• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Unit Percobaan

Karakteristik unit percobaan yang diambil dalam penelitian ini meliputi usia saat mengikuti penelitian, daerah asal dan rata-rata jumlah kiriman uang dari orang tua setiap bulan. Jumlah unit percobaan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang. Data-data dari hasil penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel. 7 Karakteristik unit percobaan

Karakteristik n % Usia : 17 tahun 18 tahun 19 tahun 1 17 37 1,8 30,9 67,3 Daerah asal : Jawa Sumatera 45 10 81,8 18,2 Rata-rata jumlah kiriman uang dari

orangtua/bulan : < Rp. 300.000,- Rp. 300.000,- s.d. Rp. 450.000,- > Rp. 500.000,- 35 13 7 63,6 23,7 12,7 Usia

Unit percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa putra Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor yang pada saat penelitian dilakukan bertempat tinggal di Asrama Putra TPB IPB. Kisaran usia unit percobaan adalah berkisar antara 17 – 19 tahun.

Berdasarkan kisaran tersebut, kelompok usia yang terbanyak adalah kelompok 19 tahun, diikuti selanjutnya kelompok 18 tahun dan yang terkecil adalah kelompok usia 17 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok usia remaja. Menurut WHO (1989), dalam Wall, (1998), remaja adalah mereka yang berusia antara 10 hingga 24 tahun.

Daerah Asal

Unit percobaan yang terpilih berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Jumlah terbanyak berasal dari pulau Jawa (Jabodetabek, Banten, Jabar, Jateng, Jatim), sedangkan lainnya dari pulau Sumatera (Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Lampung). Pemilihan unit percobaan ini didasarkan atas beberapa kriteria yang telah ditentukan (seperti yang tertulis pada metode penelitian). Dengan demikian terpilihnya unit percobaan dari daerah-daerah tersebut terjadi hanya secara kebetulan saja.

Walaupun unit percobaan berasal dari beberapa daerah yang berbeda, akan tetapi secara umum mereka tidak dapat mewakili etnis tertentu. Hal ini karena sebagian dari mereka hanya merupakan perantau atau ikut orang tua yang pindah tempat tugas atau karena hal-hal lainnya.

Jumlah Uang Kiriman Orang Tua

Uang kiriman orang tua merupakan tumpuan utama unit percobaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari data yang dikumpulkan, rata-rata uang kiriman yang diterima setiap bulannya adalah sebesar Rp. 298.545,- dengan kisaran antara Rp. 100.000,- hingga Rp. 450.000,-. Sebagian besar unit percobaan hanya menerima uang kiriman < Rp. 300.000,-. (63,6 %). Hanya sebagian kecil yang menerima kiriman sebesar > Rp. 500.000,- .

Dengan uang kiriman dari orang tua tersebut (pada F dan H), mereka harus benar-benar hemat dalam pengeluarannya agar uang yang ada cukup hingga kiriman berikutnya datang. Dari wawancara yang dilakukan secara acak, mereka sering membatasi porsi makan setiap harinya, khususnya pada pagi hari. Bagi mereka hal ini tidak menjadi masalah karena sudah terbiasa sejak di rumah orang tua mereka. Akibat dari pola makan tersebut, apabila dilihat dari Indek Massa Tubuh (IMT) pada saat sebelum penelitian dilaksanakan, mereka sudah termasuk kategori kurus (IMT<18,5) karena kurangnya asupan gizi yang mereka terima (Lampiran 10).

Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Zat Gizi Konsumsi Zat Gizi

Zat gizi dan energi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Kartasapoetra dan Marsetyo 2002). Selain itu, konsumsi zat gizi juga berdampak lebih luas pada kehidupan manusia. Menurut Taniguchi dan Wang (2003), selain terhadap kesehatan, konsumsi zat gizi akan berpengaruh juga pada produktivitas, penampilan akademis dan pendapatan seseorang.

