• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Respirasi Pepaya Terolah Minimal

Pengukuran laju respirasi dilakukan pada buah papaya yang terolah minimal, pengukuran ini dilakukan dengan mengukur perubahan konsentrasi gas O₂ dan CO₂ berdasarkan selang waktu tertentu dan dilakukan pada lima tingkatan suhu penyimpanan yang berbeda yaitu 5°C, 10°C, 15°C, 20°C, dan 25°C. Hasil pengukuran perubahan laju respirasi gas CO₂ dan O₂ pada hari kedua dapat di lihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Grafik laju respirasi papaya terolah minimal hari kedua pada berbagai suhu penyimpanan.

Pengukuran laju respirasi dilakukan hingga buah papaya yang telah terolah minimal mengalami kerusakan, contohnya telah muncul bintik-bintik putih dan buah mengalami pelunakan. Berdasarkan pada grafik (Gambar 8) dapat dlihat bahwa produk papaya yang sudah terolah minimal, menunjukkan bahwa papaya adalah buah klimakterik, dengan adanya peningkatan konsumsi gas O₂ maupun proses memproduksi gas CO₂ selama penyimpanan. Buah klimaterik ditandai dengan perubahan pola respirasi sebelum terjadi kelayuan yaitu pada saat kelayuan tiba-tiba produksi CO₂ dan O₂ meningkat dan kemudian turun kembali. Sedangkan buah non klimaterik memiliki pola respirasi kenaikan produksi CO2

yang mencolok (Pantastico 1986).

Adapun suhu yang digunakan untuk pengukuran respirasi buah papaya yang terolah minimal yaitu 5°C, 10 °C, 15°C, 20°C dan 25°C, sampel yang digunakan untuk masing-masing suhu sebanyak tiga buah stoples. Berdasarkan referensi yang didapat suhu yang paling tepat untuk penyimpanan buah pepaya terolah minimal ialah suhu 10-15 °C (Hasbullah 2007).

Pada pengukuran laju respirasi untuk suhu 25°C tanpa dimasukkan kedalam lemari pendingin buah papaya yang telah terolah minimal hanya bertahan selama empat puluh delapan jam, setelah dua hari buah yang berada didalam toples langsung mengeluarkan bau yang kurang sedap dan ditemukan bintik-bintik putih pada daging buah papaya tersebut. Setelah dilakukan perhitungan laju respirasi untuk suhu ruang maka didapat nilai laju respirasi rata-rata untuk O2 sebesar 19.99 ml/kg jam dan CO2 sebesar 32.61 ml/kg jam. Jika dilihat dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa laju respirasi pada suhu 25°C terus meningkat sampai akhirnya pengukuran dihentikan karena sudah terlihat tanda-tanda buah telah rusak. 0 5 10 15 20 25 30 35 5 10 15 20 25 L aj u Re p irasi (m L /l g.jam ) Suhu Penyimpanan (°C) Oksigen Karbondioksida

17

Pengukuran laju respirasi untuk suhu 20°C dimasukkan kedalam lemari pendingin, buah papaya terolah minimal tersebut hanya bertahan selama tiga hari, setelah tiga hari buah yang berada didalam toples ditemukan bintik-bintik putih pada daging buah papaya tersebut. Setelah dilakukan perhitungan laju respirasi untuk suhu 20°C maka didapat nilai laju respirasi rata-rata untuk O2 sebesar 15.55 ml/kg jam dan CO2 sebesar 18.30 mL/kg jam. Jika dilihat dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa laju respirasi pada suhu 20°C terus meningkat sampai akhirnya pengukuran dihentikan karena sudah terlihat tanda-tanda buah telah rusak. Begitu juga halnya dengan suhu 15°C dengan perlakuan yang sama buah papaya hanya bertahan empat hari dengan nilai laju respirasi rata-rata untuk O2 sebesar 9.8 mL/kg jam dan CO2 sebesar 11.56 mL/kg jam. Untuk suhu 10°C buah papaya bertahan selama enam hari dengan nilai laju respirasi rata-rata untuk O2 sebesar 5.80 mL/kg jam dan CO2 sebesar 12.19 mL/kg jam.

