• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

5.1.1 Kejadian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan untuk memetakan kejadian penyakit virus di daerah sentra penanaman cabai di seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yaitu: Kabupaten Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem dan Kota Denpasar ditemukan, bahwa ada tiga jenis virus utama yang menyerang tanaman cabai yaitu virus dengan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti terlihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Tanaman cabai dengan gejala klorosis (A), tanaman cabai dengan gejala mosaik (B) dan tanaman cabai dengan gejala (C) kuning

Penyakit mosaik dan kuning tersebar secara merata di seluruh Kabupaten dan kota di Bali, namun penyakit klorosis penyebarannya belum merata, dan bahkan baru dijumpai di tiga kabupaten saja di Bali, seperti terlihat pada Tabel 5.1.Prevalensi penyakit mosaik pada lokasi penanaman cabai di Bali paling tinggi dibandingkan dengan penyakit kuning dan klorosis (Tabel 5.1). Rata-rata tanaman cabai yang memperlihatkan gejala mosaik 34,56%, tanaman cabai yang memperlihatkan gejala kuning 29,1%. sedangkan tanaman cabai yang memperlihatkan gejala klorosis paling rendah yaitu sebesar 5,2%. Hasil ini memperlihatkan bahwa penyakit mosaik tampaknya lebih memegang peranan penting di antara penyakit-penyakit virus sebagai salah satu penghambat dalam produksi cabai di daerah ini.Tanaman cabai dengan gejala klorosis pertama kali ditemukan di Bali, tepatnya di Kecamatan Payangan Gianyar pada tahun

2011, dan belum ditemukan di daerah lain. Penyakit ini adalah merupakan pendatang baru yang ikut menambah keragaman penyakit pada tanaman cabai di Bali.

Tabel 5.1 Prevalensi penyakit mosaik, kuning dan klorosis pada tanaman cabai berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali

Gejala yang tampak pada tanaman dengan gejala mosaik adalah pada daunnya belang hijau tua dan hijau muda. Bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih tebal dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang).Daun-daun muda memperlihatkan belang pada tulang daunnya, daun-daun yang sudah mencapai pertumbuhan maksimal biasanya lebih sempit dibandingkan daun yang lebih tua, sedangkan daun-daun tua mengalami malformasi melengkung ke bawah (Agrios, 2005).Tanaman yang sakit menghasilkan buah yang kecil dan sering tampak berjerawat (Semangun, 2000).Virus ini dapat menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%, bahkan jika infeksi terjadi pada fase bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100% (Duriat, 1997).

Tanaman cabai dengan gejala kuning, adalah helai daun mengalami klorosis di antara tulang daun maupun pinggir daun, daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke arah atas, tulang daun menebal, pinggir daun menjadi pucat sampai kuning terang. No Lokasi pengambilan sampel Jumlah tanaman yang diamati (x 1000)

Persentase tanaman yang bergejala

Mosaik Kuning Klorosis

1 Badung 5,12 32,4 23,5 0 2 Bangli 4,86 30,8 29,4 0 3 Buleleng 5,48 38,8 32,3 0 4 Denpasar 2,80 29,4 35,3 0 5 Gianyar 5,20 33,6 28,4 18,6 6 Jembrana 4,60 30,4 32,7 0 7 Karangasem 4,40 42,6 24,6 0 8 Klungkung 6,78 34,6 27,1 12,4 9 Tabanan 5,40 38,4 29,2 15,8 Rata-rata 34,56% 29,17% 5,20%

Infeksi lanjut menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah (De Barrow et al., 2008).

Gejala klorosis pada tanaman cabai ditandai dengan gejala menguning pada helaian daun karena klorosis antara tulang daun, tulang daun dan jaringan disekitarnya tetap hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi pemendekan ruas batang.Tanaman dengan gejala klorosis yang terinfeksi Polerovirus menghasilkan buah dengan kualitas rendah dan hasil rendah (Gallitelli, 1998).

