• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Babi Rachel Farm yang terletak di Kampung Baru, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kondisi di sekitar kandang penelitian diketahui melalui pencatatan temperatur dan kelembaban kandang yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan alat thermohigrometer yang ditempatkan di bagian tengah kandang.

Rataan temperatur dan kelembaban harian di kandang selama penelitian masing-masing adalah 26-36oC dan 50-78%. Rataan temperatur dan kelembaban kandang pada pagi hari masing-masing 27,6oC dan 67,3%, siang hari 34,9oC dan 53,6%, sore hari 31,3oC dan 69,0% dan malam hari 28,5oC dan 77,5%. Pengukuran dilakukan pagi hari pukul 08.00 WIB, siang hari pukul 13.00 WIB, sore hari pukul 18.00 WIB dan malam hari pukul 22.00 WIB.

Temperatur di sekitar lingkungan perkandangan cukup panas, terutama pada siang hari yang bisa mencapai 36oC. Menurut Gardner et al. (1990) temperatur yang ideal bagi induk babi berkisar antara 16-20oC, sedangkan anak babi yang baru lahir adalah 30-34oC. John dan Sainsbury (1995), menambahkan bahwa suhu kritis yang masih dapat diterima oleh ternak babi adalah 30oC, dengan suhu idealnya adalah 25-30oC. Suhu pada siang hari di peternakan ini sangat ideal bagi anak babi yang masih kecil tetapi tidak untuk induknya. Panas yang berlebihan di sekitar kandang dapat menyebabkan gangguan produksi bagi ternak babi. Hal ini disebabkan panas akan menaikkan temperatur rektal dan laju respirasi, menaikkan nafsu minum tetapi menurunkan nafsu makan sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan. Menurut Siagian (1999), ternak babi berbeda dengan ternak lainnya yaitu memiliki jumlah kelenjar keringat dalam jumlah yang sedikit sehingga pada kondisi lingkungan panas akan sangat sulit beradaptasi. Pemilik peternakan ini dalam mengatasi cekaman panas pada ternaknya dilakukan dengan memandikannya pada siang hari.

Peternakan Babi Rachel Farm berdiri diatas lahan seluas 2.260 m2 dengan ukuran 90,4 x 25 m2. Peternakan ini mempunyai tiga jenis bangunan, yaitu rumah tinggal, gudang dan perkandangan. Rumah tinggal berukuran 8 x 6 m2 ditempati oleh

pemilik peternakan dan keluarga. Gudang dengan ukuran 6 x 4 m2 difungsikan sebagai tempat penyimpanan pakan dan peralatan. Bangunan perkandangan sebanyak dua buah masing-masing berukuran 15 x 7 m2 difungsikan sebagai tempat untuk memelihara ternak. Jumlah keseluruhan petak kandang yang terdapat di peternakan ini adalah 61 buah dengan berbagai ukuran. Ukuran dan jumlah kandang di Peternakan Babi Rachel Farm disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Ukuran dan Jumlah Kandang di Peternakan Babi Rachel Farm

Jenis Kandang Ukuran Jumlah (buah)

1. Segi empat : • Tipe Umum • Tipe A • Tipe B 2. Kerangkeng 2,0 x 1,8 x 1,0 m3 3,0 x 3,0 x 1,0 m3 8,0 x 3,0 x 1,0 m3 1,2 x 0,6 x 0,8 m3 8 13 3 37

Kandang segi empat tipe umum biasanya diperuntukkan bagi pejantan dan induk babi menyusui, sedangkan kandang segi empat tipe A dan B diperuntukkan bagi babi sapihan dan pembesaran. Kandang kerangkeng merupakan kandang individu yang terbuat dari besi dan diperuntukkan bagi induk babi bunting, kering dan calon induk. Selain itu, terdapat empat buah septiktank yang berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah peternakan yang terletak di bagian belakang kandang. Dua buah septiktank berukuran 2,5 x 1,5 x 1 m3, satu buah septiktank berukuran 8 x 3 x 4 m3 dan satu buah septiktank berukuran 8 x 4 x 6 m3. Di sekitar kandang, peternak menanam berbagai jenis tanaman seperti ubi, pepaya, jati, cabai, bangun-bangun dan pisang.