Tabel 8 Rata- rata konsumsi zat gizi setiap kelompok unit percobaan

Zat gizi Perlakuan

H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi (kkal) Pra penelitian 1269 1447 1349 1374 1308 1332 Saat penelitian 1842 1688 2012 1795 1819 1924 Protein (g) Pra penelitian 39,9 43,1 39,8 39,3 38,8 38,2 Saat penelitian 58,3 57,8 69,2 50,5 57,5 63,8 Kalsium (mg) Pra penelitian 166,8 151,3 165,0 166,2 167,3 163,8 Saat penelitian 558,0 885,4 1191,1 497,9 759,3 1051,5 Fosfor (mg) Pra penelitian 528,7 553,2 546,1 528,1 538,5 523,4 Saat penelitian 814,0 1032,5 1271,5 785,0 1024,8 1273,7 Vitamin D (ug) Pra penelitian 1,0 0,8 1,1 0,9 1,1 1,0 Saat penelitian 5,9 8,7 11,5 5,9 8,8 11,5 Vitamin C (mg) Pra penelitian 16,4 15,7 18,1 17,6 16,3 20,5 Saat penelitian 27,6 35,7 45,5 29,2 37,2 47,0 Besi (mg) Pra penelitian 5,4 5,7 6,3 7,1 6,6 5,6 Saat penelitian 7,7 8,5 8,8 7,9 8,3 8,8 Keterangan :

H1 = Pemberian susu berkalsium tinggi 250 ml (diminum 1 X sehari @ 250 ml) H2 = Pemberian susu berkalsium tinggi 500 ml (diminum 2 X sehari @ 250 ml) H3 = Pemberian susu berkalsium tinggi750 ml (diminum 3 X sehari @ 250 ml) F1 = Pemberian susu segar 250 ml (diminum 1 X sehari @ 250 ml)

F2 = Pemberian susu segar 500 ml (diminum 2 X sehari @ 250 ml) F3 = Pemberian susu segar 750 ml (diminum 3 X sehari @ 250 ml)

Dari Tabel 8 terlihat bahwa pada saat penelitian jumlah konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan pra penelitian (sebelum penelitian). Hal ini karena selain dari kontribusi susu perlakuan, asupan gizi juga berasal dari adanya

kegiatan pemberian makanan tambahan (feeding program) serta adanya

penyuluhan gizi.

Imbangan zat gizi yang perlu diperhatikan adalah imbangan antara zat kalsium dengan fosfor (Ca/P). Pada AKG 2004, imbangan yang dianjurkan antara kalsium dengan fosfor untuk remaja adalah 1 : 1 (usia 16 – 18 tahun) dan 1 : 0,75 (usia 19 – 29 tahun). Menurut Eastwood (2003), fosfor merupakan komponen penting dalam pembentukan struktur kristal tulang bersama kalsium. Kebutuhan fosfor yang dianjurkan diperkirakan adalah seimbang dengan kalsium. Metz et al

(1993), menyatakan bahwa dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa imbangan kalsium yang lebih rendah dari fosfor menyebabkan terjadi hiperparatiroidisme ringan, akan tetapi hasil-hasil penelitian ini masih belum konsisten.

Dari hasil penelitian ini imbangan konsumsi fosfor lebih tinggi daripada kalsium pada pra penelitian, akan tetapi saat penelitian, imbangan antara kalsium dengan fosfor menjadi lebih baik. Pada perlakuan H1, imbangan kalsium dan fosfor adalah 1 : 3,2 pada awal penelitian, akan tetapi setelah penelitian imbangan kalsium dan fosfor menjadi 1 : 1,5. Selanjutnya imbangan kalsium dan fosfor dari kelompok penelitian lainnya yaitu 1 : 3,7 (H2 awal), 1 : 1,7 (H2 akhir) ; 1 : 3,3 (H3 awal), 1 : 1,1 ( H3 akhir) ;1 : 3,2 (F1 awal), 1 : 1,6 (F1 akhir) ; 1 : 3,2 (F2 awal), 1 : 1,3 (F2 akhir) dan 1 : 3,2 (F3 awal), 1 : 1,2 (F3 akhir). Dari data tersebut, terlihat bahwa konsumsi fosfor pada umumnya selalu lebih tinggi daripada konsumsi kalsium. Hal ini antara lain karena bahan pangan yang dikonsumsi banyak yang mengandung fosfor daripada kalsium. Menurut Eastwood (2003), fosfor banyak tersedia pada seluruh bahan pangan alami. Fosfor pada umumnya terdapat pada semua sel, sehingga hampir semua bahan pangan mengandung fosfor.

Imbangan (rasio) antara kalsium dengan fosfor yang disarankan masih belum konsisten. Pada orang dewasa, rasio kalsium dan fosfor yang berkisar antara 0,1 : 1 hingga 2,4 : 1 tidak berpengaruh terhadap keseimbangan maupun

penyerapan kalsium (IOM 1997). Kelebihan fosfat dapat mempengaruhi penyerapan besi, tembaga dan seng. Kelebihan fosfat jarang terjadi karena kelebihan fosfor dikeluarkan melalui urine secara efisien (Soekatri dan Kartono, 2004).

Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Tingkat konsumsi gizi adalah adalah perbandingan antara jumlah zat gizi atau energi yang dikonsumsi terhadap angka kecukupan gizi atau energi yang dianjurkan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa tingkat konsumsi gizi unit percobaan pra penelitian masih di bawah tingkat konsumsi zat gizi normal (< 70 %).

Tabel 9 Rata- rata tingkat konsumsi zat gizi kelompok unit percobaan (% AKG)

Zat gizi Perlakuan

H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi Pra penelitian 49,3 56,2 52,4 53,4 50,8 51,7 Saat penelitian 71,5 65,5 78,1 69,7 70,6 74,7 Protein Pra penelitian 63,9 69,0 63,7 62,9 62,1 61,2 Saat penelitian 93,3 92,4 110,7 80,8 92,0 102,1 Kalsium Pra penelitian 18,5 16,9 18,3 18,5 18,6 18,2 Saat penelitian 62,0 98,4 132,3 55,3 84,4 116,8 Fosfor Pra penelitian 66,1 69,1 68,3 66,0 67,3 65,4 Saat penelitian 101,7 129,1 158,9 98,1 128,1 159,2 Vitamin D Pra penelitian 19,8 15,9 22,1 17,9 22,0 19,9 Saat penelitian 118,8 174,9 229,7 118,9 176,3 230,8 Vitamin C Pra penelitian 27,4 26,1 30,2 29,3 27,1 34,1 Saat penelitian 46,1 59,4 75,9 48,7 62,0 78,3 Besi Pra penelitian 38,3 40,8 44,8 51,0 47,2 40,3 Saat penelitian 54,9 61,0 63,1 56,1 59,4 62,6

Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa ternyata sebagian besar tingkat konsumsi zat gizi unit percobaan pra penelitian termasuk dalam kategori defisiensi yaitu berada di bawah 70% (Depkes 1996). Defisiensi zat gizi

merupakan masalah yang harus diberi perhatian khusus pada remaja, mengingat pada masa ini sedang terjadi masa pertumbuhan optimal.

Saat penelitian, tingkat konsumsi zat gizi secara umum meningkat sehingga mencapai kondisi gizi yang baik (>70%) khususnya pada tingkat konsumsi energi, protein, kalsium, fosfor dan vitamin D. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan yang diberikan pada unit percobaan memberikan kontribusi yang menguntungkan. Terjadinya peningkatan ini, seperti halnya pada jumlah konsumsi, bukan hanya berasal dari kontribusi zat gizi susu yang diberikan, akan tetapi juga berasal dari adanya pemberian makanan tambahan lain selama penelitian berlangsung (feeding program). Akan tetapi, pada kelompok tingkat konsumsi vitamin C secara umum masih di bawah normal dan pada tingkat konsumsi zat besi pada seluruh kelompok juga masih di bawah normal (<70%). Hal ini terjadi karena susu yang diberikan bukan merupakan sumber utama vitamin C dan zat besi yang dapat dilihat dari kontribusi vitamin C dan zat besi yang lebih rendah daripada kontribusi pada zat gizi lainnya (Tabel 10 ).

Tabel 10 Kontribusi zat gizi susu perlakuan pada unit percobaan (% AKG)

Zat Gizi Kontribusi (% AKG) H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi 5,1 10,1 15,2 6,9 13,8 20,8 Protein 15,7 31,3 47,0 14,2 28,3 42,5 Kalsium 36,4 72,8 109,2 30,0 60,0 90,0 Fosfor 27,8 55,6 83,4 27,0 54,1 81,1 Vitamin D 53,0 106,0 159,0 34,0 68,0 102,0 Vitamin C 9,5 19,0 28,5 10,0 20,0 30,0 Besi 3,7 7,3 11,0 3,6 7,1 10,7

Energi dan protein. Energi dan protein merupakan dua faktor penentu kesehatan yang penting. Energi digunaka n oleh seluruh tubuh sebagai bahan bakar untuk kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan. Protein berfungsi utama sebagai zat gizi yang bertugas untuk membentuk dan memperbaiki jaringan tubuh. Di samping fungsi utamanya, protein juga membantu sebagai sumber energi. Setiap gram protein menghasilkan rata-rata 4 kilo kalori. Energi dari protein dibutuhkan

terutama apabila tubuh memerlukan energi lebih banyak serta apabila kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak dalam makanan belum mencukupi.

