• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biogas adalah bahan bakar berguna yang dapat diperoleh dengan memproses limbah (sisa) yang basah, kotoran hewan dan manusia atau campurannya, yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen atau anaerobik, Biogas merupakan gas yang tidak berbau, tidak beracun dan tidak menimbulkan asap hitam serta mudah terbakar dan amat ideal sebagai sumber energi baru (Harahap et a., 1980).

1. Pegukuran Awal Substrat

Penelitian ini melibatkan limbah makanan dengan batasan limbah yang berasal dari warung makan sekitar kampus UNS Surakarta. Limbah makanan dapat berasal dari nasi, sayuran, buah-buahan, ikan, daging, telur, dan aneka sisa lainnya, Pemilihan limbah rumah makan karena bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat didegradasi secara biologi (Nugroho et al; 2007). Selain itu ditambahkan juga inokulum yang berfungsi sebagai starter. Starter yang di gunakan adalah inokulum limbah makanan, kotoran sapi dan kotoran ayam yang telah aktif. Hal ini didukung oleh pernyataan oleh (Ginting, 2007) bahwa starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik menjadi biogas, bisa digunakan lumpur aktif organik atau cairan isi rumen.

Substrat terdiri dari tiga kelompok, yaitu : limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum limbah makanan 20% (kontrol); limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum kotoran sapi 20% (substrat A); dan limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum kotoran ayam 20% (substrat B). Masing-masing kelompok substrat dibagi lagi dalam dua kelompok suhu lingkungan yang berbeda, yaitu suhu ruang (T1) dan suhu tinggi (T2). Sebelum proses fermentasi anaerob dilaksanakan perlu diketahui karakter awal dari masing-masing kelompok substrat. Hal ini bertujuan untuk melihat nilai efisiensi perombakan substrat limbah organik terhadap beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi dari limbah seperti pH, suhu, BOD, COD, TS, VS, dan populasi bakteri, yang terjadi selama proses fermentasi. Selain itu, karakterisasi di awal juga dapat dijadikan acuan untuk mengetahui sifat limbah yang baik untuk produksi biogas, karena limbah belum mendapat perlakuan. Berikut adalah karakter substrat sebelum dilakukan proses fermentasi anaerob :

Tabel 4. Hasil pengukuran awal substrat sebelum fermentasi dilaksanakan.

No Substrat Parameter yang diamati

Suhu (oC) pH BOD (g/l) COD (g/l) TS (g/l) VS (g/l) Konsorsia Bakteri (sel/ml) 1 LM 31,3 7,07 13,49 60,44 128,0 87,0 8,7x105 2 KS 31,7 7,11 7,12 41,76 51,3 23,5 6,4x105 3 KA 31,9 7,11 6,53 31,50 50,1 31,2 3,3x105 Keterangan:

LM: substrat dengan inokulum limbah makanan. KS: substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA: substrat dengan inokulum kotoran ayam.

Substrat dengan inokulum limbah makanan memiliki nilai BOD, COD, TS dan VS lebih besar dibandingkan dengan substrat dengan inokulum yang lainnya (tabel 4). Ini menjelaskan bahwa inokulum limbah makanan masih memiliki bahan organik yang besar sehingga dapat menambah beban organik lebih banyak pada substrat dibandingkan inokulum kotoran sapi maupun inokulum kotoran ayam.

Proses perombakan anaerob (fermentasi) berlangsung selama 6 minggu dengan interval 2 minggu yaitu minggu ke-0 (M0), minggu ke-2 (M2), minggu ke-4 (M4) dan minggu ke-6 (M6), Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi bakteri), maupun abiotik seperti kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, suhu, dan starter. Faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006).

2. Derajat keasaman (pH)

Perbedaan jenis substrat juga memberikan pengaruh terhadap nilai pH selama proses fermentasi anaerob. pH substrat akan mengalami sedikit banyak perubahan. Berikut adalah rata-rata nilai pH dalam empat kali waktu pengamatan (minggu ke_n) selama proses fermentasi anaerob berlangsung :

Tabel 5. Rata-rata pH substrat limbah makanan sekitar kampus UNS dalam 4 kali waktu pengamatan.

Kelompok substrat

pH substrat

Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45

1. Suhu Ruang LM 80% + Inokulum LM 20% 7,07 6,17 6,14 6,08 LM 80% + Inokulum KS 20% 7,11 7,12 7,86 7,89 LM 80% + Inokulum KA 20% 7,11 7,85 7,80 8,10 2, Suhu Tinggi LM 80% + Inokulum LM 20% 7,07 6,64 6,89 6,98 LM 80% + Inokulum KS 20% 7,11 7,62 7,57 7,77 LM 80% + Inokulum KA 20% 7,11 7,74 8,12 8,39 Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.