Sistem pemeliharaan di peternakan ini dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur yang ada. Setiap hari ternak babi dimandikan satu kali dengan menggunakan steam air dan selang. Penggunaan steam air ini sangat membantu karena dorongan air yang keluar dari selang cukup deras dan kuat sehingga noda dan kotoran yang menempel erat pada kulit ternak, dinding dan lantai kandang dapat dibersihkan dengan baik. Penggunaan air sangat tercukupi, hal ini dikarenakan volume air yang cukup banyak tersedia di peternakan ini. Air yang dimanfaatkan berasal dari air tanah yang diperoleh dari dalam sumur bor yang mencapai kedalaman 15 m. Selain digunakan untuk keperluan peternakan, air juga

dimanfaatkan oleh peternak untuk keperluan sehari-hari. Air dari dalam sumur, dipompa menggunakan pompa air untuk ditampung didalam tower dengan kapasitas 11.000 liter. Air minum diberikan ad libitum untuk setiap kelas ternak dan pemberian air minum dilakukan secara otomatis (water nipple) dan manual (bak).

Proses pengawinan ternak babi dilakukan pada sore dan atau pagi hari. Pengawinan dilakukan secara alami dimana induk babi yang birahi dimasukkan ke dalam kandang jantan dan setelah proses pengawinan selesai, induk dikembalikan ke kandangnya. Induk biasanya dikawinkan sebanyak dua kali dalam setiap masa birahi dengan menggunakan pejantan yang berbeda. Induk babi biasanya akan dikawinkan 1-2 minggu setelah anaknya disapih.

Peternak mengetahui induk babi yang telah dikawinkan sudah bunting apabila induk tersebut tidak mau dikawinkan. Setelah induk diketahui pasti bunting maka akan ditempatkan pada kandang bunting. Induk bunting yang akan beranak dipindahkan dengan hati-hati kedalam kandang beranak. Induk bunting yang dipindahkan biasanya adalah induk bunting yang sesuai pencatatan sudah berumur 107 hari. Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seekor induk babi akan beranak adalah perut besar atau ambing terentang penuh, gelisah dan kotoran induk terlihat berbentuk bulat kecil seperti kelereng. Setelah induk beranak, anak dibiarkan tinggal bersama induk untuk menyusu, kemudian pada umur 30 hari anak disapih.

Anak babi setelah berumur tiga minggu akan diperkenalkan dengan pakan anak babi berupa pur yang diberikan pada anak babi menyusu seperindukan sebanyak 500 gr/10 ekor. Pemberian pur dilakukan sekali sehari. Pur yang diberikan adalah pur 551 yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia. Pemberian pur mulai dilakukan pada anak babi berumur 21 hari sampai anak babi berumur 45 hari. Induk babi yang telah menyapih akan dipindahkan ke kandang kerangkeng, sedangkan anak babi akan dipindahkan ke kandang sapihan.

Pemberian pakan di peternakan ini dilakukan pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Pakan yang diberikan adalah dalam bentuk pakan kering yang terdiri dari campuran konsentrat, dedak halus dan jagung giling. Komposisi campuran berbeda-beda untuk setiap jenis ternak. Pencampuran pakan dilakukan secara manual menggunakan sekop dan dicampur diatas lantai gudang pakan, dimana pencampuran biasanya dilakukan pada sore hari. Komposisi pakan

untuk setiap kelas ternak babi yang diberikan di Peternakan Babi Rachel Farm diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Pakan di Peternakan Babi Rachel Farm Kelas Ternak

Bahan Pakan

Starter (%) Grower (%) Jantan, Induk Kering, Induk Bunting dan Induk Menyusui (%)

