• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah

SMA Negeri Ragunan Jakarta merupakan sekolah yang didirikan untuk atlet, dimana mereka tidak hanya mendalami bidang yang mereka geluti tetapi juga mereka mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan umur mereka. Para siswanya berasal dari seluruh wilayah di Indonesia yang bersifat heterogen dengan multi etnis. Sekolah ini merupakan sekolah gratis dari pemerintah yang ditujukan untuk anak yang berprestasi pada bidang olahraga. Tidak hanya mempelajari tentang cabang-cabang olahraga yang mereka minati, tetapi sekolah ini pun memberikan pendidikan akademik. Sekolah yang dibiayai oleh pemerintah ini terdapat di Jakarta Selatan, tepatnya di kompleks Gelanggang Olahraga Ragunan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk pengembangan olahraga telah lengkap, dimana terdapat lapangan bola kaki, lapangan basket, lapangan voli, kolam renang, lapangan bulu tangkis, dan lain-lain. Selain itu mereka mendapatkan fasilitas berupa asrama khusus (bording school). Sekolah ini membina bibit-bibit atlet remaja yang memiliki keahlian olahraga tertentu dan prestasi baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

Bangunan SMA Negeri Ragunan terdiri atas delapan kelas belajar, tiga ruang guru, satu ruang tata usaha, dan enam kamar mandi. Fasilitas lain yang berada dalam komplek gelanggang olahraga ragunan berupa gedung serbaguna, rumah guru, rumah para pelatih, poli-klinik, masjid, aula, kantin, wisma tamu, serta perkantoran dan Graha Wisma Pemuda.

SMA Negeri Ragunan (Khusus Olahragawan) berdiri tanggal 15 Januari 1977 atas inisiatif dari Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu adalah Ali Sadikin. SMA Negeri Ragunan terletak di Jalan HR Sarsono Komplek Gelora Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. SMA Negeri Ragunan Jakarta dikepalai oleh Drs. Didih Hartaya dengan staf dan guru berjumlah 20 orang. Adapun visi dari SMA Negeri Ragunan adalah menghasilkan anak bangsa yang unggul dalam prestasi olahraga dan akademik berdasarkan iman dan taqwa melalui bimbingan dan pelayanan yang prima.

Gambaran Umum Siswa dan Guru

Pembinaan atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta lebih menitikberatkan pada aspek fisik dan teknik, sehingga pembinaan aspek psikologis kurang mendapatkan porsi yang cukup. Hal ini terlihat dari kurangnya peran guru BK (Bimbingan dan Konseling) di sekolah, padahal seharusnya guru BK mempunyai peran yang cukup besar untuk memberikan motivasi dan pengarahan kepada para siswanya. Para siswa hanya mendapatkan pelajaran dan pengarahan dari guru BK ketika berada pada kelas X, padahal seharusnya pembinaan ini terus dilakukan selama para siswa yang juga berperan sebagai atlet muda bersekolah di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Pembinaan secara psikologis ini bertujuan untuk menunjang aspek fisik dan teknis, sehingga para atlet diharapkan mempunyai mental juang dan motivasi yang kuat dalam berprestasi pada bidang olahraga yang digeluti.

