• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Bahan Kering Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Produksi Bahan Kering Brachiaria ruziziensis (gr) Dosis pupuk Periode Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari) Interval Defoliasi A2 (50 hari) Interval Defoliasi A3 (60 hari) P0 (kontrol) 87.57 87.60 86.58 87.25+0.58b P1 (10 ton) 86.72 87.62 87.56 87.3+ 0.50bb P2 (20 ton) 88.58 88.69 88.45 88.57+0.12a P3 (30 ton) 88.10 88.74 88.94 88.59+0.43aa Rataan 87.74+0.79a 88.16+0.63aa 87.88+1.03aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis

Analisis data statistika menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sejumlah P3 (30 ton/ha/thn), menghasilkan produksi bahan kering Brachiaria

ruziziensisyang lebih tinggi daripada tanpa pemberian pupuk kandang. Rataan

produksi bahan kering yang dihasilkan dari pupuk kandang P1 dengan rataan 88,59 dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk kandang P0 adalah dengan rataan 87,25. Hal ini disebabkan semakin banyaknya penambahan kompos dalam tanah akan mengaktifkan mikroorganisme yang berperan dalam

memperbaiki kandungan unsur hara tanah. Oleh (Buckman dan Brady, 1982) bahwa kecenderungan meningkatnya produksi bahan kering hijauan disebabkan karena pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik tanah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk kandang sehingga penguapan unsur hara akan berkurang dan hara tersedia akan lebih banyak. Dengan adanya pupuk kandang dalam tanah akan dapat meningkatkan kesuburan tanah, menahan air tanah, porositas tanah dan ketahanan terhadap erosi.

Pada penelitian ini, hasil pemupukan dengan pupuk kandang P3 (30 ton/ha/thn) menunjukan perbedaan yang berbeda nyata dibandingkan dengan

pemberian dosis pupuk kandang lainnya P1 (10 ton/ha/thn) dan P2 (20 ton/ha/thn). Semakin banyak pemberian kompos memberikan hasil produksi bahan kering tinggi yang dikarenakan karena kandungan zat hara dalam tanah belum maksimal. Hal ini sesuai dengan Ardianto (1983) mengemukakan bahwa, banyaknya bahan organik yang dimasukkan ke dalam tanah mempengaruhi populasi mikroorganisme makin tinggi. Dengan kehadiran mikroorganisme yang menguntungkan didalam tanah maka ekosistem didalam tanah akan lebih hidup yang berarti akan memberikan medium yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman dan oleh pernyataan (Lingga, 1986) bahwa kebutuhan pupuk kandang untuk tanah Indonesia pada umumnya 20 ton/ha. Untuk dosis pemberian pupuk kandang tergantung pada keadaan tanahnya, tetapi rata-rata untuk tanah Indonesia diberikan sebanyak 20 ton (20.000 kg) per hektar (Andoko, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan rataan produksi bahan kering Brachiaria

ruziziensis pada perlakuan interval pemotongan 50 hari tidak memperlihatkan

menunjukkan bahwa rumput Brachiaria ruziziensis memiliki batasan pertumbuhan yang optimum untuk menghasilkan nutrisi yang maksimal. Interval pemotongan pada perlakuan tidak nyata mempengaruhi produksi kumulatif bahan kering hijauan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyitman (2003), bahwa interval pemotongan yang dilakukan secara teratur, menghasilkan kandungan air tidak rendah. Nilai kandungan bahan kering dipengaruhi oleh interval pemotongan karena dapat mempengaruhi produksi rumput dan mempertahankan tanaman dalam kondisi muda untuk mendapatkan nilai kondisi kualitas yang tinggi, dengan mengatur interval pemotongan secara pendek dapat menyebabkan menurunnya produksi bahan kering hijauan.