Jagung Giling 60 35 25

Dedak Halus 10 65 75

Pur 551 30 - -

Pekerja di peternakan ini ada dua orang, dimana tiap orang bekerjasama untuk menyelesaikan pekerjaan di dalam peternakan. Kedua pekerja adalah sanak saudara dari peternak sendiri. Peternak, sekalipun sebagai pemilik yang biasanya mengawasi, namun turut membantu menyelesaikan pekerjaan di kandang. Jam kerja di peternakan ini berlangsung dari pukul 08.00 sampai 17.00, dimana pada pukul 12.00 sampai 13.00 adalah waktu istirahat dan jam makan siang bagi pekerja. Populasi ternak babi yang dipelihara pada saat penelitian ini berlangsung adalah 276 ekor. Rincian data populasi ternak di Peternakan Babi Rachel Farm dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Babi Rachel Farm

Kelas Jumlah (ekor)

Pejantan produktif Induk menunggu birahi Induk menyusui Induk bunting Calon induk Sapihan (< 25 kg) Grower (25-50 kg) Finisher (> 50 kg) Anak menyusu 3 6 6 22 4 47 33 43 53 Total 276

Recording atau pencatatan dilakukan oleh peternak sendiri dan dicatat didalam komputer milik peternak. Informasi yang tercantum didalam recording adalah mengenai pengawinan induk, pemindahan babi, penyapihan anak, umur ternak, pembelian dan penjualan ternak, pemberian vaksin, komposisi pakan dan penyapihan anak. Hal-hal lain yang dicantumkan pada recording adalah nama induk dan pejantan, umur kebuntingan, tanggal pengawinan, jumlah anak, tanggal beranak, laktasi ke-, tanggal disapih, tanggal kastrasi, tanggal vaksin dan data kematian anak. Pemberian vaksin dan obat-obatan biasanya dilakukan oleh peternak sendiri dengan bantuan pekerja atau dengan perintah peternak dan dilakukan oleh pekerja. Pemberian obat dan vaksin dilakukan pada sore hari setelah ternak selesai diberi makan. Hal ini dilakukan agar ternak yang diberi obat dan vaksin terhindar dari cekaman panas, lapar dan kebisingan. Jenis vaksin dan obat yang diberikan antara lain vaksin hog cholera, calsidex, hemadex, intermectin, hormonivra dan neoxil.

Ternak Penelitian

Penelitian ini menggunakan 16 ekor induk babi yang baru selesai beranak. Bangsa babi yang dipelihara adalah hasil persilangan antara Landrace, Yorkshire, Hampshire, Spotted Poland China dan Duroc yang proporsi bangsanya tidak diketahui dengan jelas. Di daerah penelitian berlangsung, bangsa babi ini dikenal dengan babi ras. Induk babi yang digunakan pada penelitian ini memiliki laktasi yang berbeda-beda, mulai dari laktasi kedua sampai laktasi keempat. Dari keseluruhan induk babi yang diteliti terdapat dua ekor induk babi yang mengalami masalah selama proses penelitian berlangsung. Salah satu induk babi patah kaki semasa bunting sehingga setelah beranak semua anak yang dilahirkan mengalami kematian akibat ditindih oleh induknya yang tidak dapat bangkit setelah menindih anaknya. Induk yang lain dengan jumlah anak dua ekor mengalami birahi dini saat anaknya masih berumur satu minggu sehingga mengakibatkan air susu tidak keluar lagi. Masalah yang terjadi adalah diluar kendali dan keinginan baik peneliti maupun peternak sehingga menyebabkan data menjadi tidak lengkap. Data yang ada tetap diolah secara statisitik dengan menggunakan metode yang telah ditentukan dan data yang tidak lengkap dianggap sebagai data hilang.

