• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Aktivasi, Diploidisasi, dan Perkembangan Embrio Pasca Aktivasi dengan Strontium Chloride dan Ethanol

Aktivasi partenogenesis dilakukan dengan ethanol atau strontium chloride. Penggunaan kedua aktivator ini diharapkan dapat menginduksi peningkatan kalsium intraseluler yang diketahui berperan dalam aktivasi oosit. Perlakuan oosit dengan strontium chloride akan menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium secara bergelombang, sedangkan perlakuan dengan ethanol dapat menyebab peningkatan kalsium intraseluler secara tunggal (Rogers et al. 2004). Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam riset ini membuktikan bahwa kedua aktivator ini mampu menginduksi terjadinya pembentukan pronukleus yang merupakan kriteria utama dari oosit yang teraktivasi.

Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya pembentukan pronukleus atau immediatelly cleavage (Gambar 15C & 15D). Jumlah pronukleus yang terbentuk bervariasi, ada oosit yang memiliki satu pronukleus (haploid), dan lainnya memiliki dua pronukleus (diploid). Oosit haploid umumnya mampu menghasilkan embrio partenogenetik dua sel tetapi mengalami kematian pada perkembangan selanjutnya.

Gambar 15. Perkembangan oosit sebelum dan setelah aktivasi partenogenesis. A: oosit sebelum aktivasi, B: oosit yang tidak teraktivasi, C: oosit yang mengalami

immediately cleavage, D: oosit diploid. Bar = 30 µm.

Kecepatan aktivasi sangat bervariasi antar individu oosit dan jenis aktivator. Sekitar 45% oosit telah memiliki pronukleus pada 4 jam pasca aktivasi dengan strontium chloride sedangkan pada oosit yang diaktivasi dengan ethanol hanya 30%. Sebagian besar oosit teraktivasi pada 5 hingga 6 jam pasca aktivasi. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan perbedaan umur oosit, mengingat pada hewan multipara seperti mencit, kejadian ovulasi sejumlah oosit dari satu ovarium tidak terjadi secara bersamaan yang berdampak pada perbedaan umur oosit yang dihasilkan. Selan itu, oosit yang digunakan dalam riset ini dihasilkan dari beberapa ekor individu mencit yang tentunya memiliki waktu ovulasi yang berbeda.

Jumlah oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride adalah 224, dan 207 (92.41%) diantaranya teraktivasi, dengan 84.38% dari jumlah tersebut memiliki dua pronukleus (diploid). Pada oosit yang diaktivasi dengan ethanol, jumlah oosit yang memiliki pronukleus lebih sedikit (77.67%), dan 72.09%

A B

D C

diantaranya diploid (Tabel 7). Data ini menunjukkan bahwa tingkat aktivasi dan diploidisasi oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride lebih baik daripada yang diaktivasi dengan ethanol.

Tabel 7. Tingkat aktivasi, diploidisasi, dan potensi perkembangan embrio partenogenetik pasca aktivasi dengan strontium chloride dan etanol

Variabel Penelitian Perlakuan

Strontium Chloride Ethanol

Jumlah oosit 224 215 Teraktivasi (%) 207/224 (92.41) a 167/215 (77.67)b Diploidisasi (%) 189/224 (84.38) a 155/215 (72.09) b Cleavage (%) 185/189 (97.88) a 145/155 (93.55) a Empat Sel (%) 124/189 (65.51) a 94/155 (60.65) a Morula (%) 55/189 (29.10) a 28/155 (18.06) b Blastosis (%) 21/189 (11.11) a 8/155 (5.16) b

Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara activator partenogenesis