Dari Tabel 9 terlihat bahwa tingkat konsumsi energi dan protein meningkat setelah diberi perlakuan (F dan H). Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok tanpa perlakuan (TP) yaitu terjadi penurunan tingkat konsumsi gizi (Lampiran 7). Kondisi ini wajar terjadi karena pada kelompok ini tidak diberikan perlakuan, sehingga tingkat konsumsi zat gizi mereka juga rendah.

Kalsium, fosfor dan besi. Mineral-mineral ini termasuk zat gizi yang penting dalam pembentukan tulang. Dalam matriks tulang, kalsium merupakan komponen yang terbesar. Untuk membentuk struktur tulang dan metabolisme kalsium, mineral-mineral lain juga diperlukan seperti halnya fosfor dan zat besi (Tucker 2003). Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium yang terdapat dalam tubuh dan bersama -sama dengan kalsium terikat dalam kerangka tulang (Ilich dan Kerstetter 2000).

Pada kelompok mineral (kalsium, fosfor dan besi) juga terlihat bahwa kelompok yang mendapat perlakuan (F dan H) mengalami peningkatan dalam tingkat konsumsi zat gizi. Sebaliknya pada kelompok tanpa perlakuan (TP) tingkat konsumsi zat gizi mengalami penurunan (Lampiran 8). Kondisi ini terjadi karena zat gizi pada kelompok perlakuan, selain diperoleh dari makanan sehari-hari, zat gizi juga diperoleh dari kontribusi susu perlakuan.

Vitamin D dan Vitamin C. Merupakan dua vitamin yang dikenal berperan dalam proses pembentukan tulang. Pada umumnya yang menjadi perhatian utama adalah vitamin D dan hubungannya dengan penyakit osteoporosis. Vitamin C juga dikenal berperan dalam pembentukan tulang dan kolagen (Tucker 2003).

Sebagaimana dengan zat gizi yang disebutkan sebelumnya, tingkat konsumsi gizi vitamin D dan C pada kelompok perlakuan (F dan H) juga memperlihatkan peningkatan, sedangkan pada kelompok tanpa perlakuan (TP) pada tingkat konusmsi vitamin C mengalami penurunan (Lampiran 9). Peningkatan tingkat konsumsi vitamin D terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin C. Tingginya peningkatan ini antara lain karena kontribusi vitamin D dari susu perlakuan yang cukup tinggi (Tabel 10).

Kadar Kalsium Darah

Kalsium dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan normal dan pembentukan kerangka (Nordin 1997). Hasil dari penelitian-penelitian intervensi dan cross sectional study melaporkan adanya pengaruh positif kalsium pada kepadatan tulang anak-anak dan remaja (Dawson-Hughes 1996).

Tabel 11 Rata-rata kadar kalsium darah awal dan akhir penelitian

Perlakuan Kadar kalsium darah (mg/dl)

Awal Akhir Selisih

H1 9,18 9,74 0,56 H2 9,39 9,87 0,48 H3 9,83 9,91 0,08 F1 9,26 9,59 0,33 F2 9,52 9,58 0,05 F3 9,63 9,79 0,16

Rata-rata kadar kalsium darah dari setiap perlakuan berkisar dari 9,18 mg/dl hingga 9,91 mg/dl (Tabel 11). Konsentrasi ini masih berada dalam kisaran normal kadar kalsium darah. Kadar kalsium darah normal adalah berkisar antara 9,50 mg/dl hingga 10,4 mg/dl. Kekurangan kalsium (hipokalsemia) apabila kadar kalsium darah <8,5 mg/dl dan kelebihan kalsium (hiperkalsemia) apabila mempunyai kadar >10,5 mg/dl (Sauberlich 1999).

Kadar kalsium darah pada akhir penelitian terlihat lebih tinggi daripada saat awal penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian ini kadar kalsium darah unit percobaan dapat terjaga dengan baik, sehingga tidak terjadi hipokalsemia. Pada kelompok tanpa perlakuan (TP), tidak terjadi peningkatan kadar kalsium darah (Lampiran 11), kondisi seperti ini apabila terus berlangsung akan rawan terhadap resiko terjadinya hipokalsemia.