Jumlah pejantan yang digunakan dalam peternakan ini ada tiga ekor, dimana salah satu pejantan berumur ± 3 tahun tidak dapat dikawinkan karena sedang

mengalami penyakit balanopostitis yang ditandai dengan peradangan menyeluruh pada penis dan kulitnya akibat infeksi bakteri dan jamur yang menyebabkan alat kelamin jantan bengkak dan berwarna kemerahan. Pejantan yang digunakan selama penelitian adalah dua ekor berumur masing-masing empat dan dua tahun. Jumlah pejantan yang sedikit, memaksa peternak melakukan dua kali pengawinan pada hari yang sama dan dengan betina yang berbeda. Waktu pengawinan ternak babi di peternakan ini biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari.

Penanganan anak babi yang baru lahir dilakukan dengan baik, antara lain membersikan tubuh anak babi dari selaput lendir dengan menggunakan kain kering, pemotongan gigi dan tali pusar serta penimbangan bobot anak babi. Proses pemotongan ekor dilakukan pada saat anak babi berumur satu minggu dan ketika anak babi berumur dua minggu diberikan vaksin hog cholera dan penyuntikan kalsium (Calsidex) untuk mencegah kekurangan kalsium dan zat besi (Hemadex) untuk mencegah kekurangan zat besi. Anak babi akan disapih pada umur 30 hari dan dikastrasi dua hari kemudian. Kematian anak babi pada umumnya dikarenakan tertindih oleh induknya sendiri selama masa laktasi dan sebagian mati dikarenakan kedinginan dan terserang penyakit scour (kotoran putih). Pemberian sekam kayu pada lantai kandang induk babi yang anaknya masih berumur kurang dari satu minggu dilakukan peternak untuk menjaga kandang tetap kering sehingga anak babi tidak kedinginan dan tetap hangat.

Ransum Penelitian

Ransum yang diberikan pada ternak babi selama penelitian adalah ransum kering dan campuran dari dedak, jagung giling dan tepung daun bangun-bangun dengan berbagai taraf. Selama penelitian berlangsung peternak beberapa kali menggunakan pakan basah berupa ampas tahu kepada semua kelas ternaknya. Penggunaan ampas ini terpaksa dilakukan peternak karena kondisi pasar peternakan babi tidak menentu akibat isu flu babi dimana harga pakan sangat tinggi, sedangkan harga dan permintaan akan ternak sangat rendah. Meskipun terjadi perubahan pakan selama penelitian, pemberian tepung daun bangun-bangun tetap dilakukan sesuai dengan taraf pemberiannya dalam ransum induk babi. Susunan ransum yang diberikan selama penelitian berlangsung disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Susunan Ransum Penelitian Perlakuan (%) Bahan Makanan R0 R1 R2 R3 Jagung Giling Dedak Halus

Tepung daun bangun-bangun (TDB) Jumlah 25,00 75,00 - 100,00 24,37 74,38 1,25 100,00 23,75 73,75 2,50 100,00 23,12 73,13 3,75 100,00 Hasil analisis proksimat tiap ransum perlakuan (Tabel 8) yang digunakan selama penelitian, disajikan pada Tabel 9. Analisis proksimat ini diperoleh dengan menganalisa setiap sampel ransum perlakuan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Berdasarkan hasil analisa proksimat ini (Tabel 9) diketahui, bahwa semakin tinggi taraf pemberian TDB dalam ransum akan meningkatkan kandungan serat kasar (SK), kalsium (Ca) dan fospor (P) serta menurunkan kandungan protein kasar (PK). Kandungan SK, Ca, dan P yang terdapat didalam TDB menyebabkan terjadinya kenaikan mineral ini didalam ransum perlakuan, penurunan PK disebabkan oleh rendahnya kandungan PK didalam TDB. Kandungan energi metabolik (ME) ransum perlakuan mengalami penurunan sampai pada taraf perlakuan R2, akan tetapi peningkatan energi terjadi pada perlakuan R3. Hal ini mungkin disebabkan adanya human error atau terjadi pencampuran TDB yang kurang merata sehingga bagian yang teranalisis adalah sebagian bahan yang mengandung energi tinggi.