Untuk menguji efektivitas kedua aktivator tersebut dalam menunjang perkembangan embrio partenogenetik in vitro, oosit diploid dikultur dalam medium CZB. Oosit tersebut memerlukan waktu kultur sekitar 24 jam untuk mencapai embrio stadium dua sel. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan (P<0.05) jumlah embrio dua sel yang dihasilkan oleh oosit hasil aktivasi dengan strontium chloride dan ethanol. Kedua kelompok perlakuan ini mampu menghasilkan embrio dua sel yang tinggi yaitu 97.88% pada kelompok perlakuan strontium chloride dan 93.55% pada ethanol. Pada kultur selanjutnya, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada persentase embrio yang mencapai stadium empat sel pada kedua kelompok perlakuan, dimana jumlah embrio empat sel pada kelompok strontium chloride adalah 65.61% jadi mengalami penurunan sekitar 32%, dan pada kelompok ethanol adalah 60.65%, dengan penurunan sekitar 33%. Penurunan yang sangat drastis terjadi pada saat perkembangan dari empat sel ke stadium morula dan blastosis yaitu masing- masing 29.10% dan 11.11% pada strontium chloride, dan 18.06% dan 5.16% pada ethanol (Tabel 7).

Data ini mengindikasikan bahwa walaupun tingkat perkembangan embrio dua dan empat sel pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda, namun daya dukung terhadap perkembangan embrio selanjutnya lebih baik pada oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride.

Aktivasi hanya dapat dilakukan pada oosit yang sudah matang atau yang berada pada metafase II. Penahanan pada metafase II dikarakteristik oleh tingginya level kompleks cyclin B/cdk1 yang juga dikenal sebagai maturation promoting factor (MPF). Selama penahanan pada metfase II, cytostatic factor (CSF) mencegah destruksi MPF dengan mempertahankan anaphase-promoting complex (APC) dalam keadaan inaktif (Murray et al. 1989). Aktivasi oosit oleh sperma atau bahan aktivator partenogenesis memicu peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler (Kline & Kline, 1992) yang berfungsi untuk mengaktifkan oosit yang diblok pada metafase II. Mekanisme pelepasan kalsium terdiri atas: inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release (IICR) dan calcium- induced calcium release (CICR). Inositol 1,4,5-trisphosphate-induced calcium release dipicu oleh pengikatan IP3 ke reseptornya pada endoplasmic reticulum (Terasaki & Sardet, 1991). Calcium-induced calcium release (CICR) dipicu oleh pembukaan ryanodine receptor pada tempat penyimpanan kalsium intraseluler, tetapi dapat juga dipicu oleh mekanisme yang melibatkan reseptor IP3 (Berridge, 1996).

Pengikatan protein sperma pada reseptor oosit akan mengaktivasi phospholipase C (PLC) yang mengkatalisis phosphatidyl 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG). Diacyl glycerol berperan dalam beberapa jalur sinyal, termasuk aktivasi protein kinase C (Malcuit et al. 2005), sedangkan IP3 menginduksi pelepasan kalsium dari endoplasmic reticulum ke dalam sitosol (Miyazaki et al. 1993). Di endoplasmic reticulum, kalsium terikat dengan lumenal protein, calreticulin (selain sel otot) dan calsequestrin (sel otot) (Nash et al. 1994). Calreticulin berfungsi sebagai molekul pengikat dan pengantar (chaperones) kalsium. Molekul lainnya adalah calnexin yang juga merupakan chaperon yang mengikat kalsium pada membran endoplasmic reticulum (Balakier et al. 2002). Kalsium akan mengaktivasi calmodulin dependent kinase II yang selanjutnya mengaktivasi APC dan juga menginduksi degradasi CSF (Madgwick et al. 2005). Aktivasi oosit oleh sperma menyebabkan terjadinya osilasi kalsium secara bergelombang (Miyazaki et al. 1992), dan berlangsung selama beberapa jam hingga berhenti pada saat

pembentukan pronukleus (Jones & Whittingham 1996). Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya berbagai kejadian seperti reaksi korteks, pembentukan pronukleus, dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).

Aktivasi oosit mamalia juga dapat dilakukan dengan berbagai stimulus buatan. Beberapa aktivator buatan yang biasa digunakan adalah strontium chloride, ethanol, calcium ionophore, dan stimulasi elektrik. Strontium chloride dan ethanol merupakan dua bahan yang paling banyak digunakan sebagai aktivator partenogenesis oosit mencit (Kline & Kline, 1992; Bos-Mikich et al.1997). Kedua aktivator ini memiliki profil peningkatan kalsium yang berbeda, strontium chloride dapat menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler secara bergelombang seperti yang terjadi pada saat aktivasi oosit oleh sperma, sedangkan ethanol hanya dapat meningkatkan kalsium secara tunggal (Kline & Kline 1992, Bos-Mikich et al. 1995). Strontium chloride dan ethanol menginduksi peningkatan kalsium intraseluler melalui berbagai mekanisme seperti melalui stimulasi adenylyl cyclase type VIII (Gu et al. 2000), Ca2+-dependent Ca2+ release (Jellerete et al. 2000), dan inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release (IICR) (Zhang et al. 2005).

