• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi ransum

Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada dalam ransum tersebut. Konsumsi ransum dapat dihitung berdasarkan jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum dan ransum yang terbuang.

Rataan konsumsi ransum selama penelitian dapat dilihat pda Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Rataan konsumsi ransum umur 1-42 hari (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 5 R0 556,50 538,56 576,33 557,83 565,5 2794,66 558,93 R1 551,96 523,16 583,83 578 563,29 2800,25 560,05 R2 586,13 573,33 563,86 551,6 579,29 2854,22 570,84 R3 538,50 535,20 589,79 648,75 561,83 2874,08 574,81 Total 2233,11 2170,20 2313,82 2336,18 2269,91 11323,23 2264,64 Rataan 558,27 542,55 578,456 584,045 567,47 2830,80 566,16

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan konsumsi broiler tertinggi terdapat pada perlakuan R3 sebesar 574,81 g/ekor/minggu dan terendah terdapat perlakuan R0 sebesar 558,93 g/ekor/minggu.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum terhadap konsumsi ransum, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Analisis keragaman konsumsi ransum umur 1 – 42 hari

SK Db JK KT F.hitung F tabel 0.01 0.05 Perlkuan 3 932,1177 310,7059 0,395438tn 5,29 3,24 Galat 16 12571,63 785,7266 Total 19 13503,74

Keterangan : tn = tidak nyata

KK = 1,23%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan asam amino lisin dan metionin berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum broiler. Ransum ternak dapat dikatakan baik bila dikonsumsi secara normal dan dapat mensuplai zat-zat nutrient dalam perbandingan yang sesuai sehingga fungsi biologis dan tubuh berjalan normal. Tujuan utama pemberian ransum adalah untuk menjamin pertambahan bobot badan yang ekonomis selama periode pertumbuhan dan perkembangannya.

Wahyu (1991) menambahkan bagi broiler jumlah konsumsi ransum yang banyak bukanlah merupakan jaminan untuk mencapai pertumbuhan puncak. Kualitas dari bahan ransum dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapainya performans puncak

Kenaikan temperatur lingkungan pada siang hari akan mengurangi konsumsi ayam terhadap ransum. Ini diketahui dari rata-rata suhu lingkungan

malam hari rata-rata 270 C. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan. Berkurangnya konsumsi ini dipengaruhi oleh fungsi aktivitas hormon dan turunnya konsentrsai asam amino. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyani (1999) bahwa kenaikan temperatur udara akan menurunkan konsumsi pakan. Hal ini berkaitan dengan fungsi aktivitas hormon thyroid dalam menghasilkan triiodothyornine dan thyroxine dalam darah yang akan menurun pada temperatur tinggi dan akan meningkat pada temperatur rendah, temperatur juga berpengaruh pada aktivitas adrenalin. Konsentrasi adrenalin dan non adrenalin dalam darah meningkat pada suhu tinggi. Efek tingginya suhu juga berpengaruh pada turunnya konsentrasi asam amino, tetapi menaikkan proses glikolisis.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dapat dihitung dengan menimbang bobot badan setiap minggu dikurangi dengan bobot badan sebelumnya.

Rataan pertambahan bobot badan broiler selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.:

Tabel 5 : Rataan pertambahan bobot badan umur 1-42 hari g/ekor/minggu) Perlakuan Ulangan Total Rataan 1 2 3 4 5 R0 310,56 336,33 357.06 354,46 331,13 1689.56 337.91 R1 268,23 273,1 27606 283,76 269,08 1370.78 274.15 R2 285,23 296,36 275 248,16 265,26 1370.03 274.00 R3 286,03 270,92 273.62 249,16 281,20 1360.95 272.19 Total 1150,06 1176,72 1182.2 1135,56 1146,68 5894,76 1158.26 Rataan 287,51 294,18 295.57 283,8917 286,6708 1473,691 289.56

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rataan pertambahan bobot badan broiler yang tertinggi terdapat pada R0 sebesar 337.91 g/ekor/minggu dan terendah terendah terdapat pada perlakuan R3 sebesar 272.19 g/ekor/minggu.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan, maka dilakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Analisis keragaman pertambahan bobot badan broiler umur 1 – 42 hari.