Derajat keasaman (pH) substrat mengalami perubahan selama proses fermentasi (tabel 5). Kresnawaty, et al., (2008) menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH. Hal ini dapat menjelaskan bahwa seharusnya pH substrat mulai mengalami penurunan pada minggu kedua, setelah itu pH dapat kembali netral. Tetapi hal demikian hanya terjadi pada kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum indigenous pada suhu tinggi sedangkan kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum

indigenous pada suhu ruang turun, pH substrat kelompok yang lain cenderung

naik.

Nilai pH memiliki peranan yang sangat penting dalam proses Anaerobic

Digestion karena akan mempengaruhi kinerja bakteri yang terlibat. Pertumbuhan

kematian pada rentang pH yang tidak sesuai, Kadarwati, (2003) menjelaskan bahwa nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 6,8-8.

Pada awal penelitian, pH limbah makanan cukup asam yaitu 4,3, pH sangat asam karena banyaknya jeruk dalam limbah tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian semua kelompok perlakuan dinetralkan dengan penambahan NaOH (Ginting, 2007). Setiap kelompok perlakuan, substrat dicampur inokulum dalam suatu wadah dilanjutkan dengan penambahan NaOH sebanyak 25 gram sehingga menjadi netral berkisar antara 7,07-7,11.

Pengukuran pH yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa ada pengaruh proses degradasi terhadap nilai pH pada perlakuan suhu mesofilik dan termofilik. pH substrat pada hari ke-0, baik yang suhu ruang maupun suhu tinggi adalah netral. Hal ini karena semua kelompok substrat sudah dinetralkan dengan penambahan NaOH. Pada umumnya, pH mulai menurun pada hari ke-15 dan pH naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH kembali netral). Hal ini terjadi pada kelompok limbah dengan inokulum warung makan perlakuan suhu tinggi yaitu di hari ke-15 pH menurun, namun pH mulai naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH kembali netral), pH menurun disebabkan karena sedang terjadi proses asidifikasi (pembentukan asam). Setelah proses asidifikasi selesai, selanjutnya masuk pada tahap methanogenesis yaitu perubahan asam menjadi methana. Asam yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri methanogen sebagai substrat dalam pembentukan gas methan dan CO2 sehingga pH kembali netral. Tingkat keasaman diatur oleh proses itu dengan sendirinya. Karbondioksida yang dihasilkan oleh bakteri larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-)

yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali (kembali netral). Pada substrat dengan inokulum warung makan perlakuan suhu ruang, nilai pH semakin turun (asam) hingga hari ke-45, berada pada kisaran dibawah 6,5. Menurut Ratnaningsih

et al., (2009). pH yang terus menurun disebabkan proses metanogenesis tidak

berjalan sempurna, bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat sehingga asam yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil methan, akibatnya sistem akan terlalu asam. Sebaliknya terjadi pada kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi dan substrat dengan inokulum kotoran ayam, nilai pH terus naik. Hal ini terjadi karena senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri penghasil asam dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil methan dengan cepat, akibatnya menghasilkan banyak CO2 yang larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali, sistem akan menjadi basa.

3. Konsorsia Bakteri

Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri (Reith et al, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan konsorsia bakteri pada masing-masing kelompok substrat dengan menggunakan metode mikroskopis diketahui bahwa kelompok substrat yang memiliki jumlah konsorsia bakteri tertinggi adalah kelompok substrat dengan inokulum kotoran ayam sedangkan yang terendah adalah kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi. Data hasil konsorsia bakteri ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata konsorsia bakteri total setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.

No Kelompok

inokulum

Rata-rata konsorsia total (sel.103/ml/hari)

T1 T2 Rata-rata

1. LM 4,4629 6,6289 5,5459b

2. KS 3,0889 4.3851 3,7370a

3. KA 4,0038 5,2184 4.6111b

Rata-rata 3,8158 a 4,8296b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).

Tabel 7. Rata-rata konsorsia bakteri substrat limbah makanan sekitar kampus UNS dalam 4 kali waktu pengamatan.