Ada beberapa perbedaan pola aktivasi dengan strontium dan ethanol. Aktivasi dengan strontium memerlukan waktu yang lebih lama (3 – 6 jam) dibandingankan dengan ethanol (5 – 7 menit). Pendeknya lama pemaparan pada ethanol mungkin ada hubungannya dengan peningkatan permeabilitas oosit pada saat pemaparan dengan ethanol, dan dengan demikian memungkinkan kalsium ekstraseluler dapat masuk ke dalam sel (Loren & Lacham-Kaplan 2006). Aktivasi dengan ethanol dapat menyebabkan osilasi kalsium secara tunggal, dan peingkatan kalsium dalam pola yang demikian tidak mampu mengaktivasi oosit muda (yang baru ovulasi) (Ozil 1990). Sebaliknya, strontium chloride menyebabkan peningkatan kalsium secara bergelombang dan mampu mengaktivasi oosit muda dan oosit tua (Wu et al. 1998). Aktivasi dengan ethanol dapat menyebabkan tingginya kejadian aneuploidy pada embrio haploid (Loren & Lacham-Kaplan 2006).

Persinyalan kalsium pada oosit mencit dipengaruhi oleh jumlah kalsium pada tempat penyimpanan intraseluler (Jones & Whittingham 1996), Jumlah reseptor IP3 dan tingkat sensitivitas reseptor IP3 terhadap IP3 (Jellerette et al. 2004). Strontium chloride dapat meningkatkan sensitivitas reseptor IP3, Strontium chloride dapat memicu eksositosis kalsium yang cepat dengan

pengikatan pada calcium-binding site dari IP3 receptor. Ada dua calcium interaction site pada reseptor IP3 yaitu: stimulatory site yang sensitif terhadap strontium chloride dan inhibitory site yang tidak sensitif terhadap strontium chloride (Marshall & Taylor 1994).

Aktivasi oosit oleh sperma menyebabkan terjadinya osilasi kalsium secara bergelombang (Miyazaki et al. 1992), dan berlangsung selama beberapa jam hingga berhenti pada saat pembentukan pronukleus (Jones & Whittingham 1996). Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya berbagai kejadian seperti reaksi korteks, pembentukan pronukleus, dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).

Tingkat pembentukan morula dan blastosis tersebut selain dipengaruhi oleh jenis activator partenogenesis juga diperkirakan dipengaruhi oleh medium kultur yang digunakan. Oleh karena itu pada eksperimen selanjutnya digunakan dua jenis medium yang biasa digunakan untuk kultur embrio mencit. Kedua medium ini memiliki kandungan nutrisi dan garam yang berbeda yang diperkirakan akan berdampak pada perbedaan daya dukung terhadap perkembangan embrio partenogenetik.

Kultur Embrio Partenogenetik

Pada eksperimen ini dilakukan pengujian terhadap dua jenis medium kultur dalam menunjang perkembangan embrio partenogenetik. Oosit yang teraktivasi dan memiliki dua pronukleus dikultur dalam dua medium yang berbeda yaitu KSOM dan CZB. Perbedaan kedua medium ini terletak pada komposisi bahan kimia yang digunakan, dan yang paling menonjol pada KSOM adalah mengandung asam amino esensial dan non esensial yang keduanya berfungsi sebagai energi bagi kebutuhan embrio. Dari 233 oosit diploid yang dikultur dalam KSOM, 196 (84.12%) diantaranya berkembang menjadi embrio partenogenetik dua sel (Gambar 16A), dan tingkat keberhasilan ini hampir sama dengan yang dicapai oleh oosit yang dikultur dalam CZB yaitu 81.22% (Tabel 8). Diperlukan 24 jam kultur oleh embrio partenogenetik untuk mencapai stadium dua sel. Hal ini tidak berbeda dengan kecepatan pembelahan embrio hasil fertilisasi in vivo. Selama proses perkembangan ke stadium empat sel (Gambar 16B), beberapa embrio mengalami penghambatan perkembangan sehingga tetap berada pada stadium dua atau tiga sel, baik pada embrio yang dikultur

pada KSOM maupun CZB. Hanya sekitar 70.82% embrio dua sel yang dikultur pada KSOM atau 64.63% pada CZB yang berkembang ke stadium empat sel (Tabel 8).