Perbedaan hasil produksi berat kering antar perlakuan berbeda-beda. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keragaman hijauan. Keragaman hijauan yang tumbuh disetiap plot dapat menghasilkan produksi segar juga berbeda-beda. Produksi bahan kering tertinggi terdapat pada interval defoliasi 50 hari dan dosis 30 ton/ha/tahun. Perbedaan bahan kering ini juga disebabkan oleh manajemen, iklim dan jenis spesies tanaman, karena semakin pendek waktu interval pemotongan, maka pemotongan produksi per Ha menurun bahkan terlihat karena timbulnya gangguan oleh tanaman pengganggu. Hal ini sesuai dengan Alberda (1967) dan Whitehead (1970) bahwa pengaturan defoliasi merupakan masalah kompleks karena respon terhadap intensitas defoliasi merupakan modifikasi berbagai faktor, seperti: iklim, hara, cahaya dan saat pemotongan. Sehingga dalam memperpanjang interval defoliasi dapat diperoleh produksi bahan kering hijauan yang tinggi dan pertumbuhan kembali tidak terganggu.

Produksi Protein Kasar Brachiaria ruziziensis

Produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis (gr)

Dosis pupuk Periode

Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari) Interval Defoliasi A2 (50 hari) Interval Defoliasi A3 (60 hari) P0 (kontrol) 8.89 7.77 7.46 8.04+0.75b P1 (10 ton) 8.90 7.92 7.61 8.14+0.67bb P2 (20 ton) 8.92 8.72 8.50 8.71+0.21a P3 (30 ton) 8.95 8.79 8.63 8.79+0.16aa Rataan 8.91+0.02aa 8.3+0.52ab 8.05+0.60b

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis

Pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa protein kasar pada hijauan

Brachiaria ruziziensis tertinggi terdapat pada perlakuan P3 dengan dosis pupuk

kandang 30 ton/ha dengan rataan 8.79 dan pemberian kompos berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan protein kasar rumput Brachiaria ruziziensis. Hal ini diduga karena sumber ketersediaan nitrogen dapat terpenuhi. Dengan perkataan lain kandungan protein meningkat dengan adanya kandungan nitrogen. Dan terlihat pada area plot yang diberikan kompos 30 ton/ha/tahun cenderung rumput tampak lebih hijau dan lebih muda, sehingga protein yang dihasilkan juga paling tinggi. Oleh Purwowidodo (1992) dikatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kandungan protein kasar pada pemberian P3 (30 ton/ha) disebabkan pupuk

kandang dapat mempertahankan bahan organik tanah dan dapat meningkatkan aktivitas biologis tanah dan transportasi unsur hara serta air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesa untuk menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih terjamin. Hal ini juga sesuai dengan pernyaataan Minson (1990) menyatakan kandungan dan komposisi protein kasar dalam hijauan dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen dalam larutan tanah. Tingginya kandungan protein kasar pada pemberian pupuk kandang dikarenakan nitrogen yang tersedia dapat segera digunakan, kemudian dirombak menjadi amonium. Selanjutnya diasimilasi menjadi asam amino yang digabungkan menjadi protein dan asam nukleat.

Pada perlakuan interval pemotongan A1 (40 hari), A2 (50 hari) dan A3 (60 hari) memberikan pengaruh yang signifikan (P<0.05) dengan kandungan protein kasar tertinggi berturut-turut pada perlakuan interval defoliasi A1 (40 hari) adalah 8.91, kemudian diikuti dengan perlakuan interval defoliasi A2 (50 hari) adalah 8.3 dan perlakuan interval defoliasi A3 ( 60 hari) adalah 8.05 terhadap protein kasar Brachiaria ruziziensis. Hal ini dikarenakan kandungan protein

Brachiaria ruziziensis tergolong sedang, namun kandungan ini akan menurun bila

dipotong pada umur tua. Sesuai dengan pernyataan Aminudin (1990) dikatakan bahwa umur pemotongan tanaman umumnya dilakukan pada periode akhir masa vegetatif atau menjelang berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan kandungan gizinya tinggi, karena memperpanjang interval defoliasi akan menurunkan kandungan protein kasar, meningkatkan kadar serat kasar sehingga juga menurunkan daya cerna hijauan (Rios, Julia dan Anguilu, 1974).

Dari hasil penelitian didapatkan pada perlakuan interval defoliasi berpengaruh signifikan terhadap kualitas protein. Hal ini disebabkan karena protein tanaman berhubungan erat dengan aktivitas jaringan, sehingga daun mengandung lebih banyak protein dibanding batang, air dan kadar air tanaman menurun dengan makin tuanya umur tanaman, terutama pada saat biji berbentuk dan tanaman menjadi masak, sehingga kadar protein berkurang, sama halnya yang dikemukakan oleh Setiyati (1991), bahwa bertambahnya umur tanaman menyebabkan sel tanaman bertambah besar, dinding sel menebal, dan terjadi perkembangan pembuluh kayu sehingga produksi bahan kering tanaman meningkat tapi kandungan gizinya menurun .

