• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Pertumbuhan Pohon

Pertumbuhan pohon diukur pada pohon di dalam tegakan yang mengalami penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan akhir. Dalam penelitian ini pertumbuhan pohon dihubungkan dengan sifat dasar kayu yang diuji. Parameter pertumbuhan pohon meranti merah hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 1.

Penjarangan dan jarak bebas naungan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata ( = 95%) terhadap pertumbuhan diameter pohon. Diameter pohon pada masing-masing jarak bebas naungan saling berbeda. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan yang mengalami penjarangan lebih tinggi dari pada pohon yang tumbuh dalam tegakan tanpa penjarangan. Penjarangan meningkatkan diameter tajuk (Abohassan et al. 2010), dimana peningkatan diameter dan kuantitas tajuk menyebabkan peningkatan pertumbuhan diameter pohon di hutan tropis (Brown et al. 2004). Peningkatan pertumbuhan diameter pohon yang tumbuh dalam tegakan dengan kerapatan lebih rendah dapat disebabkan oleh peningkatan ketersediaan air, nutrisi, dan sinar matahari (Taylor et al. 2003).

5 Tabel 1 Rata-rata pengukuran kondisi pertumbuhan pohon meranti merah

Berbeda dengan temuan Picchio et al. (2011), Tabel 1 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan peningkatan tinggi pohon akibat penjarangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya diameter yang cenderung meningkat dengan penjarangan. Tinggi total, tinggi bebas cabang, dan penutupan tajuk pohon meranti merah menurun akibat penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan. Hasil serupa ditemukan Pinkard dan Nielsen (2003) untuk tegakan Eucalyptus nitens, dimana tinggi total dan bebas cabang pohon pada tegakan yang dijarangi lebih rendah dari pada tinggi total dan tinggi bebas cabangnya pada tegakan yang tidak dijarangi. Penurunan kerapatan tegakan dapat menurunkan biomassa tegakan per satuan luas hutan, meskipun biomassa individu pohon dapat meningkat (Goncalves et al. 2004).

Pada tingkat α = 95%, penjarangan berpengaruh nyata terhadap tinggi total dan TBC pohon sedangkan pelebaran jarak bebas naungan hanya berpengaruh nyata terhadap TBC pohon. Interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap tinggi total dan TBC pohon. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa TBC pohon berbeda pada jarak bebas naungan yang berbeda. Kerapatan pohon lebih tinggi pada tegakan tanpa penjarangan. Pada tegakan pohon berkerapatan tinggi, kebutuhan pohon meranti akan cahaya matahari mendorong pertumbuhan ke arah vertikal (Mawazin dan Suhaendi 2011).

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan, serta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap persentase penutupan tajuk yang terjadi pada pohon meranti merah (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penutupan tajuk yang berbeda. Penjarangan pohon di dalam jalur dan pembebasan pohon pesaing dari hutan alam secara horisontal dan vertikal menurunkan penutupan tajuk terhadap pohon meranti merah di dalam jalur.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat korelasi negatif antara penutupan tajuk dengan pertumbuhan diameter (koefisien determinasi = 24.75%). Menurut Pamoengkas dan Prayogi (2011) pertumbuhan diameter meranti merah mulai umur 9 tahun dipengaruhi oleh penutupan tajuk pada jalur, yaitu semakin sedikit penutupan tajuk yang terjadi menyebabkan diameter pohon semakin besar. Penutupan tajuk pohon berasal dari tajuk-tajuk pohon yang berada di samping jalur dan pohon di dalam jalur itu sendiri. Semakin besar penutupan tajuk menyebabkan berkurangnya intensitas cahaya yang diperlukan oleh pohon sehingga pertumbuhan pohon menjadi terhambat (Pamoengkas dan Prayogi 2011).

JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m Diameter (cm) 20.5 25.8 24.6 23.0 22.8 26.8 Tinggi Total (m) 20.2 19.5 20.2 19.6 20.0 19.7 TBC (m) 15.0 13.7 14.2 10.6 10.4 10.3 Penutupan Tajuk (%) 83.5 73.8 64.6 58.0 52.6 47.7 Keterbukaan Tajuk (%) 16.5 26.2 35.4 42.0 47.4 52.3 Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan

6

Sifat Fisis

Pertumbuhan yang cepat pada meranti merah diduga mempengaruhi sifat fisis kayu yang dihasilkan. Sifat fisis yang penting dan diperhitungkan dalam aplikasi penggunaan kayu yaitu berat jenis (BJ), kerapatan, kadar air, dan penyusutan. Rata-rata hasil pengujian BJ, kerapatan, dan kadar air tersaji pada Gambar 2. Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan memberikan pengaruh yang nyata terhadap BJ, kerapatan, dan KA KU (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga parameter yang diuji. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 7 m menghasilkan kayu dengan nilai BJ yang lebih tinggi dari BJ kayu yang tumbuh pada jarak naungan 10 m dan 13 m, sementara kayu yang tumbuh pada jarak naungan 10 m dan 13 m menghasilkan nilai BJ yang sama. Masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai kerapatan dan KA KU yang berbeda.

Nilai BJ dan kerapatan kayu pada perlakuan penjarangan lebih rendah dari pada kayu tanpa penjarangan, sedangkan semakin lebar jarak bebas naungan nilai BJ dan kerapatan semakin menurun. Penurunan nilai BJ dan kerapatan diduga disebabkan oleh pertumbuhan pohon yang semakin cepat. Menurut Jaakkola et al. (2006), perlakuan penjarangan awal yang intensif secara signifikan meningkatkan pertumbuhan radial pohon dan menurunkan kerapatan kayunya meskipun tidak signifikan. Huang et al. (2012) dan Uner et al. (2009) juga melaporkan intensitas penjarangan yang semakin besar berdampak negatif pada kerapatan kayu yang semakin menurun. Meningkatnya pertumbuhan radial pohon menyebabkan peningkatan diameter sel namun menurunkan tebal dinding sel (Jyske 2008) sehingga massa kayu persatuan volume (kerapatan dan BJ) menjadi semakin kecil. Penurunan kerapatan kayu akibat peningkatan laju pertumbuhan juga terjadi pada kayu subtropis dikarenakan pembentukan kayu awal terjadi lebih cepat dibandingkan kayu akhir (Jaakkola et al. 2006) sehingga proporsi kayu awal terhadap kayu akhir lebih tinggi (Peltola et al. 2007). Kayu awal memiliki kerapatan lebih rendah dibandingkan kayu akhir karena memiliki diameter serat lebih besar dan dinding sel lebih tipis. Kayu meranti merah sebagian besar digunakan sebagai kayu struktural, pertukangan, dan veneer. Penurunan kerapatan dan BJ kayu secara signifikan dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan KA KU kayu. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Siarudin dan Marsoem (2007) yang menemukan bahwa semakin lebar jarak tanam menyebabkan KA KU kayu akasia semakin rendah. Hal ini diduga dipengaruhi oleh variasi BJ kayu yang menunjukkan korelasi positif dengan KA KU (koefisien determinasi = 75.14%). Kayu dengan BJ lebih tinggi memiliki proporsi dinding sel yang yang lebih tinggi sehingga mampu menyerap uap air lebih banyak dibandingkan kayu dengan BJ lebih rendah karena sifatnya yang higroskopis. Pada kondisi KA KU atau di bawah kadar air titik jenuh serat (KA TJS), air yang tersisa berada dan berikatan pada dinding sel kayu sehingga semakin tinggi proporsi dinding sel menyebabkan peningkatan air terikat. Kadar air kering udara kayu sangat diperhatikan pada produk-produk olahan kayu (khususnya produk interior) yang diekspor ke tempat-tempat dengan suhu dan kelembapan yang berbeda. Suhu dan kelembapan yang lebih rendah menyebabkan KA KU menurun

7 14.11 13.75 13.05 13.53 13.07 13.04 12.5 13.0 13.5 14.0 14.5 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m K A K U (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan

dan penyusutan meningkat. Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dimensi dan menurunkan kualitas produk kayu.

(a) (b)

(c)

Gambar 2 Sifat fisis (a) kerapatan KU, (b) berat jenis, dan (c) KA KU Penyusutan kayu terjadi akibat proses hilangnya air terikat pada kondisi di bawah titik jenuh serat. Kayu merupakan bahan orthotropis, yaitu mengalami perubahan dimensi yang berbeda pada ketiga arah strukturalnya. Penyusutan terbesar kayu terjadi pada arah tangensial yang diikuti oleh arah radial dan terkecil pada arah longitudinal. Pengukuran penyusutan dilakukan pada kadar air kering udara ke kadar air kering tanur. Rata-rata hasil pengukuran penyusutan ditampilkan pada Gambar 3.