Tabel 8 Tingkat perkembangan embrio partenogenetik yang dikultur pada KSOM dan CZB

Variabel Penelitian Perlakuan

KSOM CZB

Jumlah oosit diploid 233 229 Cleavage (%) 196 (84.12) a 186 (81.22) a Empat Sel (%) 165 (70.82) a 148 (64.63) a Morula (%) 62 (26.61) a 39 (17.03) b Blastosis (%) 31 (13.30) a 14 (6.11) b

Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara medium kultur

Selain itu, hal yang menarik dari pola perkembangan embrio partenogenetik adalah ada sebagian kecil embrio mengalami kompaksi dan membentuk morula kompak pada stadium empat hingga enam sel. Embrio- embrio yang demikian umumnya akan mengalami degenerasi setelah kompaksi dan tidak berhasil berkembang mencapai stadium blastosis.

Seperti pada percobaan sebelumnya, pola perkembangan embrio partenogenetik dari stadium empat sel ke stadium morula mengalami penurunan secara drastis. Beberapa embrio tertahan pada stadium empat sel, embrio lainnya tertahan pada stadium lima hingga tujuh sel, sehingga hanya sekitar 26.61% yang mencapai stadium morula (Gambar 16C) dan 13.30% diantaranya mencapai stadium blastosis (Gambar 16D) pada medium KSOM. Sementara pada embrio yang dikultur dengan CZB, jumlah embrio yang berhasil berkembang ke stadium morula dan blastosis lebih sedikit masing-masing yaitu 17.03% dan 6.11% (Tabel 8). Data ini mengindikasikan bahwa KSOM lebih cocok digunakan untuk kultur embrio partenogenetik mencit daripada CZB.

Gambar 16 Perkembangan embrio partenogenetik dalam kultur in vitro. A: embrio stadium dua sel, B: empat sel, C: morula, D: blastosis ekspan. Bar = 50 µm.

Isolasi dan Kultur ESC Partenogenetik

Blastosis partenogenetik yang dihasilkan umumnya memiliki jumlah sel yang lebih sedikit daripada blastosis hasil fertilisasi. Sebagai gambaran, jumlah sel blastosis partenogenetik pada hari keempat kultur berkisar antara 30 hingga 49 sel (Gambar 17B), yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan embrio hasil fertilisasi yang telah memiliki 82 hingga 126 sel pada umur yang sama (Gambar 17D). Selain itu, ukuran ICM blastosis partenogenetik relatif lebih kecil dibandingkan ICM blastosis hasil fertilisasi (Gambar 18), dan walaupun beberapa ICM yang demikian mampu melekat pada dasar cawan tetapi koloni ESC yang dihasilkan relatif lebih kecil (Gambar 19A). Bahkan dari hasil pewarnaan hoechst- propidium Iodide menunjukkan bahwa sebagian blastosis memiliki sel ICM yang menyebar dan tidak berkelompok (Gambar 17C). Hal itulah yang diduga menjadi

D B A

penyebab rendahnya tingkat keutuhan ICM pasca immunosurgery, dimana dari 37 blastosis yang diisolasi, hanya dihasilkan 24 ICM utuh (64.86%), lebih rendah dari kontrol yang mencapai 97.14%. Dalam kultur selanjutnya, 15 (40.54%) diantara ICM tersebut berhasil melekat pada dasar cawan kultur, dan hanya 3 ICM (8.11%) yang berkembang membentuk koloni primer ESC (Tabel 9).

Gambar 17 Pewarnaan Hoechst-Propidium Iodide pada embrio partenogenetik sebelum (A&B) dan setelah (C) immunosurgery. A: morula B: blastosis, C: blastosis pasca immunosurgery, D: blastosis hasil fertilisasi. Biru: sel hidup, merah: sel mati. Bar = 50 µm.

