• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geografis dan Administrasi

Wilayah Kecamatan Muncar termasuk kedalam 11 kecamatan pesisir lainnya yang berada di Kabupaten Banyuwangi, serta memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km serta jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 16 buah (tujuh diantaranya belum bernama), dengan luas perairan sebesar 175,8 km x 4 mil laut

(175,8 km x 6,4 km = 485,12 km2). Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang strategis karena posisinya berada pada sisi penghubung antara wilayah di Pulau Jawa dan Pulau Bali, wilayah perairannya di bagian utara merupakan bagian dari Perairan Laut Jawa sementara di bagian timur merupakan bagian dari Selat Bali dan di bagian selatan merupakan bagian dari Samudera Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam. Seluruh wilayah tersebut telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi penduduk Kabupaten Banyuwangi.

Kecamatan Muncar telah dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat tinggi, atau sebagai pelabuhan kedua terbesar di Indonesia setelah Pelabuhan Bagan Siapi-api Sumatera Utara. Oleh karena itu kawasan ini dijadikan sebagai Kawasan Minapolitan yang berarti bahwa kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengolahan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan dalam sistem permukiman dan sistem agribisnis, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelutan dan Perikanan No.32/MEN/2010.

Bentuk Pengelolaan Wilayah Muncar Berdasarkan Rencana Tata Ruang

Melalui Perda No.08 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2012-2032, Kecamatan Muncar ditetapkan sebagai pengembangan zona inti kawasan strategis minapolitan, yang ditunjang oleh zona sentra produksi di Kecamatan Purwoharjo, Kecamatan Pesangrahan serta zona penyangga meliputi Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Srono dan Kecamatan Tegaldlimo. Dalam kaitannya dengan sempadan pantai Perda No.2 Tahun 2012 Tentang RZWP3K; Perda No.8 Tahun 2012 Tentang RTRW Kab.Banyuwangi, menetapkan sempadan pantai pada daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Berdasarkan Rencana Zonasi Rinci Kawasan Minapolitan Muncar, wilayah pengembangan Kawasan Minapolitan Muncar terbagi dalam tiga wilayah pengembangan (WP) (lihat Lampiran 4), sedangkan untuk wilayah studi termasuk dalam Wilayah Pengembangan II dengan pusat pengembangan di Desa Kedungwringin dan sekitar perairan Teluk Pang Pang, Desa Wringinputih, Kumendung dan Sumbersewu. WP-II ini difokuskan pada pengembangan kegiatan perikanan budidaya baik budidaya laut maupun darat (tambak) dan kegiatan perlindungan mangrove, estuari dan pantai.

Kondisi Kualitas Perairan dan Kondisi Hidro - Oseanografi

Kondisi fisik perairan dan kualitas perairan merupakan bagian komponen penting pembentuk habitat suatu mahluk hidup. Oleh sebab itu, dinamika yang terjadi didalamnya memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan organisme yang ada.

Bahasan pertama yaitu terkait kualitas perairan sekitar kawasan industri Muncar. Menurut Setiyono dan Yudo (2008) dalam penelitiannya yang dilakukan

di Kawasan Muncar menjelaskan sumber limbah yang dihasilkan di kawasan industri pengolahan ikan dikelompokan atas dua jenis, yaitu air limbah domestik, yaitu air limbah yang berasal dari kamar mandi, toilet, kantin, tempat pelelangan ikan dan pasar.Air limbah produksi, berasal dari aktivitas produksi seperti pencucian komponen peralatan dan lantai ruang produksi.

Sumber : BLHD 2009

Gambar 6. IPAL dalam perusahaan yang tidak difungsikan

Buruknya penanganan limbah, menyebabkan banyaknya kandungan minyak dan kotoran (serpihan, sisik & tulang ikan) dalam air limbahnya. Kondisi tersebut secara tidak langsung perusahaan memberikan warga sekitar mendapatkan alternative mata pencaharian yaitu untuk mengambil minyak dan adatan/lemak dalam air imbah untuk dimanfaatkan kembali. Aktivitas warga ini dilakukan di sepanjang kali yang dijadikan pembuangan limbah membuat kondisi lingkungan yang semakin buruk.

