• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Penetrasi

Pada semua kombinasi perlakuan yang dilaksanakan diketahui bahwa hanya senyawa boron yang secara nyata masuk ke dalam kayu (Gambar 1). Unsur tembaga hanya terdapat di bagian terluar permukaan kayu dengan penetrasi yang sangat dangkal (Gambar 2). Kondisi ini terjadi karena tembaga sangat cepat berfiksasi sehingga sulit masuk ke dalam kayu, sebaliknya boron yang tidak mudah berfiksasi dapat menembus kayu dengan lebih dalam (Padlinurjaji dkk. 1977).

Gambar 1. Penetrasi boron Gambar 2. Penetrasi tembaga Hasil pengukuran penetrasi boron pada berbagai kombinasi perlakuan disajikan pada Gambar 3, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Lampiran 1. Tabel 2 memuat hasil analisis sidik ragamnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perlakuan perebusan yang dilanjutkan dengan pengawetan menggunakan bahan pengawet berkonsentrasi 3% memberikan nilai penetrasi boron yang paling dalam (4,14 mm), sedangkan kontrol (tanpa perlakuan awal: tidak direbus/tidak dikukus) yang diawetkan menggunakan bahan pengawet berkonsentrasi 5% memberikan nilai penetrasi yang paling dangkal (2,69 mm). Diketahui pula bahwa perlakuan awal (sebelum kayu diawetkan) secara umum cenderung meningkatkan nilai penetrasi, namun peningkatan konsentrasi bahan pengawet dari 3% ke 5% cenderung mengakibatkan berkurangnya nilai penetrasi boron. Keadaan yang pertama membuktikan bahwa perebusan dan atau pengukusan meningkatkan permeabilitas kayu, sedangkan hal yang kedua terkait dengan viskositas larutan bahan pengawet. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sidik ragamnya (Tabel 2).

Perebusan akan mengakibatkan rusaknya selaput noktah sehingga noktah menjadi terbuka, sedangkan pengukusan mengakibatkan berkurangnya daerah amorph (Ishikawa et al. 2004; Hill 2006). Dampak perebusan lebih tinggi dibandingkan dengan pengukusan karena pada pengukusan tidak semua mulut noktah akan terbuka. Mulut noktah yang masih tersumbat akan menghalangi masuknya bahan pengawet. Itulah sebabnya, permeabilitas pada kayu mindi yang direbus akan lebih tinggi dibandingkan dengan permeabilitas pada kayu yang dikukus.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Syarif (2010) maupun hasil penelitian Apriyanto (2010) yang menggunakan kayu durian sebagai contoh uji dimana perebusan maupun pengukusan meningkatkan nilai penetrasi, sedangkan peningkatan konsentrasi bahan pengawet cenderung menurunkan nilai penetrasi.

Tabel 2. Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan awal sebelum kayu diawetkan, konsentrasi bahan pengawet, serta interaksi keduanya terhadap penetrasi boron Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Nilai Tengah Nilai F Pr > F Model 5 10,056 2,011 4,874 0,001*) Perlakuan 2 5,538 2,769 6,709 0,003*) Konsentrasi 1 3,967 3,967 9,614 0,003*) Perlakuan* Konsentrasi 2 0,551 0,276 0,668 0,518 Kesalahan 42 17,332 0,413 Jumlah 47 27,389

Dari Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan awal sebelum kayu diawetkan dan konsentrasi bahan pengawet berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi boron, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata. Selanjutnya berdasarkan hasil uji Duncan diketahui bahwa perlakuan perebusan dan pengukusan cenderung meningkatkan nilai penetrasi (Tabel 3): perebusan dan pengukusan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penetrasi.

Tabel 3. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan awal terhadap penetrasi Perlakuan Jumlah Sampel Sub Kelompok 1 2 Rebus 16 3,8456 Kukus 16 3,5575 Kontrol 16 3,0256

Dari hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa nilai penetrasi boron ke dalam kayu mindi belum memenuhi nilai standar. Seluruh nilai penetrasi yang diperoleh ternyata lebih rendah dari nilai standar (2,69 hingga 4,14 mm berbanding 5 mm (SNI 03-5010.1-1999)).

Menurut Hunt dan Garrat (1986), selain dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, penetrasi juga dipengaruhi oleh persiapan kayu sebelum diawetkan, metode pengawetan, konsentrasi bahan pengawet, dan lama perendaman. Dengan demikian, maka lama perendaman dan konsentrasi bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini perlu disempurnakan. Lama perendaman perlu ditingkatkan, tetapi konsentrasi larutan bahan pengawet tetap dipertahankan atau lebih rendah dari 3%.