D C

B A

Gambar 18 Inner cell mass yang dihasilkan dari blastosis hasil fertilisasi (A) dan partenogenetik (B). Bar = 15 µm.

Gambar 19 Koloni ESC sebelum dan setelah pewarnaan alkaline phosphatase. A&C: koloni ESC patenogenetik, B&D: ESC dari embrio hasil fertilisasi. Bar =100 µm. A B D A C B

Tabel 9 Profil perkembangan embryonic stem cell partenogenetik

Variabel Penelitian Jenis Embrio

Partenogenetik Hasil Fertilisasi

Jumlah Blastosis 37 35

Tingkat Keutuhan ICM (%) 24 (64.86) 34 (97.14) AR (%) 15 (40.54) 32 (91.43) PC (%) 3 (8,11) 21 (60,00) ESC > 1 pasase (%) 1 (2.70) 10 (28.57)

GR (%) 78.57% 133.77

DT (jam) 25.85 16.21

AR: attachment rate (tingkat perlekatan), PC: the number of primary embryonic stem cell colony

(tingkat pembentukan koloni primer, GR: growth rate (tingkat pertumbuhan koloni), DT: doubling time

Hal lain yang teramati adalah ICM partenogenetik mengalami kesulitan untuk melekat pada feeder layer dan walaupun ada sebagian yang berhasil melekat tetapi waktu yang dibutuhkan relatif lebih panjang dibandingkan dengan ICM blastosis hasil fertilisasi. Sebagai gambaran, lama waktu yang dibutuhkan oleh ICM partenogenetik untuk melekat adalah sekitar 3 hingga 4 hari yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kejadian perlekatan ICM blastosis hasil fertilisasi yaitu sekitar 1 hingga 2 hari. Selain itu, perkembangan koloni ICM dalam kultur juga lebih lambat yang ditandai oleh pertambahan diameter koloni harian yang relatif tidak signifikan sehingga berdampak pada kecilnya ukuran koloni primer ESC yang dihasilkan dan lama kultur yang lebih panjang. Misalnya untuk menghasilkan koloni primer ESC, ICM partenogenetik membutuhkan waktu kultur sekitar 8 hingga 10 hari yang lebih panjang dari yang dibutuhkan oleh ICM blastosis hasil fertilisasi yaitu sekitar 7 hari.

Secara keseluruhan, tampilan ESC partenogenetik kurang optimal dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh embrio hasil fertilisasi. Hal ini mungkin ada hubungan dengan rendahnya kualitas ICM yang dihasilkan. Inner cell mass blastosis partenogenetik umumnya lebih kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi (Gambar 18). Hal ini ada hubungannya dengan rendahnya tingkat proliferasi ICM blastosis partenogenetik (Newman- Smith & Werb 1995). Laporan sebelumnya mengindikasikan bahwa aktivasi buatan terhadap oosit dapat menurunkan rasio jumlah sel ICM terhadap trofoblas pada stadium blastosis (Bos-Mikich et al. 1997). Populasi ICM partenogenetik dapat ditingkatkan ketika dikultur dalam medium yang mengandung agens mitogenik seperti LIF atau Igf-1r/Igf-2, dan mengindikasikan bahwa ICM partenogenetik tidak meregulasikan beberapa komponen proliferasi (Newman- Smith & Werb 1995).

Setelah terbentuk koloni primer, ESC tersebut dilakukan pasase secara mekanis yaitu dengan melakukan pemotongan koloni ESC dengan pisau bedah sehingga dihasilkan sejumlah sub koloni kecil dan selanjutnya dikultur kembali ke dalam ESC medium. Dari tiga koloni primer yang dihasilkan hanya satu koloni yang berhasil tumbuh melewati pasase pertama, sementara dua koloni lainnya mengalami degenerasi. Untuk mengetahui status diferensiasi ESC yang terbentuk maka dilakukan uji pluripotensi. Pada mencit, kriteria yang paling dapat dipercaya untuk mengidentifikasi pluripotensi ESC adalah kemampuan untuk berkontribusi menjadi germ line pada mencit kimera dan pembentukan teratoma. Walaupun demikian, kedua teknik ini memiliki kelemahan, teknik pertama terbentur dengan masalah etika, sedangkan teknik kedua memerlukan jumlah sel yang banyak (>105) dan minimal 8 minggu hingga teratoma bisa diidentifikasi (O’Connor et al. 2008). Teknik lainnya adalah berdasarkan ekspresi Oct4, Nanog, alkaline phosphatase, dan stage-specific embryonic antigen-1 (SSEA-1) (Palmqvist et al. 2005).