Para siswa di SMA Negeri Ragunan Jakarta lebih terfokus pada bidang olahraga yang digeluti dibandingkan pendidikan akademik, padahal para atlet juga berperan sebagai seorang pelajar. Para siswa seringkali tertinggal pada beberapa mata pelajaran dikarenakan harus bertanding ke luar daerah. Para siswa seringkali terlihat tidak membawa tas ketika datang ke sekolah, melainkan hanya membawa buku tulis satu buah dan pulpen atau pensil. Selain itu, di sekolah ini tidak terdapat buku paket dan LKS (Lembar Kerja Siswa) seperti yang ada pada sekolah lain pada umumnya. Para siswa hanya belajar dari catatan yang diberikan oleh guru di kelas. Begitu pun ketika sedang bertanding, maka para siswa mengalami ketertinggalan dalam pelajaran yang diberikan oleh guru. Umumnya pada setiap kelas seharusnya diisi oleh hampir semua siswa pada suatu sekolah, namun berbeda halnya dengan keadaan kelas di SMA Negeri Ragunan Jakarta, di mana pada setiap kelas paling banyak diisi oleh 20 orang, bahkan ada beberapa kelas yang hanya diisi oleh satu hingga tiga orang yang pada akhirnya para siswa tersebut pulang ke asrama masing-masing karena kelasnya sepi dan tidak ada guru yang mengajar di kelas. Keadaan kelas yang kosong ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang sedang bertanding ke luar daerah hingga ke luar negeri. Jumlah keseluruhan siswa SMA Ragunan Jakarta adalah 326 orang. Rincian jumlah siswa tersaji pada Tabel 2.

42

Tabel 2 Daftar siswa SMA Negeri Ragunan Jakarta

Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah

X1 20 19 39 X2 15 24 39 X3 25 14 39 XI IPA 19 17 36 XI IPS1 23 17 40 XI IPS2 23 11 34 XII IPA 25 15 40 XII IPS 36 23 59 Total 186 140 326 Karakteristik Contoh Usia dan Jenis Kelamin

Contoh dalam penelitian ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Contoh laki-laki berjumlah 32 orang (38.1%) dan contoh perempuan berjumlah 52 orang (61.9%). Contoh laki-laki dalam penelitian ini yang berada pada fase remaja pertengahan (14-18 tahun) sebanyak 87.5 persen dan contoh perempuan yang juga berada pada fase remaja pertengahan (14-18 tahun) sebesar 67.3 persen. Rata-rata contoh berusia 16 tahun. Terdapat kesamaan karakteristik usia contoh pada penelitian yang dilakukan oleh Hadley, et al. (2008) yaitu 14-16 tahun yang juga berada para rentang usia remaja pertengahan. Usia contoh pada penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Garliah dan Nasution (2005), yaitu 19-24 tahun yang berada pada rentang usia remaja akhir dan dewasa awal.

Sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada fase remaja pertengahan dimana terdapat sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003), yaitu the fluctuating self, real and ideal, true and false selves, social comparison, self conscious, dan self protective. Kelima karakteristik konsep diri remaja tersebut lebih lanjut akan dikemukakan pada sub bab berikutnya. Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin

Usia Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

n % n %

Remaja awal (12-14 tahun) 2 2.4 17 20.2

Remaja pertengahan (14-18 tahun) 28 33.3 35 41.7

Remaja akhir (18-21 tahun) 2 2.4 0 0

Total 32 38.1 52 61.9

Rataan±SD 16.2±0.97

Urutan Kelahiran

Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu, anak sulung (anak pertama), anak tengah, dan anak bungsu (anak terakhir). Persentase urutan kelahiran contoh dalam urutan kelahiran anak menyebar pada anak sulung (42%), anak tengah (33.3 %), dan anak bungsu (25%). Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran.

Posisi urutan kelahiran dapat mempengaruhi seorang anak dalam pencarian identitas dan perhatian orang lain (Erlina dalam Rahmawati 2005). Urutan kelahiran yang diidentifikasikan oleh Adler (Ramawati 2005) adalah anak tunggal, anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Dengan memahami konsep teori Adler tersebut, dimungkinkan bahwa perbedaan kemandirian seseorang muncul karena adanya perbedaan gaya hidup yang dikembangkan tiap anak berdasarkan interpretasinya terhadap kedudukan/urutan kelahirannya. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa terdapat sindrom pada tiap urutan kelahiran dan ternyata terdapat beberapa persamaan sindrom antara anak sulung dan anak bungsu.