Untuk verifikasi jenis virus yang terlibat dalam induksi gejala penyakit mosaik, kuning dan klorosis maka dilakukan pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman cabai rawit yang menunjukkan gejala mosaik, kuning, dan klorosis di seluruh sentra pengamatan, seperti terlihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Kondisi pertanaman cabai yang terinfeksi virus (A), Pengambilan sampel pada tanaman yang bergejala virus (B)

5.1.2 Virus-virus yang Berasosiasi dengan Penyakit pada Tanaman Cabai

Berdasarkan hasil uji serologi dengan teknik ELISA pada penelitian ini ditemukan beberapa jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada tanaman cabai yaitu CMV, ChiVMV, danTMV (Tabel 5.2). Di antara ketiga virus penyebab penyakit mosaik, CMV adalah virus yang dominan dengan prevalensi 29,4%, diikuti oleh ChiVMV dan TMV dengan prevalensi masing-masing 26,4% dan 14,7%. Tingginya prevelensi CMV pada penelitian ini disebabkan karena CMV mempunyai kisaran inang yang paling luas termasuk beberapa gulma yang dapat menjadi inang perantara dan dapat menyediakan sumber inokulum kapan saja, dan dapat ditularkan oleh banyak spesies aphid dan efektivitas penularannya yang sangat tinggi berperan dalam menyebarkan virus (Escriu et al., 2000). Hasil ini mengindikasikan bahwa CMV adalah virus penting dan merupakan penyebab utama penyakit mosaik pada tanaman cabai di Bali.

Tabel 5.2 Keberadaan Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco mosaic virus (TMV) dan Chili pepper vein mottle virus (ChiVMV) pada tanaman cabai dengan gejala mosaik Lokasi Pengambilan sampel Jumlah sampel*

Persentase tanaman yang terinfeksi oleh virus**

CMV TMV ChiVMV Badung 82 21,9 14,6 19,5 Bangli 73 30,1 12,3 27,4 Buleleng 104 30,7 17,3 21,2 Denpasar 41 34,1 21,9 29,3 Gianyar 86 25,5 11,6 28,5 Jembrana 69 28,9 11,6 31,8 Karangasem 92 34,8 15,2 30,4 Klungkung 115 28,7 12,1 26,0 Tabanan 103 30,0 15,5 23,3 Rata-rata 29,4% 14,7% 26,4%

*Jumlah sampel untuk uji ELISA diambil 5% dari jumlah sampel yang memperlihatkan gejala mosaik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.

**Keberadaan virus ditentukan berdasarkan uji ELISA.

Uji molekuler terhadap virus dengan gejala klorosis dilakukan dengan teknik RT-PCR dan virus dengan gejala kuning dilakukan dengan teknik RT-PCR. Hasil elekroforesis menunjukkan bahwa sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus PepYLCV (700 bp), dan Polerovirus (650 bp) yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari masing-masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang digunakan (Gambar 5.3).

Pasangan primer untuk PepYLCV yaitu CPPROTEIN-V1 yaitu (5‟-TAATTCTA GATGTCGAAGCGACCCGCCGA-„3) sedangkan CPPROTEIN-C1 yaitu: (5‟-GGCCG AATTCT TAATTTTGAACAGAATCA-„3) (AVRDC, Taiwan), kedua pasangan primer tersebut akan mengamplifikasi bagian gen protein selubung (CP) yang berukuran 700 bp, dan hasil elekroforesis untuk PepYLCV ini sekitar 700 bp yang sangat bersesuaian dengan prediksi dari primer yang didesain. Pasangan primer untuk Polerovirus yaitu primer spesifik menurut Corre^a et al. (2005) adalah sebagai berikut yaitu primer F dengan susunan basa atau sekuen nukleotida (5‟-AATTAAGGATCCAATACGGGA

GGGGTTAGGAGAAAT-3‟) dan primer R dengan sekuen nikleotida (5‟-AATTAACT GCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-3‟). Kedua primer tersebut merupakan primer yang dapat mengamplifikasi bagian coat protein (CP) virus yang berukuran 650 bp dan hasil elekroforesis untuk Polerovirus ini sekitar 650 bp. Ukuran pragmen DNA tersebut sangat sesuai dengan yang diharapkan.

Gambar 5.3 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp (BioRad); (1)=PepYLCV;(2)= Polerovirus; (3)= Polerovirus; (4)=PepYLCV (5)= kontrol negatif (tanaman sehat)

5.2 Serangga yang Berfungsi Sebagai Vektor Virus pada Pertanaman Cabai 5.2.1 Spesies Serangga Vektor Virus Pengkoloni Tanaman Cabai

Pada saat survei, pengamatan juga ditujukan pada serangga-serangga yang mengkoloni tanaman cabai.Dari hasil pengamatan tersebut, dua jenis serangga yaitu kutudaun dan kutukebul (Gambar 5.4), ditemukan sangat dominan terdapat pada pertanaman cabai di seluruh sentra produksi cabai di daerah Bali. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, kedua jenis serangga ini telah dikonfirmasi berperan sebagai vector virus-virus pada pertanaman cabai di seluruh dunia.Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan identifikasi terbatas pada kedua jenis serangga ini.