Uji pluripotensi dilakukan pada sub-koloni yang bertahan hingga pasase kedua dengan menggunakan pewarnaan ALP (Hikichi et al. 2007, Motohashi et al. 2007, O’Connor et al. 2008, Sun et al. 2008, Tam et al. 2008, Zhang et al. 2008). Alkaline phosphatase merupakan enzim permukaan sel yang berperan dalam proses morfogenesis, diferensiasi (Izquierdo et al.1980), proliferasi dan komunikasi antar sel (Narisawa et al. 1992). Aktivitas ALP terdeteksi pada embrio mencit sejak stadium dua sel dan hingga morula, dan pada stadium perkembangan selanjutnya hanya diekspresikan oleh ICM blastosis, primary ectoderm embrio pra-gastrulasi (Izquierdo et al.1980) dan primordial germ cell. Ada dua ALP isozyme yang diekspresikan pada embrio mencit yaitu embryonal alkaline phosphatase (E-ALP) dan tissue-nonspecific alkaline phosphatase (TN- ALP). Embryonal alkaline phosphatase merupakan isozyme utama (> 80%) yang diekspresikan oleh embrio mencit stadium dua sel hingga morula, dan ICM blastosis, tetapi tidak diekspresikan oleh embrio umur 7.5 – 9.5 hari dan primordial germ cells. Tissue-nonspecific alkaline phosphatase adalah isozyme utama yang diekspresikan oleh embrio mencit umur 7.5 – 9.5 hari, primordial germ cells, embryo carcinoma cells dan plasenta. Selama perkembangan embrio praimplantasi, TN-ALP diekspresikan kurang dari 20% dari total ALP mRNA (Hahnel et al. 1990).

Hasil pewarnaan dengan ALP menunjukkan bahwa ESC partenogenetik positif terhadap pewarnaan tersebut (berwarna merah (Gambar 19C), seperti yang ditampilkan oleh ESC dari embrio hasil fertilisasi (Gambar 19D). Hal ini menunjukkan bahwa paling tidak hingga pasase kedua ESC partenogenetik masih mampu mempertahankan pluripotensinya.

Secara umum, hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya. Vrana et al. (2003) menghasilkan empat blastosis (14%) dari 28 oosit kera yang diaktivasi dengan ionomycin dan 6-dimethyl aminopurine. Tiga ICM dapat berkembang membentuk koloni primer setelah kultur 1 minggu, dan satu (3,57%) diantaranya membentuk cell line. Revazova et al. (2007) menghasilkan enam cell line (13,64%) dari 44 oosit yang diaktivasi secara partenogenetik. Wang et al. (2007) tidak dapat menghasilkan ESC line dari blastosis partenogenetik baik yang diaktivasi dengan metode elektrik maupun kimiawi.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa walaupun ESC partenogenetik memiliki profil yang kurang optimal dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi, namun paling tidak hal ini memberikan gambaran bahwa dengan kondisi kultur yang digunakan pada penelitian ini, ESC partenogenetik mencit dapat berkembang hingga pasase kedua.

KESIMPULAN

1. Embrio partenogenetik mencit dapat menghasilkan ESC

2. Kemampuan tumbuh ESC partenogenetik lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal S, Holton KL, Lanza R. 2008. Efficient differentiation of functional hepatocytes from human embryonic stem cells. Stem Cells 26:1117-1127. Balakier H et al. 2002. Calcium-binding proteins and calcium-release channels in human maturing oocytes, pronuclear zygotes and early preimplantation embryos. Hum Reprod 17:2938–2947.