Pengukuran laju respirasi untuk pepaya terolah minimal pada suhu 5°C disimpan kedalam lemari pendingin, hasilnya buah papaya terolah minimal bertahan selama sembilan hari, setelah sembilan hari hari buah yang berada didalam toples ditemukan bintik-bintik putih pada daging buah papaya tersebut. Setelah dilakukan perhitungan laju respirasi untuk suhu 5°C maka didapat nilai laju respirasi rata-rata untuk O2 sebesar 3.2 mL/kg jam dan CO2 sebesar 7.31 mL/kg jam. Berdasarkan data diperoleh suhu yang paling baik untuk penyimpanan buah papaya adalah suhu 10°C dibandingkan dengan suhu 5°C karena tidak mengalami kristalisasi pada jaringan buah serta tidak mengalami chilling injury.

Respirasi Fungsi dari Suhu

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi ada dua: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat perkembangan, susunan kimia jaringan, ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu dimana semakin tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi juga laju respirasi, etilen, O2 yang tersedia, zat-zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah (Hasbullah 2007). Banyak perubahan metabolisme di dalam produk hortikultura yang dipengaruhi peubahan suhu atau temperature, saat suhu penyimpanan naik akan terjadi kenaikan laju reaksi seperti respirasi, tetapi tidak semua reaksi mempunyai respon yang sama terhadap perubahan suhu tersebut (Hardenburg 1986). Dari data hasil respirasi pada hari kedua dapat dilihat pada Tabel 3 dapat dihasilkan plot linear Arhenius laju respirasi fungsi dari suhu, menggunakan persamaan (10) yang diperoleh menggunakan rujukan dari persamaan (7), dimana:

r= roexp ( ( )) (10) Dimana :

r = koefisien respirasi gas (ml/kg.jam) ro = faktor preeksponensial (ml/kg.jam)

Berdasarkan plot grafik Arhenius menggunakan data laju respirasi pada kedua hari pertama, dapat di lihat pada Gambar 9, dimana sumbu x adalah Suhu penyimpanan Inverse (1/K) dan sumbu y adalah hubungan respirasi dengan ln

(ln.r). Grafik tersebut menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap laju respirasi pepaya terolah minimal untuk konsumsi O2 dan produksi CO2, dimana semakin tinggi suhu penyimpanan, akan semakin tinggi juga laju respirasi, dan semakin rendah suhu penyimpanan akan semakin rendah juga laju respirasi. Garis linear yang diperoleh untuk menunjukkan koefisien repirasi gas O2 dan CO2 terbukti mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dengan memperoleh nilai koefisien determinasi yang tinggi (R2), dimana nilai R2 untuk O2dan CO2 adalah 0.9189 dan 0.9881. Energi Aktivasi atau Ea yang diperoleh dari kedua garis linear oksigen dan karbondioksida adalah 23.2 kJ/mol dan 52.2 kJ/mol, sedangkan untuk faktor preeksponensial (ro) diperoleh nilai 1.37x105 ml/kg.jam untuk O2 dan 2.51x1010ml/kg.jam untuk CO2. Semua nilai variabel yang diperoleh mengambarkan bahwa hubungan antara suhu dan respirasi dengan baik, dimana semakin tinggi suhu penyimpanan, akan semakin tinggi laju respirasi dan sebaliknya.