Gambar 7. Kondisi aktivitas masyarakat yang mengambil minyak ikan buangan

Sedangkan untuk kondisi kualitas perairan disekitar kawasan tambak atau sebelah selatan Muncar, informasi ini dimaksudkan untuk melihat kondisi kualitas perairan terkini berdasarkan teknologi tambak yang dikembangkan di Kawasan Teluk Pangpang. Hal ini tentunya penting sebagai gambaran kondisi kekinian perbandingan kualitas perairan tambak berdasarkan tingkat teknologi yang diterapkan dengan pengaruh keberadaan kawasan industri dan pelabuhan perikanan Muncar.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rasidi et al. (2013) kualitas air rata-rata diperoleh kadar amoniak, nitrit, nitrat dan total N pada tambak intensif lebih tinggi dibandingkan dengan tambak ekstensif. Tingginya kadar nitrogen pada tambak intensif dapat dikaitkan pada budidaya udang secara intensif sangat tergantung pada pemberian pakan komersial. Pakan mendominasi input N terbesar selanjutnya disusul air masuk (inflow), pupuk, media probiotik dan benur (Rachmansyah et al. 2006 in Rasidi et al. 2013). Hal tersebut disebabkan sumber

N pada kedua jenis tambak dapat berasal dari pemupukan, udang-udang dan phytoplankton yang mati di dasar perairan.

Tabel 6. Kisaran nilai parameter kualitas air di pertambakan berdasarkan jenis teknologi budidaya yang digunakan di Kabupaten Banyuwangi Provinsi JawaTimur

Parameter Satuan

Tambak Ekstensif Tambak Intensif Tambak Silvofishery

Nilai Sesuai * Kisaran Rata- rata Kisaran Rata- rata Kisaran Rata- rata Fisik Suhu C 31,8-33,5 32,5 29,9-32,4 30,857 30,4-31,2 30,8 21-32 Konduktivitas ms/cm 757,4-757,7 757,57 756,9-760,2 758,000 758,7-759 758,85 DO mg/L 3,36-5,22 4,05 3,74-6,36 5,364 3,77-5,77 4,77 2,0-10 TDS g/L 35100-38805 36.378,33 5115,5-36140 18.245,286 35685-37830 36757,5 Salinitas ppt 35,43-39,75 36,92 4,31-36,7 17,594 36,18-38,62 37,4 5,0-35 pH 8,04-8,37 8,24 7,9-8,58 8,301 7,96-8,2 8,08 7-8,5 ORP 24,3-45,7 35 75,1-205,6 111,814 108,6-122,5 115,55 Kimia Orto Fosfat mg/L 0,061-2,84 14,505 0,031-1,116 0,549 0,015 Amonia (NH3-N) mg/L 0,117-0,138 0,1275 0,059-0,808 0,340 0,3 Nitrat (NO3-N) mg/L 0,062-0,081 0,0715 0,043-0,391 0,131 0,008 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,006-0,015 0,0105 0,01-0,045 0,021 <0,05 Sulfida (H2S) mg/L <0,001 <0,001 0,001 Total Nitragen mg/L 0,332-0,373 0,3525 0,279-0,989 0,548 TSS mg/L 10-16 13 8-185 52,143 20-80 Sumber : Rasidi et al., (2013)