SK Db JK KT F.hitung F.tabel

0.01 0.05 Perlkuan 3 16281,67 5427,222 11,29204** 5,29 3,24

Galat 16 7689,98 480,6238

Total 19 23971,65

Keterangan : ** = sangat nyata KK= 1,85%

Hasil analisis keragaman pada Tabel 8 menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel ini menunjukkan bahwa pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum broiler dalam ransum mamberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01).

Dari hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan R0. Hal ini disebabkan tingkat konsumsi RO juga tinggi. Jadi tingkat konsumsi ransum berbanding lurus dengan pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) bahwa berat badan ayam akan ditentukan jumlah konsumsi ransumnya. Semakin besar bobot badan ayam, semakin banyak juga jumlah konsumsi ransumnya.

Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan maka

Tabel 9. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pertambahan bobot badan umur 1 – 42 hari. Perlakuan Rataan F0,01 R0 R1 R2 R3 337.91 274.15 274.00 272.19 a b b b

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda sangat nyata pada taraf 5%

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan R0 berbeda nyata dengan perlakuan R1, R2, R3. Sedangkan perlakuan R1, R2, R3, tidak berbeda nyata. Ini menunjukkan bahwa penambahan asam amino lisin dan metionin sampai pada Fase fisniher tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan broiler.

Pada fase finisher kebanyakan protein akan berubah menjadi energi panas, sedangkan lemak hanya sedikit dirombak menjadi energi panas. Sehingga pada fase finisher sebaiknya protein dikurangi. Hal ini sesuai dengan pernyatan Husseini dkk, (1987) yang menyatakan pada kondisi cekaman panas diet protein rendah lebih baik, karena pada kondisi ini 34 % protein berubah menjadi energi panas, sedangkan lemak hanya 17 % berubah menjadi panas, sehingga penggunaan lemak sebagai sumber energi lebih baik. Siregar (1980) Bila ransum kelebihan protein, meskipun mengandung asam amino essensial, akan mengakibatkan lambatnya pertumbuhan tubuh dan akan menigkatkan kadar asam urat dalam tubuhnya.

Berkurangnya pertumbuhan pada perlakuan R1, R2 dan R3 terjadi karena pakan yang diberikan banyak mengandung protein, jika dibandingkan dengan perlakuan RO dimana proteinnya lebih rendah. Dan jika dilihat dari hasil laboratorium terlihat jelas bahwa kandungan asam amino pada perlakuan R0 di

fase finisher lebih rendah daripada perlakuan R1, R2 dan R3. Serta kandungan energi yang tinggi pada pakan R0 di fase finisher. Ini sesuai dengan pernyataan Widodo (2002) bahwa Kebutuhan energi yang tinggi digunakan untuk mendukung aktivitas metabolisme dan pertumbuhan ayam pedaging pada periode awal dan kemudian laju pertumbuhannya menurun pada fase finisher sehingga kebutuhan protein dapat dikurangi digunakan juga untuk mendepositkan lemak sehingga bobot akhir akan bertambah Sehinggga pakan R0 lebih efisien untuk pertumbuhan dan juga pada segi ekonomis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan asam amino lisin dan methionin tidak menunjukkan hasil yang signifikan terhadap pertambahan bobot badan hal ini sejalan dengan penelitian Ojano- Drain dan Waldroup (2002) dan Widyani (1999) yang menggunakan lisin (0.92% - 1.72%) dan metionin (0.35% - 0.75%) dengan kandungan protein 19% tidak menunjukkan hasil yang signifikan

Pada perlakuan R3 yang pertambahan bobot badannya tidak begitu bagus. Ini diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan asam amino, dimana asam amino lisin dan metionin melebihi kebutuhan. Pada fase finisher perlakuan R3 juga tidak mengalami pertambahan bobot badan yang optimum karena nilai protein yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo (2002) yang menyatakan keracunan terjadi apabila salah satu asam amnio melebihi jumlah kebutuhannya. Kelebihan metionin berakibat menghambat pertumbuhan.

