• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protein Kasar dan Metionin Ransum Perlakuan

Ransum berkualitas dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok dan produksi ternak. Menurut Anggorodi (1995), pada periode pertumbuhan diperlukan ransum dengan zat makanan seimbang. Pemberian ransum dengan kandungan energi dan protein rendah akan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan.

Kebutuhan protein kasar dan metionin ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 4 dan kandungan protein kasar dan metionin ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Kebutuhan Protein Kasar dan Metionin Ayam Broiler

Zat makanan NRC (1994) Leeson dan Summers (2005)

Protein Kasar (%) 23,00 22,00

Metionin (%) 0,50 0,50

Tabel 5. Kandungan Protein Kasar dan Metionin Ransum Perlakuan

Zat makanan S0 S1 S2 S3 S4

Protein Kasar (%)* 22,24 22,09 22,70 22,83 22,76

Metionin (%)** 0,29 0,47 0,49 0,60 0,65

Keterangan : * Hasil analisis Laboratorium Teknologi dan Industri Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2007

** Hasil analisis Laboratorium Terpadu, FMIPA, IPB, 2007

S0: Ransum basal; S1: S0 + 0,20% DL-Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

Tabel 4 dan 5 menunjukkan adanya perubahan nilai protein kasar ransum. Ransum semula disusun dengan kandungan protein kasar yaitu 23%, mengalami perubahan menjadi 22,24% pada ransum basal. Perbedaan tersebut disebabkan adanya proses pengolahan yang dapat merusak protein, misalnya pada saat proses pelleting. Pelleting adalah proses pemadatan dan pembentukan pakan, pada prosesnya pakan disemprot dengan uap panas (steaming) sehingga dapat merusak beberapa protein. Walaupun kandungan protein kasar menurun hingga dibawah standar kebutuhan berdasarkan NRC (1994), namun kandungan protein kasar ransum tersebut masih dapat memenuhi kebutuhan ayam untuk hidup pokok dan produksi

secara optimal berdasarkan standar kebutuhan nutrisi menurut Leeson dan Summers (2005).

Tabel 4 dan 5 juga menunjukkan bahwa ransum perlakuan S2 merupakan ransum perlakuan dengan kandungan metionin hampir sesuai standar kebutuhan berdasarkan NRC (1994). Ransum perlakuan S0 dan S1, kandungan metioninnya kurang dari standar, sedangkan ransum perlakuan S3 dan S4, kandungan metioninnya diatas standar kebutuhan berdasarkan NRC (1994). Hal ini disebabkan karena adanya level penambahan DL-Metionin yang berbeda pada setiap ransum perlakuan. Saat ini, standar kebutuhan nutrisi berdasarkan Leeson dan Summers (2005) merupakan standar yang biasa digunakan dalam penyusunan ransum ayam broiler oleh peternak dan pabrik pakan.

Konsumsi Energi dan Ekskresi Energi

Banyaknya energi metabolis dapat diketahui dengan cara mengurangi jumlah konsumsi energi dengan jumlah ekskresi energi melalui ekskreta. Data rataan konsumsi ransum, konsumsi energi, berat ekskreta dan ekskresi energi ransum perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Konsumsi Ransum, Konsumsi Energi, Berat Ekskreta dan Ekskresi Energi dari Ransum Perlakuan

Perlakuan Konsumsi ransum (g) Konsumsi energi (kkal/kg) Berat ekskreta (g) Ekskresi energi (kkal/kg) S0 434,88±15,75 1797,78± 65,13 120,38± 5,46 476,26±32,49 B S1 470,94± 5,41 1955,83± 22,47 130,51± 4,20 469,06±19,00 B S2 467,83±12,32 2064,52± 54,38 104,24± 4,57 356,22±23,02 A S3 460,40±54,31 2006,43±236,68 126,88±15,66 457,87±26,92 B S4 459,86±12,10 1949,36± 51,27 125,81± 8,02 433,82±31,77 B

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01); S0 : Ransum basal; S1 : S0 + 0,20% Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

Menurut Wahju (2004), tingkat energi dalam ransum merupakan faktor penentu banyaknya konsumsi pakan oleh ternak, karena ayam mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Konsumsi energi berpengaruh terhadap pertumbuhan. Berdasarkan hasil sidik ragam, diketahui bahwa penambahan

DL-Metionin tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi energi. Konsumsi energi ayam broiler starter pada penelitian ini lebih besar daripada konsumsi energi berdasarkan NRC (1994) yaitu sebesar 1232 kkal/kg/ekor.