Tabel 3 Data laju respirasi pada hari kedua papaya terolah minimal pada berbagai suhu penyimpanan

Suhu (°C) Laju Konsumsi O2

(mL/kg.jam) Laju Produksi CO2 (mL/kg.jam) 5 5.4 6.41 10 6.14 9.8 15 8.5 12.83 20 24.3 24.07 25 31.28 30.77

19

Gambar 9 Plot Arhenius koefisien respirasi gas pada hari kedua Perancangan Pengemasan MAP

Simulasi MAP

Simulasi MAP dilakukan untuk menentukan berat (W) komoditas papaya terolah di dalam kemasan, ketebalan film plastik (b), dan luas area kemasan (A) sehingga diperoleh komposisi gas O2 sebesar 3-5% dan komposisi gas CO2

sebesar 5-10 % (Hasbullah 2007). Setelah dilakukan perhitungan simulasi nilai konsentrasi gas dengan persamaan (1) sampai dengan (6) untuk setiap jenis kemasan plastik, diperoleh nilai W, b, A untuk kemasan stretch film sebesar 0.14 kg, 0.02 mm, dan 0.0198 m2. Kemasan white stretch film diperoleh nilai W, b, A berturut-turut adalah 0.13 kg, 0.017 mm, dan 0.0198 m2, untuk kemasan LDPE diperoleh nilai W, b, A adalah 0.1 kg, 0.025 mm, dan 0.025 m2. Nilai tersebut telah mewakili untuk membantu penentuan komposisi gas optimum untuk O2 dan CO2. y = -2800x + 11.53 R² = 0.9881 y = -6283x + 24.44 R² = 0.9189 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0

3.3E-03 3.4E-03 3.5E-03 3.6E-03 3.7E-03

(Ln .r ) Temperatur Invers (1/K) Oksigen Karbondioksida

0 5 10 15 20 25 0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 104 112 120 128 136 K on se n tr asi G as (% ) Jam ke- Konsentrasi Gas Oksigen Konsentrasi Gas Karbondioksida Kemasan Stretch Film

0 5 10 15 20 25 0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 104 112 120 K o ns ent ra si G a s (%) Jam ke- Konsentrasi gas karbondioksida Konsentrasi gas oksigen Kemasan White Stretch Film

21

Gambar 10 Grafik simulasi konsentrasi gas O2 dan CO2 pada berbagai jenis kemasan

Berdasarkan pada ketiga grafik simulasi yang dapat dilihat pada Gambar 10, bahwa kemasan WSF mencapai kesetimbangan antara gas oksigen dan karbondioksida pada jam ke-112, kemasan SF mencapai kesetimbangan antara gas oksigen dan karbondioksida pada jam ke-76, dan kemasan LDPE mencapai kesetimbangan pada jam ke-92.

Konsentrasi Gas

Pengujian konsentrasi gas, pada penelitian ini menggunakan cosmotectometer dengan melakukan modifikasi terhadap ketiga jenis kemasan, yang dapat dilihat pada Gambar 11. Hal ini membantu pengukuran konsentrasi gas yang nilainya mendekati apabila menggunakan metode gas chromatography.

Pada setiap kemasan untuk mengukur konsentrasi gas, telah di sesuaikan dengan bobot, luas penampang hasil simulasi pengukuran konsentrasi gas. Berdasarkan dari Gambar 12, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil pengukuran dengan simulasi konsentrasi gas (Lampiran 1 ,2, dan 3).

Untuk pengujian konsentrasi didalam kemasan sampai hari ke-enam di dapatkan kondisi optimum steady state, untuk kemasan stretch film tercapai sampai 17.10% O2 dan 3.42% CO2 sedangkan pada kemasan white stretch film konsentrasi yang tercapai hingga 15.75% O2 dan 4.00% CO2, dan untuk kemasan LDPE tercapai tingkat O2 8.23% dan CO2 5.97% mencapai Sehingga kemasan yang paling baik untuk menjaga konsentrasi dari buah pepaya terolah didalam kemasan adalah kemasan LDPE.

0 5 10 15 20 25 0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 80 88 96 104 112 120 128 136 K on se n tr asi G as (% ) Jam ke- Konsentrasi gas oksigen Konsentrasi gas karbondioksida Kemasan LDPE

Kemasan Stretch Film Kemasan White Stretch Film

Kemasan LDPE

Gambar 11 Pengemasan pepaya terolah minimal secara atmosfir termodifikasi 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 1 2 3 4 5 6 K o n sen tr asi gas (% ) Hari ke- Oksigen Karbondioksida Stretch Film

23

Gambar 12 Hasil pengukuran konsentrasi gas pada berbagai jenis kemasan

Pada setiap kemasan untuk mengukur konsentrasi gas, telah di sesuaikan dengan bobot, luas penampang hasil simulasi pengukuran konsentrasi gas. Berdasarkan dari Gambar 12 di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil pengukuran dengan simulasi konsentrasi gas (Lampiran 1 ,2, dan 3).