Tabel 9. Analisis Proksimat Ransum Perlakuan Selama Penelitian Zat Makanan (%) Perlakuan PK SK LK Ca P Fe (mg) ME (kkal/kg) R0 R1 R2 R3 12,79 12,30 12,01 11,75 10,75 12,25 12,89 13,76 9,68 9,30 7,64 6,56 0,08 0,09 0,14 0,27 0,89 1,16 1,42 1,12 11,50 12,91 14,32 15,73 4125 3798 3463 4238 Keterangan : R0 = 100% ransum biasa + 0% TDB; R1 = 98,75% R0 + 1,25% TDB; R2 = 97,5% R0

+ 2,50% TDB; R3 = 96,25% R0 + 3,75 % TDB; PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar, LK = Lemak Kasar, Ca = Kalsium, P = Fospor, Fe = Besi, EM = Energi Metabolik.

Sumber : Hasil Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2009).

Ransum yang diberikan kepada induk babi sebaiknya mampu memenuhi kebutuhan hidup dari induk babi tersebut. Ransum yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup ternak, akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi ternak dan ternak menjadi mudah terserang penyakit. Oleh karena itu kualitas ransum akan sangat mempengaruhi kualitas dan produksi ternak. Tabel 10 menyajikan kebutuhan zat makanan untuk induk babi menyusui. Kebutuhan zat makanan untuk induk babi menyusui ini merupakan Standard Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan pada tahun 1995.

Tabel 10. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Menyusui

Zat Makanan Jumlah

Protein kasar (PK) Lemak kasar (LK) Serat kasar (SK) Kalsium (Ca) Fospor (P) Besi (Fe)

Metabolisme energi (ME)

14,0 % 3,0 % 7,0 % 0,75 - 1 % 0,7 % 80 mg 3200 kal/kg Sumber : SNI (1995)

Berdasarkan kebutuhan induk babi yang disajikan Tabel 10, maka semua ransum perlakuan (Tabel 9) telah memenuhi semua kebutuhan energi, lemak dan serat bagi induk babi menyusui akan tetapi tidak memenuhi kebutuhan protein kasar dan mineralnya. Kekurangan kandungan protein kasar dalam ransum mencapai 1,29 sampai 2,25% dari kebutuhan induk babi menyusui. Kekurangan ini seharusnya dapat dipenuhi apabila peternak menambahkan sedikit pakan sumber protein berupa bungkil kacang kedelai, ampas tahu atau tepung daging ke dalam ransumnya. Peternak biasanya memenuhi kekurangan protein dan mineral dalam ransumnya dengan menambahkan konsentrat 805 M yang diproduksi oleh PT. Gold Coin untuk induk babi. Penambahan konsentrat ini tidak dilakukan peternak diakibatkan oleh tingginya harga konsentrat yang diikuti oleh kondisi ekonomi peternak dan peternakan babi yang kurang stabil.

Peternak beberapa kali memberikan pakan basah berupa ampas tahu ke semua jenis ternaknya. Pemberian ini dapat dimaklumi karena pengaruh isu flu babi (H1N1) yang menyebabkan permintaan pasar menurun dan diikuti harga ternak yang menurun sementara harga pakan semakin meningkat. Perubahan pakan ini dilakukan peternak untuk menghindari kerugian yang lebih besar didalam peternakannya. Perubahan ini sebenarnya berada di luar keinginan peneliti dan peternak. Pengaruh perubahan pakan ini terhadap penelitian dapat ditolerir dikarenakan semua sampel percobaan mendapat perlakuan (perubahan ransum) yang sama dan TDB tetap diberikan sesuai taraf perlakuan serta pakan basah hanya diberikan selama lebih kurang tujuh kali. Berikut (Tabel 11) adalah komposisi kandungan zat makanan didalam pakan basah yang diberikan sesuai dengan taraf perlakuannya.