Ekskresi energi merupakan acuan jumlah pakan yang dapat dicerna atau kemampuan ternak dalam mencerna pakan. Semakin banyak jumlah pakan yang tidak dapat dicerna, maka semakin banyak pula ekskresi energinya. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan DL-Metionin sangat nyata (P<0,01) dapat menurunkan ekskresi energi ransum perlakuan. Keseimbangan asam amino dalam ransum dapat mempengaruhi daya cerna dan penyerapan energi (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Berdasarkan hasil uji jarak Duncan, ransum S2 merupakan ransum dengan ekskresi energi paling rendah jika dibandingkan dengan ransum perlakuan lain. Hal ini disebabkan karena ransum S2 memiliki kandungan asam amino seimbang sehingga daya cerna pakannya paling baik. Ekskresi energi ransum S2 adalah 356,22±23,02 gram.

Retensi Nitrogen

Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), apabila energi yang masuk ke dalam tubuh dapat mencukupi kebutuhan, kebutuhan protein dan asam amino dapat diperkirakan dengan metoda keseimbangan nitrogen karena sekitar 16% protein terdiri dari nitrogen. Retensi nitrogen yaitu hasil pengurangan nilai konsumsi nitrogen dengan nilai nitrogen yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi nitrogen endogenous. Bila terjadi peningkatan retensi nitrogen, berarti semakin banyak nitrogen yang dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Dari hasil analisis dan perhitungan terhadap ransum dan ekskreta dapat disajikan nilai konsumsi, ekskresi dan retensi nitrogen pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil sidik ragam, diketahui bahwa penambahan DL-Metionin nyata (P<0,05) dapat mempengaruhi retensi nitrogen. Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh dalam menyerap asam amino. Penyerapan asam amino dipengaruhi oleh kondisi fisiologis ternak dan keseimbangan asam amino pakan. Semakin tinggi level penambahan DL-Metionin maka semakin tinggi pula retensi nitrogen oleh tubuh ayam. Namun, apabila level penambahan DL-Metionin melebihi jumlah kebutuhan ayam, maka ayam tidak mampu lagi menyerap nitrogen dalam DL-Metionin. Nitrogen yang tidak terserap tersebut akan keluar melalui ekskreta

Tabel 7. Rataan Nilai Konsumsi, Ekskresi dan Retensi Nitrogen Ransum Perlakuan

Konsumsi N Ekskresi N Retensi N Retensi N Perlakuan

(g/ekor) (g/ekor) (g/ekor) (%)

S0 15,47±0,56 9,86±0,39 5,88±0,31 38,01±1,34 a

S1 16,65±0,19 10,09±0,64 6,82±0,69 40,98±4,01 a S2 16,99±0,45 8,98±0,62 8,28±0,36 48,76±2,62 b

S3 16,82±1,98 9,14±1,53 7,95±1,04 47,39±4,97 b

S4 16,75±0,44 9,85±0,97 7,17±0,98 42,81±5,70 ab

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05); S0 : Ransum basal; S1 : S0 + 0,20% Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

dalam bentuk asam urat. Retensi nitrogen bernilai positif artinya bahwa tubuh ayam mampu menyerap nitrogen sehingga ayam tersebut mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Nilai retensi nitrogen yang tinggi dapat memberikan manfaat lebih besar bagi ternak (Anggorodi, 1995). Grafik nilai retensi nitrogen ransum perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.

y = -104.29x2 + 57.015x + 37.618 R2 = 0.5624 35.00 37.00 39.00 41.00 43.00 45.00 47.00 49.00 51.00 0 0.1 0.2 0.3 0.4 Le ve l penambahan DL-Metionin R e te n si N it r o g e n ( % )

Rat aan perlakuan Poly. (Rataan perlakuan)

Gambar 6. Grafik Nilai Retensi Nitrogen Ransum Perlakuan

Gambar 6 menunjukkan bahwa penambahan DL-Metionin dapat meningkatkan retensi nitrogen ransum perlakuan. Berdasarkan hasil uji jarak

Duncan, perlakuan S2 (penambahan DL-Metionin sebanyak 0,25% dalam ransum basal) mempunyai nilai retensi nitrogen paling tinggi. Hasil uji jarak polynomial ortogonal dengan persamaan regresi kuadratik untuk EMSn ransum yaitu y = – 104,29x2 + 57,015x + 37,618 (Gambar 6) menunjukkan bahwa level optimum penambahan DL-Metionin adalah sebanyak 0,27%. Hal ini disebabkan karena keseimbangan komposisi zat makanan yang baik. Apabila ransum yang diberikan memiliki komposisi zat makanan seimbang, maka penyerapan zat makanan akan optimal.