Untuk pengujian konsentrasi didalam kemasan sampai hari ke-enam di dapatkan kondisi optimum steady state, untuk kemasan stretch film tercapai sampai 17.10% O2 dan 3.42% CO2 sedangkan pada kemasan white stretch film konsentrasi yang tercapai hingga 15.75% O2 dan 4.00% CO2, dan untuk kemasan LDPE tercapai tingkat O2 8.23% dan CO2 5.97%. Sehingga kemasan yang paling baik untuk menjaga konsentrasi dari buah pepaya terolah didalam kemasan adalah kemasan LDPE.

Berdasarkan literatur komposisi gas optimum yang di rekomendasikan untuk O2 sebesar 3-5 % sedangkan CO2 sebesar 5-10%. Pada hasil simulasi, untuk ketiga kemasan tersebut tercapai sebelum hari ke-6 sedangkan pada

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 1 2 3 4 5 6 K o n sen tr asi G as(% ) Hari ke- Oksigen karbondioksida White Stretch Film

0.0 4.0 8.0 12.0 16.0 20.0 1 2 3 4 5 6 K o n sen tr asi G as(% ) Hari ke- Oksigen Karbondioksida LDPE

pengukuran konsentrasi gas, belum mencapai komposisi gas optimum. Faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah, tidak menggunakan gas chromatography serta tidak ada injeksi gas etilen kedalam kemasan, tetapi hanya memodifikasi atmosphere dengan menggunakan tiga kemasan yang berbeda, untuk mendapatkan nilai konsentrasi gas CO2 dan O2 .

Pengaruh Jenis Kemasan MAP Terhadap Mutu Pepaya Terolah Minimal Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan perharinya untuk masing-masing kemasan, hasil yang didapat kemudian dirata-ratakan dan diplotkan pada grafik perubahan susut bobot yang dapat dilihat pada Gambar 13. Selama proses penyimpanan buah pepaya yang terolah minimal yang di tutupi kemasan plastik ini mengalami susut bobot. Penurunan diakibatkan buah pepaya yang telah terolah minimal melakukan respirasi dengan mengubah gula menjadi CO2 dan H2O disertai dengan proses penguapan uap air. Hal tersebut mengakibatkan persentasi laju susut bobot meningkat.

Kehilangan bobot komoditi holtikultura bukan saja diakibatkan oleh terjadinya kehilangan air tetapi juga oleh hilangnya gas CO2 hasil respirasi (Zagory 1988). Kehilangan air lebih di pengaruhi oleh perbedaan kelembaban antara ruang dan bahan yang di simpan. Jika dilihat data perubahan susut bobot maka untuk ketiga sampel berbeda kemasan plastik yang digunakan mengalami pola naik hal ini dikarenakan faktor kematangan buah papaya yang relatif seragam. Pada kemasan yang menggunakan stretch film didapatkan hasil akhir susut bobot 2.83%, sedangkan pada white stretch film didapatkan hasil akhir 2.34%, hasil yang di dapatkan menggunakan LDPE adalah 4.03%. Hasil susut bobot kemasan LDPE yang cukup tinggi dibanding kemasan lainnya, dikarenakan plastik LDPE mempunyai sifat permeabilitas yang lebih rendah dan kerapatan yang tinggi sehingga menyebabkan penumpukan gas CO₂, sifat ini menghasilkan nilai susut bobot lebih tinggi daripada dua kemasan lainnya.

