan antara dua kali bilangan peroksida dengan bilangan p-anisidin. Nilai totoks dapat digunakan untuk mengukur progresivitas proses deteriorasi yang terjadi pada minyak dan menyediakan informasi mengenai pembentukan produk oksidasi primer dan sekunder (Hamilton and Rossell 1986 dalam Saraswati 2013). Nilai total oksidasi dari minyak ikan yang telah dimurnikan dengan kombinasi adsorben meliputi

Dokumen terkait