4.2 Retensi

Rata-rata nilai retensi bahan pengawet pada berbagai perlakuan awal dan tingkat konsentrasi bahan pengawet pada kayu mindi disajikan pada Gambar 4, sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 2. Tabel 4 memuat hasil analisis sidik ragamnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa retensi rata-rata akibat perlakuan perebusan berturut-turut adalah 1,56 kg/m3 (konsentrasi 3%) dan 2,09 kg/m3 (konsentrasi 5%), sedangkan rata-rata retensi akibat pengukusan adalah 1,09 kg/m3 (konsentrasi 3%) dan 1,49 kg/m3 (konsentrasi 5%). Pada kayu kontrol rata-rata retensi berturut-turut adalah 1,02 kg/m3 (konsentrasi 3%) dan 1,46 kg/m3

(konsentrasi 5%). Diketahui pula bahwa retensi tertinggi terjadi pada perlakuan perebusan dan selanjutnya diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 5% (2,09 kg/m3), sedangkan retensi terendah pada kayu kontrol dan diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 3% (1,02 kg/m3). Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan konsentrasi bahan pengawet dari 3% ke 5% cenderung meningkatkan nilai retensi kayu.

1.56 1.09 1.02 2.09 1.49 1.46 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Rebus Kukus Kontrol

Perlakuan R e te n si ( k g / m 3 ) 3% 5%

Gambar 4. Rata-rata nilai retensi bahan pengawet pada seluruh kombinasi perlakuan

Tabel 4. Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan awal (sebelum kayu diawetkan) dan konsentrasi bahan pengawet, serta interaksi antara perlakuan awal dan konsentrasi terhadap retensi bahan pengawet

Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Nilai Tengah Nilai F Pr > F Model 5 5,911 1,182 5,765 0,000*) Perlakuan 2 3,374 1,687 8,226 0,001*) Konsentrasi 1 2,507 2,507 12,227 0,001*) Perlakuan * Konsentrasi 2 0,030 0,015 0,074 0,929 Kesalahan 42 8,612 0,205 Jumlah 47 14,523

Keterangan *) berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Dari Tabel 4 diketahui bahwa interaksi antara perlakuan awal (sebelum kayu diawetkan) dan konsentrasi larutan bahan pengawet tidak berpengaruh terhadap nilai retensi, sedangkan pengaruh tunggal dari perlakuan awal atau pun konsentrasi bahan pengawet berpengaruh nyata. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan awal terhadap nilai retensi dilakukan uji Duncan (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil uji Duncan tentang pengaruh perlakuan awal terhadap retensi bahan pengawet Perlakuan Jumlah Sampel Sub Kelompok 1 2 Rebus 16 1,8244 Kukus 16 1,2894 Kontrol 16 1,2381

Dari tabel di atas diketahui bahwa perlakuan perebusan dan pengukusan cenderung meningkatkan nilai retensi. Peningkatan retensi pada kayu yang dikukus relatif lebih rendah dibandingkan pada kayu yang direbus, bahkan tidak berbeda jauh dengan retensi pada kayu kontrol. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Apriyanto (2010), tetapi berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian Syarif (2010). Menurut Syarif (2010), perlakuan perebusan pada kayu durian sebelum diawetkan cenderung menurunkan nilai retensi. Hal yang terakhir ini membuktikan adanya pengaruh perbedaan jenis kayu karena berbeda dalam hal struktur anatomi dan komponen kimiawi dinding sel.

Tingginya nilai retensi bahan pengawet pada kayu yang direbus dibanding kayu kontrol maupun kayu yang dikukus diduga terkait dengan perbedaan reaktifitas dinding sel, dalam hal ini jumlah gugus hidroksil bebas yang ada. Semakin banyak gugus hidroksil bebasnya, akan semakin banyak pula senyawa aktif dari bahan pengawet yang mampu diikat. Sebagai akibatnya, akan semakin besar pula nilai retensi yang diperoleh.

Perebusan akan mengakibatkan melemahnya ikatan hidrogen yang ada dan rusaknya selaput noktah sehingga noktah menjadi terbuka, sedangkan pengukusan mengakibatkan berkurangnya daerah amorph (Ishikawa et al. 2004; Hill 2006). Dampak perebusan lebih tinggi dibandingkan dengan pengukusan karena pada pengukusan tidak semua ikatan hidrogen akan terpengaruh dan tidak semua mulut noktah akan terbuka. Ikatan hidrogen yang lemah tersebut mudah lepas saat kayu mencapai kondisi kering udara, sedangkan mulut noktah yang masih tersumbat akan menghalangi masuknya bahan pengawet. Itulah sebabnya, reaktifitas dinding sel pada kayu yang direbus akan lebih tinggi dibandingkan dengan reaktifitas pada kayu yang dikukus.

Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa rata-rata nilai retensi yang diperoleh masih belum memenuhi nilai standar, baik untuk penggunaan di dalam maupun di luar ruangan. Secara umum rata-rata nilai retensi yang diperoleh lebih rendah dari nilai standar (1,02 hingga 2,09 kg/m3 berbanding 8 kg/m3 (di bawah atap) dan 11,0 kg/m3 (di luar atap) sebagaimana SNI 03-5010.1-1999).

Dari penelitian ini diketahui bahwa secara umum perlakuan perebusan akan menghasilkan rata-rata penetrasi maupun retensi yang paling baik pada konsentrasi 3% dan 5%.

BAB V

Dokumen terkait