Gambar 5.4 Kutukebul (a dan b) dan kutudaun (c dan d) yang ditemukan dominan mengkoloni tanaman cabai di daerah sentra produksi cabai di Bali.

Spesies Kutudaun.Hasil identifikasi dari imago kutu daun yang didapat dilokasi pengamatan, dapat diketahui adanya dua spesies kutu daun yang menyerang tanaman cabai.Spesies kutu daun tersebut adalahAphis gossypii danMysuspersicae.

Ciri-ciri A. gossypii (Gambar 5.5) pada preparat mikroskop yang ditemukan adalah kepala tempat antenna melekat tidak berkembang (undevelop), kemudian warna kornikel lebih gelap dari warna tubuhnya. Kauda berwarna gelap (coklat) tapi lebih pucat dari kornikel.Kauda terdapat pada ujung abdomen dengan enam rambut.

Gambar 5.5 Preparat kutu daun Aphis gossypii; 1 =Tuberkel tidak berkembang (undevelop), 2 = antenna, 3 = torak, 4 = abdomen, 5 = kornikel, 6 = kauda.

Gambar 5.6 Preparat kutu daun M. persicae; 1= tuberkel (berkembang), 2= antenna, 3= torak, 4 = abdomen; 5 = kornikel (berambut 4 sampai 5 helai), 6 = kauda

Perbedaan antara A. Gossypii dengan M. persicaesecara morfologi dapat terlihat dari tuberkelnya dimana tuberkel dari A. Gossypii tidak berkembang sedangkan tuberkel M. Persicae berkembang dan dapat juga dibedakan dari kornikelnya, kornikel A. Gossypii lebih pendek, sedangkan M. Persicae kornikrlnya lebih panjang (Gambar 5.7).

Gambar 5.7 Tuberkel tidak berkembang (undevelop) pada A. gossypii, b:Tuberkel berkembang pada M. persicae, c: Kornikel A. gossypii lebih pendek, sedangkan d; kornikel M. persicae lebih panjang.

Spesies Kutu Kebul. Hasil identifikasi B.tabaci berdasarkan pengamatan preparat puparium yang didapat dari pertanaman cabai di Desa Kerta kecamatan Payangan Gianyar dengan menggunakan kunci identifikasi Martin (1987), menunjukkan bahwa populasi kutu kebul yang ditemukan adalah spesies B.tabaci. Ciri sfesifik yang menunjukkan kutu kebul itu B.tabaci adalah pupa berbentuk bulat panjang, seta kauda satu pasang yang terletak pada ujung puparium dengan ukuran yang sama panjang dengan vasiform orifice. Vasiform orifice berbentuk segitiga serta lebih panjang dari alur kaudal (caudal furrow) dan bagian samping orifice tersebut hampir lurus (gambar 5.8).

a b

a

b

Gambar 5.8 Bemisia tabaci, imago (a), puparium (b), preparat puparium (c), garis puparium sebagai kunci determinasi Bemisia(d) ( Martin1987)

Ciri karakter morfologi penting puparium B. tabaci yang perlu diperhatikan saat melakukan identifikasi adalah sebagai berikut (a) seta kauda selalu kokoh dan biasanya sama atau lebih panjang dari vasiform orifice, (b) vasiform orifice lurus lebih panjang dari caudal furrow, (c) tidak ada papila, (Martin, 1999; Malumphy, 2004; Hodges et al., 2005).

5.2.2 Kelimpahan Serangga Vektor Virus pada Pertanaman Cabai

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis serangga hama yang terdapat di pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengukur kelimpahan serangga yang telah diketahui berperan sebagai vektor virus. Serangga vektor virus yang dijumpai selama survei didapatkan, bahwa ada dua jenis vektor virus yaitu dari jenis kutu daun dan kutu kebul. Spesies dari kutu daun yang ditemukan adalah spesies dari Myzus persicae dan Aphis gossypii sedangkan spesies dari kutu kebul yaitu spesies dari Bemisia tabaci,

dengan penyebaran hampir merata di seluruh sentra penanaman cabai di Bali, seperti terlihat dalam Tabel. 5.3.