Gambar 13 Grafik presentase susut bobot pepaya untuk tiga kemasan berbeda 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 1 2 3 4 5 6 Su sut B o bo t (%) Hari ke- SF WSF LDPE

25

Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 4) yang dilakukan rataan pada hari ke enam dapat disimpulkan bahwa kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap susut bobot (p≥0.05). Hal ini dikarenakan pepaya merupakan komoditas yang masih melakukan proses metabolisme, seperti respirasi, sehingga memacu kehilangan susut bobot.

Total Padatan Terlarut

Jika dilihat dari grafik perubahan total padatan terlarut pada Gambar 14, maka perubahan total padatan terlarut (°brix) untuk ketiga kemasan tidak terlalu besar pada hari terakhir pengukuran yaitu hari keenam. Pada hari ke nol, nilai-nilai padatan terlarut yang diperoleh adalah 7.73 untuk kemasan stretch film, 7.67 untuk white stretch film dan LDPE. Pada kemasan stretch film (SF) data perubahan total padatan terlarut mengalami kenaikan, walau tidak terlalu signifikan, hal ini dikarena pada kemasan SF tidak banyak uap air yang dikeluarkan, kemasan cukup baik didalam melindungi buah pepaya. Sedangkan untuk kemasan white stretch film dan LDPE data perubahan total padatan terlarut mengalami kenaikan, hal ini dikarenakan pada saat buah pepaya didalam kedua kemasan, uap air di dalam buah mudah keluar kemasan sehingga mengakibatkan kandungan gula didalam buah pepaya meningkat sampai penyimpanan enam hari. Buah pepaya adalah termaksud buah klimakterik mempunyai karbohidrat dan pati yang tinggi, perubahan keduanya hampir tidak ada setelah panen.

Gambar 14 Nilai total padatan terlarut buah papaya

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 5) dapat disimpulkan bahwa kemasan berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut (p≤0.05) hal ini dapat dilihat pada hari ke-1 dan ke-3. Sedangkan pada hari 0, 2, 4, 5, dan 6 tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut buah pepaya terolah minimal.

Kekerasan

Pada uji mutu laju perubahan kekerasan diukur dengan menggunakan alat Rheometer tipe CR-300. Terjadinya proses respirasi yang menghasilkan uap air

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 0 1 2 3 4 5 6 To tal Pad atan Te rl ar u t( b ri x) Hari ke- SF WSF LDPE

dan proses transpirasi yang menyebabkan kehilangan uap air dari permukaan buah pepaya yang telah terolah minimal akan menyebabkan buah pepaya menjadi lunak. Selain itu pelunakan pada daging buah juga disebabkan oleh mikroba (kapang, bakteri dan ragi) yang menghidrolisa makromolekul menjadi fraksi yang lebih kecil (Muchtadi 1998).

Hasil dari uji kekerasan dapat dilihat pada Gambar 15 jika dibandingkan antara ketiga kemasan, bahwa stretch film (SF) lebih bagus didalam mempertahankan kekerasan buah pepaya dibanding kemasan white stretch film (WSF) dan low density poliethylene (LDPE), dan pada hari keenam nilai kekerasan untuk ketiga kemasan sudah menurun dapat mempertahankan kekerasan buah papaya dan pada hari keenam pun buah pepaya terolah minimal yang disimpan pada suhu 10 °C telah mengalami kerusakan.

Gambar 15 Grafik perubahan kekerasan pepaya pada tiga kemasan berbeda selama penyimpanan pada suhu 10°C

Dari hasil akhir rata-rata nilai kekerasan yang diperoleh dari ketiga ulangan pada tiap kemasan, di dapatkan nilai 0.15 Kgf untuk Stretch film (SF), 0.11 Kgf untuk white stretch film (WSF), dan 0.10 Kgf untuk LDPE. Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 6) dapat disimpulkan bahwa kemasan hanya berpengaruh nyata pada hari ke-6 terhadap kekerasan buah pepaya terolah minimal (p≤0.05) hal ini dapat dilihat pada ke-enam hari pengamatan.