Jika jumlah konsumsi nitrogen melebihi jumlah nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh, maka kandungan nitrogen dalam ekskreta meningkat. Nitrogen dari protein yang tidak dicerna, baik berasal dari makanan maupun berasal dari tubuh (endogenous) juga akan diekskresikan melalui ekskreta. Jumlah ekskresi nitrogen bergantung pada efisiensi pencernaan dan absorpsi zat-zat makanan dan kemungkinan juga tergantung pada jenis protein tertentu yang dikonsumsi (Leeson dan Summers, 2001; Wahju, 2004; Piliang dan Djojosoebagio, 2006).

Energi Metabolis

Energi metabolis adalah hasil pengurangan konsumsi energi bruto dengan ekskresi energi bruto melalui ekskreta. Penambahan DL-Metionin diharapkan mampu menurunkan jumlah ekskresi energi melalui ekskreta sehingga penyerapan energi meningkat. Hal ini disebabkan karena metionin adalah asam amino bersifat glukogenik yang dapat meningkatkan pembentukan glukosa dan glikogen melalui proses glukoneogenesis (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Proses glukoneogenesis disajikan pada Gambar 7. Peningkatan penyerapan energi oleh tubuh akan meningkatkan pertambahan bobot badan ayam.

Dari hasil analisa dan perhitungan energi metabolis, dihasilkan nilai Energi Metabolis Semu (EMS), Energi Metabolis Murni (EMM), Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn), dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) (Tabel 8). Dalam penelitian ini, dihasilkan nilai EMM lebih tinggi daripada nilai EMS. Perbedaan nilai disebabkan karena dalam perhitungan EMM diperhitungkan nilai energi endogenous dari ayam yang dipuasakan (Sibbald, 1980). Energi endogenous terdiri dari metabolic faecal dan endogenous urinary dari katabolisme jaringan tubuh untuk kebutuhan hidup pokok pada saat dipuasakan dan

sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen (Wolynetz dan Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan nilai ekskresi energi endogenous (Sibbald, 1980).

Gambar 7. Proses Glukoneogenesis (Leeson dan Summers, 2001)

Nilai EMSn dan EMMn dalam perhitungan lebih rendah dari nilai EMS dan EMM disebabkan karena EMSn dan EMMn memperhitungkan adanya konversi energi (faktor koreksi) dari nitrogen komponen karbohirat sebesar 8,22 kkal/g yang keluar sebagai asam urat jika dioksidasi secara sempurna (Sibbald, 1980). Menurut McDonald et al. (2002), dalam penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah retensi nitrogen karena kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi bruto dari protein kasar sangat bervariasi. Rataan nilai energi metabolis (EMS, EMM, EMSn dan EMMn) ransum perlakuan disajikan pada Tabel 8.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan DL-Metionin sangat nyata (P<0,01) meningkatkan EMS, EMM, EMSn dan EMMn dibandingkan dengan

Arginin Glutamat Histidn Prolin Isoleusin Metionin Valin

α-Ketoglutarat Propionil koenzim A

Suksinat

CO2

Malat Fenilalanin Tirosin

Aspartat Piruvat CO2 Treonin Alanin Serin Sistein ( Sistin) Triptophan Fosfopiruvat Karbohidrat Oksaloasetat

kontrol. Hal ini disebabkan karena unggas mampu memanfaatkan energi dari asam amino metionin yang ditambahkan ke dalam ransum. Asam amino metionin akan mengalami deaminasi dan transmetilasi untuk menghasilkan propionil koenzim A. Propionil koenzim A akan masuk ke dalam siklus krebs untuk menghasilkan karbohidrat. Selain itu, keseimbangan asam amino juga dapat mempengaruhi penyerapan energi.

Tabel 8. Rataan Nilai Energi Metabolis Ransum Perlakuan

EMS EMM EMSn EMMn

Perlakuan

(kkal/kg) (kkal/kg) (kkal/kg) (kkal/kg) S0 3038,77±65,35 A 3060,65±65,35 A 2932,74±68,68 A 2949,48±68,69 A S1 3156,98±39,42 A 3177,17±39,41 A 3042,68±29,41 AB 3058,11±29,41 AB S2 3651,01±56,93 C 3671,34±56,66 C 3510,21±56,27 D 3525,76±56,02 D S3 3356,36±65,07 B 3377,23±86,39 B 3218,98±94,69 C 3234,94±92,99 C S4 3296,10±56,33 B 3316,78±56,57 B 3172,81±70,94 BC 3188,63±71,10 BC