Tabel menggambarkan bahwa suhu rata-rata perairan di tambak ekstensif sebesar 32,500 C dan di tambak intensif sebesar 30,860C. Suhu perairan tambak relatif sama dengan hasil penelitian Asbar (2007) yang melakukan pengukuran di tambak berkisar 30,00+0,750C yang dilakukan di Sinjai. Karena suhu yang masih layak untuk kegiatan budidaya yaitu berkisar 21–320C (Poernomo 1992) suhu perairan tambak di kedua jenis tambak masih layak untuk kehidupan udang yang dibudidayakan. Sehingga dari data hasil pengukuran Rasidi et al. (2013) menunjukkan bahwa secara umum kondisi kualitas air hasil buangan produksi tambak udang baik itu teknologi tambak intensif, tambak ekstensif maupun tambak silvofishery di Kawasan Muncar dan sekitarnya masih layak untuk budidaya udang serta belum membahayakan keberadaan biota diwilayah sekitar.

Bahasan kedua yaitu terkait kondisi oseanografi Teluk Pangpang. Kondisi pasang surut merupakan dinamika perairan yang sangat berpengaruh terhadap proses oseanografi di perairan, atau disebut juga sebagai gelombang perairan dangkal yang dihasilkan oleh gaya gravitasi Bulan dan Matahari terhadap lautan, adapun yang mempengaruhi kondisi pasang surut di perairan dipengaruhi oleh morfologi pantai, letak geografis, maupun batrimetri perairan (Supangat dan Susanna 2003). Adapun karakteristik data elevasi muka air laut didapatkan dari stasiun Meneng. Stasiun Meneng merupakan salah satu stasiun yang dimiliki oleh Deshidros, pada posisi lintang 08011’00’’ S; bujur 1140 54’ 00’’ T. Data yang digunakan yaitu data elevasi muka air rata-rata perjam selama satu tahun pada tahun 2013. Adapun tipe pasut di stasiun Meneng yaitu campuran condong ke Harian Ganda (Mixed Semi Diurnal Tide). Berikut dibawah ini Grafik elevasi muka air yang dihasilkan.

Gambar 8. Rata-rata elevasi muka air laut tahun 2013

Nilai elevasi-elevasi penting dikaitkan pada MSL(cm)

Mean High Water Spring (MHWS) : 133,8 Mean High Water Level (MHWL) : 75,8

Mean Sea Level (MSL ) : 0

Mean Low Water Level (MLWL) : 25,8 Mean Low Water Spring (MLWS) : -32,2

Pengetahuan mengenai pasang surut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat yang menggantungkan sebagian besar pencahariannya di laut, seperti kegiatan perikanan yang ada di Teluk Pangpang antaralain pengambangan tambak dan pemilihan teknologi tambak yang akan diterapkan, lokasi pencarian kerang-kerangan, penentuan lokasi keramba jaring apung.

Kondisi Ekosistem Mangrove

Kawasan Teluk Pangpang sebagai sebuah sistem ekologi yang memiliki peran dan fungsi saling mendukung, secara fisik sebagai perairan semi tertutup serta merupakan habitat mangrove. Secara keadaan alami, mangrove yang tumbuh membentuk ekosistem hutan mangrove. Tumbuhan mangrove berfungsi sebagai pelindung dari gelombang laut, tempat pemijahan, tempat pembesaran terutama bagi sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Namun secara sistem pengelolaan Kawasan Teluk Pangpang terbagi menjadi dua, bagian barat teluk berada di Desa Wringinputih Kecamatan Muncar yang dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan bagian selatan dan timur teluk berada di Desa Kendungasri dan Desa Kendalrejo Kecamatan Tegaldlimo termasuk dalam pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo. Berikut dibawah ini potensi (indeks nilai penting) jenis mangrove di Teluk Pangpang.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 E le v as i M uk a A ir ( M e te r)

Jam (dalam 1 Tahun)

Tabel 7. Potensi (indeks nilai penting) jenis mangrove di Teluk Pangpang

Nama Jenis Indeks Nilai Penting (INP) %

Tegakan pohon Tegakan tiang Tegakan pancang

Brugeuiera gymnorrhiza Bg - - 14 Ceriops tagal Ct - 12 49 Excoecaria agallocha Ea - 4 - Rizhophora apiculata Ra 25 19 20 Rizhophora muncronata Rm 25 81 141 Rizhophora stylosa Rs - 14 14 Sonneratia alba Sa 248 167 59

Sumber : Sudarmadji dan Indarto (2011).