Tabel 5.3 Kelimpahan serangga vector Myzus persicae, Aphis gossypii dan Bemisia tabaci pada tanaman cabai berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali No Lokasi pengambilan sampel Populasi Tanaman (x100)

Populasi serangga Vektor (x100) Myzus persicae Aphisgossypii Bemisia tabaci 1 Badung 51,2 22,2 20,9 18,6 2 Bangli 48,6 17,6 16,8 15,8 3 Buleleng 54,8 20,4 22,2 17,9 4 Denpasar 28,0 10,6 8,4 5.8 5 Gianyar 52,0 24,4 21,9 18,8 6 Jembrana 46,0 19,6 20,8 14,5 7 Karangasem 44,0 22,4 26,3 16,2 8 Klungkung 67,8 28,2 24,7 20,8 9 Tabanan 54,0 20,2 22,6 14,8 Rata-rata 49,6 20,62 20,51 15,91

5.3 Gulma yang dapat Menjadi Inang Alternatif Virus Cabai

5.3.1 Jenis Gulma di Sekitar Pertanaman Cabai yang Memperlihatkan Gejala Terinfeksi Virus

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis gulma yang kerap terdapat pada pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengidentifikasi gulma-gulma yang dapat menjadi inang alternatif bagi virus cabai.

Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung.Adanya kompetisi merupakan pengaruh langsung dari keberadaan gulma sedangkan pengaruh tidak langsung adalah sebagai inang alternatif beberapa pathogen.Adapun jenis gulma yang dijumpai selama penelitian, yang menunjukkan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti terlihat dalam Tabel

5.4. Gulma yang diduga terinfeksi dari ketiga jenis virus tersebut memiliki gejala yang hampir sama dengan gejala yang ditunjukkan oleh tanaman cabai yang terinveksi virus. Tabel 5.4 Jenis gulma yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai berdasarkan hasil

survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2014 di sentra produksi cabai di Bali

No Famili Spesies Nama Lokal Gejala

Mosaik Kuning Klorosis 1 Amaranthaceae Amaranthus gracilis D. Amaranthus spinosus L. Bayam Bayam berduri + + - + + + 2 Asteraceae Bidens pilosa L.

Ageratum conyzoide L. Synedrella nodiflora Ketul Bebandotan Jotang kuda + + + + + + + - + 3 Caryophyllaceae Drimatia cordata Jukut ibun + + - 4 Convolvulaceae Ipomoea triloba Ubi jalar + + + 5 Commelinaceae Commelina

diffusa

Aur-aur + - +

Keterangan: + = memperlihatkan gejala mosaic, kuning atau klorosis; - = tidak memperlihatkan gejala

5.3.2 Gulma Sebagai Inang Alternatif Virus Cabai

Gulma-gulma disekitar pertanaman cabai dapat menjadi sumber virus bagi serangga vektor untuk disebarkan ke tanaman cabai. Pada saat survei ditemukan beberapa jenis gulma memperlihatkan gejala terinfeksi virus seperti mosaik, kuning ataupun klorosis (Tabel 5.5; Gambar 5.9).

Gambar 5.9 Gulma Commelina diffusa yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai memperlihatkan gejala mosaik (kiri), kuning (tengah) dan klorosis (kanan) seperti terinfeksi virus.

Keberadaan virus pada gulma-gulma yang memperlihatkan gejala di lapangan telah diverifikasi melalui uji serologi dengan teknik enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA) dengan menggunakan antiserum CMV dan ChiVMV. Berdasarkan hasil uji ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa Commelina spp.positif terinfeksi CMV dan ChiVMV.Hal ini dibuktikan dengan uji serologi yang menunjukan nilai absorban sampel gulma dan cabai yang bergejala CMV (Tabel 5.5) dan ChiVMV (Tabel 5.6). Pada pengujian tersebut nilai absorban 2-3 kali lipat dari kontrol negatif.

Tabel 5.5 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan antiserum CMV.

Sampel Absorbansi pada 405 nm

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Keterangan Commelina 1 0.411 0.404 0.421 0.412 Positif Commelina 2 0.399 0.398 0.389 0.395 Positif Commelina 3 0.362 0.321 0.349 0.344 Positif Commelina 4 0.355 0.323 0.361 0.346 Positif Commelina 5 0.352 0.327 0.344 0.341 Positif Cabai CMV 1 0.399 0.399 0.378 0.392 Positif Cabai CMV 2 0.397 0.398 0.392 0.395 Positif Cabai CMV 3 0.401 0.405 0.402 0.402 Positif Cabai CMV 4 0.394 0.402 0.421 0.405 Positif Cabai CMV 5 0.389 0.388 0.348 0.375 Positif

Kontrol negatif 0.106 0.104 0.109 0.106 Sebagai patokan

Bufer 0.118 0.121 0.123 0.120 Sebagai patokan

Kontrol positif 0.407 0.410 0.417 0.411 Sebagai patokan

Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.