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01); S0 : Ransum basal; S1 : S0 + 0,20% Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

Dalam penentuan kebutuhan energi metabolis, nilai EMSn lebih banyak digunakan dibandingkan dengan nilai EMMn. Hal ini disebabkan karena adanya faktor koreksi energi endogenous pada perhitungan EMM. Energi endogenous sampai saat ini belum dapat diketahui secara tepat karena pada proses pengukurannya, pemuasaan ayam selama 24 jam belum cukup untuk mengosongkan saluran pencernaan ayam tersebut. Sisa percernaan beberapa bahan seperti tepung ikan dan tepung daging membutuhkan waktu lebih dari 24 jam untuk keluar dari saluran pencernaan secara keseluruhan. Namun, apabila pemuasaan dilakukan lebih dari 24 jam, maka akan semakin banyak peluruhan lemak dan jaringan protein tubuh dan keluar melalui ekskreta sehingga pengukuran nilai energi endogenous menjadi kurang tepat. Nilai EMSn paling tinggi pada penelitian ini adalah nilai EMSn ransum perlakuan S2 yaitu sebesar 2932,74±68,68 kkal/kg (Gambar 8).

Berdasarkan hasil uji jarak Duncan dan uji polinomial ortogonal dengan persamaan regresi kuartik untuk EMSn ransum yaitu y = 5604718,18x4 – 4826733,53x3 + 1352514,9x2 – 121721,71x + 2932,74 (Gambar 8) menunjukkan bahwa level optimum penambahan DL-Metionin adalah sebanyak 0,25% dengan

y = 6E+06x4 - 5E+06x3 + 1E+06x2 - 121722x + 2932.7 R2 = 1 -1000.00 -500.00 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00 4000.00 0 0.1 0.2 0.3 0.4

Level penambahan DL-Metionin

E M S n ( K k a l/ k g ) Rataan p erlakuan

Poly . (Rataan perlakuan)

Gambar 8. Grafik Nilai Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen Ransum Perlakuan

kandungan metionin dalam ransum sebanyak 0,49%, hampir setara dengan kebutuhan metionin berdasarkan Leeson dan Summers (2005) dan NRC (1994) yaitu 0,5%. Hal ini disebabkan karena keseimbangan metionin dengan zat-zat makanan lain dalam ransum juga mempengaruhi kehilangan energi dari tubuh hewan. Apabila konsumsi zat-zat makanan dalam jumlah seimbang, maka tubuh akan sedikit kehilangan energi. Sebaliknya, kehilangan energi akan lebih besar pada bahan pakan dengan zat-zat makanan tidak seimbang terutama bila kandungan protein pakan lebih rendah atau pakan defisiensi asam amino. Kelebihan asam amino juga dapat menyebabkan penurunan jumlah energi metabolis. Hal ini disebabkan karena kelebihan nitrogen dari asam amino tidak mampu lagi diserap oleh tubuh sehingga banyak ekskresi nitrogen melalui ekskreta. Proses pengeluaran nitrogen melalui ekskreta membutuhkan energi sehingga dapat menyebabkan penurunan energi metabolis (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).

Perbedaan Nilai EMSn Hasil Penelitian dengan Hasil Perhitungan berdasarkan NRC (1994)

Nilai EMSn hasil penelitian pada ransum perlakuan adalah sebesar 2932,74±68,68 - 3510,21±56,27 kkal/kg. Nilai tersebut berbeda dengan nilai perhitungan energi metabolis dalam ransum berdasarkan standar NRC (1994) pada saat penyusunan yaitu sebesar 3000 kkal/kg. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan satuan dalam perhitungan energi metabolis. Nilai perhitungan energi metabolis dalam ransum berdasarkan standar NRC (1994) dihitung dalam asfed yaitu dengan kandungan bahan kering ransum sebesar 90%, sedangkan energi metabolis hasil penelitian dihitung dalam 100% bahan kering (BK). Apabila nilai EMSn hasil penelitian tersebut dihitung dalam 90% BK, maka nilai energi metabolis ransum menjadi 2639,47±61,82 - 3159,19±50,64 kkal/kg (Tabel 9).