Substrat

Konsorsia bakteri (sel.104/ml)

Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 Rata-rata

Suhu Ruang LM 80% + LM 20% (K) 5,80 8,78 12,06 13,39 10,01 LM 80% + KS 20% (A) 4,30 7,09 8,86 9,27 7,38 LM 80% + KA 20% (B) 2,20 7,87 12,32 12,01 8,60 Suhu Tinggi LM 80% + LM 20% (K) 4,54 11,26 12,98 14,66 10,86 LM 80% + KS 20% (A) 3,30 7,32 9,24 13,16 8,26 LM 80% + KA 20% (B) 5,82 5,52 8,40 15,66 8,85

Analisis sidik ragam konsorsia bakteri memperlihatkan hasil yang berbeda nyata atau signifikan antar perlakuan (tabel 6). Perlakuan variasi inokulum LM berbeda nyata dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS, tetapi tidak berbeda nyata dengan inokulum KA. Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan substrat dengan variasi inokulum memberikan pengaruh signifikan terhadap konsorsia bakteri. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap konsorsia bakteri. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap konsorsia bakteri. Konsorsia bakteri total tertinggi adalah inokulum LM

didapatkan 5,5459 (sel.103/ml/hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum KS sebesar 3,7370 (sel.103/ml/hari). Konsorsia bakteria total perlakuan suhu T2 sebesar 4,8296 (sel.103/ml/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 3,8158(sel.103/ml/hari). Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan variasi substrat memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah konsorsia bakteri, sedangkan penambahan suhu tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah konsorsia bakteri.

Jumlah konsorsia bakteri pada hari ke-0 yang tertinggi adalah kelompok kontrol dan kelompok kotoran ayam (tabel 7). Jumlah konsorsia bakteri mengalami peningkatan pada semua perlakuan dengan pertumbuhan rata-rata konsorsia bakteri tertinggi adalah dari kelompok inokulum limbah warung makan yaitu 10,86 sel.104/ml/hari untuk substrat termofilik sedangkan jumlah konsorsia bakteri terendah adalah dari kelompok inokulum kotoran sapi yaitu 7,38 sel.104/ml/hari untuk substrat mesofilik. Kemudian apabila dilihat dari pola pertumbuhannya, tampak bahwa pola pertumbuhan bakteri pada semua kelompok substrat adalah sama yaitu terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri. Pada hari ke-0 hingga hari ke-45 terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri, kecuali substrat B (suhu ruang) yang turun sedikit setelah hari ke-30 hingga hari ke-45 tetapi penurunan jumlahnya tidak terlalu signifikan. Jika dihubungkan antara grafik nilai pH dengan pertumbuhan konsorsia bakteri, substrat kontrol pada suhu ruang mulai hari ke-0 hingga hari ke-45 pH menurun yang disertai dengan jumlah konsorsia bakteri yang terus meningkat pada rentang hari tersebut. Hal ini dimungkinkan pada lingkungan asam, bakteri pembentuk asam akan cepat tumbuh

akibatnya jumlah konsorsia bakteri juga meningkat. Oleh karena itu substrat kontrol pada suhu ruang mungkin didominasi oleh bakteri asam Sedangkan pada substrat kontrol pada suhu tinggi hari ke-0 hingga hari ke 45 terjadi peningkatan konsorsia bakteri, padahal pada hari ke-30 dan hari ke-45 telah terjadi peningkatan pH (kembali netral) setelah sebelumnya pada hari ke-15 sempat terjadi penurunan pH (asam). Konsorsia bakteri, substrat A dan B mulai hari ke-0 hingga hari ke-45, pH yang naik diikuti kuantitas konsorsia bakteri yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok ini konsorsia bakteri didominasi bakteri metanogen. Pada kelompok ini pembentukan gas metan dan CO2, berjalan baik karena banyaknya CO2 yang larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali. Adanya metanogen dalam jumlah yang seimbang dengan bakteri lain (seperti bakteri asam) akan menyebabkan proses produksi biogas berjalan baik pula.

Metode yang digunakan adalah metode yang sederhana maka tidak dapat dipastikan jenis bakteri maupun bentuknya, tetapi hanya dapat diketahui jumlahnya. Salmah (2004) mejelaskan keuntungan metode ini adalah pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Oleh karena itu, jenis bakteri yang ada hanya dapat diperkirakan dengan melihat parameter pH dan uji nyala. Jika dilihat dari pH masing-masing kelompok substrat yang tergolong cukup asam, bisa dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah

golongan bakteri pembentuk asam. Jika dilihat dari uji nyala, kelompok substrat yang dapat menghasilkan nyala api artinya proses perombakan berjalan seimbang, bakteri asam dan metanogen berada dalam jumlah yang seimbang sehingga dapat bekerja secara simbiosis. Jika konsorsia bakteri lebih didominasi oleh bakteri asam maka proses perombakan menjadi tidak seimbang, akibatnya gas metana yang terbentuk hanya sedikit atau bahkan tidak ada (karena lingkungan yang terlalu asam dapat mematikan metanogen). Dengan demikian biogas yang dihasilkan jika dibakar tidak menimbulkan nyala api.