44

Karakteristik anak sulung itu bergantung, mudah dipengaruhi dan manja sedangkan anak bungsu mempunyai sindrom manja, merasa tidak mampu dan rendah diri, dan tidak bertanggung jawab.

Adler (Rahmawati 2005) memunculkan teori tentang perbedaaan individu yang dilatarbelakangi oleh gaya hidup yang muncul berdasarkan urutan kelahiran seseorang. Menurut Corey (Rahmawati 2005), urutan kelahiran dan interpretasi terhadap posisi seseorang dalam keluarga berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi akibat situasi psikologis yang berbeda pada urutan kelahiran tersebut. Adapun urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Beberapa ahli psikologi dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa urutan kelahiran anak dalam keluarga berdampak pada kepribadian, perilaku, cara belajar, dan berpengaruh pada kemampuannya dalam mencari nafkah. Urutan kelahiran anak juga mempengaruhi kesuksesan seseorang, terutama pada anak-anak yang berasal dari keluarga besar atau dari keluarga dengan ekonomi rendah (Masbudi dalam Wulanningrum 2009).

Tipe dan Jenis Olahraga

Sebaran contoh berdasarkan tipe olahraga, yaitu tipe olahraga individu dan tim/beregu. Gambar 4 menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh adalah tipe olahraga individu (69%) sedangkan persentase terkecil contoh yaitu 31 persen berada pada tipe olahraga tim/beregu. Adapun tipe olahraga individu adalah menembak, golf, bowling, panahan, bulutangkis, tenis, atletik, gulat, tinju, dan renang. Tipe olahraga beregu terdiri atas voli, basket, hockey, dan sepakbola.

Sementara itu, Moelok (1984) mengelompokkan jenis olahraga menjadi empat jenis, yaitu: olahraga ringan, olahraga sedang, olahraga berat, dan olahraga berat sekali. Kategori olahraga ringan adalah menembak, golf, bowling, panahan. Olahraga sedang terdiri dari voli, atletik, bulutangkis, basket, hockey, soft ball. Olahraga berat terdiri dari renang, tinju, gulat, kempo, judo, wall climbing. Sedangkan olahraga berat berat sekali terdiri atas balap sepeda, angkat besi, maraton, hiking. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (72.6%) berada pada jenis oleharag olahraga sedang, olahraga berat mempunyai persentase sebesar 26.2 persen, dan olahraga berat sekali mempunyai persentase sebesar 1.2 persen. Sementara itu, tidak ada contoh yeng memiliki jenis olahraga ringan. Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga

Jenis Olahraga n %

Olahraga ringan 0 0

Olahraga sedang 61 72.6

Olahraga berat 22 26.2

Olahraga berat sekali 1 1.2

Total 84 100

Karakteristik Keluarga Status Orangtua

Sebaran status orangtua contoh terdiri dari dua jenis, yaitu status orangtua utuh dan single parent (orangtua tunggal). Gambar 5 menunjukkan bahwa sebanyak 89.3 persen orangtua contoh merupakan keluarga yang utuh dan sisanya sebanyak 10.7 pesen orangtua contoh berstatus orangtua tunggal. Orangtua contoh yang memiliki status orangtua tunggal umumnya dikarenakan ada salah satu orangtua contoh (ayah atau ibu) yang meninggal dunia. Terdapat kesamaan karakteristik status orangtua contoh pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Garliah dan Nasution (2005) yaitu sebagian besar contoh memiliki kedua orangtua yang utuh.

46

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan status orangtua

Keluarga yang utuh memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya, yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan diri (Putri 2008). Berdasarkan Putri (2008), dapat dijelaskan bahwa sebagian besar contoh mempunyai peluang untuk membangun kepercayaan kepada orangtuanya sebagai sebuah keluarga utuh. Menurut Soelaeman (Putri SP 2008), keluarga dikatakan utuh apabila di samping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya.