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penjarangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan pada ketiga arahnya (tingkat α = 95%). Sementara faktor jarak bebas naungan memberikan pengaruh nyata hanya pada penyusutan longitudinal dan radial (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata pada ketiga arah penyusutan. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai penyusutan longitudinal yang berbeda dibandingkan jarak bebas naungan yang lain. Jarak bebas naungan 7 m memiliki nilai penyusutan radial yang berbeda dibandingkan jarak bebas naungan yang lain sedangkan masing-masing jarak bebas naungan memiliki nilai penyusutan tangensial yang berbeda.

0.494 0.452 0.337 0.311 0.308 0.295 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m K e r ap atan K U (gr /c m ³) 0.433 0.398 0.298 0.274 0.272 0.261 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m B e r at Je n is

8

Gambar 3 Penyusutan kayu (a) arah radial, (b) arah tangensial, dan (c) arah longitudinal

Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan penyusutan radial dan tangensial. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya variasi kerapatan dan BJ kayu (Gambar 2). Terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu dengan penyusutan radial dan tangensial (koefisien determinasi 83.33% dan 65.88%). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan pada arah tangensial (Basri dan Rulliaty 2008) dan arah radial semakin besar (Kord et al. 2010).

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penyusutan longitudinal, dimana penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan penyusutan longitudinal. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor kerapatan kayu, microfibril angle (MFA), dan panjang serat. Korelasi negatif ditunjukkan antara kerapatan kayu dengan penyusutan pada arah longitudinal (koefisien determinasi 89.33%). Hasil yang sama dilaporkan oleh Pliura et al. (2005) yang menyatakan bahwa kerapatan kayu poplar hybrid berkorelasi negatif dengan susut longitudinalnya dimana semakin tinggi kerapatan kayu maka penyusutan arah longitudinal semakin rendah. Namun hal yang berlawanan dikemukakan oleh Sadegh et al. (2012) bahwa terdapat korelasi positif antara kerapatan kayu athel (Tamarix aphlylla) dengan penyusutan longitudinalnya.

(a) (b) (c) 1.69 1.39 1.29 1.26 1.17 1.04 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m P e n yu su ta n ra d ia l (% ) 3.05 3.01 2.97 2.72 2.46 2.51 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m P e n yu su ta n t a n gen si a l (% ) 0.12 0.18 0.25 0.26 0.28 0.35 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m P e n yu su ta n lo n gi tu d in a l (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan

9 Penyusutan longitudinal diduga dipengaruhi oleh variasi panjang serat kayu setelah perlakuan silvikultur (Tabel 3). Pertumbuhan yang cepat akibat perlakuan penjarangan menurunkan panjang serat-seratnya (Jyske 2008). Hubungan panjang serat dengan penyusutan longitudinal menunjukkan korelasi negatif (koefisien determinasi 78.1%). Serat yang semakin pendek menyebabkan jumlah serat pada arah longitudinal kayu semakin banyak sehingga penyusutan individu serat pada arah longitudinal terakumulasi lebih banyak dibandingkan serat-serat yang panjang. Selain itu, faktor MFA juga diduga mempengaruhi variasi penyusutan longitudinal. Semakin tinggi MFA maka penyusutan longitudinal semakin tinggi (Kord et al. 2010). Pertumbuhan yang lebih cepat akibat meningkatnya ketersediaan cahaya, nutrisi, dan air setelah perlakuan silvikultur menyebabkan MFA kayu lebih besar (Lundgren 2004).

Penyusutan pada arah radial selalu lebih kecil dibandingkan pada arah tangensial (Gambar 3). Hal ini karena adanya tahanan oleh struktur jan-jari kayu pada arah radial, penyebaran noktah berbatas lebih banyak pada dinding radial yang menyebabkan jumlah bahan dinding sel pada bidang radial lebih kecil dibanding dinding tangensial, dan karena sudut mikrofibril lebih besar pada dinding radial dibanding dinding tangensial (Pandit dan Rahayu 2007). Menurut Leonardon et al. (2008) penyusutan tidak hanya dipengaruhi oleh susunan matriks pada dinding sel yang berbeda setiap jenis kayu tetapi juga dipengaruhi oleh morfologi sel seperti bentuk dan ketebalan dinding sel. Semakin tebal dinding sel maka penyusutan semakin tinggi. Penyusutan merupakan salah satu faktor yang sangat diperhitungkan dalam proses pengeringan kayu. Semakin besar nilai penyusutan kayu (terutama susut tangensial) maka resiko cacat dalam pengeringan semakin besar sehingga mempengaruhi kualitas produk kayu akhir.