Produksi Serat Kasar Brachiaria ruziziensis

Tabel 8.Produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis (gr) Dosis pupuk Periode Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari) Interval Defoliasi A2 (50 hari) Interval Defoliasi A3 (60 hari) P0 (kontrol) 34.15 35.55 35.63 35.11+0.83a P1 (10 ton) 34.10 34.31 35.61 34.67+0.81b P2 (20 ton) 34.08 34.28 34.63 34.33+0.27cc P3 (30 ton) 34.04 34.22 34.38 34.21+0.17c Rataan 34.09+0.04a 34.59+0.64aa 35.06+0.65aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap serat kasar Brachiaria ruziziensis.

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 8 diatas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemotongan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata dengan rataan secara berturut adalah pemotongan 40 hari sebesar 34.09, sedangkan 50 hari sebesar 34.59+0.64 dan 60 hari35.06+0.65. Hal ini dikarenakan interval defoliasi terlalu dekat sehingga menyebabkan kandungan serat kasar pada pemotongan 40 hari, 50 hari dan 60 hari tidak jauh berbeda. Serta pada pemotongan 40, 50 dan 60 hari masih merupakan fase vegetative dimana pertumbuhan dicirikan dengan berbagai aktivitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dan interval pemotongan masih tergolong umur potong optimal. Hal ini sesuai dengan Hutasoit (2005) menyatakan bahwa kandungan nutrisi pada tanaman sangat dipengaruhi oleh umur saat dipanen. Pada tanaman sangat muda (umur 2-3 minggu) kandungan air relatif tinggi sehingga kandungan zat nutrisi yang lain menjadi relatif rendah. Sebaliknya pada tanaman yang terlalu tua (>10 minggu) kandungan serat meningkat dan kandungan nutrisi lain relatif rendah. Oleh karena itu, umur potong yang optimal (4-6 minggu) disarankan untuk menghasilkan kandungan nutrisi yang optimal. Oleh (Eny Fuskhah et al., 2009) dikatakan bahwa pertumbuhan tanaman dibedakan dua fase yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif. Kualitas hijaun yang terbaik terletak pada akhir fase vegetatif atau menjelang fese reproduktif (fase generatif). Melewati fese vegetatif (fase generatif), kualitas nurtisi sudah menurun dan kadar serat kasar meningkat karena hal ini bertalian dengan waktu pemotongan. Pengaturan defoliasi merupakan masalah kompleks karena respon

terhadap intensitas defoliasi merupakan modifikasi berbagai faktor, seperti: iklim, hara, cahaya dan saat pemotongan (Alberda, 1967, Whitehead, 1970). Memperpanjang interval defoliasi akan menurunkan kandungan protein kasar, meningkatkan kadar serat kasar sehingga juga menurunkan daya cerna hijauan (Rios, Julia dan Anguilu, 1974).

Produksi Lemak Kasar Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis (gr)

Dosis pupuk Periode

Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari) Interval Defoliasi A2 (50 hari) Interval Defoliasi A3 (60 hari) P0 (kontrol) 1.66 1.82 1.93 1.80+0.13aa P1 (10 ton) 1.65 1.77 1.94 1.78+0.14aa P2 (20 ton) 1.55 1.73 1.88 1.72+0.16aa P3 (30 ton) 1.48 1.69 1.83 1.66+0.17a Rataan 1.58+0.08a 1.75+0.05aa 1.89+0.05aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidaknyata (P>0.05) terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan pada masing-masing interval defoliasi perlakuan secara bertutut-turut A1 (40 hari), A2 (50 hari) dan A3 (60 hari) hari adalah 1.58, 1.75 dan 1.89 dan pengaruh pemberian dosis pupuk P1

pengaruh tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini dipengaruhi faktor tidak seimbangnya kandungan unsur hara N dalam pupuk kandang. Sejalan dengan pernyataan Lingga (1998) unsur hara N berperan dalam membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik lainya.

Dokumen terkait