4. Produksi Biogas

Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Jumlah produksi biogas yang diperoleh berdasarkan perbedaan sumber inokulum dan juga perbedaan suhu lingkungan dalam 45 hari waktu pengamatan terlihat pada grafik berikut:

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 V o lu m e B io g a s LM KS KA Jenis Inokulum T1 T2

Gambar 2. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat setelah 6 minggu fermentasi.

Keterangan :

LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.

Kelompok substrat yang menghasilkan produksi biogas paling banyak adalah dari kelompok inokulum KA (40,81 l/45 hari atau 0,91 l/hari), sedangkan kelompok menghasilkan produksi biogas paling sedikit adalah kelompok inokulum LM/kontrol yaitu 3,59 l/ 45 hari atau 0,08 l/hari (gambar 2). Kelompok substrat dengan penambahan suhu T2 juga memperlihatkan hasil produksi biogas yang lebih tinggi dari pada kondisi suhu ruang (T1). Hal ini menjelaskan bahwa fermentasi substrat dengan inokulum KA berjalan dengan optimal. Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi bakteri), maupun abiotik seperti kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, suhu, dan starter, faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika

kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006).

Biogas merupakan gas produk akhir dari proses degradasi materi organik seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Kecepatan dan efisiensi perombakan perombakan proses degradasi substrat tergantung pada bentuk secara fisik dan secara kimia (jenis substrat maupun inokulum). Selain jenis, konsentrasi juga sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Mahajoeno, et al., (2008) menjelaskan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas, di antaranya adalah inokulum. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa Inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya dimana produksi biogasnya mencapai 121 liter.

Biogas merupakan hasil dari proses perombakan materi organik oleh mikroorganisme. Proses tersebut terdiri dari empat tahap yaitu 1) hidrolisa senyawa polimer organik menjadi senyawa lebih rendah sehingga dapat diserap oleh membran sel mikroba. Misalkan hidrolisis karbohidrat menjadi monomer-monomernya. Protein menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak rantai panjang maupun alkohol, 2) fermentasi senyawa sederhana, sebagai sumber energi populasi mikroba non-metanogenik. Fermentasi hasil hidrolisis tersusun senyawa organik sederhana terutama asam lemak volatil (VFA), gas CO2, dan H2, beberapa asam laktat dan etanol. Proses tersebut dikenal sebagai fermentasi asam atau asidogenesis. 3) Hasil reduksi fermentasi yang harus dioksidasi di bawah kondisi anaerob menjadi asam asetat, CO2 dan hidrogen, sebagai substrat bakteri metana yang dikenal dengan bakteri asetogen atau mikroba obligat pereduksi proton. Tahap terakhir pengolahan limbah cair anaerob

adalah 4) fermentasi metana, yang terdapat dua tipe reaksi yaitu tahapan CO2 dan H2

diubah menjadi metana dan air, sedang tahapan lain asetat diubah menjadi metana dan CO2 ( Werner et al., 1989). Produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 8. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata produksi biogas setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob.

No Kelompok

inokulum Rata-rata produksi biogas total (liter/ hari)

T1 T2 Rata-rata

1. LM 0,0799 0,2146 0,1472 a

2. KS 0,5999 0,8139 0,7069 b

3. KA 0,7310 0,9069 0,8190 c

Rata-rata 0,4702 a 0,6451 b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).

Tabel 9. Rata-rata produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu.

Kelompok substrat Rata-rata volume biogas (liter/hari)

M2 M4 M6 T1 T2 T1 T2 T1 T2 LM 80% + LM 20% (K) 0,064 0,150 0,080 0,137 0,095 0,357 LM 80% + LM 20% (A) 0,199 0,869 0,746 1,008 0,854 0,565 LM 80% + LM 20% (B) 0,381 1,287 0,945 0,702 0,867 0,729 Keterangan:

LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.

Jumlah produksi biogas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 8). Berdasarkan analisis sidik ragam produksi biogas memperlihatkan hasil yang berbeda nyata atau signifikan antar perlakuan. Perlakuan variasi inukulum LM berbeda nyata

dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS dan kelompok substrat KA. Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan substrat dengan variasi inokulum memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi biogas. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap produksi biogas. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap produksi biogas. Produksi biogas total tertinggi adalah inokulum KA didapatkan 0,8190 (liter/hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum LM sebesar 0,1472(liter/hari). Produksi biogas total perlakuan suhu T2 sebesar 0,6451(liter/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 0,4702(liter/hari).