Sifat Mekanis

Pengujian sifat mekanis dilakukan pada kekuatan lentur statis, tekan sejajar serat, kekerasan, dan ketahanan belah. Kekuatan mekanis kayu sangat perlu diperhitungkan dalam aplikasinya sebagai bahan baku yang bersifat struktural. Rata-rata hasil pengujian sifat mekanis dapat dilihat pada Tabel 2.

Modulus of Elasticity (MOE) merupakan kekuatan lentur kayu pada batas proporsi. Kegiatan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan nilai MOE (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap nilai MOE. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jarak bebas naungan 13 m memiliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan jarak 7 m dan 10 m. Pada jarak bebas naungan 10 m dan 13 m menunjukkan MOE yang sama. Variasi BJ kayu (Gambar 2) diduga mempengaruhi nilai MOE. Terdapat korelasi positif antara BJ dengan MOE (koefisien determinasi 87.8%). Pada umumnya semakin tinggi BJ kayu maka nilai MOE-nya juga semakin tinggi. Menurut Wardani et al. (2011) menyatakan bahwa MOE dan BJ berkorelasi dengan cukup erat pada kayu pangsor dan kecapi.

10

Tabel 2 Rata-rata kekuatan mekanis kayu meranti merah kondisi kering udara

Modulus patah atau Modulus of Rupture (MOR) menggambarkan kapasitas beban maksimum yang mampu diterima oleh kayu sebelum terjadi kerusakan atau patahan. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan nilai MOR kayu meranti (tingkat α = 95 %). Interkasi antara kedua faktor berpengaruh nyata terhadap nilai MOR. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai MOR berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan. Hasil penelitian (Tabel 2) selaras dengan Zhang et al. (2006) bahwa nilai MOE dan MOR kayu jack pine menurun dengan adanya penjarangan yang intensif. Penurunan MOR disebabkan oleh variasi BJ dan kerapatan kayu yang berkorelasi positif dengan MOR (koefisien determinasi 91.81% dan 91.95%). Zziwa et al. (2006) juga melaporkan bahwa semakin tinggi kerapatan maka MOE dan MOR kayu Celtis mildbraedii semakin tinggi. BJ juga dilaporkan berkorelasi positif terhadap MOE dan MOR kayu meranti merah (Wang dan Wang 1999).

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan juga secara nyata menurunkan kekuatan tekan sejajar (tingkat α = 95%) namun interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tekan sejajar serat. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 13 m memiliki kekuatan tekan sejajar serat lebih rendah dibanding jarak bebas naungan yang lain (tingkat α = 95%). Faktor variasi BJ (Gambar 2) juga diduga menyebabkan keberagaman kekuatan tekan sejajar serat (Wardani et al. 2011). BJ dan kekuatan tekan sejajar menunjukkan korelasi yang positif (koefisien determinasi 71.83%).

Kekuatan belah merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya-gaya yang berusaha membelah kayu. Pengujian kekuatan belah dilakukan pada bidang radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan belah kayu secara nyata (tingkat α = 95%). Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekuatan belah yang berbeda pada masing-masing jarak bebas naungan. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan kerapatan maupun BJ kayu.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara kerapatan dan BJ terhadap kekuatan belah radial dan tangensial (koefisien determinasi 74.33% dan 75.12%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Zziwa et al. (2006) bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka meningkatkan kekuatan belah pada kayu Celtis mildbraedii. Korkut dan Korkut (2008) juga melaporkan bahwa kerapatan kayu mempengaruhi besarnya kekuatan belah pada kayu Ostrya carpinifolia. Kekuatan belah juga dipengaruhi secara nyata oleh bidang belah (tingkat α = JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m 81161.82 74274.78 59911.63 54647.36 53423.96 49396.30 676.04 643.53 474.62 449.44 371.23 370.48 323.54 322.09 282.01 244.04 225.27 186.46 R 17.27 12.87 10.46 9.76 11.34 9.49 T 19.55 15.57 12.41 13.45 11.80 9.69 Kekerasan R 231.00 227.67 113.67 116.67 109.00 85.00 (kg/cm²) T 260.67 252.67 140.00 127.33 115.33 102.67