Tabel 4 Uji Lanjut Duncan Pengaruh jenis kemasan terhadap mutu buah pepaya pada hari ke-6

Jenis Kemasan

Parameter Mutu Susut

Bobot Kekerasan TPT SF 1.77±0.97a 0.14±0.02a 9.50±0.72a WSF 1.66±0.97a 0.11±0.02b 8.73±0.72b LDPE 1.51±0.97a 0.10±0.02b 8.40±0.72b 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 1 2 3 4 5 6 K e ke rasan (K gf) Hari ke- SF WSF LPDE

27

Dari hasil uji lanjut Duncan pengaruh kemasan terhadap mutu buah pepaya pada hari ke-6 yang dapat dilihat pada Tabel 4, terlihat bahwa kemasan tidak berpengaruh nyata pada susut bobot buah pepaya terolah minimal, untuk parameter kekerasan kemasan WSF dan LDPE berpengaruh nyata pada buah pepaya terolah minimal, dan kemasan WSF dan LDPE berpengaruh nyata terhadap parameter total padatan terlarut buah pepaya terolah minimal. Dari ketiga kemasan, dapat dilihat bahwa hanya kemasan stretch film (SF) yang tidak berpengaruh nyata terhadap parameter mutu buah pepaya terolah minimal, ini menandakan bahwa kemasan tersebut adalah yang terbaik dalam menjaga kualitas mutu buah terolah minimal tersebut dibandingkan dua kemasan lainnya.

Laju Perubahan Warna

Peranan warna merupakan salah satu indeks mutu bahan pangan yang perlu diperhatikan karena pada umumnya konsumen sebelum mempertimbangkan parameter lain (rasa, nilai gizi dan lain-lain) pertama-tama akan tertarik pada warna bahan (Muchtadi 1992). Untuk pengukuran indeks perubahan warna dilakukan dengan alat chromameter, data yang diambil untuk masing-masing komposisi sebanyak tiga kali yang nantinya akan dirata-ratakan, nilai indeks warna yang akan diamati akan keluar dalam data L, a dan b. Perubahan warna pada buah-buahan merupakan akibat dari terjadinya perubahan kimia selama penyimpanan.

Dari hasil uji warna yang dapat dilihat tabel tampak bahwa perlakuan suhu dan masa simpan memberi pengaruh yang berbeda bagi kecerahan warna produk. Pada umumnya nilai kecerahan untuk ketiga jenis kemasan setiap harinya mengalami penurunan, jika semakin tinggi nilai L maka tingkat kecerahan buah pepaya yang terolah minimal semakin tinggi begitupun sebaliknya.

Jika dibandingkan data nilai kecerahan masing-masing kemasan, maka untuk kemasan stretch film, white stretch film dan LDPE relatif mengalami pola kecerahan yang menurun. Terlihat di Gambar 17 bahwa penurunan L untuk ketiga kemasan cukup signifikan, dimana untuk Stretch film berawal dari nilai 52.18 dan berakhir pada 40.54, sedangkan untuk White stretch film nilai L berawal di 52.98 dan berakhir turun menjadi 41.14, nilai L untuk LDPE berawal 52.20 dan menurun sampai dengan 40.24. Warna yang semakin menurun tingkat kecerahannya pada buah papaya terolah minimal disebabkan kehilangan kadar air dan perubahan betakaroten pada bagian daging buah pepaya. Berdasarkan analisis seragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 7) dapat disimpulkan bahwa kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai L buah pepaya terolah minimal (p≥0.05) hari pada ke- 0, 1, 4 , 5 ,dan 6, tetapi berpengaruh nyata pada hari ke 2 dan 3 .

Nilai kemerahan warna (a) yang terjadi selama masa simpan pada suhu 10 °C cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan pada masa pematangan selama penyimpanan, warna kuning kemerahan buah berubah menjadi semakin merah dan agak gelap. Berdasarkan analisis seragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 7) dapat disimpulkan bahwa kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai a buah pepaya terolah minimal (p≥0.05) hal ini dapat dilihat pada ke-enam hari pengamatan.