Berdasarkan Sudarmadji dan Indarto (2011) terdapat tujuh jenis mangrove yang dijumpai di Teluk Pangpang (Kecamatan Muncar dan Tegaldlimo). Adapun luas mangrove melingkari Teluk Pangpang seluas +600 Ha. Luas Mangrove di Kecamatan Muncar yaitu 226 Ha yang terbagi di Kelurahan Waringin Putih sebesar 225 Ha dan Kelurahan Kedengringin sebesar 1 Ha, sedangkan sisanya berada di Kecamatan Tegaldlimo. Formasi hutan mangrove dijumpai mulai batas Tratas, Kabat Mantren, Tegal Pare, dan Tegaldimo. Hutan mangrove Teluk Pangpang menyusun formasi mengelilingi teluk.

Pada kawasan sisi timur Teluk Pangpang terdapat kawasan hutan mangrove alami dengan ketebalan berkisar antara 30-400 meter. Formasi hutan mangrove yang dijumpai di sisi timur Teluk Pangpang diawali dengan Rhizopora apiculata pada zona terdepan yang berbatasan dengan laut dan diselingi oleh Sonneratia alba dan Rhizopora mucronata. Zona dibelakang Rhizopora sp disusun oleh Aegiceras floridum dan Ceriops tagal dilanjutkan dengan dominasi Ceriops tagal (Dinas Kelautan dan Perikanan 2012). Zona Ceriops tagal dijumpai berbatasan dengan zona daratan berupa hutan musiman atau yang lebih dikenal dengan istilah hutan basah gugur daun (Whitten et al. 1999).

Pada kawasan sisi selatan Teluk Pangpang terdapat kawasan hutan mangrove alami denga ketebalan sekitar 1.000 meter. Zonasi Mangrove disisi selatan relatif sama dengan zonasi mangrove yang dijumpai disisi timur teluk. Zona Rhizophora yang terletak paling luar mengindikasikan jenis substrat dominan lumpur dengan genangan pasang surut dengan tinggi pasang normal. Sonneratia banyak dijumpai berasosiasi dengan Rhizopora.sp dengan substrat cenderung berlumpur dangkal, kandungan bahan organik rendah dan kandungan garam/salinitas agak tinggi. Tiga sungai yang bermuara disisi selatan Teluk Pangpang diduga memiliki kontribusi cukup besar pada deposisi sedimen yang mempercepat terbentuknya substrat baru bagi perluasan kawasan mangrove (Dinas Kelautan dan Perikanan 2012).

Sedangkan sisi barat teluk memiliki ketebalan 0-300 meter, mangrove disisi ini merupakan hasil rehabilitasi oleh beberapa pihak dan masyarakat. Adapun bibit mangrove yang digunakan adalah Rhizophora mucronata. Penanaman mangrove tersebut menggunakan teknik/sistem banjar dengan jarak antar pohonnya 2-3 meter. Terdapat beberapa lembaga pemerintah maupun non-pemerintah melakukan rehabilitasi mangrove didaerah ini, diantaranya yaitu Dinas kehutanan dan perkebunan, Kementerian Kelautan Perikanan (Co-Fish Project), OISCA dan Yayasan Mangrove, Lembaga Pemberdayaan Industri Pedesaan (LPIP), dan Komisi Riset Malang. Berdasarkan data KKP (2003) in Nazili M