Di sisi lain, Duncan (Listiyanto 2009) mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga dengan orang tua tunggal adalah anak. Anak merasa kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya. Bagi anak yang tiba-tiba mendapatkan orang tuanya tidak lengkap lagi. Anak yang belum siap menghadapi rasa kehilangan salah satu orang tuanya akan terpukul, dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, atau suka menyendiri (Aqsyaluddin dalam Listiyanto 2009). Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Oleh karenanya, orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar anak tidak merasa kesepian (Alvita dalam Listiyanto 2009).

Suku Bangsa Orangtua

Suku orangtua contoh menyebar pada Suku Jawa dan Suku Sunda dengan persentase masing-masing ayah dengan Suku Jawa (40.5%), ayah dengan Suku Sunda (23.5%) dan ibu dengan Suku Jawa 32.1 persen dan Suku Sunda 28.3 persen. Lainnya suku orangtua mempunyai persentase sebesar 31.2 persen untuk

ayah dan 39.6 persen untuk ibu. Adapun suku lainnya adalah Betawi, Padang, Palembang, Batak, Bengkulu, Bugis, Gorontalo, Manado, Sumbawa, dan Papua. Sebaran contoh berdasarkan suku orangtua disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa orangtua

Suku Orangtua Persentase (%)

Ayah Ibu

Jawa 40.5 32.1

Sunda 23.8 28.3

Lainnya 31.2 39.6

Total 100 100

Mahanal, et al. (2009) mengemukakan bahwa Suku Jawa dipandang sebagai suku bangsa yang sopan dan halus. Sifat orang Jawa ingin menjaga kerukunan dan menghindari pertengkaran. Pada umumnya, masyarakat Suku Jawa menggunakan bahasa Jawa dan diajarkan bagaimana menggunakan bahasa yang halus untuk orang tua. Sama halnya dengan Suku Jawa, Suku Sunda juga sangat menjujung tinggi sopan santun. Sifat masyarakat sunda, ramah tamah, murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati orangtua. Hal Itulah yang menjadi cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Selain itu, di dalam bahasa Sunda juga diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua.

Tingkat Pendidikan Orangtua

Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar tingkat pendidikan ayah contoh adalah SMA/sederajat (54.8%). Sebanyak 29.8% pendidikan ayah contoh adalah tamat perguruan tinggi (S1/S2/S3). Tidak ada satu pun ayah contoh yang mempunyai tingkat pendidikan SD/sederajat. Persentase terbesar pendidikan ibu contoh adalah SMA/sederajat, yaitu sebesar 69 persen. Sementara itu, persentase terkecil tingkat pendidikan ibu contoh adalah 1.2 persen, yaitu tidak tamat SD dan tamat SD/sederajat. Persentase ibu yang berpendidikan SMA/sederajat lebih tinggi dari ayah. Persentase ayah contoh yang berpendidikan tamat perguruan tinggi lebih besar daripada ibu contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dapat dilihat pada Tabel 6.

48

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua

Pendidikan Ayah Ibu

n % n % Tidak tamat SD 0 .0 1 1.2 SD/sederajat 1 1.2 1 1.2 SMP/sederajat 5 6.0 4 4.8 SMA/sederajat 46 54.8 58 69.0 D3 7 8.3 5 6.0 S1/S2/S3 25 29.8 15 17.9 Total 84 100 84 100

Sumarwan (2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsi terhadap suatu masalah.

Pekerjaan Orangtua

Sebaran pekerjaan orangtua contoh terdiri dari enam kategori, yaitu tidak bekerja, sektor pertanian, pegawai pemerintah, wiraswasta, pegawai swasta, dan profesional dan rohaniawan. Tabel 7 menunjukkan bahwa wiraswasta merupakan pekerjaan ayah contoh yang paling banyak, yaitu sebesar 35.7%, sedangkan pegawai pemerintah juga persentasenya tidak jauh berbeda, yaitu sebanyak 32.1%. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu contoh (52.4%) tidak bekerja dan persentase terkecil sebesar 1.2 persen ibu contoh bekerja sebagai profesional dan rohaniawan.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua

Pekerjaan Ayah Ibu

n % n % Tidak bekerja 1 1.2 44 52.4 Sektor pertanian 3 3.6 3 3.6 Pegawai Pemerintah 27 32.1 21 25.0 Wiraswasta 30 35.7 12 14.3 Pegawai swasta 21 25.0 3 3.6

Profesional dan Rohaniawan 2 2.4 1 1.2

Pendapatan Orangtua

Pendapatan orangtua contoh berkisar antara kurang dari Rp 500.000 sampai dengan lebih dari Rp 10.000.000 Persentase terbesar pendapatan orangtua contoh berada pada kisaran antara Rp 1.000.000 sampai dengan Rp 2.500.000, yaitu sebanyak 34.5 persen. Sebanyak 33.3 persen pendapatan orangtua contoh berada pada kisaran Rp 2.500.000 sampai dengan Rp 5.000.000. Persentase terkecil berada pada kisaran kurang dari Rp 500.000. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua

Pendapatan Orangtua n % Kurang dariRp. 500.000 1 1.2 Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 9 10.7 Rp. 1.000.000-Rp.2.500.000 29 34.5 Rp. 2.500.000-Rp. 5.000.000 28 33.3 Rp. 5.000.000-Rp. 7.500.000 13 15.5 Rp. 7.500.000-Rp. 10.000.000 2 2.4 Lebih dari Rp. 10.000.000 2 2.4 Total 84 100

50

Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua

Baumrind (1991) mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya, sedangkan gaya pengasuhan permisif adalah pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat. Sementara itu, gaya pengasuhan otoritatif adalah bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya.

Persepsi gaya pengasuhan orangtua adalah makna yang timbul dari sebuah proses pengasuhan dan gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada seorang anak (Desmita 2009). Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif (86%), sisanya adalah otoriter (8%) dan permisif (6%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh diasuh oleh orangtuanya dengan kontrol dan kehangatan yang tinggi. Demandingness (kontrol) adalah kecenderungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness (kehangatan) merupakan kecenderungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elias dan Yee (2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan dari kedua orangtuanya adalah otoritatif (81% untuk ayah dan 79.8% untuk ibu), kemudian diikuti oleh otoriter (10.1% untuk ayah dan 12.1% untuk ibu), dan permisif (1.2% untuk ayah dan 8.1% untuk ibu). Hasil penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh Yahaya dan Nordin (Elias & Yee 2009) bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Hassan (Elias & Yee 2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar di Kelantan Malaysia mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoriter. Hasil yang juga berbeda dikemukakan oleh Dornbusch, et al. (Elias & Yee 2009) bahwa orangtua di beberapa keluarga Asia

dan percampuran Asia-Amerika yang tinggal di Amerika cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang otoritatif. Hal ini dikarenakan keluarga Asia-Amerika merupakan kelompok minoritas di Amerika, sehingga orangtua merasa perlu untuk menjaga identitas dari negara asalnya (Lim dalam Elias & Yee 2009).

Baumrind (1967) mengemukakan bahwa orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santrock (2003), bahwa gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian, serta dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2009) menunjukkan bahwa persepsi gaya pengasuhan otoritatif dapat meningkatkan self esteem dan keterampilan sosial dari seorang remaja. Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua

Persepsi gaya pengasuhan orangtua n %

Otoritatif 72 86

Otoriter 7 8

Permisif 5 6

Total 84 100

Konsep Diri

Skor rata-rata dari konsep diri dibagi ke dalam dua kategori, yaitu negatif dan positif. Konsep diri negatif mempunyai skor 6 sampai dengan 15, sedangkan kategori positif mempunyai skor 16 sampai dengan 24. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara keseluruhan contoh dalam penelitian ini mempunyai konsep diri positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi adalah 75.65±5.273. Hal ini menunjukkan bahwa contoh mempunyai konsep diri yang positif. Peart, et al. (2007) mengatakan bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Selain itu, seseorang dengan konsep diri yang positif akan mampu