Kadar kalsium darah seperti yang terdapat pada Tabel 11 hanya merupakan nilai dari hasil analisis yang diperoleh berdasarkan kelompok perlakuan dan bukan menggambarkan nilai kadar kalsium darah akibat pengaruh dari setiap perlakuan yang diberikan. Nilai kadar kalsium darah tersebut merupakan hasil yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Untuk mengetahui faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh terhadap kadar kalsium darah tersebut dapat dilihat dari hasil analisis statistika yang dilakukan (ANCOVA dan model linier).

Tabel 12 Sidik peragam kadar kalsium darah Sumber Keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat

Tengah F hitung Peluang >F

Model S V(S) X8 X13 X17 X27 Galat 9 (1) (4) (1) (1) (1) (1) 38 2,24638744 0,43510208 0,38771458 0,04342403 0,09452717 0,81878596 0,46683361 6,22366048 0,24959860 0,43510208 0,09692865 0,04342403 0,09452717 0,81878596 0,46683361 0,16378054 1,52 2,66 0,59 0,27 0,58 2,70 2,85 0,1748tn 0,1114 tn 0,6706 tn 0,6096 tn 0,4521 tn 0,0813 tn 0,0995 tn Total 47 8,47004792 Keterangan : S = Jenis susu

V(S) = Volume susu tersarang dalam jenis susu X8 = Kadar kalsium darah awal

X13 = Tingkat konsumsi kalsium total (%AKG) X17 = Tingkat konsumsi vitamin D total (%AKG) X27 = Tingkat konsumsi kalsium non-susu (%AKG) tn

= Tidak berpengaruh nyata (p>0,05)

Berdasarkan hasil analisis kovarian (ANCOVA) kadar kalsium darah pada penelitian ini tidak dipengaruhi nyata (p>0,05) oleh jenis dan volume susu yang diberikan maupun faktor-faktor pengaruh lain yang dianalisis (Tabel 12). Akan tetapi dari hasil ini belum dapat diketahui jenis dan volume susu maupun faktor lain yang sebenarnya berpengaruh terhadap kadar kalsium darah unit percobaan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka analisis dilanjutkan melalui pendekatan model linier. Melalui analisis model linier akan dapat dilihat hubungan matematis antara pemberian susu dengan kepadatan tulang pinggang akhir, kontribusi susu perlakuan terhadap kepadatan tulang pinggang akhir serta melalui analisis ini juga dapat dibandingkan pengaruh dari setiap taraf pemberian susu terhadap kepadatan tulang pinggang akhir.

Dari hasil analisis model linier baik pada kelompok pemberian susu berkalsium tinggi maupun pemberian susu segar, pada penelitian ini juga tidak terdapat pengaruh nyata (p>0,05) pemberian susu perlakuan maupun peubah independen lainnya terhadap kadar kalsium darah. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat faktor yang berpengaruh menonjol terhadap kadar kalsium darah unit percobaan. Kadar kalsium darah pada kondisi normal

selalu dipelihara oleh berbagai faktor sehingga tetap dalam jumlah yang diperlukan tubuh, hal ini bertujuan agar tubuh tidak mengalami kekurangan kalsium (hipokalsemia) ataupun kelebihan kalsium (hiperkalsemia).

Menurut Sauberlich (1999), kadar kalsium serum dikontrol secara ketat oleh berbagai asupan gizi yang masukke dalam tubuh dan dipertahankan dalam batasan yang sempit. Kontrol dilakukan oleh berbagai faktor yang antara lain termasuk 1,25-dihidroksikolkalsiferol, hormon paratiroid, kalsitonin, fosfor, protein dan estrogen. Faktor-faktor yang berperan dalam pengaturan kalsium dalam darah antara lain adalah vitamin D dan hormon paratiroid. Vitamin D yang paling penting adalah vitamin D3 yaitu kolekalsiferol. Sebagian besar bahan ini dibentuk di dalam kulit akibat dari radiasi sinar ultraviolet matahari pada 7-dehidrokolesterol. Vitamin D3 kemudian menjadi 25-hidroksikolekalsiferol melalui proses dalam hati. Apabila asupan vitamin D3 berlebihan, maka hidroksikolekalsiferol akan me lakukan efek hambatan ke hati. Selanjutnya 25-hidroksikolekalsiferol melalui suatu proses dalam ginjal menjadi bentuk dihidroksikolekalsiferol yang dibantu oleh aktifasi dari hormon paratiroid. 1,25-dihidroksikolekalsiferol mempunyai efek meningkatkan penyerapan kalsium dari usus melalui epitel usus yang ditransfer ke plasma darah. Apabila konsentrasi kalsium dalam plasma berlebih, maka akan menimbulkan efek hambatan pada hormon paratiroid dalam mengaktivasi ginjal dalam pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol. Proses ini terus berlangsung sehingga dalam kondisi normal kadar kalsium darah akan tetap stabil.