(2004) Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan memulai kegiatan pada tahun 2000 seluas 5 Ha, kemudian pada tahun 2001 seluas 30 Ha dengan penanaman pohon 150.000 batang. Tahun 2002 seluas 10 Ha sebanyak 50.000 batang dan tahun 2003 seluas 30 Ha sebanyak 100.000 batang, lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 8. Data kegiatan rehabilitasi mangrove tahun 2000-2003

No Lembaga Luas Lahan

Rehabilitasi (Ha)

1 KKP-CoFish Project 75

2 OISCA-Yayasan Mangrove Indonesia 200

3 Lembaga Pemberdayaan Industri Pedesaan (LPIP) 5 4 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyuwangi 340

Sumber : KKP (2003); Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Banyuwangi (2003) in Nazili M (2004).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Jumlah Penduduk

Berdasarkan data monografi Kecamatan Muncar tahun 2006-2010 memiliki kecenderungan laju pertumbuhan meningkat. Begitu juga Kelurahan Kedung Rejo dan Kelurahan Wringin Putih memiliki kecenderungan laju pertumbuhan positif, terkecuali Kelurahan Kedung Ringin. Lebih rinci lihat Tabel berikut.

Tabel 9. Jumlah penduduk tahun 2006-2010

Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk pada Tahun Laju

Pertumbuhan (%)

2006 2007 2008 2009 2010

Kedung Rejo 26.072 24.142 26.226 26.103 27.279 1,14 Kedung Ringin 10.609 9.675 10.674 10.696 10.579 -0,07 Wringin Putih 11.875 10.765 11.948 11.973 12.457 1,20

Sumber : Monografi Kecamatan Muncar 2006-2010

Bila dilihat dari jumlah penduduk yang paling banyak didominasi oleh jenis lapangan usaha sektor pertanian mencapai 44% untuk Kedung Rejo, 50% untuk Kedung Ringin, 59% untuk Wringin Putih. Lebih rinci dapat dilihat pada gambar dan tabel dibawah ini.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Lapangan Usaha Tahun 2010 Desa/ Kelurahan

Jenis Lapangan Usaha (orang)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kedung Rejo 5.134 4 1.389 2.943 207 384 36 867 17 26 462 213 Kedung Ringin 2.482 7 632 945 355 86 9 362 10 6 43 5 Wringin Putih 3.197 6 386 811 229 103 13 455 3 16 182 59

Sumber : Monografi Kecamatan Muncar 2010 Keterangan :

1 Pertanian 7 Informasi & Komunikasi 2 Tambang 8 Jasa

3 Industri 9 Listrik & Gas 4 Perdagangan 10 Kuangan & Asuransi 5 Konstruksi 11 PNS/ ABRI

6 Angkutan 12 Lainnya

Gambar 9. Proporsi jumlah penduduk berdasarkan jenis lapangan usaha

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Pola kehidupan masyarakat pesisir khususnya nelayan tentunya tidak sama dengan pola kehidupan masyarakat didarat. Masyarakat nelayan mengenal musim paceklik ikan, yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari berupa hasil tangkapan laut melimpah atau tidak, melaut atau menganggur. Berdasarkan informasi dari nelayan setempat, pada waktu bulan purnama atau tanggal 15 Jawa adalah hari tanpa ikan, angin utara (yang terjadi sekitar bulan februari) merupakan kondisi laut yang kurang baik, sedangkan angin tunggoro (atau musim kering) yaitu sekitar bulan Juni, Juli, Agustus, September merupakan hasil puncak.