Hasil uji serologi tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan nilai absorban ELISA (NAE) dari masing-masing sampel.NAE pada Commelina spp. yang tinggi diperoleh pada sampel Commelina 1 dengan rata-rata 0.412, sedangkan sampel cabai menunjukkan NAE yang paling tinggi terinfeksi virus CMV pada cabai CMV 4 dengan rata-rata 0.405 (Tabel 5.5). dan untuk ChiVMV NAE yang paling tinggi pada sampel

Commelina 2 dengan rata 0.412, sedangkan sampel cabai ChiVMV 5 dengan rata-rata 0.423. Perbedaan NAE berhubungan dengan konsentrasi virus yang ada pada masing-masing sampel melalui perubahan warna pada saat uji ELISA.Warna yang terdapat pada sumuran menunjukkan adanya virus dalam sampel tersebut dan tingkat warna yang dapat dilihat atau ukuran yang dapat terbaca pada kalorimeter sebanding dengan ukuran jumlah virus yang terdapat dalam sampel tersebut.

Tabel 5.6 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan antiserum ChiVMV.

Sampel Absorbansi pada 405 nm

Ulangan 1 Ulangan 2 Uiangan 3 Rata-rata Keterangan Commelina 1 0.398 0.355 0.344 0.365 Positif Commelina 2 0.423 0.411 0.404 0.412 Positif Commelina 3 0.365 0.321 0.336 0.340 Positif Commelina 4 0.378 0.414 0.393 0.395 Positif Commelina 5 0.366 0.309 0.321 0.332 Positif Cabai CMV 1 0.398 0.412 0.400 0.403 Positif Cabai CMV 2 0.387 0.394 0.371 0.384 Positif Cabai CMV 3 0.381 0.394 0.408 0.394 Positif Cabai CMV 4 0.408 0.415 0.411 0.411 Positif Cabai CMV 5 0.423 0.422 0.425 0.423 Positif

Kontrol negatif 0.118 0.120 0.122 0.120 Sebagai patokan

Bufer 0.115 0.124 0.122 0.120 Sebagai patokan

Kontrol positif 0.402 0.411 0.414 0.409 Sebagai patokan

Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.

Berdasarkan hasil uji ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa Commelina spp.positif terdeteksi virus CMV dan ChiVMV.Ciri-ciri dari gulma Commelina spp.yang terinfeksi virus (Gambar 5.8) memiliki gejala yang identik dengan gejala cabai yang ditemukan pada lokasi pertanaman cabai.

Gulma Commelina spp.yang diinfeksi oleh CMV menunjukkan gejala mosaik hijau tua pada daun serta warna tulang daun yang hijau tua, sedangkan gulma Commelina spp.yang terinfeksi ChiVMV menunjukkan gejala berupa belang belang hijau gelap

(mosaik), bercak-bercak hijau gelap dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya.

Hasil uji molekuler terhadap virus pada gulma Commelina dan tanaman cabai dengan gejala mosaic dan klorosis dilakukan dengan teknik RT-PCR dan virus dengan gejala kuning dilakukan dengan teknik PCR. Hasil elekroforesis menunjukkan bahwa sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus CMV (657 bp), Polerovirus (650 bp) dan PepYLCV (700 bp), yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari masing-masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang digunakan (Gambar 5.10).

Gambar 5.10 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp (BioRad); (1)= kontrol negatif (tanaman sehat);(2)= tanaman cabai CMV; (3)= tanaman cabai PepYLCV; (4)= gulma Commelina PepYLCV (5)= gulma Commelina Pe VYV; gulma Commelina CMV

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi pengendalian penyakit oleh virus pada tanaman cabai yang ramah lingkungan. Strategi pengelolaan penyakit tanaman semacam ini mengedepankan cara-cara yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, demikian juga terhadap kesehatan masyarakat. Keberhasilan metode pengendalian yang dipilih akan sangat bergantung pada pemahaman mengenai sifat bioekologi dari setiap virus yang dihadapi (yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai).