Tabel 11. Kandungan Zat Makanan dari Pakan Basah Perlakuan Zat Makanan (%) Perlakuan PK SK LK Ca P ME (kal/gr) R0 R1 R2 R3 3,70 3,62 3,63 3,92 2,58 3,05 2,95 2,84 0,53 0,91 0,89 1,83 0,05 0,07 0,11 0,18 0,04 0,09 0,09 0,09 540 605 625 612

Keterangan : PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar, LK = Lemak Kasar, Ca = Kalsium, P = Fospor, EM = Energi Metabolik.

R0 = Ampas Tahu (kontrol) atau tanpa penambahan TDB R1 = Ampas Tahu ditambah 1,25% TDB

R2 = Ampas Tahu ditambah 2,50% TDB R3 = Ampas Tahu ditambah 3,75% TDB

Sumber : Hasil Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2009).

Penampilan Induk Babi Menyusui

Induk babi menyusui memiliki peranan yang penting dalam peternakan babi untuk menghasilkan ternak babi yang berkualitas. Kualitas induk babi menyusui dapat dilihat dari penampilannya. Indikator penampilan induk babi menyusui dapat dilihat dari jumlah konsumsi ransum, produksi air susu induk (PASI), litter size lahir, litter size sapih dan mortalitas anak. Peningkatan penampilan induk babi pada umumnya akan meningkatkan penampilan anak babi. Penampilan induk babi menyusui selama penelitian disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Penampilan Induk Babi Menyusui Selama Penelitian Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 Rataan Konsumsi Ransum (kg/e/h)

PASI per menyusui (g/ekor)

Litter Size Lahir (ekor) Litter Size Sapih (ekor) Mortalitas anak (%) 3,97±0,01 172,2±48,8 9,67±6,02 5,67±2,88 33,13±29,3 4,39±0,68 216,7±54,5 10,33±4,16 9,66±5,03 9,53±16,5 4,15±0,34 229,2±55,1 10,25±3,86 8,00±1,82 23,13±16,3 3,98±0,01 204,2±64,4 10,50±3,87 8,50±2,88 11,17±14,2 4,10±0,35 207,1±56,1 10,21±3,90 8,00±3,13 19,09±19,2 Keterangan : R0 = 100% ransum biasa + 0% TDB; R1 = 98,75% R0 + 1,25% TDB;

R2 = 97,5% R0 + 2,50% TDB; R3 = 96,25% R0 + 3,75 % TDB;

Rataan konsumsi ransum harian induk laktasi selama penelitian (Tabel 12) adalah 4,10±0,35 kg/ekor/hari dengan koefisien keragaman 8,66%. Jumlah konsumsi ini didukung pernyataan Sihombing (2006) yang menyatakan, bahwa konsumsi ransum induk babi bunting dan laktasi masing-masing adalah 2,0 -2,5 dan 3,0 - 4,5 kg per ekor per hari. Ransum yang dikonsumsi oleh induk babi menyusui digunakan untuk menghasilkan air susu dan sebagian lagi untuk energi induk.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian taraf TDB yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum induk babi menyusui. Keadaan ini dikarenakan TDB yang diberikan ke dalam ransum tidak menunjukkan adanya perbedaan warna dan bau yang signifikan dengan ransum tanpa pemberian TDB (kontrol). Alasan lainnya adalah TDB tidak memiliki kandungan yang mampu meningkatkan palatabilitas dan konsumsi ransum. Pemberian TDB pada mencit menurut hasil penelitian Wardini (2007) bahkan menunjukkan hasil yang signifikan menurunkan konsumsi ransum. Kandungan serat kasar yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab konsumsi ransum tidak meningkat. Pemberian TDB tidak meningkatkan konsumsi ransum tetapi menurut Damanik et al. (2006) dapat meningkatkan volume ASI, dan kandungan beberapa mineral dalam air susu. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperlihatkan pada Tabel 12, terdapat perbedaan konsumsi ransum pada tiap perlakuan walaupun secara statistik pengaruh pemberian TDB tidak berpengaruh nyata. Konsumsi paling tinggi diperlihatkan oleh perlakuan R1 (4,39 kg/ekor/hari) dan diikuti oleh R2 (4,15 kg/ekor/hari) dan R3 (3,98 kg/ekor/hari) serta perlakuan R0 (3,97 kg/ekor/hari) yang memiliki konsumsi