Nilai kekuningan (b) untuk masing-masing tiga kemasan yang terjadi selama masa simpan pada suhu 10 °C mengalami perubahan yang relatif menurun

(Gambar 16). Hal ini disebabkan oleh warna yang timbul pada buah-buahan dan sayuran adalah akibat dari adanya klorofil untuk warna hijau, karoten untuk warna kuning, jingga dan merah, likopen untuk warna merah, atau antosianin untuk warna ungu. Selama permatangan buah klorofil dipecah secara enzimatis oleh krolofilase membentuk klorofilida, atau secara non enzimatis akibat perubahan tingkat keasaman membentuk faeofitin. Kedua komponen tersebut selanjutnya dapat di konversikan faeoforbida melalui proses oksidasi sehingga warna menjadi oranye kegelapan.

Tabel 5 Pengaruh jenis kemasan terhadap warna buah pepaya pada hari ke-6 Jenis

Kemasan

Parameter Mutu Warna

L A b

SF 41.16±3.62a 14.78±3.68a 14.30±2.56a WSF 40.24±3.62a 11.24±3.68a 10.12±2.56b LDPE 39.14±3.62a 11.11±3.68a 9.56±2.56b

Gambar 16 Warna buah papaya

Dari hasil uji lanjut Duncan pengaruh kemasan terhadap warna buah pepaya pada hari ke-6 yang dapat dilihat pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa kemasan tidak berpengaruh nyata pada nilai L dan a pada buah pepaya terolah minimal, sedangkan untuk nilai b kemasan WSF dan LDPE berpengaruh nyata pada buah pepaya terolah minimal. Dari ketiga kemasan, dapat dilihat bahwa sebenarnya ketiga kemasan cukup baik menjaga kualitas warna buah pepaya, tetapi hanya kemasan stretch film (SF) yang tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga nilai L, a, dan b buah pepaya terolah minimal, menandakan bahwa kemasan tersebut adalah yang terbaik dalam menjaga kualitas warna buah terolah minimal tersebut dibandingkan dua kemasan lainnya

0 10 20 30 40 50 60 SF

WSF LDPE SF WSF LDPE SF WSF LDPE SF WSF LDPE SF WSF LDPE SF WSF LDPE SF WSF LDPE

0 1 2 3 4 5 6 War n a Hari ke- L a b

29

Hasil Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk menentukan umur simpan buah pepaya terolah minimal dan berkemasan plastik berbeda berdasarkan penilaian panelis terhadap 5 parameter mutu yaitu warna, aroma, kekerasan, rasa dan keseluruhan produk dan tingkat kesukaan kepada kemasan yang diuji pada hari pertama. Panelis yang dijadikan sampel berjumlah 15 orang. Skala hedonik pengujian terhadap buah pepaya skala hedonic yang digunakan adalah 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), 7 (sangat suka). Semakin tinggi skor hedonik yang diberikan semakin tinggi juga tingkat penerimaan panelis terhadap buah pepaya terolah minimal dan kemasannya tersebut (Lampiran 8).

Berdasarkan pengujian terhadap buah pepaya dengan melihat kriteri mutu diperoleh kemasan yang paling bagus untuk mempertahankan lima parameter yang diujikan adalah SF. Kriteria pertama adalah visual yang dapat di lihat pada Gambar 17. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsumen masih dapat menerima secara visual hingga hari ke-5 untuk kemasan SF dan WSF.

Gambar 17 Organoleptik visual buah pepaya terolah minimal

Kriteria kedua adalah aroma yang dapat di lihat pada Gambar 18. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsumen masih dapat menerima aroma hingga hari ke-5 untuk kemasan SF.

0 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 N ilai Or gan o le p tik Vi su al Hari ke- SF WSF LDPE

Gambar 18 Nilai organoleptik aroma pepaya terolah minimal Kriteria ketiga adalah kekerasan yang dapat di lihat pada Gambar 19. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsumen masih dapat menerima kekerasan hingga hari ke-5 untuk kemasan SF.

Gambar 19 Nilai organoleptik kekerasan pepaya terolah minimal Kriteria keempat adalah rasa yang dapat di lihat pada Gambar 20. Gambar

Dokumen terkait