Langkah paling awal dan utama dari usaha mendapatkan metode pengendalian yang tepat adalah mengetahui jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit-penyakit pada tanaman cabai di daerah sasaran (Bali). Dari hasil survey yang telah dilakukan ditemukan banyak variasi gejala penyakit di lapangan, namun dari analisis yang lebih detail, penyakit pada tanaman cabai di daerah Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu penyakit mosaik, penyakit kuning dan penyakit klorosis. Pengelompokan ini didasarkan

pada ciri-cri khas dari masing-masing penyakit tersebut.Penyakit mosaik dicirikan dengan mosaik hijau tua dan hijau muda, bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih tebal dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Penyakit kuning mempunyai gejala khas berupa menguningnya helai daun di antara tulang daun maupun pinggir daun, daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke atas, tulang daun menebal, pinggir daun menjadi pucat sampai kuning terang.Sedangkan penyakit klorosis dicirikan dengan terjadinya klorosis pada helaian daun tetapi tulang daun dan jaringan disekitarnya tetap hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi malformasi.Bagi yang sudah terlatih, membedakan gejala penyakit semacam ini tidaklah sulit, dan hal ini dapat diperkenalkan kepada petani dengan sangat mudah.

Ketiga penyakit ini telah terjadi di semua kabupaten/kota di daerah Bali dengan kejadian penyakit yang relatif cukup tinggi yaitu rata-rata untuk penyakit mosaik, kuning dan klorosis masing-masing sebesar 34,56%, 29,17% dan 5,20%. Kejadian penyakit setinggi ini tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penurunan hasil cabai secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat tepat apabila dalam penelitian ini dapat dihasilkan suatu rekomendasi atau suatu formulasi pengelolaan penyakit virus yang efektif.

Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk mendesain formulasi pengendalian penyakit yang tepat adalah mengetahui dengan pasti jenis virus yang berasosiasi dengan masing-masing penyakit yang telah ditemukan. Dari hasil deteksi pada penelitian ini didapatkan informasi yang pasti bahwa gejala kuning pada tanaman cabai berasosiasi dengan Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV; genus Begomovirus) dan penyakit klorosis berasosiasi dengan infeksi Pepper vein yellow virus (PeVYV; genus Polerovirus). Sedangkan penyakit mosaik bisa disebabkan oleh salah satu dari Chili pepper vein mottle virus (ChiVMV; genus Potyvirus), Cucumber mosaic virus (CMV; genus Cucumovirus) atauTobacco mosaic virus (TMV; genus Tobamovirus).

Pemahaman yang perlu dimiliki agar dapat mengendalikan dengan tepat penyakit yang ditimbulkan oleh virus-virus tersebut adalah cara penyebarannya. Dalam penelitian ini tidak dilakukan percobaan untuk mengetahui cara penyebaran dari masing-masing virus ini karena data sudah tersedia dari peneliti sebelumnya. Seperti, misalnya, PepYLCV hanya dapat ditularkan melalui kutu kebul, TMV tidak dapat ditularkan melalui serangga vektor namun hanya melalui cara mekanik (cariran perasan sakit), sedangkan CMV, ChiVMV dan PeVYV dapat ditularkan oleh berbagai jenis kutu daun.

Dari hasil penelitian ini, sudah didapatkan informasi mengenai jenis-jenis serangga yang mengkoloni tanaman cabai dan dapat menjadi vektor virus. Dari golongan kutu kebul ditemukan dan diidentifikasi Bemisia tabaci, dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii danMysus persicae. Cara hidup yang aktif dari kutu kebul maupun kutu daun sangat memungkinkan kejadian penyakit pada tanaman cabai akan tinggi sepanjang tahun karena tanaman cabai selalu tersedia.

Hal yang juga sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mendesain pengelolaan penyakit yang tepat adalah informasi mengenai inang tempat virus bertahan bila tidak ada pertanaman cabai di lapangan.Pada penelitian ini telah dilakukan survey terhadap gulma-gulma di sekitar pertanaman cabai yang memperlihatkan gejala mirip terinfeksi virus.Hasil survei menemukan berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus spinous, Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina diffusa yang

memperlihatkan gejala mosaik, kuning atau klorosis seperti yang terjadi pada tanaman cabai.

Deteksi yang dilakukan terhadap sampel gulma bergejala memperlihatkan bahwa gejala yang muncul pada gulma-gulma tersebut berasosiasi dengan keberadaan virus. Hasil ini menandakan bahwa beberapa gulma di sekitar pertanaman cabai dapat berfungsi sebagai inang alternatif virus dan oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi pertanaman cabai.

Dokumen terkait