Berdasarkan gambaran kondisi pendapatan masyarakat nelayan diatas seharusnya dalam siklus satu tahun, mereka memiliki waktu hasil tanggapan puncak dan panceklik. Namun tercatat dari 12 tahun lalu atau dari tahun 2000, produksi ikan khususnya lemuru bersifat fluktuatif dengan kecenderungan menurun signifikan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas berikut pada Gambar dibawah ini hasil data PPP (pelabuhan perikanan pantai) Muncar tahun 2004-2011. 44% 0% 12% 25% 2% 3% 0% 8% 0% 0% 4% 2% Pertanian Tambang Industri Perdagangan Konstruksi Angkutan

Informasi & Komunikasi Jasa

Listrik & Gas Kuangan & Asuransi PNS/ ABRI Lainnya

Kedung Rejo Wringin Putih

Sumber : Laporan tahunan DKP Kabupaten Banyuwangi 2004 s.d. 2011

Gambar 10. Produksi ikan lemuru sebagai komoditas unggulan minapolitan Muncar, Tahun 2004 s.d. 2011

Sampai saat ini keberadaan ekosistem hutan mangrove dapat dikatakan sangat penting, hal tersebut ditandai dengan mulai banyaknya masyarakat sekitar menangkap kepiting bakau maupun kerang-kerangan. Berikut dibawah ini Tabel persepsi masyarakat terkait pemanfaatan ekosistem mangrove.

Tabel 11. Pemanfaatan ekosistem mangrove

Jenis Pemanfaatan Persentase Pengguna (%)

Memancing (ikan, udang, ketam, dll) 44

Kayu bakar dan arang 3

Konstruksi rumah dan pembuatan perahu 19

Produksi obat-obatan 3

Mebel (kursi, rak, meja, perkakas pertukangan) 4

Bahan makanan 0

Perikanan budidaya 29

Peningkatan kesadaran akan pentingnya keberadaan mangrove ini tidak lepas dari pelatihan-pelatihan yang telah diikuti dan pengalaman masyarakat akibat kerusakan kawasan mangrove yang mengakibatkan gangguan lingkungan seperti halnya abrasi, susahnya mencari bibit ikan dialam serta gagal panen. Masyarakat yang bermatapencaharian utama maupun sampingan sebagai nelayandikawasan mangrove semakin bertambah, seiring dengan masih dalam masa paceklik ikan lemuru yang menjadi produk unggulan di Muncar. Adapun yang dicari oleh masyarakat yaitu kepiting bakau, tiram, tubalan, kerang komposit, ikan, dan udang. Namun jenis kerang tiram dan kerang komposit yang paling banyak dicari oleh masyarakat, dikarenakan yang paling ekonomis dan potensinya banyak. Dengan membaiknya kondisi hutan mangrove, secara langsung menjadi alternative mata pencaharian warga sekitar Teluk Pangpang, rata-rata uang yang dihasilkan dari penjualan kerang yaitu Rp. 26.000-Rp.50.000 per hari. 15.933 9.021 51.336 54.089 27.833 28.446 17.712 1.651 0 2 0 0 0 0 4 0 0 0 0 6 0 0 0 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 P ro d u k si Kg ( ri b u ) Tahun

Gambar 11. 1)Scylla seratta (kepiting bakau); 2)Isognomon ephippium (kerang tiram);3) Lingula unguis (tebalan); 4)Saccostrea cucculata (Kerang

kosmopolit)

Jenis kerang tiram atau Isognomon ephippium merupakan sekelompok kerang-kerangan dengan cangkang berkapur dan relatif pipih, jenis kerang ini biasanya hidup di area intertidal baik itu pada perakaran mangrove atau substrat berbatu. Jenis kerang Lingula unguis dengan nama lokal kerang tebalan, bentuknya khas seperti kerang, tapi kulitnya tipis dan pipih, berwarna kulitnya hijau kebiruan dan memiliki ekor. Jenis kerang kosmopolit atau Saccostrea cucculata merupakan jenis kerang yang melekat pada berbagai struktur keras seperti batu atau akar pohon mangrove, dengan ukuran yang bervariasi.Sedangkan kepiting bakau yang merupakan salah satu fauna yang berada di ekosistem hutan mangrove dan sebagai top-predator bentik dan juga sebagai bio-indikator dari kualitas kawasan hutan mangrove (Onrizal 2008).

Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Ekosistem Mangrove

Berdasarkan hasil identifikasi lapangan jumlah responden berasal dari warga menurut jenis kelamin responden yang paling banyak adalah laki-laki 58% sedangkan perempuan 22%, dengan jumlah pendidikan terakhir responden terbanyak yaitu SLTA 38% dan paling sedikit yaitu lulusan sarjana dan tidak sekolah yaitu 5%.

Salah satu faktor yang mempercepat laju degradasi mangrove yaitu rendahnya kesadaran diantara masyarakat, baik itu dari perangkat pemda maupun perangkat masyarakat. Namun berdasarkan hasil pengamatan, sejak tahun 2000-2003 seiring dengan pelaksanaan aktivitas penanaman kembali mangrove melalui kegiatan Co-fish masyarakat mulai tersadar akan pentingnya keberadaan mangrove. Beberapa desa terutama Kedungringin dan Wringin putih telah menetapkan hutan mangrove sebagai daerah lindung setempat serta

1 2

diberlakukannya peraturan desa terkait larangan merusak mangrove. Berikut dibawah ini informasi terkait persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove.

Tabel 12. Persepsi Masyarakat Terhadap Ekosistem Mangrove

No Informasi Responden

Terbesar Terkecil 1 Tingkat kepentingan hutan mangrove

Sangat penting 22

Tidak penting 1

2 Perubahan lingkungan yang dirasa

Erosi/abrasi 42

Tidak tahu 1

3 Penyebab kerusakan hutan mangrove

Penebangan 20

Pembangunan permukiman 5

4 Manfaat hutan mangrove

Mampu menahan erosi/sedimentasi 38

Melindungi hewan 1

5 Informasi terkait manfaat mangrove

Pengalaman pribadi 38

Radio, televisi, brosur 1

6 Persetujuan penetapan daerah konservasi

Ya 54

Tidak tahu 5

Gambar 12. Pilihan masyarakat terhadap penyebab kerusakan ekosistem mangrove yang pernah terjadi

Berdasarkan pada gambar diatas, persepsi masyarakat terhadap penyebab kerusakan ekosistem mangrove yang pernah terjadi di wilayah Teluk Pangpang yaitu dikarenakan oleh penebangan, mencari cacing yang berakibat pada robohnya tegakan pohon, pembuatan tambak, pencemaran limbah dan konversi hutan menjadi permukiman. Penyebab kerusakan ekosistem mangrove, dapat terlihat perbedaan luasan secara time series dibahas lebih dalam pada sub bab berikutnya.

Namun pilihan masyarakat terhadap menurunnya kualitas perairan di kawasan Teluk Pangpang sangat beralasan. Bedasarkan BLHD, (2009) pembuangan isi perut dan darah ikan dalam skala besar serta limbah rumah tangga. Selain rumah tangga, industri pengolahan ikan, baik skala besar maupun kecil, diduga kuat menjadi sumber pencemaran tersebut.

0 5 10 15 20 25 Alami Pembangunan permukiman Mencari cacing Pencemaran Penebangan Pembuatan tambak Jumlah Responden

Gambar 13. Pilihan masyarakat terhadap manfaat ekosistem mangrove

Pasca penanaman mangrove tahun 2000-2003, secara perlahan memberikan pengaruh positif terhadap pemahaman masyarakat terhadap fungsi ekologis mangrove. Pada awalnya memanfaatkan mangrove secara tidak berkelanjutan, perlahan berubah menjadi lebih arif dalam memanfaatkannya. Hal tersebut terlihat pada gambar diatas terkait persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan mangrove yang lebih ramah lingkungan.Terlebih dampak lingkungan yang dialami oleh masyarakat seperti pada grafik dibawah ini.