Ban J et al. 2007. Embryonic stem cell-derived neurons form functional networks in vitro. Stem Cells 25:738 –749.

Berridge M. 1996. Regulation of calcium spiking in mammalian oocytes through a combination of inositol trisphosphate-dependent entry and calcium release. Mol Hum Reprod 2:386–388.

Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev 7:1073-1079.

Bos-Mikich A, Whittingham DG, Jones KT. 1997. Meiotic and mitotic Ca2+ oscillations affect cell composition in resulting blastocysts. Dev Biol 182:172-179.

Byrne JA et al. 2007. Producing primate embryonic stem cells by somatic cell nuclear transfer. Nature 450:497–502 (Abstr).

Dighe et al. 2008. Heterozygous embryonic stem cell lines derived from nonhuman primate parthenotes. Stem Cells 26:756-766.

Ducibella T et al. 2002. Egg-to-embryo transition is driven by differential responses to Ca2+ oscillation number. Dev Biol 250: 280-291.

Duplomb L, Dagouassat M, Jourdon P, Heymann D. 2007. Concise review: embryonic stem cells: a new tool to study osteoblast and osteoclast differentiation. Stem Cells 25:544-552.

Gossrau G, Thiele J, Konang R, Schmandt T, Br¨Ustle U. 2007. Bone morphogenetic protein-mediated modulation of lineage diversification during neural differentiation of embryonic stem cells. Stem Cells 25:939 – 949.

Gu C, Cooper DM. 2000. Ca2+, Sr2+, and Ba2+ identity distinct regulatory sites on adenylys cyclase (AC) types VI and VIII and consolidate the apposition of capacitative cation entry channels and CA2+-sensitive Acs. J Biol Chem 275:6980-6986.

Guo X-M et al. 2006. Creation of engineered cardiac tissue in vitro from mouse embryonic stem cells. Circulation 113:2229-2237.

Hahnel AC et al. 1990. Two alkaline phosphatase genes are expressed during early development in the mouse embryo. Development 110:555-564. Hikichi T et al. 2007. Differentiation potential of parthenogenetic embryonic stem

cells is improved by nuclear transfer. Stem Cells 25:46-53.

Imahie H, Takahashi M, Toyoda Y, sato E. 2002. Differential effects of cytochalasin B on cytokinesis in parthenogenetically activated mouse oocyte. J Reprod Dev 48: 31-40.

Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol Reprod 69:1675-1682.

Izquierdo L, Lopez T, Marticorena P. 1980. Cell membrane regions in preimplantation mouse embryos. J Embryol Exp Morph 59:89-102.

Jellerette T, He CL, Wu H, Parys JB, Fissore RA. 2000. Down-regulation of the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor in mouse eggs following fertilization or parthenogenetic activation. Dev Biol 223:238-250

.

Jellerette T et al. 2004. Cell cyclecoupled [Ca2+]i oscillations in mouse zygotes and function of the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor-1. Dev Biol 274:94–109.

Jones KT, Whittingham DG. 1996. A comparison of sperm- and IP3-induced Ca2+ release in activated and ageing mouse oocytes. Dev Biol 178:229– 237.

Kim D, Dressler GR. 2005. Nephrogenic factors promote differentiation of mouse embryonic stem cells into renal epithelia. J Am Soc Nephrol 16: 3527– 3534.

Kim K et al. 2007a. Histocompatible embryonic stem cells by parthenogenesis. Science 315:482-486.

Kim K et al. 2007b. Recombination signatures distinguish embryonic stem cells derived by parthenogenesis and somatic cell nuclear transfer. Cell Stem Cell 1:346-352.

Kitiyanant Y, Saikhun J, Guocheng J, Pavasuthipaisit K. 2000. Establishment and long-term maintenance of bovine embryonic stem cell lines using mouse and bovine mixed feeder cells and their survival after cryopreservation. Science Asia 26:81-86.

Kline D, Kline JT. 1992. Repetitive calcium transients and the role of calcium in exocytosis and cell cycle activation in the mouse egg. Dev Biol 149:80– 89.

Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161.

Loren J, Lacham-Kaplan O. 2006. The employment of strontium to activate mouse oocytes: effects on spermatid-injection outcome. Reproduction

Dokumen terkait