Konversi Ransum

Konversi ransum dihitung berdasarkan jumlah ransum yang dikonsumsi ayam dibagi dengan pertambahan bobot badan selama satu minggu.

Rataan konversi ransum broiler selama dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Rataan konversi ransum umur 1-42 hari

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 5 R0 1.84 1.69 1.66 1.69 1.73 8.63 1.72 R1 2.20 2.04 2.12 2.09 2.24 10.71 2.14 R2 2.09 1.98 2.07 2.58 2.40 11.13 2.22 R3 2.10 2.64 2.72 3.17 2.08 12.72 2.54 Total 8.25 8.36 8.58 9.53 8.47 43.21 8.64 Rata-rata 2.06 2.09 2.14 2.38 2.11 10.80 2.16

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rataan konversi ransum broiler tertinggi terdapat pada R3 sebesar 2,54 g/ekor/minggu dan terendah terdapat perlakuan R0 sebesar 1,72 g/ekor/minggu.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan asam anino lisin dan metionin dalam ransum broiler terhadap konversi ransum, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 . Analisis keragaman konversi ransum umur 1-42 hari SK DB JK KT F.hit F0,05 F0,01 Perlk. 3 0.689375 0.229792 6.946628* 3.24 5.29 Galat 16 0.529274 0.03308 Total 19 1.218649 Keterangan : * = nyata KK = 6,94

Hasil analisis keragaman pada Tabel 11 menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel ini menunjukkan bahwa pengaruh penambahan asam amino lisin

dan metionin dalam ransum Broiler dalam ransum pada nilai konversi memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05).

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum kurang efisien sampai pada fase finisher karena komposisi pakan yang tidak efsien dan temperatur lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tilman et al (1991) yang menyatakan semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka makin buruklah konversi ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya mutu ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharannya serta genetik.

Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum terhadap konversi ransum maka dilakkukan uji beda nyata jujur (BNT) pada Tabel 12 dibawah ini :

Tabel 11. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) konversi ransum umur 1-42 hari.

Perlakuan Rataan F0,05 R0 R1 R2 R3 1.72 2.14 2.22 2.54 a b b b

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda pada taraf 5%

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan R0 berbeda nyata terhadap perlakuan R1, R2 , R3. Namun perlakuan R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata. Hal ini terjadi karena komposisi ransum yang dikonsumsi ayam pada perlakuan R1, R2, R3 mempunyai kandungan gizi yang hampir sama. Ini sesuai dengan pendapat Cadr and Neishem (1972) menyatakan bahwa konversi ransum

dipengaruhi oleh kadar protein dan energi, metabolis ransum, umur, bangsa ayam, tersedianya zat dalam ransum, suhu dan kesehatan ayam.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Dari penelitian yang dilakuakan terhadap broiler didapat hasil rekapitulasi penelitian seperti tertera pada Tabel 13 berikut:

Tabel 12. Rekapitulasi pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum broiler umur 1-42 hari

Perlakuan Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu) PBB (g/ekor/minggu) Konversi Ransum R0 R1 R2 R3 558,933 tn 560,051 tn 570,845 tn 574,816 tn 337.91a 274.15b 274.00b 272.19b 1,72 a 2,14 b 2,22 b 2,54 b Keterangan : tn = tidak nyata

Notasi huruf yang berbeda menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda sangat nyata pada taraf 5%

Dari Tabel 12 diatas menunjukkan bahwa pengaruh penambahan asam amino lisin dan metionin dalam ransum broiler umur 1-42 hari memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap konsumsi ransum, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan dan konversi ransum

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa semakin banyak ransum yang dikonsumsi belum tentu mengahasilkan pertambahan bobot badan yang bagus dan manghasilkan nilai konversi ransum yang efisien. Ini sesuai dengan pernyataan Menurut Tillman et al., (1991) semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka makin buruklah konversi ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya mutu ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharannya serta genetik.

Dokumen terkait