Gambar 14. Pilihan masyarakat terhadap isu-isu lingkungan yang mereka rasakan telah terjadi di lingkungan tempat mereka tinggal

Analisis Spasial

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir

Pemanfaatan ruang merupakan bentuk penggunaan ruang oleh masyarakat dengan fungsi tertentu, dalam rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Adapun aktivitas yang ada antaralain hutan mangrove, perkebunan, pertanian, permukiman, industri serta kegiatan perikanan (seperti tambak, bagan, lukah/bubu, gill net, keramba jaring apung, pancang, reservat kepiting, sero dan sudo).

Pola hubungan lingkungan dan pola aktivitas masyarakat sangat terlihat jelas dalam peta dibawah. Karakteristik elevasi teluk bagian barat yang sangat landai, memungkinkan perairan mengalami surut yang luas. Karakteristik pasang surut yang terjadi dua kali dalam satu hari, memungkinkan masyarakat mengambil potensi kerang-kerangan + 6 jam setiap harinya, dari jam 7.00 hingga jam 12.00. Adapun perkiraan potensi luasan pengambilan potensi perikanan berdasarkan

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Tempat berkembang biak ikan…Melindungi hewan

Penyerapan limbah Mampu menahan erosi/sedimentasi

Sumber bahan obat-obatan

Tempat rekreasi dan nilai-nilai…

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Penurunnya hasil tangkapan ikan Menurunnya kualitas air Penurunan hasil berupa kayu

Menurunnya jumlah hewan (burung,…

Intrusi air laut Erosi/abrasi Gelombang atau angin kencang Tidak tahu

Jumlah Responden

hasil pemetaan secara partisipatif, dapat dilihat pada Gambar dan Tabel dibawah ini.

Gambar 15. Denah pemanfaatan ruang pesisir teluk pangpang berdasarkan jenis alat tangkap

Tabel 13. Luas pemanfaatan ruang pesisir teluk pangpang berdasarkan jenis alat tangkap

No Jenis Alat Tangkap Luas (ha)

1 Sero 238 2 Sudo 95 3 Gill Net 64 4 Pancingan 91 5 Bagan 192 6 Lukah/mirip bubu 27 7 Reservat Kepiting 8

8 Keramba Jaring Apung 41

Sedangkan jenis pemanfaatan ruang yang ada di wilayah studi pada tahun 2011, dihasilkan dari proses interpretasi peta citra landsat TM7 tahun 2011 dengan metode supervised, dapat dilihat pada Gambar dan Tabel dibawah ini.

Gambar 16. Peta penggunaan lahan tahun 2011 Tabel 14. Luas Pemanfaatan Ruang Tahun 2011

Desa Jenis Ha %

Kedungrejo Lahan Terbangun 466 86,7

Kebun 34 6,3 Ladang 37 7,0 Sub total 537 Kedungringin Mangrove 1 0,3 Lahan Terbangun 157 41,5 Tambak Tradisional 11 2,9 Kebun 58 15,3 Ladang 151 39,9 Sub total 379 Wringinputih Mangrove 225 11,7 Kebun 460 25,5 Ladang 272 15,0 Tambak Tradisional 522 28,9 Tambak Silvofishery 50 2,3 Lahan Terbangun 302 16,7 Sub total 1.831

Bila dilihat dari Gambar 16 diatas, pemanfaatan ruang terbangun mengklaster pada wilayah Kedungrejo, dikarenakan pada wilayah tersebut

menjadi pusat kegiatan industri pengolahan perikanan sehingga menjadi pendorong bagi kegiatan perkotaan lainnya seperti permukiman, perdagangan dan jasa. Berbeda dengan pemanfaatan ruang terbangun di wilayah lainnya hanya bersifat linier mengikuti pola jaringan jalan. Sedangkan untuk jenis pemanfaatan mangrove yang semakin luas dengan seiring adanya inisiasi revitalisasi mangrove, tetutama pada wilayah Wringinputih sebanyak 225 Ha, namun sifatnya masih mengklaster pada lokasi tertentu. Begitu juga dengan jenis pemanfaatan tambak

Dokumen terkait