Keterangan : JBN = Jarak bebas naungan Tekan // (kg/cm²)

Belah (kg/cm)

Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan Kekuatan

MOE (kg/cm² ) MOR (kg/cm²)

11 95%). Kekuatan belah pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding kekuatan belah pada bidang radial. Hal ini karena pada bidang radial terdapat sel jari-jari yang memilki ikatan antar sel lebih lemah. Kekuatan belah yang tinggi sangat baik untuk pembuatan ukir-ukiran (patung), sebaliknya kekuatan belah yang rendah menguntungkan dalam pembutan sirap dan kayu bakar namun merugikan dalam proses pengupasan veneer.

Kekerasan merupakan kemampuan kayu untuk menahan gaya yang akan membuat takik atau lekukan dan kikisan (abrasi) pada permukaan kayu. Kekerasan sisi pada kayu diuji pada bagian radial dan tangensial. Perlakuan penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan secara nyata menurunkan sifat kekerasan (tingkat α = 95%). Interaksi antara penjarangan dengan jarak bebas naungan juga berpengaruh nyata terhadap kekerasan. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan yang berbeda pada setiap jarak bebas naungan. Penurunan kekerasan diduga akibat adanya penurunan BJ kayu (Gambar 2). Korelasi positif ditunjukkan antara BJ kayu dengan kekerasan sisi bidang radial dan tangensial (koefisian determinasi 78% dan 77.24%). Pengaruh BJ terhadap kekerasan kayu meranti merah juga telah dilaporkan oleh Wang dan Wang (1999). Kekerasan pada bidang tangensial lebih tinggi dibanding pada bidang radial namun tidak berbeda nyata (tingkat α = 95%). Adanya sel jari-jari yang tegak lurus dengan arah tangensial memberikan tahanan terhadap gaya yang datang di bidang tangensial kayu sehingga kekerasan meningkat. Rokeya et al. (2010) melaporkan bahwa kekerasan kayu akasia pada bidang tangensial selalu lebih tinggi dibanding pada bidang radial.

Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan silvikultur penjarangan dan pelebaran jarak bebas naungan menurunkan kekuatan mekanis kayu yang diuji. Sifat-sifat mekanis kayu Larix olgensis juga menurun seiring dengan adanya peningkatan intensitas penjarangan (Huang et al. 2012). BJ dan kerapatan kayu merupakan faktor utama yang diduga mempengaruhi kekuatan mekanis kayu meranti merah yang diuji.

BJ merupakan salah satu indikator utama yang telah diadopsi oleh berbagai standar seperti PKKI NI-5 1961, Draft RSNI 2002, dan ASTM D245 dalam pendugaan kekuatan kayu (Wardani et al. 2011). Kerapatan kayu juga merupakan prediktor yang sangat baik bagi kekuatan kayu (Kiaei dan Samariha 2011). Kerapatan kayu sangat erat hubungannya dengan kekuatan lentur dan kekuatan tekan kayu. Zziwa et al. (2006) melaporkan bahwa kerapatan kayu berkorelasi positif terhadap semua sifat mekanis yang diuji pada kayu Celtis mildbraedii, Alstonia boonei, Maesopsis eminii, dan Antiaris toxicaria. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkatnya BJ dan kerapatan menyebabkan peningkatan kekuatan mekanis yang diuji. Kekuatan mekanis kayu juga dipengaruhi oleh morfologi dan dimensi serat. Hasil penelitian Kiaei dan Samariha (2011) menunjukkan adanya korelasi positif antara dimensi serat dengan kekuatan mekanisnya. Kerapatan kayu merupakan fungsi dari faktor tebal dinding sel dan diameter lumen sehingga keduanya selalu berkorelasi dengan kerapatan kayu dan kekuatan kayu (Kiaei dan Samariha 2011).

12

Sifat Anatomi

Persentase Kayu Teras

Persentase kayu teras menunjukkan intensitas pembentukan kayu teras selama pertumbuhan. Pembentukan kayu teras dipengaruhi oleh jenis pohon, tempat tumbuh, posisi vertikal batang, dan perlakuan silvikultur. Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur dapat dilihat pada Gambar 4.

Perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap persentase kayu teras (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga menunjukkan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan jarak bebas naungan 10 m memiliki persentase kayu teras yang berbeda dengan jarak 7 m dan 13 m.

Hasil penelitian (Gambar 4) menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras, hal ini diduga karena kondisi pertumbuhan yang lebih baik setelah penjarangan menyebabkan ketersediaan zat hasil fotosintesis meningkat. Peningkatan zat hasil fotosintesis menyebabkan pohon lebih efisien dalam pemanfaatannya untuk pertumbuhan sehingga terjadi penundaan pembentukan kayu teras. Maka dari itu, pohon meranti merah setelah penjarangan diduga lebih efisien dalam pemanfaatan bahan makanan dibanding kayu tanpa penjarangan. Pelebaran jarak bebas naungan pada kayu tanpa penjarangan cenderung menurunkan persentase kayu teras sehingga diduga pelebaran jarak bebas naungan meningkatkan efisiensi pemanfaatan makanan pada pohon. Hal yang berbeda terjadi pada kayu setelah penjarangan dimana semakin lebar jarak bebas naungan cenderung meningkatkan persentase kayu teras. Berdasarkan kondisi tersebut diduga bahwa terdapat kondisi tertentu dimana efisiensi pemanfaatan makanan mencapai optimum sehingga peningkatan bahan makanan secara terus menerus pada akhirnya menurunkan efisiensi pohon.

Gambar 4 Persentase kayu teras setelah perlakuan silvikultur

Gartner (2002) melaporkan bahwa peningkatan luas daun dan tajuk meningkatkan luas bagian kayu gubal dan berbading terbalik terhadap kayu teras pada kayu douglas-fir. Sementara Nawrot et al. (2008) menerangkan bahwa proses pembentukan kayu teras european larch dipengaruhi oleh rasio antara tajuk yang mendapat cahaya dengan tajuk yang teduh. Semakin banyak proporsi daun yang teduh akan menunda pembentukan kayu teras. Perlakuan penjarangan pada

43.08 31.07 37.31 27.97 24.53 34.18 0 10 20 30 40 50 JBN 7 m JBN 10 m JBN 13 m P e rs e n ta se Ka yu T e ra s (% ) Tanpa Penjarangan Dilakukan Penjarangan JBN = Jarak bebas naungan

13 meranti merah yang diuji diduga meningkatkan volume tajuk, luas daun, dan persentase daun yang teduh sehingga menurunkan persentase bagian kayu teras. Hasil yang berbeda dilaporkan DeBell dan Lachenbruch (2009) bahwa persentase kayu teras western redcedar meningkat dengan meningkatnya jarak tanam meskipun tidak signifikan. Ukuran diameter tidak menunjukkan korelasi terhadap proporsi kayu teras dan gubal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pikk et al. (2006) bahwa tidak terdapat korelasi antara rasio kayu teras scots pine dengan diameter dan tinggi pohonnya.

Persentase kayu teras erat kaitannya dengan keawetan kayu. Persentase kayu teras yang tinggi lebih menguntungkan dalam pembuatan produk olahan kayu karena kayu teras memiliki ketahanan terhadap serangga dan jamur perusak kayu yang lebih baik dibandingkan dengan kayu gubal. Namun tidak semua bagian kayu teras memilki keawetan alami yang sama karena adanya kayu juvenil. Kayu juvenil yang terdapat di dalam kayu teras memilki keawetan alami yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lebih dewasa, hal ini karena pada kayu juvenil memiliki komponen fenolik dan flavonoid yang lebih rendah dibandingkan kayu juvenil (Latorraca et al. 2011). Sebaliknya persentase kayu teras yang tinggi kurang menguntungkan dalam industri pengeringan karena menurunkan laju pengeringan kayu (Berberovic dan Milota 2012).

Dimensi Serat

Dimensi serat merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu. Pengukuran dimensi serat dilakukan pada panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel. Rata-rata hasil pengujian dimensi serat tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata dimensi serat setelah perlakuan silvikultur

Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan penjarangan dan jarak bebas naungan berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan dinding sel serat pada (tingkat α = 95%). Interaksi antara kedua faktor juga berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen namun tidak berpengaruh nyata terhadap tebal dinding sel serat (tingkat α =

Dokumen terkait