Tabel 9. Nilai EMSn Hasil Penelitian dalam 100% Bahan Kering dan dalam 90% Bahan Kering

EMSn dalam 100% BK EMSn dalam 90% BK

Perlakuan (kkal/kg) (kkal/kg) S0 2932,74±68,68 2639,47±61,82 S1 3042,68±29,41 2738,41±26,47 S2 3510,21±56,27 3159,19±50,64 S3 3218,98±94,69 2897,08±85,22 S4 3172,81±70,94 2855,53±63,85

Keterangan : S0 : Ransum basal; S1 : S0 + 0,20% DL-Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai EMSn ransum S2 adalah sebesar 3159,19±50,64 kkal/kg (dalam 90% BK). Nilai tersebut hampir setara dengan nilai standar kebutuhan EMSn ayam broiler berdasarkan standar NRC (1994) karena kandungan metionin dalam ransum S2 hampir sesuai dengan kebutuhan metionin berdasarkan NRC (1994) sehingga keseimbangan zat-zat makanan baik dan penyerapan energi optimal. Nilai EMSn ransum S0, S1, S3 dan S4 lebih rendah dari S2 karena kandungan metionin dalam ransum tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga penyerapan energi kurang optimum. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan zat-zat makanan dalam ransum.

Penambahan DL-Metionin menyebabkan peningkatan energi yang dimetabolis oleh tubuh. Penambahan DL-Metionin sebanyak 0,20; 0,25; 0,30 dan 0,35% ke dalam ransum basal dapat meningkatkan kandungan metionin sebanyak 62,00; 68,97; 107,00; dan 124,14% dan dapat meningkatkan kandungan energi metabolis sebanyak 3,75; 19,69; 9,76 dan 8,19% dibandingkan dengan ransum basal. Peningkatan kandungan metionin tidak seiring dengan peningkatan kandungan energi metabolis. Semakin banyak kelebihan metionin dalam pakan maka energi yang dimetabolis oleh ayam semakin rendah karena kelebihan metionin tersebut tidak mampu lagi diserap oleh tubuh ayam sehingga perlu energi untuk mengeluarkannya melalui ekskreta. Kelebihan metionin dalam ransum hingga 300% dari kebutuhan ayam dapat mengakibatkan racun dan kematian (Pesti et al., 2005). Konversi EMSn terhadap Energi Bruto

Daya cerna energi bukan ditentukan oleh nilai EMSn atau energi metabolis, akan tetapi ditentukan oleh konversi EMSn terhadap energi bruto atau rasio EM/EB pakan. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Konversi EMSn terhadap Energi Bruto Ransum Perlakuan Perlakuan Ulangan S0 S1 S2 S3 S4 1 0,71 0,73 0,80 0,72 0,77 2 0,69 0,73 0,79 0,77 0,75 3 0,72 0,74 0,81 0,73 0,73 4 0,72 0,73 0,78 0,74 0,74 Rataan 0,71±0,02 A 0,73±0,01 AB 0,80±0,01 C 0,74±0,02 AB 0,75±0,02 B

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01); S0 : Ransum basal; S1 : S0 + 0,20% Metionin; S2 : S0 + 0,25% DL-Metionin; S3 : S0 + 0,30% DL-DL-Metionin; S4 : S0 + 0,35% DL-Metionin

Rasio EM/EB pakan pada penelitian ini adalah berkisar antara 0,71-0,80. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan DL-Metionin sangat nyata (P<0,01) dapat mempengaruhi konversi EMSn terhadap energi bruto dibandingkan dengan kontrol. Hal ini berarti, perlakuan penambahan DL-Metionin sangat nyata dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis

dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil uji jarak Duncan dan uji polinomial ortogonal dengan persamaan regresi kuartik untuk EMSn ransum yaitu y = 980,51x4 – 830,28x3 + 228,66x2 – 20,248x + 0,7094 (Gambar 9), penambahan DL-Metionin pada level 0,20-0,25% dapat meningkatkan nilai efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis, dan kemudian nilai efisiensinya menurun kembali pada

y = 980.51x4 - 830.28x3 + 228.66x2 - 20.248x + 0.7094 R2 = 1 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 0 0.1 0.2 0.3 0.4

Level penambahan DL-Metionin

R a si o E M S n /E B Rataan perlakuan Poly. (Rataan perlakuan)

Gambar 9. Grafik Nilai Konversi EMSn terhadap Energi Bruto Ransum Perlakuan

level penambahan 0,30-0,35%. Ransum perlakuan yang paling efisien dalam penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis adalah ransum S2 (penambahan DL-Metionin sebanyak 0,25%), sebesar 0,80±0,01. Hal ini disebabkan karena keseimbangan komposisi zat makanan yang baik. Apabila ransum yang diberikan memiliki komposisi zat makanan seimbang, maka penyerapan zat makanan akan optimal. Sebaliknya, apabila ransum yang diberikan memiliki komposisi zat makanan tidak seimbang (kekurangan atau kelebihan metionin), maka penyerapan zat makanan tidak akan optimal.

Dokumen terkait