Kepadatan Tulang

Tulang merupakan suatu jaringan yang dinamis yang melakukan pembentukan dan pembongkaran (penyerapan) setiap saat melalui suatu proses yang disebut dengan ”remodelling tulang”. Aktivitas pembentukan tulang dilakukan oleh sel yang disebut dengan osteoblas dan pembongkaran tulang dilakukan oleh osteoklas. Peningkatan atau pengurangan kepadatan tulang tergantung pada perbedaan keseimb angan sel-sel tersebut. Kepadatan tulang juga tergantung dari asupan gizi dari makanan, hormon dan aktivitas fisik (Eastwood 2003).

Komposisi tulang terdiri dari 35% garam-garam mineral (terutama kalsium dan fosfor), 20% bahan organik (terutama kolagen) dan 45% air (Eastwood 2003). Menurut Broto (2004), kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral (70%). Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas serta matriks tulang (98%) yang terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein non-kolagen (5%) seperti osteokalsin, osteoniktin, proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang. Substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) yang terdiri dari Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb.

Pada tahap awal produksi tulang, osteoblas akan mensekresi molekul-molekul kolagen (kolagen monomer) dan substrat dasar (terdiri dari cairan ekstraseluler dan proteoglikan). Molekul-molekul kolagen dengan cepat berpolimerisasi untuk membentuk serat-serat kolagen dan jaringan akhir yang terbentuk adalah osteoid (bahan seperti tulang rawan). Saat osteoid terbentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid yang selanjutnya disebut sebagai osteosit. Dalam waktu beberapa hari sesudah osteosid terbentuk, garam-garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat-serat kolagen. Pengendapan pada awalnya terbentuk pada interval di sepanjang setiap serat kolagen, membentuk sarang-sarang kecil yang dengan cepat memperbanyak diri dan tumbuh dalam beberapa hari, dan beberapa minggu kemudian terbentuk hasil akhir yaitu kristal hidroksiapatit yang terutama terdiri dari kalsium dan fosfor. Dalam proses ini, garam kalsium yang pertama diendapkan bukan kristal hidroksiapatit, akan tetapi adalah senyawa amorf (bukan kristal) yang diduga campuran dari beberapa garam. Selanjutnya melalui proses substitusi dan penambahan atom-atom, atau melalui proses reabsorpsi dan pengendapan kembali, garam-garam ini diubah menjadi kristal hidroksiapatit dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian garam-garam ini masih berada dalam bentuk amorf. Kondisi ini penting karena dengan demikian garam-garam ini dapat dengan cepat diabsorpsi sewaktu diperlukan tambahan kalsium dalam cairan ekstraseluler. Garam kristal hidroksiapatit merupakan garam kristal utama yang terdapat pada tulang.

Proses pengendapan tulang dilakukan oleh osteoblas secara terus menerus dan diabsorbsi oleh osteoklas juga secara terus menerus (proses ”remodelling tulang”). Osteoblas ditemukan pada permukaan luar dan pada bagian dalam rongga tulang. Aktivitas osteoblastik dalam jumlah kecil terjadi secara terus menerus pada semua tulang hidup (sekitar 4% dari seluruh permukaan tulang orang dewasa pada setiap waktu) sehingga secara konstan sedikitnya akan terbentuk beberapa tulang baru. Selanjutnya tulang diabsorbsi secara terus menerus oleh osteoklas. Osteoklas biasanya beraktivitas kurang dari 1% permukaan tulang orang dewasa. Absorpsi tulang segera terjadi sewaktu berdekatan dengan osteoklas. Osteoklas mengeluarkan suatu penonjolan seperti vilus membentuk batas yang berkerut berdekatan dengan tulang. Vili tersebut mengeluarkan dua substansi yaitu enzim proteolitik dan beberapa macam asam (asam sitrat, asam laktat). Enzim mencernakan atau melarutkan matrik organik tulang, sedangkan asam melarutkan garam-garam tulang. Sel-sel osteoklastik juga menangkap partikel-partikel matrik tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya juga melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton dan Hall 1997).

Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai umur 40 tahun pada pria dan umur 30-35 tahun pada wanita. Walaupun demikian,

tulang yang hidup akan selalu mengadakan remodelling dan selalu

memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu dalam keadaan seimbang dan disebut dengan coupling. Proses ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan resorpsi tulang. Proses ini berlangsung selama 12 minggu pada usia muda dan 16 – 20 minggu pada usia menengah atau lanjut. Laju remodelling adalah 2 – 10% massa tulang per tahun (Broto 2004).

Dalam keadaan normal, kecepatan pengendapan dan absorpsi (penyerapan) tulang tidak berbeda satu dengan lainnya, sehingga massa tulang tetap konstan. Pada umumnya, massa osteoklas dalam jumlah sedikit akan tetapi pekat. Osteoklas akan menyerap tulang dalam waktu sekitar 3 minggu dengan membentuk suatu terowongan berdiameter 0,2 mm hingga 1 mm dengan panjang beberapa milimeter. Setelah 3 minggu, osteoklas menghilang dan selanjutnya

terowongan tadi diisi oleh osteoblas dan dimulai pembentukan tulang baru. Pengendapan tulang berlangsung selama beberapa bulan dan setiap tulang yang baru diletakkan pada lapisan berikutnya dari lingkaran konsentris (lamella) pada permukaan dalam rongga tersebut hingga akhirnya rongga tersebut terisi semua (Guyton dan Hall 1997).

Selanjutnya menurut Guyton dan Hall (1999) bahwa pengendapan dan absorpsi tulang berhubungan dengan pengaruh konsentrasi kalsium pada pengaturan pembentukan dihidroksikolekalsiferol. Konsentrasi 1,25-dihidroksikolekalsiferol dipengaruhi secara terbalik oleh konsentrasi kalsium plasma. Apabila konsentrasi kalsium plasma tinggi akan menekan pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol sehingga menurunkan absorpsi kalsium dari usus, tulang dan ginjal, sehingga konsentrasi ion kalsium menjadi normal kembali. Sebaliknya apabila konsentrasi kalsium dalam darah menurun, antara lain akibat kurang asupan kalsium, maka akan meningkatkan pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol yang selanjutnya dapat meningkatkan absorpsi kalsium dari tulang. Apabila hal ini terus berlangsung, maka tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah (osteoporosis).

Kepadatan tulang pada saat remaja merupakan salah satu faktor penting pada kesehatan tulang di usia lanjut. Menurut Whiting et al. (2002), tidak tercapainya kepadatan tulang yang optimal pada saat remaja akan berkontribusi pada rendahnya kepadatan tulang dan menyebabkan terjadinya osteoporosis di usia lanjut. Pada penelitian ini diamati kepadatan tulang bagian pinggang, punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul, dan bagian kaki. Kepadatan tulang normal adalah > 0,833 g/cm2, penderita osteopenia mempunyai kepadatan tulang antara 0,833 – 0,648 g/cm2 dan disebut osteoporosis apabila kepadatan tulang mempunyai nilai < 0,648 g/cm2 (WHO 1994 dalam Anonim 2003).

Kepadatan Tulang Pinggang

Kepadatan tulang pinggang mendapat perhatian khusus pada pengukuran kepadatan tulang untuk anak-anak dan remaja (hingga 20 tahun). Hal ini terutama karena dihubungkan dengan kejadian kerapuhan tulang pada tulang pinggang sehingga mudah bengkok dan akhirnya tubuh menjadi cenderung bongkok pada saat usia lanjut. Dengan demikian, diperlukan pemeliharaan kesehatan tulang

sejak usia dini agar proses kerapuhan tulang tidak cepat terjadi sehingga akan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis.

Berdasarkan kriteria terjadinya kerapuhan tulang, kepadatan tulang pinggang unit percobaan baik sebelum maupun sesudah penelitian dari rata-rata kelompok perlakuan (Tabel 13) belum terdapat yang menderita penyakit tulang (osteopenia, osteoporosis). Secara keseluruhan terdapat 3 orang (5,45%) yang menderita osteopenia (0,648 g/cm2 – 0,833 g/cm2), semuanya terdapat pada kelompok H2. Apabila dibandingkan dengan kelompok H2 sendiri maka besaran

Dokumen terkait