paling rendah. Perbedaan konsumsi ransum ini dapat disebabkan oleh perbedaan litter size baik lahir maupun sapih. Jumlah anak yang cukup banyak memaksa induk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan produksi susu untuk anaknya. Tillman et al. (1998) menyatakan, bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) berat badan; (2) tingkat produksi, dimana konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak dan produksi ternak; (3) temperatur, pada temperatur tinggi ternak akan mengurangi konsumsi ransum dan (4) tingginya kandungan serat kasar dalam ransum akan mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan.

Produksi air susu induk (PASI) babi selama penelitian diukur dengan menghitung selisih bobot badan anak setelah menyusu dengan bobot badan anak sebelum menyusu. Pengukuran PASI ini dilakukan pada hari 5, 10, 15, ke-20, ke-25 dan ke-30 setelah beranak. Tabel 12 menunjukkan bahwa rataan PASI selama penelitian adalah 207,1±56,1 g/menyusui. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB tidak berpengaruh nyata terhadap PASI babi selama penelitian, akan tetapi terjadi peningkatan PASI dari perlakuan R0 (172,2 g/menyusui) sampai R2 (229,17 g/menyusui) kemudian terjadi penurunan pada perlakuan R3 (204,2 g/menyusui). Hasil PASI babi ini yang tidak berbeda nyata diduga disebabkan oleh keadaan induk babi yang tidak seragam, seperti perbedaan bangsa, bobot badan, litter size dan perbedaan kemampuan induk itu sendiri dalam menghasilkan air susu akibat periode laktasi yang berbeda pula. Menurut Parakkasi (1990), produksi susu dipengaruhi oleh oleh genotip, parity, pakan, kondisi tubuh dan litter size dimana semakin banyak anak menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk.

Rataan litter size lahir hidup anak babi selama penelitian (Tabel 12) adalah 10,21±3,90 ekor. Jumlah ini masih tergolong normal karena menurut Sihombing (2006), seekor induk babi dapat menghasilkan anak sebanyak 8 - 12 ekor setelah periode kebuntingan selama 112 - 120 hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum induk tidak berpengaruh nyata terhadap litter size anak lahir hidup dari induk babi penelitian. Litter size lahir anak dari tiap induk babi selama penelitian berbeda-beda. Beberapa induk bahkan mampu menghasilkan litter size lahir hidup anak babi sebanyak 16 ekor. Hal ini

dikarenakan induk babi memiliki kualitas sel telur yang baik (fertil) dan mampu menjaga calon anak (fetus) dengan baik selama periode bunting. Manika et al. (1991) menyatakan, bahwa sebanyak 14 - 25 ovum (sel telur) akan dilontarkan saat terjadi ovulasi pada ternak babi betina dan 75% ovum yang telontar saat terjadi ovulasi adalah fertil. Hal ini menyebabkan ternak babi mampu menghasilkan jumlah anak yang banyak per kelahirannya.

Selama penelitian ada seekor induk babi yang hanya melahirkan dua ekor anak. Hal ini bisa disebabkan kemampuan reproduksi induk yang kurang baik. Menurut Dunne (1971), salah satu fenomena yang menarik dan membingungkan dalam fisiologi reproduksi adalah fakta, bahwa pada beberapa induk babi sekitar 30% sel telur yang fertil hilang dan terdenaturasi oleh tubuh, dan sedikitnya 40% embrio dapat mengalami kematian sebelum setengah waktu dari proses kelahiran. Dalam 18 hari pertama, keselamatan embrio berkurang 17% sampai hari ke-25, kira-kira 33% embrio akan mati dan ini dapat meningkat mencapai 40% pada hari ke-50.

Dokumen terkait