52

menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Sebagian besar contoh merupakan atlet muda yang mempunyai prestasi olahraga, oleh karenanya contoh memiliki konsep diri yang positif. Konsep diri merupakan salah satu faktor pendukung yang berasal dari dalam diri contoh untuk memperoleh rasa percaya diri agar mampu memberikan hasil yang terbaik pada saat berada di arena pertandingan. Sebaran contoh berdasarkan aspek konsep diri disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan aspek konsep diri, rataan, dan standar deviasi

Aspek Konsep Diri Negatif Positif Rataan±SD

n % n % Kompetensi Atletik 0 0 84 100 71.93±8.823 Perilaku/moralitas 0 0 84 100 82.86±8.859 Penerimaan Teman Sebaya 1 1.2 83 98.8 80.11±10.736 Penampilan Fisik 11 13.1 73 86.9 60.42±7.861 Kompetensi Sekolah 7 8.3 77 91.7 63.99±8.864 Pandangan Masa Depan 1 1.2 83 98.8 94.58±10.732

Konsep Diri total 0 0 84 100 75.65±5.273

Sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada fase remaja pertengahan dimana terdapat sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003), yaitu the fluctuating self, real and ideal, true and false selves, social comparison, self conscious, dan self protective. Dalam hal ini contoh mempunyai karakteristik konsep diri yang terus memiliki fluktuasi dimana seseorang mampu membedakan antara kenyataan dengan apa yang diharapkannya. Contoh yang berada pada usia remaja lebih sering mengevaluasi dirinya dengan menggunakan perbandingan sosial, di sisi lain remaja juga mempunyai mekanisme untuk mempertahankan diri yang bertujuan untuk mengembangkan dirinya. Sejumlah karakteristik di atas menunjukkan bahwa sebagian besar contoh dalam penelitian ini mempunyai sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003).

Kompetensi Atletik

Aspek konsep diri kompetensi atletik dikategorikan pada dua kategori, yaitu negatif (6-15) dan positif (16-24). Sebaran contoh berdasarkan konsep diri kompetensi atletik masuk pada kategori positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 71.93±8.823. Hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa seluruh contoh (100%) mempunyai konsep diri kompetensi atletik yang berada pada kategori positif dan tidak ada contoh yang memiliki konsep diri kompetensi atletik pada kategori negatif.

Hadley, et al. (2009) memberikan beberapa indikator yang dapat mengukur konsep diri kompetensi atletik, yaitu bagaimana seseorang melihat kemampuan dirinya dalam berbagai kegiatan olahraga. Dalam penelitian ini terlihat contoh memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan berbagai kegiatan baru, khususnya yang berkaitan dengan bidang olahraga. Hasil ini merujuk pada Lampiran 2. Kompetensi atletik menjadi aspek konsep diri yang sangat penting bagi seorang atlet muda. Hal ini disebabkan karena aspek konsep diri kompetensi atletik yang positif tentu akan mendorong motivasi untuk berprestasi. Apabila dikaitkan dengan dimensi konsep diri yang dikemukakan oleh Centi (1993), maka konsep diri kompetensi atletik termasuk ke dalam dimensi self image (gambaran diri). Gambaran diri tersebut pada akhirnya akan membentuk citra diri. Citra diri yang positif dalam kompetensi atletik sangat menentukan penampilan contoh di arena pertandingan.

Perilaku/moralitas

Aspek konsep diri perilaku/moralitas dikategorikan pada dua kategori, yaitu negatif (6-15) dan positif (16-24). Sebaran contoh konsep diri perilaku/moralitas masuk pada kategori positif, dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 82.86±8.859. Hasil penelitian yang disajikan pada

Dokumen terkait