Produksi biogas rata-rata terbanyak 1,287liter/hari (tabel. 9) terjadi pada perlakuan BT2, yaitu: penggunaan substrat dengan inokulum kotoran ayam pada suhu tinggi karena terjadi proses degradasi cepat dan suhu yang konstan. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh dari starter inokulum yang diberikan. Mahajoeno,

et al., (2008) menjelaskan bahwa fungsi penambahan starter adalah sebagai

sumber metanogen sehingga proses fermentasi dan pembentukan biogas berjalan lebih cepat. Kondisi tersebut merupakan kombinasi perlakuan terbaik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain yang menghasilkan volume biogas lebih sedikit.

Kelompok kontrol memiliki produksi total yang lebih sedikit dibanding kelompok A dan B (gambar 2). Menurut Ratnaningsih et al., (2009) jumlah produksi biogas yang sangat kecil menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi yang tidak maksimal. Namun demikian, banyak sedikitnya yang

dihasilkan tidak dapat menentukan nyala tidaknya biogas yang dihasilkan. Test uji nyala digunakan untuk mengetahui produksi biogas yang dihasilkan dapat terbakar atau tidak. Energi biogas menjadi mudah terbakar jika memiliki kandungan gas methan lebih dari 50%. Hammad (1996) mengatakan bahwa biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal 57%, sedikit berbeda menurut Hessami et al., (1996) biogas dapat terbakar jika kandungan metana minimal 60%. Pada umumnya apabila gas metana ini dibakar maka akan berwarna biru dan menghasilkan banyak energi panas. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya (Kapdi et al., 2004 dan Pambudi, 2008). Sumber utama nilai kalor biogas berasal dari gas metan, plus sedikit dari H2 serta CO. Sedang karbondioksida dan gas nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas tadi, Bitton (1999) menyatakan bahwa produksi biogas hasil perombakan jasad renik tidak murni metana tetapi merupakan gas campuran misalnya terbentuk pula CO2 dan H2O.

Tabel 10. Test Uji Nyala Produksi Biogasa masing-masing substrat.

Kelompok substrat Suhu T1 Suhu T2

LM 80% + Inokulum LM 20% (K) - ++ LM 80% + Inokulum KS 20% (A) ++ ++ LM 80% + Inokulum KA 20% (B) ++ ++ Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.

Biogas yang dihasilkan selama 45 hari fermentasi (tabel 10.) diketahui bahwa tidak semua kelompok substrat menghasilkan biogas dengan kualitas yang

baik (Lampiran 6). Kualitas ini dapat dinilai dari nyala atau tidaknya gas setelah dilakukan proses pembakaran dan warna api yang dihasilkan pada saat pembakaran. Kelompok perlakuan kontrol pada suhu ruang biogas yang diperoleh tidak tidak menghasilkan nyala api atau dapat dikatakan bahwa kandungan metananya kurang dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena proses degradasi yang tidak maksimal akibat keidakseimbangan antara senyawa-senyawa dan unsur-unsur berbeda serta suasana asam pada substrat. Werner et a.l, (1989) menjelaskan dampak negatif dapat terjadi oleh ketidakseimbangan, sehingga fermentasi anaerob secara total dapat berhenti atau menurun akibat adanya bahan beracun. Bahan beracun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomassa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Mikroba metanogen membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Menurut Werner et al (1989) unsur tersebut sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M, karena konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Kresnawaty et al., (2008) penurunan pH terjadi karena asam organik yang terbentuk selama asidogenesis seperti asam asetat, propionate, butirat, valerat bahkan isovalerat dan isobutirat, sedangkan pada tahap asetogenesis produk utama yang dihasilkan adalah asam lemak volatil. Nilai pH yang terus menurun mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal (kandungan metana rendah atau bahkan belum terbentuk) karena lingkungan yang asam tidak cocok untuk perkembangan metanogen.

Kelompok perlakuan kontrol suhu tinggi, perlakuan A dan B gas yang dihasilkan pada botol saat pertama kali belum menghasilkan nyala api. Hal ini dikarenakan proses perombakan anaerob memerlukan beberapa tahapan, diantaranya: hidrolisis, asidogenesis, dan methanogenesis, Pada saat awal perombakan masih didominasi oleh proses hidrolisis dan asidogenesis, sehingga gas yang dihasilkannya pun kebanyakan masih berupa gas CO2, H2, dan senyawa

Dokumen terkait